pop | arts whatever

Thursday, March 29, 2007

Yang Resah dan Yang Romantis: Subkultur Remaja di Jakarta

Situasi yang tak bisa saya jelaskan di sini, menyemplungkan saya dalam sebuah pensi. Ini dunia kaum remaja yang tak pernah diperhitungkan oleh para pengkaji budaya. Remaja, selama ini, hilang dari halaman media massa; atau, hadir sesekali sebagai berita buruk: tawuran, ebege jual diri di mall dan catatan-catatan lain tentang "sebuah kalangan yang dangkal dan seragam." Memang susah melihat sekeping koin dari dua sisi sekaligus. Satu sisi pasti lebih terlihat dari yang lain, atau kadang-kadang satu sisi menutupi sisi yang lain. Pensi-pensi itu biasanya memang terkurung di balik dinding stadion, atau lingkungan sekolahan. Ada juga sih yang digelar di lapangan terbuka tapi koran hanya memberitakan kalau ada kejadian rusuh, huru-hara dan lempar-lemparan molotov. Ah, bagaimana membuat mereka mengerti bahwa remaja-remaja itu adalah anak-anak yang manis, yang datang hanya untuk musik, seperti selalu diteriakkan Jimmy, vokalis The Upstairs dari atas panggung, "Kita datang hanya untuk musik, My friend!."

The Usptairs adalah band (indie) yang tergolong paling laris diminta tampil di pensi. Malam itu mereka tampil dan saya berada di tengah-tengah para modern darling --sebutan untuk penggemar The Upstairs-- yang berpenampilan unik. Mereka berdansa resah --sebutan untuk goyangan tubuh para modern darling ketika mendengarkan lagu-lagu band pujaan mereka. Atau, dalam istilah Utha Likumahua pada 1980-an: dansa suka-suka. Tapi, dari segi musikalitas, The Upstairs mengusung harmonisasi yang lebih jadul dari itu, yakni 70-an. Jimmy meniru habis Rolling Stone dan para penggemarnya barangkali tidak tahu-menahu bahwa idola mereka berkiblat pada seorang musisi veteran berbibir dower yang sekarang sudah sangat tuwir. Belakangan, ikon lidah menjulur lambang Rolling Sote kembali ngetren, tercetak di kaos-kaos, termasuk yang berharga 15 ribu yang dijajakan di Blok M bawah tanah.

Musik memang tak pernah lepas dari fashion, dan gaya-gaya tertentu, seperti tarian. Bagi Jimmy, remaja adalah masa yang paling bergejolak, meresahkan sehingga perlu dilampiaskan dengan sebuah pembebasan dalam bentuk dansa, dan mereka menamakannya dansa resah. Salah satu lirik mereka berbunyi, "bebaskan kami, kami frustrasi". Tapi, ketika menirukan lirik tersebut, sambil berjoget, wajah-wajah para modern darling yang memenuhi Istora Senayan malam itu jauh dari ekspresi frustrasi. Jelas mereka anak-anak sebenarnya tak pernah menghadapi problema hidup, bahkan yang paling sepele sekalipun. Berbeda dengan puluhan anak-anak lain sebaya mereka yang tak mampu membayar Rp 33 ribu untuk tiket masuk sehingga hanya bergerombol di luar. Untuk pensi-pensi yang digelar di lapangan, golongan ini biasanya "menunggu pagar jebol" agar bisa masuk gratis, tapi pensi gelaran SMU Labschool Rawangun yang bertitel Labs Project in Evolution itu (17/3/07) itu tak akan pernah memberi kesempatan itu. Sebelum acara bubar, ketika DJ Riri beraksi sebagai penutup, saya keluar dan masih menyaksikan anak-anak itu berdiri di depan pintu pagar, yang dibiarkan terbuka tapi dijaga tentara. Mereka berpenampilan sama dengan anak-anak yang ada di dalam Istora, tapi orang mudah sekali mengenali kelas sosial mereka. Sembah sujud untuk Marx yang maha benar dengan teori kelasnya, yang berlaku juga untuk kehidupan sosial para remaja.

