pop | arts whatever

Tuesday, January 30, 2007

Egois

Seorang teman -ya, dia gay tentu saja- yang sudah lama tak bertemu bercerita bahwa ia baru saja putus dengan pacarnya. "Cuman sebulan," katanya dengan nada sedih. Sepanjang pertemanan saya dengannya, sudah tak terhitung kali ia ganti pasangan, dan ceritanya selalu sama, tak pernah bertahan lama. Hubungan pacarannya maksudnya, bukan hubungan badannya. Dan, cerita seperti itu cukup sering saya dengan dari teman saya yang lain. Yang paling tragis, sebelum cerita teman yang tadi, adalah cerita tentang putusnya hubungan dua temen saya yang sudah berencana mau menikah.

Mereka jadian bulan September, dan telah mengumumkan kepada "semua orang" bahwa Desember mereka akan melangsungkan pertunangan di Bali. Disusul, Februari-nya mereka akan merayakan resepsi pernikahan di sebuah tempat di Kemang. Waktu teman ini mengungkapkan rencananya itu, saya terganga saking takjubnya. Saya yakin kalau ada buah kelapa jatuh pastilah langsung masuk ke mulut saya. Dan, mungkin karena ketakjuban itu tadi, sampai-sampai setengah sadar -bukan setengah pingsan- saya nyeletuk, "Emang kalian yakin hubungan kalian akan bertahan sampai Desember atau bahkan Februari?"

Teman saya langsung terdiam, seperti ada tangan yang membekap mulutnya secara tiba-tiba dari belakang. Dan, saat itu pula saya langsung menyesali celetukan saya. Mendadak saya merasa sangat jahat telah mementahkan deretan rencana yang begitu indah itu dengan pertanyaan yang lancang dan kurang ajar. Saya sudah siap kalau teman saya itu terdiam karena tersinggung. Tapi, ternyata tidak. Dia akhirnya berkata setelah menarik nafas dalam-dalam, "Insya Allah, doakan saja."

Sebagai orang beriman, saya langsung menyahut, "Amin," dengan khusyuk. Habis itu saya langsung membayangkan betapa akan hebohnya kelak ketika hari yang direncanakan teman saya itu tiba. Naluri kewartawanan (alaaah!) saya langsung mencuat ke ubun-ubun, dan dalam hati saya berniat akan mendokumentasikan peristiwa besar itu dengan menuliskannya.

Dalam benak saya terbayang, pertunangan dan pernikahan teman saya itu akan menjadi perkawinan gay pertama yang dilangsungkan di Jakarta, yang kalau terendus media massa pasti akan menjadi berita yang memicu kontroversi besar-besaran. Saya tak sabar menunggu momen bersejarah itu. Saya pun dalam hati berdoa, agar hubungan teman saya itu bertahan setidaknya sampai akhir bulan Februari. Setelah itu, mereka boleh bubaran. Betapa jahatnya pikiran saya kala itu.

Maka, ketika awal bulan lalu saya mendengar gosip bahwa hubungan teman saya itu akhirnya "bubar jalan", sedikit-banyak saya merasa bersalah. Jangan-jangan doa saya kala itu ikut menyumbang putusnya hubungan mereka. Tapi, pikiran seperti itu tentu tidak cukup rasional. Saya jadi penasaran, mengapa mereka putus? Sebab, selama masa pacaran, saya sempat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa mesranya mereka. Hasrat keingintahuan saya yang meledak-ledak akhirnya reda ketika dalam sebuah kesempatan kumpul-kumpul, teman saya itu hadir dan memberikan klarifikasi seputar putusnya dia dengan kekasihnya.

Intinya, teman saya itu tidak tahan menghadapi sang pacar yang menurut dia "sangat drama". Bahkan, si pacar sempat melakukan usaha bunuh diri ketika dia mengungkapkan keinginannya untuk mengakhiri hubungan mereka. Seperti saat pertama kali mendengar cerita tentang rencana pertunangan mereka, kali ini pun saya kembali terganga, sampai teman di sebelah saya melemparkan sebutir kacang hingga saya tersedak dan tersadar. Luar biasa kisah cinta teman saya itu.

Pulang dari acara kumpul-kumpul itu, sepanjang perjalanan, saya tercenung dan terus menimbang-nimbang banyak hal yang sudah lama tercetak di benak saya. Bahwa, hubungan homoseksual itu tak pernah mengenal yang namanya cinta, apalagi yang diembel-embeli sejati. Yang ada cuman nafsu, atau paling banter kepentingan sesaat dalam berbagai bentuk dan variannya. Bahwa dalam keintiman antara dua lelaki itu tak ada ketulusan, apalagi kesetiaan, yang ada hanya bla bla bla, dan berderet "bahwa-bahwa" yang lain lagi, yang selalu saya dengar dalam berbagai pembicaraan tentang hubungan gay, sehingga seolah-olah telah menjadi hukum kebenaran yang harus diyakini.

Tiba-tiba saya jadi sedih. Mengapa sampai muncul asumsi-asumsi yang sekuat itu? Saya tidak akan dengan defensif menyangkal semua itu. Saya rasa, sebagian dari stigma-stigma -kalau boleh disebut begitu- itu memang ada benarnya. Tapi, "ada benarnya" bukan berarti sepenuhnya benar. Stigma -ya sudah untuk sementara kita gunakan saja istilah ini- seperti itu mungkin muncul dari pengalaman, yang kebetulan menunjukkan kencenderungan yang sama, sehingga kemudian dengan menyederhanakan banyak fakta lain, ditarik menjadi kesimpulan yang seolah berlaku umum.

Bagi saya, yang namanya cinta sejati (atau setengah-sejati), berikut prasyarat yang harus menyertainya (ketulusan, kesetiaan) bukanlah monopoli satu kaum tertentu, kelompok tertentu, orientasi seksual tertentu. Begitu pula dengan "nafsu", "kepentingan sesaat" dan hal-hal yang bersoasiasi buruk lainnya, juga bukan tipikal khas yang melekat pada satu komunitas tertentu. semuanya berjalin-berkelindan, mewarnai setiap hubungan (romantis) antarmanusia, baik hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Di samping, tentu saja, saya juga percaya bahwa masalahnya bukan mengikuti kebenaran tertentu dalam hubungan (pacaran), melainkan menemukan (bentuk) hubungan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kecenderungan sifat kita sebagai individu.

Maka, ketika teman yang saya ceritakan di awal tadi kemudian mengeluh, "Mantan-mantan gue selalu bilang gue egois", saya tak langsung buru-buru menyarankan dia untuk berubah. Saya juga tidak setuju ketika dia menyambung dengan, "Mungkin gue harus belajar nggak egois dulu baru gue pacaran." Yang mengherankan saya, mengapa seolah-olah hanya ada satu bentuk hubungan dalam dalam dunia homoseksual, yakni pacaran --dan, bahkan ada yang sampai memimpikan pernikahan? Mengapa persahabatan tidak pernah diperhitungkan sebagai bentuk yang juga signifikan dan bermakna --seperti pernah diangankan oleh Foucault?

...tidak harus dalam bentuk pasangan, tapi sebagai eksistensi, bagaimana kemungkinan para lelaki untuk bisa bersama-sama? Hidup bersama, saling berbagi waktu, makanan, ruangnya, waktu senggangnya, kesedihannya, pengetahuannya, rahasia-rahasianya?

Wednesday, January 24, 2007

Satu Malam Minggu dalam Hidup Seorang Lelaki Gay (dan Teman-teman Barunya) di Jakarta

Ketika Aray datang, mereka tampak sedang bersiap untuk meninggalkan lokasi. Tapi, ternyata tidak. Mereka hanya akan pindah ke Solaria. Sebagian ada yang belum makan. Aray mengikuti mereka. Jodi, Idam, Kinu dan...oh, banyak muka baru yang tak dia kenal. Aray sendiri memang belum lama kenal sama geng-nya Jodi, lewat salah seorang temannya. Semalam mereka --Aray, Jodi, Idam, Kinu-- nongkrong di Ohlala Djakarta Theater sampai jam 4 pagi.

Aray tak bosan bertemu dengan mereka lagi malam ini, karena mereka semua teman-teman baru yang menyenangkan. Tak rugi dia bela-belain jauh-jauh naik bis sendirian dari Cileduk untuk bergabung dengan mereka.

Baru jam 8. Food court PIM 2 ramainya minta ampun. Banyak sekali brondong yang modis dan lucu. Solaria juga penuh. Mbak-mbak pelayan menyarankan mereka untuk naik ke lantai dua. Tapi, sama saja, penuh. Mereka kembali ke bawah, dan setelah menunggu beberapa saat akhirnya mendapat tempat duduk juga. Setelah acara pesan-pesan makanan dan minuman selesai, Jodi mulai mengenal-ngenalkan Aray sama wajah-wajah baru yang ada di situ. Iwan, Ale, Toro. Juga Fidel dan Gogik.

Iwan teman sekampus Kinu. Ale dan Toro datang sama dia. Toro dari Bandung, dan sama dengan Idam, dia artis yang sedang merintis karir. Maksudnya, sejauh ini baru sebatas rajin ikut casting sana-sini dan kalaupun ada yang nyantol paling banter dapat peran-peran kecil pada dua dari 30 episdose. Ale dari Bandung juga, baru lulus SMU, tapi sekarang ngekos di Jakarta.

