pop | arts whatever

Tuesday, October 31, 2006

Ilusi

Aku berdiri di depan pintu, menatap sedih pada daun-daun petai cina di kebun kosong seberang rumah yang bergoyang ditiup angin. Udara siang kota Solo yang sangat panas membuat pandanganku kabur. Jalan di depan rumah begitu lengang, menghadirkan suasana yang kosong dalam hatiku. Aku mereka-reka sebuah baris puisi untuk menghibur diri, lari dari rasa sepi yang datang dari semacam rasa kehilangan yang tiba-tiba. Pulang atau pergi hanya ilusi. Tapi bukannya terhibur, mataku malah terasa panas dan berkaca-kaca.

Aku masuk lagi ke rumah, melangkah ke dalam kamar. Kulihat tas besar yang sudah kusiapkan sejak pagi. Rasanya aku ingin membiarkan tangisku pecah. Libur lebaran selama seminggu sudah habis. Hari ini aku harus kembali ke Jakarta. Aku benci mengapa aku masih harus kembali ke sana. Aku pernah berpikir, sebenarnya bukan aku yang kembali ke Jakarta, tapi Jakarta yang selalu memanggilku kembali tanpa bisa kutolak. Mungkin aku berlebihan. Tapi, pernahkah kau merasa dihadapkan pada suatu keadaan yang sama sekali bukan pilihan?

Hidup ini memang lebih sering terasa sepeti itu bukan?

Pada suatu titik dalam rentang usia hidupmu, kau merasa bahwa kota kelahiranmu bukanlah tempat yang harus kau tinggali. Bukan karena kau tak cinta lagi, juga bukan karena alasan-alasan ketidaknyamanan atau ketidakcocokan. Tapi, apapun alasannya, semua bisa dijelaskan meski tidak harus dengan kata-kata yang serba terang. Kau hanya bisa mengenang. Seperti aku sekarang. Dulu, ketika baru lulus kuliah, pergi ke Jakarta tak memerlukan alasan dan penjelasan apapun selain mencari kerja.

Dan, itu sudah hampir enam tahun berlalu. Apakah alasan dan penjelasan yang sama masih bisa dipegang? Perjalanan waktu mestinya mengubah banyak hal. Tapi, mengapa aku merasa masih saja diam di tempat yang sama? Mengapa aku masih harus pergi dari kota kelahiranku? Ah, bukankah pulang atau pergi hanya ilusi? Mengapa aku harus bersedih untuk semua ini? Masih pentingkah rumah -kota kelahiran? Begitu burukkah hidup di perantauan -menjadi manusia urban, robot yang kesepian? Kalau kenyataannya aku masih bisa pulang setidaknya setahun sekali setiap lebaran, bertemu ibu, kakak dan keponakan, apakah itu tidak cukup?

Bukankah kerinduan yang ditahan, pertemuan yang sebentar, kepulangan yang selalu dinantikan..itulah yang membuat hidup menjadi terasa sangat indah? Pulang atau pergi hanya ilusi. Karena pada akhirnya tak ada lagi yang perlu dibedakan, mana rumah, mana persinggahan. Jam tiga sore hampir tiba. Aku bangkit, menatap wajahku di cermin, merapikan rambut dengan jemari tangan dan mengangkat tasku dengan mantap. Aku melangkah ke luar kamar, memanggil kakakku yang sudah menunggu, siap mengantarku ke terminal.

Jakarta, dunia nyata, aku datang...