Tapi, mungkin terlalu nyinyir kalau soal kelas tersebut dimasukan dalam pembicaraan tentang subkultur remaja. Pada kenyataannya, meskipun tak bisa dihapuskan, jurang perbedaan itu tersamarkan oleh penyeragaman penampilan. Para modern darling mengenakan celana katun motif kotak-kotak warna gelap, atau polos warna ngejreng, dipadu dengan kemeja lengan panjang yang membungkus tubuh dengan ketat. Kacamata berbingkai plastik warna putih tak pernah ketinggalan. Kostum kebesaran seperti itu bisa didapat dari hunting di Pasar Senen, tapi bisa juga dari distro-distro di sepanjang Tebet Utara. Dalam pensi, semua lebur di bawah siraman lampu panggung dan keringat dingin, membaur dalam kolektivitas gerak. Mereka berdansa dengan memutar-mutar kedua lengan ke segala arah, merendahkan badannya dengan menekuk lutut dan menggoyang-goyangkan kepala. Ada yang membentuk lingkaran-lingkaran kecil, tapi ada yang benar-benar asik sendiri. Di sinilah ambiguitas yang ajaib dari musik The Upstairs diuji: lagu-lagu mereka bisa mewadahi aspirasi kebersamaan dan individualisme sekaligus.

Pada bagian atas tribun, beberapa cowok berderet menari bersama sambil membuka bajunya. Sebuah pemandangan yang cukup mencolok di atara mereka adalah seorang remaja bertelanjang dada namun mengikatkan suspender di tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan topi koboi. Ketika penampil berikutnya muncul, yakni Club Eighties, cowok-cowok tanpa baju tadi melepas celana pipa sempit mereka dan hanya menyisakan boxer pink, seolah mereka adalah remaja-remaja 80-an ala Si Boy, yang alim sekaligus nakal. Agak sulit, tentu saja, menarik kesimpulan tentang misalnya identitas seksual mereka berdasarkan ketelanjangan di arena pensi. Namun, setidaknya inilah satu sisi potret subkultur remaja di Jakarta yang unik. Saya menemukan keasikan dari menonton para penonton itu, karena selalu ada yang "baru" dari sudut-sudut yang berbeda. Di deretan remaja-remaja yang duduk rapi di bangku tribun, terdapat empat cowok berkaos hitam. Dua orang di antara mereka menarik perhatian karena: yang satu membawa boneka robot yang bisa menyala dan yang satunya meskipun berkaos gambar tengkorak, tapi di tas selempangnya bergelayut boneka mungil nan lucu!

Ketika Club Eighties menyanyikan lagu andalan mereka, Dari Hati --salah satu lagu terindah yang pernah diciptakan musisi Indonesia-- penonton yang beberapa saat sebelumnya berdansa resah itu, berdiri kaku, khitmad dan dengan penuh perasaan ikut menyanyi. Termasuk, empat cowok berkaos metal itu --salah satu dari mereka mengacung-acungkan robotnya yang menyala sambil bersenandung: kuingin kau menjadi milikku walau bagaiaman caranya lihatlah mataku untuk memintamu...Bagi saya tak ada adegan dari film atau sinetron apapun yang tingkat keromantisannya melebihi pemandangan itu.

Pensi menjadi area bertemunya sebuah subjek yang tak lagi hanya bisa dimaknai sebagai sebuah kategori umur psikologis, melainkan juga kecenderungan-kecenrungan yang lebih politis. Yang resah dan yang romantis adalah satu kesatuan: mereka menyukai band-band yang sama, cita rasa dan selera mereka pada fashion juga tak jauh beda. Mereka mengenakan kaos metal karena salah satu band yang tampil bernama Siksa Kubur, tapi mereka juga melengkapi diri dengan boneka dan aksesori lain karena mereka adalah para modern darling, yang juga menyimpan histeria pada Desta dkk.

Tuesday, March 27, 2007

Blitz

Tentang apa warga kota saling berkabar dalam sepekan ini? Ke mana mereka berbondong-bondong sejak menjelang akhir pekan lalu? Apa yang paling update, heboh dan happening di Jakarta saat ini?

Sebagai anggota barisan depan komunitas anak gaul Jakarta yang tak rela ketinggalan momen sedikit pun, sebagai penikmat sejati kapitalisme hiburan, sebagai orang yang selalu ingin dikomentari (dipuji?) sebagai "beredar banget", malam Minggu (24/3/07) lalu saya dengan penuh semangat meluangkan waktu, meniatkan secara khusus dan menyempatkan diri untuk "meninjau" Blitz.