Fidel masih SMU dan Gogik terlihat sudah agak berumur. Mereka pasangan. Usai makan mereka terbagi dalam dua kelompok obrolan. Aray sangat tertarik dengan penampilan Fidel yang menurutnya sangat unik. "Lu kayak editor fashion majalah gaya hidup deh!" komentar dia.

Fidel langsung menjerit histeris, dan Gogik tertawa-tawa sambil melihat ke arah pasangannya. Lalu, ia menjelaskan bahwa Fidel memang bercita-cita jadi fashion journalist dan sedang nyari-nyari informasi tentang kampus yang membuka jurusan itu.

Aray jadi memperhatikan sosok Fidel lebih lekat. Kurus sekali. Mengenakan celana bahan hitam dengan pipa sempit dan kaos putih berleher V yang dilapis dengan kaos lengan panjang hitam berleher V pula tapi dengan potongan yang lebih rendah. Kalung manik-manik kecil warna hitam menggelayut di lehernya.

Tiba-tiba, Iwan dan rombongannya pamit untuk pulang lebih dulu karena mereka harus bersiap-siap untuk pergi ke Retro. Tak lupa, Iwan menawari, kalau ada yang mau gabung, nanti langsung ketemu di sana. Ia bilang ia punya jatah guest list banyak. Sebelum rombongan itu menghilang, perhatian Aray sempat tersita oleh sosok Ale yang mengenakan kaos putih yang menggantung di perutnya, sehingga tepian boxernya yang trendi kelihatan, dan dari balik boxer itu masih menyembul tepian celana dalam bermotif seragam tentara.

Gila, keren banget! Aray merutuk dalam hati. Wajahnya yang putih dan bibirnya yang merah membentuk komposisi yang di matanya begitu cantik, tapi penbawaannya secara keseluruhan tetap terkesan manly, agak-agak punk. Benar-benar penampakan yang menggoda. Sepeninggalan Iwan dkk, Fidel lansung melonjak kegirangan. "Yeee...kita clubbing!" sambil menggerak-ngerakkan tubuhnya dengan centil.

"Emang lu diajak? Lu kan masih di bawah umur, belum punya KTP," goda Aray. "Sembarangan!" balas yang digoda. Mereka masih duduk di Solaria sampai kira-kira setengah jam kemudian sebelum akhirnya berjalan-jalan mengitari lantai demi lantai PIM 2 yang masih ramai. Jodi menanyai anggota geng-nya, apa mereka yakin akan bergabung dengan geng Iwan ke Retro. Semua mengiyakan dengan penuh semangat, kecuali Kinu yang tampak ogah-ogahan karena mengaku sangat capek. Lalu, mereka bergosip tentang "dua brondong yang dibawa Iwan tadi". Dan, Aray baru tahu bahwa dirinya tak sendiri ketika mengangumi Ale. Toro memang tergolong cakep juga, secara dia artis. Tapi, Ale lebih eksotik, tidak seperti Toro yang standar dan cakepnya konvensional, sehingga agak membosankan.

Dan, Aray juga baru tahu bahwa Ale itu pacar Iwan! Ia langsung menjerit tak rela. Iwan tampangnya kayak mas-mas dan Ale --dengan sedikit melebih-lebihkan- mirip Junot. Tapi, kata Jodi, "Ya itu sih pengakuan Iwan, kita nggak tahu ya, Iwan kan gitu, suka speak-speak doang."

Entah kenapa Aray jadi sedikit terhibur dengan kata-kata Jodi. Jam 10 mereka bersiap meninggalkan PIM 2. Jodi menelpon Iwan untuk memastikan rencana ke Retro. Iwan menyuruh mereka ke Sarinah saja, dan dia akan menjemput mereka di sana. Mereka naik Kopaja 102 dari depan PIM 2 dan turun di depan Senayan City, lalu menyeberang dan berjalan ke depan Ratu Plaza. Tiba-tiba Iwan menelpon, memberi tahu bahwa teman-teman dia tidak jadi ke Retro, sehingga ia juga batal.

Fidel yang pertama kali langsung mengumpat. "Ih, bete deh, maksudnya apa sih Iwan itu, bilang aja deh kalau dia sebenarnya nggak punya gustlis, tapi temennya, uh, pake ngaku-ngaku, dasar sundal."

Jodi tertawa kecut dan kembali mengatakan, "Iwan mah udah biasa begitu, dibilangin, dia itu speak-sepak doang." Kinu langsung menyergah, meminta semua untuk melupakan rencana ke Retro, dan lebih baik nongkrong saja di Ohlala sarinah.

Mereka naik mikrolet yang biasa jalan malam. Di atas angkot, tiba-tiba terbetik ide untuk turun dulu di E.X sebelum ke Ohlala. "Masih kepagian," kata Jodi. Mereka turun di E.X, muter-muter sebentar, lalu menyapa teman mereka yang bekerja di Starbuck. Jodi mendapat secangkir hot chocolate untuk diminum rame-rame. Setelah bosan di E.X barulah mereka bergerak ke Sarinah, jalan kaki menyusuri trotoar Thamrin yang dingin dan lengang. Sebelum masuk Ohlala, mereka naik ke Djakarta Theater. Kinu dan Idam dandan dulu di toilet. Yang lain menunggu sambil mengecek harga baru tiket bioskop yang baru saja mengalami penurunan cukup drastis.

Setelah Idam dan Kinu kembali, mereka pun turun lagi, dan mendapati, seperti malam-malam minggi biasanya, Ohlala penuh sesak. Fidel berseru mengajak Idam dan Kinu foto-fotoan dengan HP. Jodi menelpon. Gogik merokok di luar. Aray memperhatikan Idam dan Kinu. Sejak kemarin dia suka sekali memperhatikan Idam yang mungil namun agak sedikit chubby. Malam ini dia mengenakan sweater ketat warna kuning yang ketika berada di toko pastilah dipajang di bagian rak perempuan. Kinu juga mengenakan sweater ketat, tapi lengan pendek, warna merah tua garis-garis horiontal hitam. Sedangkan Odi tamnpak lebih dewasa dibandingkan yang lain dengan kaos putih berkrah.

Tak lama kemudian, mereka mendapat tempat duduk, dan melanjutkan melewatkan sisa malam minggu dengan menikmati kopi, minuman ringan dan obrolan ngalor ngidul serta gosip-gosip dan saling bertukar cerita pengalaman pribadi. Gogik bertanya kepada Idam apakah selama ikut-ikut casting pernah mengalami perlakuan yang melecehkan, seperti banyak diceritakan di majalah-majalah. Idam bilang tidak pernah. Fidel memberi tahu Jodi tentang cowok di bangku lain yang "lucu banget". Kinu menerima telpon dari Iwan yang mengatakan akan menyusul ke Ohlala.

Sebagai anggota baru, Aray banyak ditanya mengenai pengalaman pribadinya. Idam yang katanya belum pernah "berhubungan seks sampai jauh", penasaran apakah Aray "melakukan" dan gimana rasanya. Aray bilang pernah, dan karena ia merasa dirinya agak chubby, maka ia suka lelaki berbadan besar agar bisa duduk di atas. "Gue kan women on top," katanya blak-blakan dengan gaya ngondeknya yang membuat semua tertawa.

Lalu Aray banyak memberi nasihat, dan Idam serta Kinu mendengarkan dengan serius. Jodi sibuk mendengarkan lagu-lagu dari HP, dan Fidel sibuk memindahkan foto-foto dari HP Idam yang tadi banyak merekam dirinya, ke HP-nya sendiri. Gogik pura-pura menikmati rokoknya padahal sebenarnya mencuri dengar obrolan yang berlangsung. Aray bilang, jangan pernah one night stand karena kau akan menyesal. Dia juga bilang, paling benci kalau dapat laki-laki yang mainnya singkat. "Masak baru tiga detik udah keluar, langsung aja aku pakai baju lagi dan pergi gitu aja."

Aray baru berumur 19 tahun, tapi wajahnya tampak seperti berumur 25 tahun. Jodi mahasiswa Jurusan Teknik Informatika tingkat skripsi, giginya berbehel dan wajahnya sebersih artis-arstis sinetron. Idam dan Kinu juga sepantaran dengan mereka, namun keduanya tampak masih sangat belia. Gogik menjuluki mereka berdua sebagai brondong abadi, dan mereka tampak senang disebut begitu.

Berkali Aray menyesali kenapa rokok yang dibawa Gogik bukan methol. Tapi, akhirnya ia tak tahan juga, dan mulai menyulut sebatang. Meskipun kemudian ia menyesal karena ia sebenarnya sedang berusaha berhenti merokok demi usaha perawatan wajahnya yang berjerawat. Ia juga sedang berusaha mati-matian menghilangkan lemak yang bersemayam di perut dan pinggulnya.

Aray mengaku, sejak SD sudah rajin membaca majalah-majalah fashion dan gaya hidup, dan sampai sekarang masih melakukannya. Ia sangat terobses dengan kontes-kontes kecantikan dan paling suka mengimajinasikan dirinya sebagai Putri Puerto Rico yang tampil di ajang Miss Universe. Mereka terus mengobrol di riuh orang-orang yang terus datang dan pergi. Di samping mereka tiba-tiba sudah ada serombongan lelaki-lelaki gay yang salah satu di antaranya mereka akrabi wajahnya sebagi pemilik salon bridal terkenal di Jakarta.