Tuesday, October 17, 2006

Mudik 2006

Sudah tiga hari ini, sejak Senin (16/10/06) aku memikirkan sebuah tulisan tentang mudik. Aku bersepakat dengan teman dari kantor lamaku dulu, Mas Karmin untuk menulis perasaan dan kesan masing-masing berkaitan dengan mudik, untuk kemudian di-posting di blog masing-masing pula. Beberapa kali kami memang melakukannya: bersepakat menulis topik yang sama di blog. Begitulah cara kami menjaga semangat untuk menulis. Tapi, entahlah, tiba-tiba kali ini terasa begitu berat, padahal temanya cukup sederhana. Sampai sore, kami belum juga mem-posting tulisan yang kami inginkan. Ah, bahkan sampai keesokan harinya pun, ketika kami seperti biasanya berjumpa lewat YM, tulisan tentang mudik itu belum kunjung terwujud. Sampai aku akhirnya meminta masukan seorang temanku yang lain:

mumu aloha: lu mudik gak mik?
mumu aloha: apa pendapat lu ttg mudik?
mumu aloha: gw pengen nulis di blog ttg mudik
mikalejohain: wah ike nggak mudik
mikalejohain: mudik itu mgkn saat2 paling manusiawi di negeri ini
mikalejohain: org2 begitu banyak berbohong, curi2 cuti, mencuri beneran, hanya utk pulang
mikalejohain: sementara keinginan utk pulang itu sendiri sangat mengharukan sebenarnya
mumu aloha: iya betul
mumu aloha: tahun pertama kerja di jkt dulu, aku dgn pongahnya bangga krn gak mudik. aku anggep itu gak penting
mumu aloha: tp lambat laun..aku makin merindukannya dan sekarang misalnya aku gak bisa mudik lbh baik aku bunuh diri ahahahaha
mumu aloha: mgk krn kita hidup dlm kultur urban ya mik..artinya kebanyakan org tidak hidup di kota kelahirannya sendiri
mumu aloha: jd pulang menjadi begitu dirindukan
mikalejohain: kita pulangnya ke mana itu yg menarik. apa ke kotanya? apa ke orang tua kita? apa ke ingatan kita tentang kota itu? apa ke masa lalu kita? apa semuanya?
mumu aloha: hmm jd pulang itu sendiri gak simpel ya...mengandung beragam makna
mikalejohain: coba terjemahkan mudik dalam bahasa inggris, 'going home' ya itu bisa, misalnya dalam konteks 'are you gonna go home for xmas?' tapi ada sesuatu yg tak disebutkan di situ, 'home' di situ sering berarti 'home to your parents', lebih pribadi tp juga sempit artinya
mikalejohain: sementara mudik, artinya begitu luas sampai orang itu sendiri mungkin gak tahu apa
mumu aloha: tp klo orang awam ya mengartikan mudik sebagai pulang ke kota asal...kumpul sanak sodara. mungkin
mumu aloha: tp mgk jg bener, mreka gak tahu sama sekali.
mikalejohain: kalau kau lihat foto2 org berebut masuk kereta kayaknya udah siap saling bunuh itu, primal sekali bukan? mereka menjadi makhluk penuh insting lagi. setelah setahun jadi robot.

Dari obrolan itu, kupikir aku sudah mendapat bahan yang penting dan berharga, juga menarik tentang mudik, untuk aku tulis di blog. Aku sudah sangat tidak sabar untuk menuliskannya. Bahkan, Mikael sendiri, teman yang aku mintai masukan bahan itu, tak lama setelah obrolan tadi, menagih:

mikalejohain: wis dadi mu, wis diunggah eseimu, wis isa diwaca?
mikalejohain: esei mudikmu
mumu aloha: belum, belum ditulis kok
mumu aloha: msh direka dalam angan halah

Sampai layar komputer ditutup saat pulang kantor, esei mudik itu belum jadi juga.