Saya, sudah barang tentu, tergoda dengan informasi yang menyebar lewat Yahoo Massenger (YM) berikut ini:

Bioskop BARU Lebih SERU !! ...with 11 screens, smoking lounge, food lounge, party room, music dowload, and cool bathroom !! - Be there today and get .." BELI SATU GRATIS SATU" ..hanya hari ini di BLITZ Megaplex Grand Indonesia Lantai 8 ..(masuk lewat depan apartemen Ascott) ... !!

Belakangan, saya baru tahu, iklannya juga dimuat di Kompas.

Kami berempat, bergerak dari Plaza Indonesia. Ketika memasuki areal Grand Indonesia, yang belum seratus persen jadi itu, saya sempat berseloroh, "Ntar kalau pas nonton film kejatuhan batu bata gimana!"

Sampai di areal parkir, saya terbengong-bengong. Baru Blitz saja yang buka, orang yang datang sudah penuh sesak begini, apalagi nanti kalau sudah buka buka semuanya. Kesimpulan "penuh sesak" itu tercermin dari berjubelnya mobil yang parkir. Sampai di dalam, di lantai 8, bayangan saya tentang "penuh sesak" itu semakin nyata. Orang-orang mengantri berderet-deret, tidak hanya di depan meja tiket, tapi juga di depan konter makanan dan minuman.

Orang-orang juga berjubel di berbagai sudut, ramai sekali, dan banyak yang kebingunan mau nonton film apa atau yang mana. Ada 11 studio --3 memutar film Hollywood dan selebihnya film-film dari belahan lain bumi ini. Dalam masa perkenalan ini, kebanyakan film non-Hollywood yang diputar berasal dari Asia. Saya mencari-cari poster-poster dari film-film "asing" yang tengah diputar itu, tapi tak kunjung ketemu.

Akhirnya, kami jalan-jalan, melihat-lihat sudut lain. Blitz menempati dua lantai, dengan areal yang sangat luas. Nuansa merah menyergap mata dan kesan mewah begitu terasa. Apalagi bila memandang ke dinding-dinding kaca, terhampar pemandangan malam Jakarta yang begitu indah. Namun, karena keseluruhan bangunan belum selesai, sambil menyeruput kapucino di food lounge, kau juga bisa melihat tukang-tukang yang sedang lembur.

Di salah satu sudut, akhirnya saya menemukan poster-poster yang saya cari. Salah satunya poster film berjudul The Host, yang memuat komentar Rizal Mantovani: Jantung dibikin deg-degan, perut mules, tegang.

Keesokan harinya, salah seorang teman yang namanya tertera di list YM saya memasang status yang intinya memuji setinggi langit film tersebut. Di milis, ada orang yang posting, isinya juga memuji habis-habisan film itu, dan secara umum ngomongin tentang Blitz. Tiba-tiba seluruh dunia dengan suka rela mempromosikan Blitz, termasuk saya dengan tulisan ini.

Ada lagi teman saya yang juga nonton film yang sama, tapi ketika SMS saya sama sekali tidak berkomentar tentang filmnya, melainkan, "Gue nggak suka tempat duduknya." Tapi, teman saya yang lain lagi punya cerita yang berbeda: Aku nggak suka harus ditanya mbak-mbak yang jaga, sukanya film apa? Akhirnya aku nggak jadi nonton di situ, pindah ke Megaria nonton Jakarta Undercover.

Saya juga tidak jadi nonton malam itu, dengan alasan yang lain. Pertama, karena sejak awal memang hanya berniat "meninjau" --agar kalau ada orang bertanya, lu udah liat Blitz?, dengan bangga saya bisa menjawab, udah dong, iiih keren banget tempatnya!

Kedua, saya malas karena ternyata harga tiketnya maharani alias mahal --Rp 50 ribu untuk film Hollywood dan Rp 40 ribu untuk non-Hollywood. Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya sudah tersiar bahwa tiket di Blitz hanya Rp 25 ribu --dan, oleh karenanya Bioskop 21 buru-buru menurunkan secara drastis harga tiket mereka.

Artis

Industri ya industri, tapi kalau kayak gitu ya lama-lama hancur juga...

Dewi Irawan dan El Manik akhirnya tak tahan untuk mengungkapkan kegeliannya menyaksikan persegeran "sistem" keartisan kita di era industri sinetron saat ini. Ini tidak terjadi dalam sebuah seminar sehari berjudul "Tiada Hari Tanpa Sinetron: Menjadi Bangsa Bebal Cara Raam Punjabi". Ini terjadi di sebuah diskusi santai kecil-kecilan di tengah program bertajuk "Sejarah adalah Sekarang" yang digelar KineForum, TIM, selama Maret ini.