Lewat jam 12 Iwan, Ale, Toro muncul dan bergabung. Toro sudah mengganti celana panjangnya dengan celana tigaperempat. Sedangkan Ale dan Iwan masih dalam konstum yang sama. Tapi, rupanya tak ada yang respek dengan kehadiran mereka. Iwan berkali mengajak minum jus di Sabang tapi tak ada sambutan. Akhirnya, merasa kalau dirinya dicueki, Iwan pun tak lama kemudian pamit. Idam langsung membuka obrolan begitu mereka pergi.

"Ngapain sih mereka ke sini?"
"Ih Ale kok mau sih ama Iwan. Jelek gitu, kayak mas-mas..." Fidel memanaskan situasi
"Tapi, kan bawa mobil," sergah Aray.
"Alaaa...kijang aja!" Fidel ngotot
"Tenang aja, kata Mama Loren mereka nggak akan bertahan lama, paling seminggu juga bubaran," Idam menyambut.
"Abis itu, Ale kita perebutkan," sahut Aray.
"Kita jadiin arisan aja, jadi bisa giliran sapa yang dapet," timpal Kinu.
Jodi dan Gogik geleng-geleng kepala, dan semua tertawa-tawa.

Dan, satu malam minggu akan segera lewat bagi Aray, dan teman-teman barunya.

Monday, January 22, 2007

Dekonstruksi

Mantan Putri Indonesia Artika Sari Dewi, yang belum lama ini dinobatkan sebagai aktris terbaik Festival Film Asia Pasific, dikomentari "cantik sekali" oleh pelawak Thukul. Tentu itu hal biasa. Yang tidak biasa adalah pertanyaan susulannya, "Kenapa kamu nggak jadi kenek angkot aja?"

Thukul tidak sedang melawak bersama Srimulat. Ia sedang membawakan acara Empat Mata di Trans7 --perubahan nama dari TV7 setelah bergabung dengan Trans TV. Belum pernah acara talkshow televisi di Indonesia mendapat sambutan yang sedemikian luas layaknya Empat Mata. Sambutan luas yang saya maksud tercermin dari populernya idiom-idiom yang digunakan oleh Thukul di tengah-tengah masyarakat belakangan ini.

Dimana-mana orang mengatakan "kembali ke laptop", "puas? puas?", "ndeso kamu!" dan "katro!" yang selalu diucapkan Thukul selama membawakan acara (dari Senin-Kamis, pukul 10.00 wib). Ungkapan-ungkapan itulah yang kemudian menjadi daya tarik utama sekaligus nilai jual Empat Mata, di samping tentu saja spontanitas Thukul yang khas.

Tentang "Kembali ke laptop"
Dalam membawakan acaranya, Thukul dipandu dengan laptop. Tim acara tersebut menyusun daftar pertanyaan, lengkap dengan detail-detail petunjuk, kapan Thukul harus memanggil narasumber berikutnya dan seterusnya. Di sela-sela itu, Thukul mengembangkan interaksi dengan penonton yang ada di studio. Setiap jawaban narasumber ia komentari, dan setiap gemuruh tawa dan sorak-sorai penonton ia respon sehingga tercipta sebuah pertunjukan live yang hangat, akrab dan riuh. Dan, setiap selesai dengan interaksi spontan yang ngalor-ngidul itu, Thukul akan berkata, sambil memberi komando penonton untuk menirukan bersama-sama, "kembali ke laptop", sebelum ia membacakan pertanyaan berikutnya kepada narasumber. kepada narasumber.

Tentang "Puas? puas?"
Selain menjual "kebodohan" Thukul yang seolah-olah tak bisa ngapa-ngapain tanpa laptop itu, Empat Mata juga mengandalkan "keburukrupaan" fisik Thukul sebagai sumber eksplorasi bahan lelucon. Acara ini dimeriahkan oleh sebuah band pengiring, yang seolah-olah bermain di sebuah bar, lengkap dengan pelayan-pelayan yang cantik. Salah seorang personel band dan pelayan-pelayan itu dilibatkan secara aktif untuk sesekali mengeluarkan celetukan-celetukan yang mengejek, menghina dan mengomentari keburukan Thukul. Semua itu akan direspon oleh Thukul dengan mengakui bahwa dirinya memang jelek, dan kemudian dia akan lebih menegaskannya lagi dengan menyebutkan keburukan-keburukannya yang lain, sehingga penonton akan tertawa dan bersorak, dan Thukul pun berseru ke arah mereka, "Puas? puas?" dengan nada dan ekspresi ornag marah dan kesal.

Tentang "Ndeso kamu!"
Selama acara berlangsung, penonton dikondisikan untuk selalu merespon apapun yang dikatakan dan dilakukan Thukul, sehingga memungkinkan dia untuk memberi respon balik. Misalnya, Thukul memuji kecantikan narasumber, penonton akan bergemuruh, dan Thukul pun akan beralih ke arah penonton dan mengatakan, "Ndeso kamu, belum pernah liat orang cantik." Tak jarang celaan seperti itu seolah ditujukan kepada individu penonton tertentu yang dia tunjuk secara khusus. Kadang-kadang kata "ndeso" itu dia tujukan pada dirinya sendiri, misalnya ketika ia kesal karena dihina-hina sebagai orang jelek, lalu dengan sedih dan putus asa dia mengatakan, "Aku emang wong ndeso."

Tentang "Katro!"
Ketika menampilkan narasumber artis muda Dimas Beck, Thukul berlagak menanyai dengan Bahasa Inggris, tapi yang ditanya justru menjawab dengan Bahasa Jawa. Thukul tertawa geli dan seolah memberi tahu penonton dia berkata, "Cakep-cakep ternyata katro!"

Belum pernah terjadi sebelumnya, dalam sebuah talkshow televisi, narasumber dipermainkan, dihina dan direndahkan seperti terlihat dalam Empat Mata. Thukul tak segan-segan mencela narasumbernya, dan sebaliknya sang narasumber pun kadang membalas. Hal itu biasanya berawal dengan pertanyaan Thukul yang ngaco, seperti yang ia tujukan pada Artika tadi, dan dijawab oleh sang narasumber dengan sekenanya pula. Jawaban itu membuat Thukul marah dan mengomentari dengan nada mencela.

Apa yang disebut talkshow, yang selama ini bercitra angker, penting dan harus cerdas, dijungkirkan oleh Thukul menjadi acara yang sepenuhnya bercanda dan sepele. Artis-artis itu dihadirkan untuk ditanyai hal-hal yang remeh-temeh, main-main dan tidak serius. Sering pertanyaan yang diajukan justru lebih bertujuan untuk memuji dan menaikkan harkat pembawa acaranya sendiri, ketimbang dimaksudkan untuk memperoleh jawaban. Lewat pertanyaan-pernyataan yang diajukan, Thukul menempatkan dirinya sebagai sosok yang berada di atas narasumbernya. Dan, semua itu diungkapkan dengan konteks dan nada yang sepenuhnya bercanda.

Dengan terminologi yang seram, namun tak kalah bercanda, bisa dikatakan bahwa diam-diam Thukul sedang mendekonstruksi talkshow, sekaligus mendekonstruksi sebuah kalangan yang selama ini dengan penuh gegap-gempita dijuliki selebriti. Tampil di Empat Mata tidak membuat mereka tampak hebat -seperti ketika mereka tampil di acara talkshow lain pada umumnya, atau di infotainment- karena di sini tak ada kesempatan untuk, misalnya, mengklarifikasi gosip terbaru yang sedang merundung mereka. Sebaliknya, di Empat Mata mereka dihadirkan untuk dicela dan ditertawakan, oleh seorang pembawa acara yang dicitrakan sebagai orang bodoh yang bahkan tak berdaya tanpa laptop.

Sukses Empat Mata dari seminggu sekali di zaman TV7 hingga seminggu 4 kali setelah menjadi Trans7, dengan iklan yang makin berdesakan, tak pelak adalah kisah sukses Thukul sebagai pelawak. Televisi telah cukup banyak melahirkan pelawak-pelawak yang sukses tanpa grup: Ulfa, Komeng, Taufik Savalas. Tapi, Thukul agak berbeda dengan mereka. Pada awal kemunculannya, ia tak pernah benar-benar single fighter, tapi juga tak pernah benar-benar dianggap anggota grup tertentu. Di Srimulat, ia bukan anggota tetap yang selalu muncul. Ia mungkin lebih dikenal dalam kolaborasinya dengan individu-individu pelawak yang lain, atau dalam penampilannya di luar panggung lawak: model video klip, pembawa acara panggung dangdut, dan belakangan sinetron "illahi-illahian" (biasanya berperan sebagai orang miskin yang menderita tapi jujur, sehingga akhirnya mendapatkan harta dan hidup bahagia).

Sebagai pelawak, yang khas dari Thukul adalah gaya sok perlentenya, yang agaknya diadopsi dari seniornya di Srimulat, Triman. Thukul selalu tampil necis, sok ganteng, mengaku dirinya cover boy, memperkenalkan diri bernama Reynaldi yang diucapkan dengan artikulasi tertentu, atau setidaknya menganggap dirinya mirip Ari wibowo. Gaya ini terus-menerus diperlihatkannya dalam setiap kesempatan melawak, sehingga lama-lama melekat dan menjadi trade mark dirinya. Setiap ia muncul, penonton akan menunggu saat ia memperkenalkan dirinya sebagai Reyanaldi sambil mengelus rambutnya yang sudah klimis. Inilah resep lawakan tradisional yang terbukti ampuh: mengulang-ulang perkataan dan perilaku tertentu sampai melekat dan menjadi bagian tak terpisahkan darinya.