Hari ini, sepanjang perjalanan menuju kantor pagi tadi, aku terus saja kepikiran dengan tulisan yang tak kunjung terealisasi itu. Menulis tentang mudik tiba-tiba seperti menjadi obsesi yang begitu berat. Tiba-tiba, sambil terkantuk-kantuk di dalam metromini yang terjebak macet, aku teringat sebuah bait yang pernah aku kirim lewat SMS kepada teman akrabku, Ade yang kini jadi dosen di Bali. Belakangan bait itu dia masukkan dalam blog-friendster dia. Aku merasa dapat ide untuk menulis tentang mudik, karena seingatku, bait itu agak relevan dengan perasaan seseorang yang rindu pulang. Sampai di kantor, aku langsung buka blog-friendster Ade, dan mengkopi paste bait tersebut:

Semua akan memimpikan hal yang sama: kembali
Tapi, rumah yang sebenarnya ada dalam hati
Mungkin aku mesti menyerah saja pada kata hati
Sebab, pada akhirnya, aku tahu
hidup adalah usaha membangun jalan pulang
Menuju rumah abadi bernama kesendirian

Berkali kubaca baris-baris itu dan aku termangu. Apakah hidupku semenyedihkan itu? Aku jadi bengong dan tidak bisa memulai tulisanku. Lalu, aku bertanya pada Mas Karmin:

mumu aloha: dah jadi tulisan mudik-nya?
karmin_aja: belum
karmin_aja: ilang malahan mau nerusin kemarin hehehe
mumu aloha: waa samaaa
mumu aloha: hihihi
karmin_aja: blm ada ide menarik
mumu aloha: tulislah yg personal aja
mumu aloha: perasaanmu sendiri saat menghadapi mudik
karmin_aja: aku sudah ngga ada "rasa" sama sekali
karmin_aja: biasa aja kekkekekke
mumu aloha: lhah itu menarik ditulis
mumu aloha: bahwa lu dah mati rasa dgn mudik...itu bagus
mumu aloha: misalnya, bagi lu mudik justru jd beban ato gmn..bagus itu ayo tulis haha
karmin_aja: kekekek
karmin_aja: iya itu aja kali ya
mumu aloha: iyaa gpp
mumu aloha: jujur
karmin_aja: oh menulis itu harus jujur?

Setelah “menasihati” Mas Karmin, aku kemudian seperti mendapat tenaga untuk menulis juga. Maka, mengalirlah tulisan ini. Dan, pada saat yang sama, Mas Karmin (http://fanabis.blogsome.com/) yang sepertinya tersihir oleh kata “jujur” dariku tadi, akhirnya bisa menulis juga.

Friday, October 13, 2006

Sepuluh Hari Terakhir

Kotib salat jumat di masjid samping gedung kantorku hari ini mengingatkan, bahwa puasa sudah memasuki sepuluh hari yang terakhir. Periode yang konon dipenuhi dengan pahala Tuhan berupa pembebasan api neraka. Dan, umumnya kotbah-kotbah dalam periode ini, kotib mengingatkan agar kaum muslimin meningkatkan ibadahnya, dan bukannya justru berbondong-bondong meramaikan mall untuk belanja baju baru yang penuh diskon.

Aku tiba-tiba justru teringat masa kecil dulu. Bila puasa sudah memasuki sepuluh hari yang terakhir, satu di antara malam-malam usai buka puasa aku absen dari tarawih di masjid. Ayah membawa kami -aku, kakak perempuanku dan ibu- ke Pasar Pon untuk membeli baju baru. Kami menyusuri ruas jalan yang di kanan kirinya berderet toko-toko. Beli baju di Tip Top, beli celana panjang di ABBA, dan beli sepatu di Famous. Beberapa di antara toko-toko itu sekarang sudah tidak ada, atau mungkin ganti nama, dan beberapa yang lain masih berdiri kokoh dan laris seperti dulu.

Selalu begitu. Banyak hal berubah, tapi banyak pula yang masih sama seperti dulu. Yang sama: sampai usia saat ini, di tempat yang sekarang ini, aku masih berpuasa. Yang berubah: ayah telah tiada lagi, dan acara belanja baju baru bersama kakak perempuan dan ibu sudah sekian lama berlalu. Kini, sepuluh hari terakhir di bulan puasa punya makna yang berbeda. Salah satunya kualami pagi tadi: kemacetan yang luar biasa, sampai membuatku ingin bunuh diri di dalam metromini.