Alkisah, malam itu, saya menyaksikan pemutaran film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang dihadiri oleh pemeran utamanya, yang tak lain dua nama yang telah saya sebutkan di awal tadi. Usai acara, panitia memanggil keduanya ke depan untuk merefleksikan aksi masa lalu sebagai pijakan untuk melangkah pada masa kini dan akan datang --pokoknya sesuai tema acara yang dahsyat itu.

Ada penonton yang bertanya, apa pertimbangan menerima peran tersebut. Yang lain ingin tahu pandangan kedua veteran itu terhadap situasi perfilman dewasa ini. Namun, seperti halnya terjadi pada setiap diskusi dan forum-forum sejenisnya, yang menarik bukan obrolan yang berada dalam tema itu, melainkan "ngalor-ngidulnya".

Dewi misalnya, curhat tentang proses casting yang harus dia lewati ketika hendak bermain dalam sebuah film. "Yang ngasting saya umur 23 tahun, dan bertanya, punya pengalamana apa? Saya bilang, pernah sih sesekali masuk nominasi piala citra." Dewi menceritakan itu sambil tertawa-tawa.

Dewi termasuk artis veteran yang terangkat kembali di era-Riri Riza saat ini. Setelah muncul sebagai cameo dalam Berbagi Suami karya Nia Dinata, belum lama ini dia tampil "utuh" dalam Badai Pasti Berlalu (BPB) karya Teddy Soeriaatmaja. Sutradara yang sebelumnya menggarap Ruang ini mengklaim bahwa BPB versi dirinya merupakan karya remake pertama dalam sejarah perfilman Indonesia.

Lagi-lagi, Dewi hanya bisa geli. "Saya sih diem aja, saya nggak mau ngerusak suasana mereka yang sedang bersemangat mempromosikan film itu." Tapi, tentang "kualitas" BPB sendiri, Dewi tak bisa diam. "Teddy kurang greget. Dulu liat Christine Hakim menderita, kita ikut merasa sengasa. Sekarang, liat yang ini, lu nangis nangis aja bodo amat."

Dewi, tentu saja, bukan hanya saksi, melainkan juga pelaku karya remake, yang tak lain film yang malam itu tengah diputar dalam rangkaian peringatan Bulan Film Indonesia itu. Titian Serambut Dibelah Tujuh yang diputar malam itu adalah versi 1982, yang merupakan remake dari karya yang sama pada 1959.

Dewi berperan sebagai perempuan desa korban fitnah laki-laki yang gagal memperkosanya. Peran ini mengantarkannya masuk nominasi FFI. Tapi, "Saya kalah sama Christine Hakim. Waktu itu Christine juga udah Piala Citra yang kelima," kenang dia.

Sekarang, atas nama industri, semua sudah tak sama lagi. Sesekali Dewi harus "puas" hanya bisa melampiaskan kerinduannya berakting lewat sinetron-sinetron kejar tayang. "Itu pun saya pilih-pilih. Tapi, kalau yang FTV-FTV gitu sih lebih lumayan, jadi biasanya saya mau."

Yang dirasakan Dewi juga dialami oleh El Manik. Baginya, "menjadi artis" di zaman sinetron sama artinya dengan bertahan dalam absurditas. Datang ke lokasi syuting, disodori selembar skrip, lalu syuting buru-buru karena sang sutradara, juga artis-artis muda, harus segera pergi lagi untuk syuting produk lain di tempat lain.

"Sekarang ini banyak sekuter, selebriti kurang terkenal. Datang bersama manajernya, take satu adegan, lalu buru-buru cabut karena ditunggu untuk syuting di tempat lain."

Wednesday, March 14, 2007

Detik Pertama 14 Maret 2007

sisa hujan
tengah malam
mengganti hari
menggenapi usia

kau terjaga

tak ada kue tar
tak ada teman-teman
dan lagu panjang-umurnya
hanya SMS

"bertahanlah,

yang telah lama
berumah di hatimu
selalu terjaga
mengusir sunyimu"

Tuesday, March 13, 2007

Belanja Murah: (Strategi) Konsumsi, Kemewahan, Resistensi

Dimulai dari tgl 19 Feb s/d 28 Feb 2007, SOGO PI mengadakan program THANK YOU SALE, terutama untuk barang barang Direct kami seperti : FCUK, MEXX, THEME, CK, EV, SOUL EDGE, dll dengan discount dari 50% s/d 70% dan ada juga yang setelah discount 50% ditambah lagi dgn discount 40% sehingga total discount menjadi +/- 90%. Tolong forwardkan email ini kesemua rekan rekan...karena program ini adalah program terakhir untuk SOGO PI – dikarenakan pada tgl 01 Maret 2007 SOGO Dept Store sudah tidak ber-operasi lagi di Plaza Indonesia. Terimakasih dan salam.