Gepeng, Asmuni, Timbul dan para pelawak Srimulat lainnya sukses dengan pendekatan seperti itu. Dari Asmuni, misalnya, kita mendapatkan idiom plesetan "hil yang mustahal", dan dari Timbul kita selalu menunggu saat ia mengucapkan "maka dari itu..." lalu terdiam lama, atau ucapan "makbedunduk". Penonton bukannya bosan tapi justru, ya itu tadi, menunggu kapan ungkapan itu keluar. Para pelawak modern di Ekstravaganza (acara panggung komedi yang sukses di Trans TV) sedikit-banyak menerapkan pendekatan itu, dan lahirlah karakter-karakter yang cukup kuat, seperti Tora Sudiro dan, terutama, Indra Birowo.

Thukul adalah kasus yang istimewa. Sebelum sukses di Empat Mata, ia telah memperkenalkan banyak idiom yang kemudian sangat populer di masyarakat, seperti "sobek-sobek mulutmu!" dan gaya bertepuk tangan dengan posisi dan gerak tangan vertikal. Ketika pertama kali menonton acara empat mata, sampai beberapa episode kemudian, saya agak sinis dan menganggap acara itu hanya mengeksploitasi kebodohan. Dan, sampai batas tertentu itu memang bisa dibenarkan sebab konsep acara itu sendiri memang sengaja memanfaatkan keawaman Thukul (sekaligus citra dirinya sebagai pelawak bodoh yang memiliki kemauan belajar tinggi).

Lama-kelamaan saya mulai berubah pikiran. Maksud saya, ada sesuatu yang lebih dari sekedar jualan kebodohan, yang bikin acara itu kemudian sukses besar. Yakni, kejujuran acara itu sendiri dalam melihat dan menempatkan dirinya. Dengan 'ndeso' dan 'katro' yang disengaja, Thukul selalu mewacanakan kesuksanan dirinya sebagai pelajaran bagi penonton. Di tengah acara ia sering berdiri menghadap penonton, memberi petuah agar orang selalu belajar, berusaha dan berpikir positif agar sukses seperti dirinya, lalu ia kembali ke kursinya dengan setengah terbungkuk-bungkuk dan langkah sepongah Raja Blambangan Minak Jinggo.

Thukul sadar benar dirinya tengah berada di atas dalam putaran roda kehidupan, dan berkali-kali celetukan dan komentar spontannya mengisyaratkan nasihat kepada dirinya sendiri agar tidak lupa diri. Dalam konteks dunia lawak tradisional, orang juga bisa membaca nasihat-nasihat Thukul itu sebagai otokritik bagi korps dan koleganya agar tidak mengulangi sejarah kelam yang diwarnai cerita-cerita penderitaan seorang pelawak di usia tua karena mereka biasanya "lupa diri" bila sedang sukses.

Secara konkret, dalam salah satu episodenya Thukul menampilkan narasumber orang-orang dari masa lalunya ketika ia masih miskin dan hidup senin-kemis di Jakarta. Antara lain mantan majikannya ketika ia menjadi sopir, dan Tony Q dari grup rege terkenal Rastafara. Tanpa malu-malu Thukul mengenang masa ketika untuk bisa makan saja ia harus menunggu Tony pulang dari mengamen. Begitulah, dengan kejujuran dan kepolosan yang luar biasa, Thukul menelanjangi dirinya sendiri, dan pada saat yang sama juga menelanjangi para selebriti untuk melepaskan dekor-dekor kemewahan dan segala mistik yang melekat pada diri mereka.

Artika Sari Dewi tak perlu berbasi-basi apalagi jaim, demikian pula Laudya Cyntia Bella, Melly, Pinkan Mambo, Rafi Ahmad hingga aktris paling kinyis-kinyis saat ini, Chelsea Olivia, dan semua narasumber yang pernah tampil di Empat Mata. Mereka semua memanggil "mas" kepada Thukul, dan memperlihatkan sikap yang menghormat dan salut atas kebeberhasilan dia membawakan acara Empat Mata. Kita bisa melihat semua selebriti tampak bangga dan bahagia tampil di acara itu, sekaligus, ini yang lebih penting, tampak lebih lepas, dan tak sungkan untuk menjadi dirinya sendiri.

Mereka tak perlu was-was, atau tegang, kalau-kalau ditanya mengenai sesuatu yang tak ingin mereka bicarakan. Sebab, di Empat Mata tak ada Farhan, Tika Panggabean, Indra Bekti, Indy Barents, Oki Lukman, Dorce, atau lebih-lebih Ulfa dan Eko Patrio, orang-orang yang dengan putus asa berusaha mati-matian membangun citra publik sebagai pembawa acara yang kritis, tajam dan cerdas, namun sebenarnya hanyalah orang-orang yang berisik dan membosankan.

Wednesday, January 17, 2007

Sosiologi Toilet

Beberapa teman-jalan-malam-minggu saya punya kebiasaan yang menyebalkan setiap kami janjian untuk ketemuan. Saya sudah menunggu agak lama -kalau saya yang datang duluan- eh, giliran dia datang, tidak langsung menemui saya, tapi melambaikan tangan dari jauh, memberi isyarat bahwa dia akan ke toilet dulu. Tujuannya: ngaca, merapikan rambut, dan kalau perlu cuci muka.

Gara-gara berteman dengan beberapa orang yang memiliki kebiasaan seperti itu, saya jadi paham mengapa toilet-toilet di mal-mal di Jakarta diberi label restroom. Atau, bahkan ada yang cuma "men's room"/"women's room". Artinya, fungsi toilet bukan sekedar untuk buang air, besar maupun kecil. Dalam bahasa yang lebih 'ngelmu', entah kita sadari atau tidak, toilet memiliki fungsi sosial yang cukup luas.

Saya jadi ingat toilet di sekolah saya dulu yang dinding-dindingnya penuh coretan. Ada gambar hari ditembus panah, ada nama-nama perempuan dan laki-laki dan ada pernyataan-pernyataan yang bersifat pribadi. Setiap membaca coretan-coretan itu, dulu, saya sering mikir, kok ya sempat-sempatnya orang yang melakukan itu. Apakah mereka memang niat dari awal, sehingga ketika hendak buang air menyiapkan pulpen/spidol di kantong?

Bertahun kemudian, setelah mendapat kuliah Pengantar Sosiologi, saya baru bisa mengatakan bahwa itulah salah satu fungsi sosial toilet umum. Termasuk toilet di sekolah. Bahkan, semasa kuliah itu, saya melihat toilet di kampus pun -yang penghuninya notabene orang-orang yang dicitrakan sebagai kelompok intelektual- tak luput dari grafiti konyol seperti itu.

Salah satu adegan dalam film Janji Joni karya Joko Anwar dengan sangat baik menggambarkan fungsi sosial lain dari toilet. Yakni, sebagai salah satu arena bagi berlangsungnya salah satu bentuk ikatan sosial: bergosip. Mungkin Anda sendiri melakukannya. Begitu keluar dari bioskop, Anda biasanya setengah berlari ke toilet dan di situlah, sambil berdiri di urinoir membuang air kencing, Anda membicarakan film yang baru saja Anda tonton dengan teman atau pasangan Anda.

Pada masa-masa awal saya meniti karir (ceileee!) kewartawanan di Jakarta, saya mendengar dari teman saya, seorang wartawan tabloid 'esek-esek' bahwa toilet di Blok M Plaza sering digunakan oleh cowok-cowok gay mencari mangsa. Mereka bahkan melakukan aksinya di situ, baik sekedar saling melihat penis atau lebih jauh lagi, seks oral. Belakangan saya tahu, saling melihat penis itu namanya "nyontek", dan melakukan hubungan seks kilat (apapun bentunya) itu namanya "cruising". Itu bahasa "slang" kaum gay Jakarta.

Dan, belakangan saya tahu lebih banyak lagi. Bahwa toilet umum (baca: di mall) merupakan titik penting bagi perjumpaan sosial kaum gay metropolitan. Ini bukan cerita yang sangat baru, meskipun juga bukan cerita lama. Yang jelas, ini cerita yang selalu menarik, bikin penasaran dan membuat sebagian orang 'ah-ih-ah-ih' karena jijik. Ah, tahukah Anda bahwa semua itu bagian dari budaya sebuah masyarakat yang terus berubah, sedang tumbuh dan akan terus tumbuh?

Pusat-pusat keramaian di Jakarta, dalam aneka bentuk dan sebutan, dari mall hingga town square, telah melahirkan komunitas-komunitas gay yang memang tak pernah henti mencari ruang-ruang sosialisasi. Toilet barangkali hanya bagian kecil, dan mungkin tahap awal, dari modus sosialisasi itu. Di toilet, kau tak perlu kenal siapa lelaki di sebelahmu, dan tanpa perlu saling menyebutkan nama terlebih dahulu, kau sudah langsung bisa melihat seberapa besar penisnya, apa warnanya dan sebagus apa bentuknya. Ini tentu gambaran ekstremnya.