Kalau tak salah hitung, mungkin sudah 5 kali aku mengalami puasa di Jakarta. Dan, selalu begitu kejadiannya. Setiap memasuki sepuluh hari terakhir menjelang hari raya, seolah semua warga kota tumpah ke jalan, memenuhi berbagai pusat perbelanjaan dan keramaian. Cobalah mampir ke seputaran Blok M hari-hari ini, sumpah, kau tak akan bisa menggerakkan tubuhmu. Dari mana orang sebanyak itu? Di mana biasanya mereka berada, kenapa seolah-olah muncul hanya di hari-hari menjelang lebaran?

Sepuluh hari terakhir di bulan puasa memang ajaib. Kehidupan seperti berhenti bergerak, atau berjalan dengan cara yang sama sekali berbeda. Seorang teman dari kantor lamaku dulu menceritakan lewat yahoo messenger, bahwa di kantornya orang-orang sedang saweran mengumpulkan uang untuk diberikan kepada OB dan karyawan level terbawah lainnya. Aku jadi teringat ketika dulu masih ngator di sana. Ya, setelah kami dengan sumringah menerima THR, beberapa teman kami berinisiatif mengedarkan amplop coklat ukuran besar untuk mengumpulkan "sumbangan" bagi teman-teman kami yang gajinya barangkali jauh lebih rendah dibanding kami.

Entah kenapa, aku merasa begitu gembira mendengar bahwa tradisi itu masih bertahan di sana. Mungkin aku terlalu sentimentil karena sudah sangat terbiasa mendengar dan merasakan, bagaimana Jakarta telah mengubah sikap dan cara berpikir orang-orang yang hidup di dalamnya. Ah, ternyata memang benar. Ada yang tak pernah berubah di antara yang telah berubah. Aku tak pernah takut menghadapi keduanya karena aku percaya di situlah kita menemukan diri kita yang sesungguhnya.

Thursday, October 05, 2006

"Your Sexual Preference, Please!"

Seorang teman menulis di blog-nya begini: My asshole boss asked me when we were at a recess in a meeting, "What is your sexual preference?" There were about a dozen people in the meeting room. Arrrghhhh!!! Man! I thought, this boss is a real jerk!

Saya jadi teringat ketika Ucu Agustin meluncurkan novelnya, Being Ing dan kumpulan cerpen berjudul Dunia di Kepala Alice di ajang Q! Film Festival 2006 September lalu. Dalam acara yang disertai diskusi bertajuk "Homoseksualitas dalam Masyarakat Urban" itu, Ucu "ditembak" oleh seorang peserta, yang intinya, “Ayolah, Cu kalau lu emang lesbian inilah saatnya mengaku dan bergabung bersama kami”.

Si penembak, banyak yang tahu, tak lain Sonia, waria lulusan UGM yang menulis buku Jangan Lepas Jilbabku.

Dengan gayanya yang khas dan blak-blakan Ucu merespon, “Enak kali ya jadi lesbian, pengen sih…”

Saya sendiri, yang kebetulan memoderatori acara peluncuran dan diskusi itu tak luput dari "tembakan". Seorang teman lama yang hadir di acara itu, beberapa hari kemudian meng-SMS saya: Mu, aku akan mereview acara kemarin di blog-ku. Kalau aku sebut bahwa kamu gay, keberatan nggak?

Saya langsung berpikir, segampang itukah –seseorang langsung dikaitkan dengan preferensi seksual tertentu hanya karena dia berada atau terlibat dalam sebuah acara bertema homoseksual?

Saya tidak menganggap orang-orang seperti Sonia, atau teman lama saya itu, atau pun bos teman saya di awal tulisan ini sebagai orang-orang yang naïf. Saya mencoba memahami mereka sebagai bagian dari sesuatu yang sedang berubah di luar sana, mungkin dalam tatanan pergaulan sosial kita. Orang-orang sepertinya mulai mempertimbangkan kembali keberadaan orang di sekitarnya, sekaligus keberadaan mereka sendiri.