Pesan itu saya terima lewat offline messege di Yahoo Messenger (YM) pada 22 Februari. Artinya, masa program sale yang diumumkan itu sudah berjalan tiga hari. Saya segera mem-forward ke teman saya, sekaligus mengajak untuk memanfaatkan momen itu. Cukup mengagetkan jawabab teman saya: Wah, sudah tinggal yang jelek-jelek, Mu.

Teman saya itu mengaku belum ke sana, tapi soal "tinggal yang jelek-jelek" itu dia tahu dari temannya. Artinya, pesan itu sudah menyebar ke mana-mana. Saya kenal orang yang mengirim pesan di YM itu, tapi saya yakin bahwa pesan itu tak diketahui asal-muasalnya, alias menyebar terus-menerus dari satu komputer ke komputer lain.

Info tentang diskon, dan sumber-sumber belanja murah lainnya, selalu menyebar dengan cepat, melebihi gosip perceraian artis. Sebab, lebih banyak orang yang tak peduli dengan gosip selebritas ketimbang tak peduli dengan diskon yang sedang digelar sebuah departement store. Kita semua (setidaknya saya) bahkan dengan sukarela dan senang hati, tanpa dikomando, menjadi agen marketing dari dikson-dikson itu, dengan menyebarkannya ke orang lain, dan mengajak teman-teman terdekat kita untuk beramai-ramai menyerbunya.

Pada era ketika semua orang begitu melek fashion, program-program dan tempat-tempat belanja murah merupakan sesuatu yang tak henti ditunggu dan dicari. Program diskon dan tempat belanja murah merupakan informasi penting yang senantiasa menjadi bahan obrolan dalam komunitas-komunitas urban. Pesan berantai lewat internet seperti "Thank You Sale" Sogo di atas merupakan kasus yang cukup istimewa.

Program diskon lain biasanya diumumkan melaui iklan di koran. Departement store kelas menengah-bawah semacam Ramayana/Robinson termasuk yang cukup progresif mengiklankan program-program diskonnya, baik melalui koran nasional maupun -bahkan- televisi, dengan bintang iklan artis-artis yang populer di masyarakat.

Kendati tempat-tempat belanja itu dengan sendirinya terkelompokkan dalam kelas-kelas, namun program diskon itu sendiri jelas tak mengenal aturan kelas, dalam arti, kalangan atas pun menganggap diskon sebagai kesempatan yang paling baik untuk berbelanja. Diskon di gerai Mango di Plaza Indonesia akhir tahun lalu misalnya, menyedot pengunjung selama berjari-hari. Perempuan-perempuan muda urban-mapan rela mengantri panjang di depan empat bangku kasir sehingga membentuk barisan panjang berderet-deret.

Tentu saja, belanja murah bukan hanya berkaitan dengan momen, melainkan juga tempat-tempat tertentu. Masyarakat Jakarta sudah lama mengenal tempat-tempat semacam Sogo Jongkok, Taman Puring, Pasar Uler, Poncol/Senen sebagai lokasi-lokasi yang menyediakan arena belanja murah. Di antara tempat yang disebut itu, Poncol/Senen merupakan tempat yang paling populer sampai saat ini, terutama di kalangan anak-anak muda yang menggilai band-band indie. Menonton White Shoes & The Couple Company atau The Upstair menuntut mereka untuk tampil dengan fashion tertentu, meniru vokalis dan awak band-band itu, yang bisa diwujudkan dengan berburu baju vintage di Senen.