Yang jelas, karena gay adalah sebuah orientasi seksual, maka sah saja bagi siapa pun yang menyimpan hasrat-hasrat seksual pada setiap perjumpaan yang sedang dicarinya. Orang bisa menyebut itu seks instan, atau petualangan, tapi setiap orang -saya percaya- cukup dewasa untuk tahu apa yang dilakukannya. Saya punya teman yang bahkan diajak ketemuan di mall pun ogah dengan alasan ini dan itu. Tapi, saya juga berteman baik dengan orang yang telah kecanduan "nyontek", bahkan "cruising" di toilet.

Dia, teman saya yang ini, hafal wajah orang-orang yang suka "main" di toilet Plaza Indonesia (dan E.X), Ada bule tua, dan ada juga brondong, katanya. Teman saya pernah mencoba hampir semua dari mereka, baik cuman "contek-contekan", atau sekedar pegang-pegangan sampai tegang, maupun oral. Di dalam toilet yang berdinding? Tidak, melainkan ya di depan deretan urinoir itu. Menurut dia, kalau di dalam toilet yang berdinding justru berisiko lebih besar karena kalau ketahuan mau lari ke mana?

Sedangkan, kalau di luar, maksudnya di depan urinoir yang terbuka, bisa mengantisipasi kalau sewaktu-waktu ada orang masuk. Begitu terdengar suara pintu dibuka, langsung berhenti dan pura-pura kencing lagi, katanya. Apa tidak takut kepergok satpam? Apa tidak begini? Apa tidak begitu? Kalau begini gimana? Kalau begitu gimana? Pertanyaan saya tak ada habisnya, tapi teman saya selalu punya jawaban yang membuat segalanya seolah-olah jadi begitu sederhana. Memang susah membayangkannya, tapi teman saya menceritakannya dengan wajah yang berseri-seri, menandakan bahwa ia sangat bahagia dan menikmati petualangannya itu.

Wednesday, January 10, 2007

Gila

Kapan tekahir Anda bertemu orang gila?

Keriuhan lalu lintas pertigaan Pasar Pondok Labu pagi itu terasa semakin chaos oleh teriakan seorang perempuan di satu sisi jalan. Ia terlihat mengalamatkan teriakannya itu dua lelaki berboncengan motor yang sedang lewat. Orang-orang pun mulai tersita perhatiannya, dan barangkali seperti saya, mereka langsung berpikir, ah, orang gila.
Saya terus memerhatikannya. Dia berbalik badan, menghampiri lapak koran, membeli Lampu Merah lalu. Sambil melangkah pelan ia membaca agak keras salah satu judul berita di halaman depan, seperti anak kecil yang sedang belajar mengeja kalimat kata per kata.

Ia menghampiri seorang perempuan muda berbusana kerja dan menanyakan sebuah kata dari judul berita yang baru saja diejanya. Yang ditanya tampak agak takut, menggeleng dan berusaha menghindari. Si gila berlalu, dan pindah ke lelaki muda bertubuh tinggi dan menanyakan kata yang sama. Reaksi yang didapat pun tak jauh beda. Saya segera menduga, si gila akan beralih ke saya, dan memang benar.

Tapi, ia tak benar-benar menginginkan jawabab dari pertanyaannya, terbukti sebelum pergi ia memencet hidung saya sedemikian rupa seolah-olah saya ini brondong imut yang menggemaskan. kebetulan hari itu saya mengenakan skinny jeans dan kaos agak ketat layaknya cowok-cowok belia yang hendak pergi ke pensi yang menampilkan The Upstairs. Padahal, oalah, kalau dia tahu berapa umur, dia pasti akan menyesal telah "memperlakukan saya dengan segemas itu".

Saya berusaha tak bereaksi berlebihan, kecuali spontan mengucapkan 'anjing', tanpa nada memaki. Sebelum berlalu, saya sempat mendengar si gila ngedumal, dan saya tiba-tiba memahami sesuatu. Rupanya dia telah kehilangan anak lelakinya, dan apa yang dilakukannya dengan memencet hidung saya tadi rupanya salah satu ekspresi untuk melampiaskan kerinduannya pada anak lelakinya yang dia bilang 'sudah nggak ada' itu.
Saya masih memperhatikannya sebelum ia benar-bnenar menjauh, dan kembali menyaksikan: perempuan itu mencolek anak lelaki yang berada di gendongan ayahnya. Lagi-lagi ia ngedumal panjang-pendek yang intinya menimang bocah kecil itu. Nadanya begitu iri, begitu rindu.

Sepanjang perjalanan (ke tempat kerja), saya tercenung-cenung memikirkan perempuan gila tadi. Penampilannya tak terlalu mencerminkan orang gila. Masih agak muda, badannya yang tergolong gemuk terbukung you can see dan lehernya berlilit kalung manik panjang yang mudah dijumpai di lapak-lapak Blok M.

Saya baru sadar, dia tadi memencet hidung saya begitu keras, sehingga sisa sakitnya masih terasa. Tapi, apa artinya rasa sakit ini dibandingkan dengan rasa kehilangan yang dialami perempuan itu? Berapa umur anaknya yang sudah tiada itu? Apakah anak itu hilang? Diculik orang? Meninggal? Seperti apa rasanya kehilangan anak yang dicintainya? Perempuan itu memang pantas gila, pikir saya. Ia punya alasan yang terlalu kuat untuk (menjadi) gila.

***

Dalam percakapan sehari-hari, orang gila sering dianggap sebagai orang yang menderita sakit jiwa. Saya kok sudah agak sejak lama ragu dengan anggapan atau teori seperti itu. Apalagi melihat kondisi Indonesia (alaaah!) yang makin ruwet belakangan ini. Menurut saya, orang-orang gila yang sering atau kadang kita jumpai di jalan itu belum se-sakit jiwa orang-orang yang selalu menjadi bahan berita di koran-koran dan TV. Untuk menjadi anggota DPR, ada yang bela-belain malsuin ijazah. Setelah jadi anggota DPR, eh ada yang merekam sendiri adegan seks yang dilakukannya dengan perempuan, dan kemudian beredar luas di masyarakat.

Apakah orang-orang seperti itu tidak lebih sakit jiwa ketimbang perempuan yang ngomong sendiri sepanjang jalan karena terpukul oleh rasa kehilangan yang besar dan tak tertanggungkan oleh jiwanya? Saya pasti nyinyir membandingkan orang gila di jalan dengan anggota DPR yang merekam sendiri adegan seks dengan pasangannya. Tapi, percayalah, di sekitar kita banyak sekali orang-orang yang lebih pantas disebut sakit jiwa ketimbang orang-orang yang kita pandang gila yang kita temui di jalanan.

Tidak seperti orang gila jalanan yang gembel, kumal, bau dan ngomong sendiri, orang-orang sakit jiwa di sekitar kita tampak begitu lumrah dan biasa saja. Penampilan mereka rapi, karirnya bagus, temannya banyak, wajahnya tampak selalu riang dan bahagia, pembawaannya ramah, baik hati, dan suka menolong. Pendek kata, kalau boleh meminjam terminologi yang biasa dipakai oleh orang beriman, mereka adalah hamba-hamba Allah yang paling diberkati hidupnya.

Tapi, tanpa sepengetahuan lingkaran pergaulannya, di rumah mereka menyiksa pembantunya. Di kantor suka menjegal rekan sekerja dengan cara memfitnah atau menjelek-jelekannya di depan bos. Hatinya sentosa kalau melihat temannya jatuh. Tertawa di saat temannya menderita dan puas kalau temannya mendapat kesulitan dalam hidupnya. Oh ya, ngomong-ngomong saya punya lho teman seperti ini.

Jangan salah. Dia teman yang sangat baik, hubungan kami sangat akrab dan kebersamaan dengannya merupakan saat-saat yang selalu menyenangkan, penuh inspirasi dan memperkaya wawasan serta memompa semangat hidup. Dengan kata lain, dia teman yang nyaris perfect. Tapi, ya itu tadi, teman seperti itu tidak menutup kemungkinan bahwa di balik semua yang tampak manis dan menyenangkan itu, dia ternyata dia seorang pengidap sakit jiwa kronis, yang tak jarang membuat saya repot dan jengel engkel engkel.

Teman saya itu bekerja di sebuah majalah, dan beberapa hari lalu dia mengirimi saya edisi terbaru ke alamat kantor. Sebelumnya dia sempat menelpon dan bertanya, Mu, kalau nanti di amplop gue tulis bahwa lu penulis masalah homoseksual, nggak papa kan? Dia memang suka bercanda, dan kadang saya malas menanggapinya. Saya kaget ketika kiriman majalah itu akhirnya datang, dan ternyata memang benar --setelah "Kepada: Mumu Aloha" ada tulisan dalam kurung "Penulis Masalah Homoseksual".

Saya tak habis pikir, apa sebenarnya maunya teman saya itu. Apa yang dia lakukan benar-benar bukan suatu kelaziman. Pernahkah Anda mengirim surat kepada teman atau siapapun dengan mengembel-embeli predikat atau profesi atau aktivitas yang bersangkutan? Buat apa coba? Saya anggap teman saya itu sudah keterluan karena dia hanya ingin agar orang sekantor saya (saya karyawan di situ) bahwa saya adalah orang yang dekat dengan dunia homoseksual.