Ya, ya, semua orang sedang mendefinisikan dirinya kembali karena dunia tempat mereka hidup ternyata tak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Atau, dalam bahasa teman saya yang “marah” di blog-nya tadi, "Gue rasa, kita udah nggak bisa lagi ya hidup dalam azas don't ask don't tell”.

Wednesday, October 04, 2006

Masuk Surga Cara Orang Manja

Setahun sekali, setiap Bulan Puasa, gerai KFC, McDonald dan rumah-rumah makan di pinggir jalan lainnya, menutup dinding-dinding kaca mereka dengan tirai agar tak terlihat dari luar. Dari luar: dari orang-orang yang sedang berpuasa. Apa yang mereka lakukan itu, dalihnya, untuk menghormati kaum muslim yang sedang menjalankan ibadah suci yang merupakan rukun Islam yang ketiga. Waktu pertama kali melihat pemandangan seperti itu, pada tahun pertama tinggal di Jakarta, saya terlongong dan terheran-heran. Saya tidak pernah menjumpai hal yang sama di kota kelahiran saya, Solo. Setiap Bulan Puasa datang, yang telah saya lewati berpuluh tahun, segalanya berjalan sebagaimana biasa. Tak ada tempat makan, warung maupun restauran yang menutup kaca-kacanya dengan tirai.

Pemandangan –yang di mata saya tampak begitu ganjil itu- terus-menerus menjadi pemikiran saya. Dan, setiap tahun saya melihatnya lagi, dan lagi dan tetap tak habis mengerti. Bahkan kemudian saya juga mendengar, bahwa itu bukanlah “kesadaran” dari si pemilik rumah makan, melainkan anjuran dari pemerintah (daerah). Bahkan saya kemudian juga mendengar, di sebuah kota di Sumatera, tempat-tempat makan dilarang buka siang hari dan aparat melakukan razia dan menutup paksa yang melanggar. Saya melihatnya di televisi dua atau tiga tahun lalu.

Tahun ini, seorang teman yang menonton laporannya di televisi menceritakan, hal yang sama terjadi di sebuah kota di Jawa Timur, bahkan sampai ada peraturan daerah (perda) yang secara khusus dan resmi mengaturnya. Saya semakin tidak mengerti. Saya sudah berpuasa Ramadhan sejak duduk di bangku SD, dan sampai usia kepala tiga saat ini, masih terus menjalaninya dan tak pernah menganggap atau pun merasa bahwa warung adalah godaan bagi orang yang sedang puasa. Saya, --dan juga berjuta-juta orang Islam yang berpuasa, saya yakin—tak pernah ngiler melihat makanan di balik kaca rumah makan, atau melintas di depan dinding kaca gerai fast food yang di dalamnya sedang ada orang menggigit-nggigit ayam goreng krispi dicocol saos.

Saya tidak akan pernah mengerti, berpijak pada apa sebenarnya pihak-pihak yang merasa perlu dan harus menganjurkan, atau bahkan sampai membuat perda, agar tempat-tempat makan menutup dinding-dinding kacanya dengan tirai, atau bahkan menutupnya secara total di siang hari. Belajar Islam di manakah mereka? Siapa guru ngaji mereka? Jangan-jangan mereka sendirilah orang-orang yang tak tahan menghadapi godaan makanan saat berpuasa. Sedangkan berjuta-juta orang Islam yang lain menganggap bahwa makanan adalah hal paling remeh, paling kecil dan paling sepele sejauh bisa disangkutkan dengan godaan puasa. Apakah mereka tidak pernah membaca kitab yang mengajarkan bahwa puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan haus, melainkan –yang lebih berat dan penting—menahan seluruh hawa nafsu yang bersifat merusak kebersihan jiwa?