Bagi yang tak bermasalah dengan soal keuangan, distro merupakan pilihan yang lebih bergengsi. Pergi ke Tebet Utara, keluar masuk dari Bloop ke Nanonine hingga Endorse, jelas lebih memberi kenyamanan, juga kebanggaan, dibandingkan harus berkeringat di antara tumpukan baju-baju yang baru saja dikeluarkan dari karung. Tapi, jika kita percaya dengan realitas sosiologis, bahwa jauh lebih banyak anak muda yang miskin ketimbang kaya, maka Senen adalah alternatif, terutama tentu saja dalam segi harga. Selain, juga dalam segi eksklusivitas. Baju distro memang diproduksi dalam jumlah terbatas, tapi "produk" Senen jauh lebih terbatas lagi, karena kemungkinan jumlahnya hanya ada satu per item, sehingga pembeli/pemakainya akan merasa sangat eksklusif.

Seseoarang yang sering nonton acara musim Kamis malam di Aksara akan sangat bangga kalau dapat, misalnya old school cardigan yang keren dari Senin. Dia akan memajang foto dirinya di Blog atau Friendster dalam balutan baju hasil buruannya itu. Lalu, teman-temannya akan berkomentar, iiih bajunya lucu, dan dia akan menjawab balik, dengan nada bangga, belinya di Senen lho, cuman 15 ribu lho.

Belanja murah, sampai titik ini, juga bermakna kemewahan, lebih-lebih kalau kau sebenarnya cukup kaya untuk memborong baju-baju di Zara tanpa diskon serupiah pun. Namun, bagi lebih banyak orang, belanja murah merupakan sebuah strategi konsumsi: tetap bisa bergaya tanpa harus keluar (lebih) banyak uang. Dan, pada saat yang sama, belanja murah juga menjadi benteng terakhir resistensi: dengan kemampuan yang (se)ada(nya), kau tetap bisa melakukan usaha-usaha untuk terlihat sebagai anak gaul Jakarta yang update dan fashionable.

Keberadaan tempat belanja (murah) seperti Senen, menjadi lebih penting artinya bagi terbentuknya subkultur anak muda, karena dikukuhkan dengan pengakuan-pengakuan dari kalangan selebriti yang mereka puja. Personel White Shoes & The Couple Company yang digilai kaum hipster Jakarta, dalam sebuah wawancara di Kompas mengaku berburu baju di Senen untuk memenuhi hasrat kecintaan mereka pada hal-hal yang bermakna retro.

Para pedagang di Senen sendiri dengan bangga akan bercerita kepada pembelinya, bahwa celana bahan motif kotak-kotak yang dipakai Aming di Extravaganza itu belinya di sini lho. Belanja murah bukan sekedar budaya, tapi gaya (hidup) dan semacam strategi untuk mereproduksi gaya(-gaya) tersebut. Ini sebuah bentuk cara bertahan di tengah deras dan kuatnya arus tuntutan pergaulan (budaya) urban yang tak pernah memberi maaf --apalagi tempat-- kepada orang-orang yang secara tipikal biasa diolok dengan istilah-istilah "cupu" dan "masteng".

Friday, March 09, 2007

Penyair itu Bunuh Diri di Konser Musik Pop

Apakah penyair dengan sendirinya dan serta merta lebih mulia daripada pencipta (lirik) lagu pop? Dan, apakah puisi dengan demikian juga otomatis dan selalu lebih spiritual ketimbang lirik lagu (pop)?

Sepintas, pertanyaan di atas pastilah terdengar nyinyir dan mengada-ada. Namun, sebuah pertanyaan --apalagi yang di dalamnya mengandung perbandingan antara dua subjek nyata dalam ikatan sosial-- tentu muncul bukan tanpa alasan. Selama ini ada --untuk tak mendramatisir dengan mengatakan cukup banyak-- preseden dalam masyarakat kita, yang cenderung menempatkan puisi (dan penyair) dalam tatapan-tatapan yang serba dan senantiasa bombastik-heroik-sentimentil.
A
lkisah, tersebutlah seorang penyair muda Bali bernama Pranita Dewi. Dalam kata pengantar untuk buku kumpulan puisi pertamanya, Pelacur Para Dewa (Depok: Komunitas Bambu, 2006), ia dengan agak panjang lebar mengenang kembali awal perjumpaannya dengan puisi. Suatu malam, ketika sedang panik memburu tiket konser Sheila on 7 di Taman Budaya Denpasar bersama teman-temannya, ia bertemu dengan penyair Warih Wisatsana yang disangkanya calo (tiket). Mengundang Pranita dan kawan-kawan untuk duduk, sang penyair senior yang mirip calo itu pun berpetuah.