Dia puas dan bahagia kalau saya kerepotan harus menjawab teman-teman saya yang mungkin gara-gara kiriman itu jadi bertanya, "Mas Mumu nulis soal homoseksual juga ya? Apa mas mumu gay juga?" Cukup sakit jiwa kan teman saya itu? Dan, itu bukan ulah pertama. Dulu, ketika masih berkantor di sebuah perusahaan dotcom terbesar, suatu hari saya melamar ke sebuah majalah gaya hidup.

Hari itu saya dipanggil untuk wawancara, dan sebagai salah satu yang terdekat, teman saya tadi termasuk orang pertama yang saya kasih tahu. Apa yang terjadi? Dia mengirim email ke sejumlah teman, intinya memberi kabar bahwa hari itu saya sedang wawancara kerja di sebuah majalah. Sejauh itu tentu tak ada masalah, dong. Ya, tentu, seandainya dia tidak men-cc email itu ke bos saya! Dampaknya memang tidak serius, misalnya saya dipecat karena ketahuan sedang mencari kerjaan di tempat lain. Saya cuma dipanggil, ditanya-tanyain, tapi itu sudah cukup merepotkan, dan sangat menjengkelkan, bukan?

Bentuk lain dari sakit jiwa-nya teman saya itu adalah terobsesi dengan citra diri (sebagai teman) yang baik. Ya, kira-kira begitulah, meskipun menurut saya pasti lebih kompleks daripada itu kalau ditilik dari teori psikologi. yang jelas, gara-gara obsesinya untuk dianggap baik itu, dia jadi sering pura-pura dan bohong. Misalnya begini. Suatu kali dia bercerita bahwa dia sedang mengerjakan penulisan buku biografi seorang tokoh terkenal. Berbulan-bulan setiap kami bertemu, dia selalu cerita soal itu, bagaimana suka dukanya, prosesnya, sudah sampai di mana bla bla bla.
Tapi, lama-lama ceritanya itu menguap tak tersisa, tak ada endingnya, dan ternyata dia memang tak sedang mengerjakan proyek apa-apa. Lagi: ia bercerita dapat dana penelitian yang besar dari sebuah funding, dan bingung mau digunakan untuk apa. Belakangan saya tahu, dia bohong. Dia juga selalu mengaku kenal si A si B, si C, ketemua si X di acara ini, berdiskusi seru dengan si Y tentang film anu, pernah pacaran dengan si Z bla bla bla. Tapi, semua itu hanya isapan jempol.

Modus lainnya lagi. Dia suka menawari saya untuk mewawancarai seseorang untuk majalahnya. Tapi, kalau saya sudah bilang iya, dia akan plintat-plintut, yang katanya si narasumber belum masih sibuklah, inilah-itulah. Dan, tawaran itu tak berlanjut sampai kemudian saya lihat si narasumber sudah nongkrong di majalah --dia sendiri yang mewawancarai. Saya tahu, dia hanya ingin tampak sebagai teman yang "suka bagi-bagi proyek sama teman", seolah-olah itu akan mengantarkannya memperoleh penghargaan dari Freedom Institute.

Jadi, kapan terakhir Anda bertemu orang gila?

Saya bahkan berteman baik dengan orang seperti itu, bertahun-tahun, sampai hari ini. Jangan-jangan Anda juga.

Monday, January 08, 2007

Bagaimana Mengetahui Seseorang (Bukan) Gay?

1. Lupakan semiotika. Kalau kau belum pernah membaca --atau bahkan mendengar namanya sekali pun-- Saussure maupun Barthes, juga jangan berkecil hati. Kajian budaya hanyalah jualan baru penerbit-penerbit asal Yogyakarta yang menerjemahkan tanpa membeli hak cipta. Di lapangan, kau hanya akan bertemu dengan orang-orang yang tak terlau susah untuk kau kenali sebagai cowok gay.

2. Tak terlalu susah itu artinya memang bisa agak susah atau tak gampang-gampang amat. Artinya lagi, kemungkinan untuk salah memang ada. Tapi, itu tidak buruk bukan? Toh, permainan mengenali gay ini bukanlah kuis yang jika kau salah kau akan kehilangan kesempatan untuk membawa pulang hadiah jutaan rupiah.

3. Tapi, mengapa harus mempelajari ciri-ciri cowok gay? Apa pentingnya? Pertama, ini untuk para cewek (terutama yang sedang nyari pacar atau selingkuhan):karena jumlah cowok gay semakin banyak, dan umumnya keren-keren, maka dengan mengenalinya kau akan terhindar dari salah-taksir. Kedua, ini untuk umum: dengan mengenali, kita akan semakin sadar akan keberadaan kita di tengah pergaulan sosial yang terus berubah. Ini agak-agak teoritis ya, tapi kira-kira begitulah. Dengan kata lain, percayalah, bab tentang cara mengenali gay merupakan pengetahuan praktis yang berguna bagi siapa pun dan akan semakin berguna dalam konteks dinamika kehidupan kota megapolitan serupa Jakarta.

4. Pernah dengar istilah homofobia kan? Nah, kalau kau orang seperti itu, kau akan menghindari tempat-tempat yang sering menjadi titik-ngumpul para cowok gay. Itu lebih baik bagimu ketimbang nanti kamu merasa terjebak, lalu mengumpat dan mencaci-maki. Dengan mengenali sejak dini, kau bisa sedini pula menghindari tempat-tempat yang akan membuatmu merasa "salah-masuk" atau tidak nyaman, seperti Blok M Plaza, Kafe Ohlala Djakarta Teater dan Pasar Festival. Pastilah yang lebih baik adalah, kau bukan seorang homofobia.

5. Ya, sebab, di era keterbukaan (duh, basi banget ya ungkapannya) seperti sekarang, makin tak ada tempat bagi orang-orang yang tak memiliki toleransi terhadap perbedaan, termasuk perbedaan orientasi seksual. Dengan kata lain, siapun pun dirimu, kau tak akan pernah bisa lari dari homoseksualitas. Cowok gay ada di mana-mana dan dan sekali lagi, kau hanya harus mengenalinya.

6. Caranya? Pernahkah kau mendengar ungkapan seperti: semua perancang busana (pasti) gay. Ini namanya stereotip. Orang biasanya menghindarinya karena dianggap terlalu menyederhanakan persoalan. Tips dari saya untuk mengenali gay, jangan takut menggunakan stereotip. Kau memang akan kedengeran dangkal, setidaknya pada awalnya, tapi percayalah, stereotip akan menuntunmu pada kebenaran sejati (alah!) karena separo dari stereotip itu benar, alias mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya.

7. Inilah beberapa stereotip terkini yang melekat pada cowok gay: jalan sendirian di mall; bersama rombongan yang semuanya cewek; pakai behel dengan warna ijo muda; mengenakan tas selempang; kaos ketat dobel-dobel; rambut ekstrem-funky; memakai kaos bertuliskan 'no ejaculation'; milih-milih baju di departmen store sambil nyanyi-nyayi lirih atau bersenandung menirukan lagu yang tengah diputar; jam setengah dua belas malam ada di halte Sarinah-Thamrin; kau cowok dan dia menoleh dua kali ke arahmu; setiap lima detik mengucapkan 'nek', 'cuepe dee' dan 'bok'; setiap mendengar kata 'manis' dia akan menyahut 'makasiiy!' sambil mengerjap-ngerjap centil.

8. Sampai di sini, mungkin kau heran dan bertanya: hanya karena mengenakan tas selempang seseorang bisa diidentifikasi sebagai gay -yang bener aja?! Sabar. Sekali lagi, jangan takut berpikir secara stereotip: jangan takut salah, tapi juga jangan takut benar. Toh, kau tidak akan mendatangi yang bersangkutan dan bertanya, lo gay? untuk mencocokkan dugaanmu benar atau salah. Permainan tebak-tebakan ini hanya untuk dinikmati dalam hati saja. Ingat: jangan takut salah, karena stereotip mengandung separo kebenaran.

9. Jadi, kalau mau disimpulkan atau ditarik rumus umumnya: seorang cowok gay bisa dikenali pertama kali dan terutama (cukup) lewat penampilannya. Cowok-cowok yang mengenakan kaos bergambar Iwan Fals, atau partai politik tertentu, atau bertuliskan nama toko besi, memakai jaket jins ala tukang ojek atau sepatu converse bajakan, hampir pasti bukan gay. Tapi, secara ironis, tak menutup kemungkinan bahwa mereka (juga) gay. Sekali lagi ingat, bila itu terjadi, itu ironi.

10. Tulisan ini hanya pengantar. Untuk konsultasi lebih lanjut, nomer HP saya 81585480...hehehehe.

Sunday, January 07, 2007

Antara Pondok Labu - Blok M

Ini 610 ya? Lelaki buta itu bertanya
Aku membenarkan dengan satu kata

Sepanjang perjalanan, ia terkantuk-kantuk
Kuurungkan niat untuk bertanya, mau ke mana?

Di tengah kemacetan ia terbangun. Sampai di mana?
Di bangku deretan belakang tinggal kami berdua

Aku menjawab dengan menyebut nama tempat
Ia mempererat genggamannya pada tongkat lipat

Lalu menggeser tubuhnya ke sisi jendela kaca
Metromini menerebos lampu merah dan membelok

Menyusuri Melawai, melintasi kedai kopi Amerika
Lelaki buta berdiri, tertatih menghampiri pintu

Tanpa bertanya lebih dulu kepadaku
Bagaimana ia tahu sudah sampai pada yang dituju?