Saya sebenarnya sudah lama ingin tak peduli dengan semua itu –dengan anjuran dan aturan tentang mengormati orang berpuasa. Saya sendiri sudah berpuluh kali menjalani puasa dan tak ingin dihormati oleh siapa pun dengan cara apapun. Namun, semakin kuat ketakpedulian saya, semakin ingin rasanya berteriak setiap kali melihat warteg di dekat rumah atau gerai KFC di pinggir jalan yang saya lewati setiap berangkat kerja. Saya benci melihat betapa manja dan cemennya orang-orang beragama di kota Jakarta yang melihat makanan di Bulan Puasa saja ketakutan setengah mati sehingga tempat-tempat makan harus menutup diri. Mereka ingin menunjukkan keimanannya dengan berpuasa, tapi menolak godaan. Mereka seperti orang yang merayu Tuhan agar masuk surga tapi minta perlakuan istimewa untuk melindungi kelemahannya dalam beribadah.

Tuesday, October 03, 2006

The Devil Wears Prada

Akhirnya kesampaian juga nonton The Devil Wears Prada. Nonton film di Bulan Puasa –sambil nunggu waktu berbuka? Hmm…kedengarannya memang tidak lazim. Tapi, mau gimana lagi, dapat waktu luang untuk nontonnya baru Minggu (1/10/06) kemarin. Wah, kesannya sibuk banget ya sampai mau nonton film aja susah nyari waktunya. Ya, ya, hidup di Jakarta, apalagi di usia awal kepala tiga (ya ampun betapa tuanya!) memang harus begitu –maksudnya, harus tampak selalu punya kesibukan. Aku sibuk maka aku ada, begitulah kira-kira kalau mau meminjam logika Descartes.

Dan, inilah kesibukan di Blok M Plaza menjelang nonton siang itu. Di luar dugaan, mall agak sepi. Saya kira akan sangat ramai dan berjubel. Mungkin karena masih awal bulan puasa, sehingga belum banyak orang yang berburu baju lebaran. Karena datang “kepagian”, setelah membeli tiket saya berjalan-jalan keliling mall. Tujuan pertama: Hero, beli minuman untuk berjaga-jaga kalau sampai waktu berbuka film belum selesai. Saya akan menonton jam 16.00 dan sekarang masih jam 14.00.

Tapi, sebelum sampai di Hero, pacar saya teringat sesuatu ketika kami melintasi M Studio. Oh, ya sejak tadi saya belum bilang kalau pergi bersama pacar saya. Dia masih sangat muda, sehingga banyak teman sering meledek dengan mengatai saya pedofil. Ah, tentu saja mereka bercanda. Bahkan Michael Jakson pun saya rasa tak adil jika dibilang begitu. Sebab, saya rasa dia tak melakukan perundungan seksual seperti yang dituduhkan dan disebarluaskan media massa. Dia hanya bercinta dengan anak-anak itu.

Saya tidak bercinta dengan anak-anak, tapi remaja berusia 17 tahun. Dan dia pacar saya. Saya mencintai dia dan dia mencintai saya. Bagaimana membuat mereka mengerti?

Saya menunggu pacar saya mencetak beberapa foto dari HP-nya. Saya ikut memilih satu foto yang saya pikir bagus untuk dicetak. Foto dia yang saya ambil ketika kami nongkrong di J-Co Citos beberapa malam yang lalu. Empat lembar foto tercetak dan kami meninggalkan M Studio. Pacar saya menimang-nimang dan mengagumi fotonya sendiri. Dia memang narsis. Dia memberi saya selembar dan saya memasukkannya dalam dompet setelah menatapnya sejenak. Memang keren pacar saya. Saya bangga padanya.

Kami menyusuri koridor, menuruni tangga demi tangga dan masuk ke Hero, membeli tiga botol minuman. Teh hijau, teh aroma melati dan pepsi. Kembali ke lantai atas, kami sempat melihat-lihat baju di beberapa gerai. Dan ketika pacar saya melihat-lihat kalung di Naughty, saya tidak ikut masuk. Pacar saya tak jadi beli kalung. Tapi, waktu untuk nonton film masih lama. Saya lupa apa yang kami lakukan kemudian, tapi setengah empat kami naik ke lantai 6 dan duduk di sofa 21 sambil ngobrol.

Dan, film yang kami tunggu-tunggu pun dimulai.

Film dibuka dengan sebuah pagi yang sibuk: Andy Such mempersiapkan diri untuk memenuhi panggilan kerja sebagai asisten pemimpin redaksi Runaway, sebuah majalah fashion. Penampilannya yang cupu membuat ia disambut dengan tatapan aneh di kantor itu. Dan, ujung-ujungnya, ia dicueki oleh sang pemimpin redaksi, yang tak lain Miranda Priestley yang legendaris, dan dikenal sebagai bos yang kejam. Tapi, Andy sama sekali belum pernah mendengar apapun tentang Miranda. Tapi, di luar dugaan, ia justru diterima sebagai asisten barunya, mendampingi asisten lama, Emily. Bahkan, meskipun sempat hampir putus asa, Andy akhirnya berhasil mengambil hati sang bos. Dan, akhirnya menggantikan Emily mendampingi Miranda pergi ke Paris!

Kisah yang manis. Bukankah semua kisah tentang perempuan muda adalah kisah Cinderela, yang akhirnya menemukan sepatu kaca kebahagiaan hidupnya? Andy adalah cinderela yang akhirnya menemukan sukses tidak hanya dalam cinta tapi juga karir. Andy diperankan dengan bagus oleh Anna Hathaway yang sebelumnya bermain sebagai istri yang mendapati suaminya ternyata gay dalam film nominasi Oscar Brokeback Mountain. Dia sendiri juga dinominasikan sebagai aktris pendukung terbaik.

Tapi, yang paling mengejutkan dari Devil Wears Prada adalah Meryl Streep yang memerankan Miranda.

Saya sama sekali tak membayangkan bahwa Streep akan memerankannya seperti itu: angun, dingin dan menjaga suaranya selalu rendah dan lirih. Namun, karakter yang sama sekali jauh dari kata “devil” itu justru dengan sangat efektif membangun efek yang mengerikan dari seorang bos yang seolah datang dari neraka. Simak bagaimana Miranda memerintahkan Andy untuk mencarikan penerbangan alternatif, karena tak ada pesawat komersial yang mau terbang karena cuaca buruk. “Telpon Donatela, kontak semua perancang yang memiliki jet pribadi!” Simak juga bagaimana ia menyuruh Andy mencarikan manuskrip terbaru Harry Potter yang sedang akan diterbitkan, untuk anak kembarnya.

Devil bukanlah film yang istimewa, tapi film yang hampir pasti akan disukai siapapun yang menontonnya. Siapapun, maksudnya orang dewasa yang tahu apa dan siapa satu dari tiga kata dalam judul film ini: Prada.

Diangkat dari novel laris karya Lauren Weisberger, Devil konon diilhami sosok nyata pemimpin redaksi majalah Vogue, Anna Wintour. Dan karakter Andy Sach tak lain alter ego dari Weisberger sendiri. Tapi, siapa yang peduli juga? Yang jelas filmnya sangat menghibur. Nggak tahu deh bukunya, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan Gramedia dengan judul Bos Paling Kejam Sedunia. Soalnya, saya belum baca. Dan, habis nonton filmnya, kok jadi pengen beli dan baca bukunya.

Pacar saya juga sangat menikmati film itu. “Ih kereeen banget…” desisnya berkali-kali ketika kami berputar-putar di mall untuk mencari tempat berbuka puasa. Mall yang tadinya sepi, tiba-tiba begitu riuh dan semua tempat makan penuh.