Thursday, January 04, 2007

Beredar

"Lu beredar banget sih!"

Itu komentar pacar teman saya, ketika kami bertemu di Plaza EX suatu hari. Teman saya cowok, dan pacarnya cewek. Teman saya baru saja bercerita bahwa semalam ia juga bertemu saya di Sabang. Maka, keluarlah komentar itu tadi.

Jadi, kata 'beredar' yang terlontar dari pacar teman saya itu merujuk pada fakta bahwa, bahkan tengah malam pun, dan bukan malam Minggu pula, saya bisa dijumpai di Sabang. Seperti mendapat dorongan dari dalam yang otomatis, saya menangkis dengan memberi alasan, "O, semalem itu saya abis nonton, trus kelaperan, trus makan." Tentu saja nonton itu maksudnya nonton film, bukan nonton orang adu-jangkrik.

Begitu selesai dengan tangkisan itu, saya langsung terheran-heran dengan diri saya sendiri. Mengapa saya merasa perlu memberi klarifikasi atas komentar bahwa saya "beredar banget"? Seolah-olah, bawah sadar saya telah bekerja bahwa kata 'beredar' itu berkonotasi negatif. Sehingga, ketika saya dikatai seperti itu, saya buru-buru menjelaskan konteks ke-'beredar'-an saya agar orang lain tahu bahwa saya sebenarnya "tak seberedar itu". Atau, setidaknya orang harus tahu bahwa malam itu saya benar-benar hanya makan, dan bukan beredar.

Sejumlah kata dalam Bahasa Indonesia memang merepotkan. Ada kata tertentu yang mengalami perluasan atau pun penyempitan makna, menjadi identik dengan citra negatif. Misalnya, kata 'abege' yang awalnya digunakan untuk menunjuk kelompok usia remaja, belakangan jadi berkonotasi seksual bahkan mesum. Kata 'abege' menjadi terkait dengan pencitraan tertentu, misalnya remaja (perempuan) yang menjual diri di mal. Ah, ada-ada saja, masak diri kok dijual. Kalau pun bukan itu maknanya, maka 'abege' diartikan sekelompok remaja yang dangkal dan seragam.

Media massa sebagai intitusi penyebar informasi dalam masyakarat modern tentu memberi sumbangan penting bagi proses perluasan maupun penyempitan makna kata-kata tertentu sehingga menjadi konotatif semacam itu. Dalam "kasus" abege misalnya, media (cetak) selalu menulis dalam konteks komersialisasi seks remaja perempuan di mal.

Kata 'beredar' memang belum "resmi" menjadi kata yang digunakan dalam ragam tulis oleh media massa. Kata ini baru muncul dalam percakapan sehari-hari, dari mulut ke mulut (sebenarnya sih dari mulut ke telinga dulu baru kembali ke mulut lagi). Dulu, kata 'beredar' tentu melekat pada barang atau benda, misalnya narkoba, majalah, selebaran. Menilik konteks pemakaiannya, kata 'beradar' yang muncul belakangan ini lebih banyak mengacu pada makna 'gaul'. Atau, boleh dibilang kata beradar itu bahkan menggantikan, atau setidaknya menjadi sinonim, kata 'gaul'. Ini kira-kira sama dengan kata 'dugem' yang tak lama kemudian digantikan dengan kata 'klabing'

Jadi, kalau ada orang mengatakan, "Lu beredar banget", itu kurang-lebih sama artinya dengan "Lu gaul banget". Kalau kau muncul di mana-mana, hadir di berbagai party di klab-klab yang sedang happening, mudah ditemui di pusat-pusat nongkrong Jakarta...maka kau gaul. Dan, itu artinya kau beredar. Kau selalu ada di acara-acara yang dibicarakan orang dan diberitakan media massa. Kau selalu mengisi ruang-ruang publik kota. Kalau kau belum pernah ke Senayan City, maka kau tidak gaul, kau tidak beredar.

Dalam subkultur tertentu, misalnya kaum homoseks, kata 'gaul' atau 'beredar' ini memiliki makna khusus. Bahwa, hampir setiap orang gay pastilah seorang yang gaul, pastilah beredar. Atau, dalam bahasa kaum gay sendiri, 'menter' (kedua e dalam kata itu dibaca seperti pada kata pete, cabe). Yakni, kecenderungan untuk selalu "pasang badan", menampaki orang-orang di sekitarnya dengan kehadirannya, yang ditandai dengan mobilitas yang tinggi. Ini termasuk kosa kata yang relatif baru, atau setidaknya, lagi-lagi, juga merupakan pengganti kata sebelumnya yang pernah ada. Menurut saya, kata 'menter' ini menggantikan apa yang dulu populer disebut TP alias tebar pesona. Kadang diucapkan TTP, kadang TP-TP sesuka mulut yang mengucapkannya.

'Menter' telah menjadi salah satu stereotip yang melekat pada para lelaki gay. Layaknya semua bentuk stereotip, ini bisa memberi kesan negatif, walau pun tentu saja ada benarnya. Stereotip bisa menjebak, mengaburkan pemahaman, tapi dengan penggunaan yang proporsional, sebaliknya, bisa menjadi bahan awal untuk mempelajari sebelum memahami lebih lanjut. Atau, lebih enaknya saya bilang saja begini: meskipun tidak semua, tapi kebanyakan laki-laki gay adalah individu yang tak pernah betah diam di rumah. Mereka selalu ingin beredar di ruang-ruang publik, bisa sendirian, dengan pasangannya, bisa juga bergabung atau berkumpul dengan teman-temannya.

Kalau dia anak sekolah atau kuliahan, jarang ada cerita usai sekolah/kuliah langsung pulang. Kalau dia sudah gawe, rasanya tidak afdol kalau pulang kantor langsung ke rumah atau kos-kosan. Tak pernah ada kata capek. Selalu ada energi untuk menter ke mall, nongkrong di gerai kopi atau melihat-lihat koleksi terbaru di galeri kaset atau toko buku.

Suatu malam saya duduk di sebuah kedai kopi di Citos bersama, ehm, pacar saya. Tak lama kemudian, muncul satu rombongan kecil, yang dua orang di antaranya saya kenal -mereka mantan pasangan. Yang satu mahasiswa film di IKJ, dan satunya kuliah di UI. Mereka sama-sama cowok, tentunya. Setelah saling sapa, saya bertanya kepada si IKJ, cowok berbehel yang cantik, tinggi, ramping dan gemulai, "Dari mana?" Jawabannya mencengangkan saya. "Tadi dari kampus, trus ke Senayan City, trus ke PIM, trus ke sini deh." Benar-benar beredar banget!

Tuesday, January 02, 2007

(Masih dalam suasana Tahun Baru, inilah salah satu novel yang bisa dijadikan rujukan bahan renungan karena di dalamnya tersirat pemikiran tentang hakikat perjalanan waktu)


Biografi Kehilangan

Pastilah ada sesuatu di dunia ini yang lebih penting daripada kebenaran; ada sesuatu yang lebih penting ketimbang emosi; lebih penting ketimbang uang; lebih penting daripada hidup itu sendiri. Apakah sesuatu itu?

Beijing Doll (penerjemah Ferina Permatasari, Banana Publishing, Jakarta, 2006) adalah sebuah pencarian seorang remaja perempuan terhadap sesuatu yang barangkali tak pernah ada. Chun Sue, penulisnya, tak pelak, adalah seorang nihilis, dan ia belajar dari Nietzsche yang pernah berkata, lebih baik aku mencari yang tidak ada daripada tidak mencari sama sekali.

Diangkat dari buku hariannya, novel ini menjadi catatan semi autobiografis atas perjalanan hidup Sue dari usia 14 tahun, ketika pertama kali keperawanannya hilang hingga usia 18, ketika ia memutuskan keluar dari sekolah untuk selamanya. Dituturkan dengan terbata-bata dan melompat-lompat, buku ini menjadi hidup karena dinafasi dengan filsafat dan puisi. Dengan getir Sue mengidentifikasikan dirinya sebagai “bunga yang mekar pada pagi hari dan mati pada malam yang sama” dan menjalani hari-harinya dengan “berpegang pada konsep yang eksistensial bahwa hidup adalah melakoni derita.”

Sue menyadari bahwa sifatnya yang sangat introvert membuatnya susah mengekspresikan diri. Bahkan ia merasa susah bersosialisasi. Begitu sepi, katanya. Tapi, itulah hidup. Pernyataan-pernyataan sederhana, pendek namun muram dan menusuk seperti ini bertebaran di sepanjang buku setebal 292 halaman ini dan membuat kita berkali-kali tak percaya bahwa itu ditulis oleh remaja 17 tahun. Rasa kesepian yang mencekam di usia yang begitu muda itu membuat segalanya terasa asing, dan pada akhirnya menjatuhkan Sue ke dalam sikap yang serba sinis terhadap kehidupan.

Baginya, menjadi remaja adalah “terperosok” dan membuatnya murung dan sensitif. Tak ada yang indah karena, kapan pun aku sedang menikmati hidup bayarannya pasti mahal. Jadi, satu-satunya jalan untuk menghindari penderitaan adalah menjauhkan diri dari hal yang menyenangkan dalam hidup. Meskipun, itu berarti harus menangis karena, aku akan pergi berkencan dan tidak punya baju baru dan tak punya sepatu yang pantas. Aku menangis karena gitar elektrik harganya di luar kemampuan kantongku.

Di tangan remaja 17 tahun ini, pemberontakan menjadi tema yang jauh lebih kompleks, lebih urban. Yang harus dilawan bukan hanya represi politik atau tatanan sosial, tapi juga kemiskinan yang menjengkelkan, dan individu-individu dengan idealisme palsu: sok beridentitas proletar tapi mental borjuis. Tak heran jika kemudian ia merasa satu gerbong dengan setiap orang yang mencemooh kehidupan, yang memandang kehidupan seperti gundukan tahi, yang merasa bahwa hidup tidak punya arti dan tidak menawarkan apapun selain penderitaan berkepanjangan. Baginya, seperti itulah “orang yang berpikiran tajam.”

***

Jika mau ditarik keluar, untuk tujuan pelabelan, bisa saja dikatakan dengan gagah bahwa Sue mewakili suara sebuah generasi baru yang sebaru-barunya (tepatnya yang lahir pada era 1980-an). Dan, jika klaim itu bisa dipegang, maka apa yang disuarakan Sue lewat novel ini pada dasarnya tiada beda dengan remaja lain yang kerap menulis tentang perasaan disalahpahami, tak dihargai dan kebosanan. Yang membedakannya secara telak adalah kejujurannya yang luar biasa dan kepolosannya yang bening.

Ketika umumnya remaja seusianya menulis tentang gadis cantik-agak-tolol yang jatuh cinta pada anak teman papanya yang baru kembali dari sekolah di Paris, Sue menulis tentang darah di sprei yang menandai hilangnya kegadisan di usia 14 tahun. Dan, cewek itu bukan siapa-siapa melainkan dirinya sendiri.

Bagi kebanyakan pembaca dewasa, novel ini barangkali hanya akan tampak tak lebih dari gerutuan seorang remaja narsis-liar: Meninggalkan sekolah dan lebih memilih untuk nongkrong dengan anak-anak band jalanan, lalu ML (berhubungan seks) dengan mereka. Namun, tidak mungkinkah kita menemukan “kebenaran” dalam sebuah gerutuan dan caci-maki kemarahan?

Boleh jadi novel ini sebenarnya tidak mewakili siapa pun dan generasi mana pun, seperti dilabelkan oleh penerbitnya maupun sementara kritikus. Lupakan pula fakta-fakta tentang kontroversi yang berujung pelarangannya di negeri asalnya, China. Tanpa embel-embel apapun, karya ini bagi saya telah mendekati sebuah memoar yang jernih tentang masa muda yang hilang, karena mungkin memang tak pernah ada, karena tidak ada perbedaan yang dapat dilihat antara detik yang baru saja berlalu dengan detik yang segera bakal datang.

Sama

Di mana kau melewatkan malam tahun baru? Dalam acara apa? Dengan siapa?

Tak seorang pun ingin sendirian pada malam tahun baru. Tak seorang pun ingin diam dan tak berada di mana-mana pada malam menjelang pergantian tahun.

Teman saya punya tamsil yang sangat bagus. Orang-orang mempersiapkan perayaan malam tahun baru "kayak ibu-ibu pejabat bingung dengan arisannya". Dasar teman saya itu gay (pastinya!), jadi bikin perumpaan saja memakai personifikasi ibu-ibu pejabat. Sebagian cowok gay memang suka mengindentifikasikan diri mereka sebagai perempuan, dan entah kenapa, banyak di antara mereka yang memilih ibu-ibu pejabat sebagai role model. Menurut saya, ibu-ibu pejabat (maksudnya tentu saja para istri pejabat yang sudah 'ibu-ibu', dan bukannya ibu dari pejabat alias perempuan yang melahirkan pejabat) adalah protret paling karikatural dari kehendak manusia untuk berkuasa. Para istri pejabat itu, lebih-lebih di zaman Orba Baru, sering bersikap dan bertingkah jauh lebih berkuasa ketimbang suami mereka.

Dalam perkiraan saya, mengindetifikasikan diri dengan sosok ibu-ibu pejabat merupakan bagian dari kreativitas cowok-cowok gay yang memang cenderung selalu ingin melucu, sambil menertawakan dirinya sendiri berikut lingkungan sosial yang tak pernah kalis dari pretensi, arogansi dan hipokrisi yang memuakkan. Waduh, saya sendiri rupanya sedang berpretensi menjadi antropolog atau sosiolog UI yang kerap tampil sebagai komentator sosial dengan analisis-analisis yang kadang lebih glamor ketimbang realitasnya sendiri hihihi. Saya memang memuakkan. Jadi, lupakan saja analisis saya yang sok itu. Mendingan kita kembali ke laptop-nya Thukul, eh maksudnya, kembali ke teman saya tadi.

Saya kagum dengan kata 'bingung' yang dia gunakan, yang menurut saya pas sekali melukiskan keadaan orang-orang kota berkenaan dengan perayaan tahun baru. Kata dia, "Mo pada senang-senang aja bingung." Dan, saya seolah disadarkan, iya ya kenapa setiap tahun baru tiba, orang-orang -termasuk saya tentunya- menyambutnya dengan kebingungan.

Beberapa hari sebelumnya saya sudah tanya sana-sini, tahun baruan ke mana? Salah seorang teman sudah punya acara: ia ambil cuti untuk pergi ke Yogya. Teman yang lain, seorang penulis skenario film yang sukses, mengajak saya ke kampung halaman saya sendiri, Solo. Gubrak, tiba-tiba saya jadi rindu pulang, tapi sesaat kemudian jadi sedih, karena saya tak ada rencana mudik berkenaan dengan libur tahun baru. Untunglah, kemudian teman-teman dari "genk ohlala" (kami biasa nongkrong sepanjang malam minggu di Kafe Ohlala, Djakarta Theater) mengajak saya gabung untuk melewatkan malam tahun baru bersama mereka. "Kita bakar-bakaran," kata Odi, yang akan menjadi tuan rumah. Saya heran, mengapa perayaan tahun baru, terutama yang digelar secara private dan bukannya di hotel-hotel, identik dengan acara bakar-bakaran?

Ketika siang hari menjelang malam tahun baru saya menemani Odi belanja di Pasar Minggu, para pedagang menawari kami dengan kata-kata, "Mari, Mas...beli, Mas buat bakar-bakaran malam tahun baru."

Di lingkungan tempat tinggal saya, di kampung Karang Tengah, Lebak Bulus, tetangga-tetangga juga punya tradisi bakar-bakaran di malam tahun baru. Tentu yang dimaksud adalah bakar ikan, bakar daging, bakar jagung...dan bukannya bakar rumah. Dan, karena kebetulan malam tahun baru kali ini bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, maka acara bakar-bakaran memperoleh konkretisasinya: semua orang punya bahan untuk dibakar, dan kita saksikan, di mana-mana orang-orang merayakan malam tahun baru dengan bakar kambing. Ditambah, tentu saja, bakar petasan dan kembang api bagi yang suka, tepat pada pukul 00.00.

Di rumah Odi di Jalan Jerut Purut, Cilandak, menjelang pukul 00.00, kami bersepuluh menghadapi aneka masakan yang kami buat sejak sore. Semur kentang dan daging sapi buatan Odi, tumis buncis dan jagung muda buatan saya, soto ceker ayam buatan kami berdua, dan dua ekor ayam yang kami bakar rame-rame. Tapi, karena saya dan Odi merebusnya kelamaan, ketika dibakar ayamnya berantakan, sampai tulang-tulangnya lepas dari dagingnya ketika kami bolak-balik. Tapi, soal rasa jangan ditanya. Pakar kuliner Bondan Winarno pasti akan berkomentar: empuk sekali, bumbunya meresap sampai ke dalam. Kami juga membakar daging kambing (yang ini daging kurban yang dibawa salah satu di antara kami), serasa sedang membuat stik sirloin, tapi ketika dimakan keras sekali.

Seorang di antara kami berdoa lama sekali, memanjatkan harapan-harapan untuk tahun yang baru. Beberapa yang lain saling memberi ucapan selamat tahun baru sambil cium pipi kiri dan kanan. Saya tak mau banyak basai-basi dan langsung menciduk nasi. Jarum jam pun menggenapi detaknya untuk mencapai angka 12. Kami bersorak-sorai tanpa tiupan terompet. Di luar, anak-anak kampung menyalakan petasan dan kembang api. Beberapa di antara kami berlarian ke teras, menyaksikan bunga-bunga api meluncur menerangi udara yang gelap. Sesaat kemudian kami kembali ke piring-piring kami, melanjutkan santapan masing-masing sambil terus bercanda-canda.

Saya merasa bahagia bahwa pada malam tahun baru tahun ini, saya berada di antara orang-orang yang dalam satu-dua tahun belakangan merupakan teman-teman terdekat saya. Tapi, setelah acara makan selesai, dan kami terduduk kekenyangan -dan kecapekan- di depan televisi, saya merasa dunia mendadak kembali sunyi. Malam pergantian tahun yang selalu kita persiapan dengan penuh kebingungan, ternyata lewat begitu cepat, sebelum akhirnya kita dapati diri kita masih berada di tempat yang sama, dengan rasa kesepian yang tak berkurang sedikit jua.