"Dengan puisi, kalian pun bisa terkenal seperti Sheila on 7. Lagu-lagu seperti grup band itu cenderung memanjakan keriangan di permukaan saja, sedangkan puisi memanggil kita merenungi kedalaman dan kebahagiaan gidup."Sejak itu, demikian kisah Pranita, semangat untuk menonton konser Sheila tiba-tiba saja luntur, sambil heran dengan teman-temannya yang hingga kini kian menggemari grup band itu. Berkat pertemuan itu, Pranita sadar bahwa puisi dan jalan kepenyairan merupakan suatu anuegrah. Dan, Berkat Warih, Pranita jadi yakin bahwa puisi bisa membuatnya untuk tidak menjadi "perempuan sekadar".

Seolah mengulang romantisme usang ala film cerita minggu siang zaman TVRI, Pranita tak ketinggalan menceritakan risiko yang harus dihadapinya kemudian: orang tua yang menginginkan saya berkarier dalam industri pariwisata, tidak bisa mengerti dengan dunia yang saya cintai. Mereka selalu berkata sinis, "Kalau jadi penyair, kamu mau makan apa? Tapi saya tidak peduli dengan omelan dan sinisme mereka. Saya terus melangkah dengan keyakinan bahwa puisi akan menyelamatkan saya seperti pesan penyair Goenawan Muhamad.

***

Film Music and Lyrics (sutradara: Marc D. Lawrence) yang tengah diputar di bioskop-bioskop di Jakarta menjungkirbalikkan semua mistifikasi ideal tentang puisi dan (ke)penyair(an) yang dengan penuh kebanggaan diyakini dan dipijaki Pranita.

Alex Fletcher adalah vetaran band yang masih bisa menikmati sisa-sisa kejayaannya. Di tengah kesibukan kecilnya tampil di acara reuni SMA atau taman hiburan umum, seorang penyayi remaja idola masa kini, bernama Cora, memintanya membuatkan lagu. Merasa bahwa itu kesempatan emas untuk meraih kembali popularitas, Alex pun bekerja keras menciptakan lagu. Tapi, segalanya ternyata tak semudah dulu lagi. Ia pun mengundang temannya, seorang penyair, untuk membantunya menulis lirik yang bagus. Namun, ternyata kehadiran sang penyair tak cukup membantu melancarkan urusan.

Ketika mereka sedang berdebat menimbang-nimbang lirik lagu yang cocok dengan melodi, perawat tanaman di apartemen Alex, yang bernama Sophie Fisher, tanpa sengaja ikut-ikutan nyambung. Perempuan itu tak hanya menyenandungkan lirik yang sedang diperdebatkan oleh Alex dan sang penyair, melainkan juga melengkapinya. Keisengan Sophie itu mengejutkan Alex, dan meminta perempuan itu mengulangi kalimat yang baru saja disendungkannya. Tapi, Sophie yang tak sadra dengan apa yang dilakukannya, mengaku tak bisa mengingatnya lagi. Setelah dipaksa-paksa dan dipancing-pancing terus, akhirnya tercipta beberapa larik dari mulut Sophie yang mengena di hati Alex.

Alex pun beralih perhatian ke Sophie, yang tentu saja membuat si penyair tersinggung. Ia pun meninggalkan Alex setelah sempat melecehkan Sophie sebagai orang yang tidak berkompeten dengan penciptaan lirik-lirik yang indah --karena dia hanya seorang perawat tanaman. Singkat cerita, Alex dan Sohie --yang belakangan diketahui bahwa dia sebenarnya seorang penulis yang, katakanlah, gagal-- pun sepakat untuk berlokaborasi menciptakan lagu untuk pesanan Cora.

Alhasil, dengan kerja keras yang panjang, terciptalah sebuah lagu dengan melodi dan lirik yang kuat dan indah. Ketika lagu itu dinyanyikan dalam konses megah Cora, si penyair hadir menyaksikan dan merasa terpukul oleh kehebatan lirik hasil ciptaan orang yang pernah dilecehkannya. secara simbolis, film ini menggambarkan betapa sang penyair akhirnya mengaku kalah dan bunuh diri!

Jadi, apakah penyair dengan sendirinya dan serta merta lebih mulia daripada pencipta (lirik) lagu pop? Dan, apakah puisi dengan demikian juga otomatis dan selalu lebih spiritual ketimbang lirik lagu (pop)?

Tuesday, March 06, 2007

Sibuk dan Ada

Bagaimana cara mengada di Jakarta?

Belum pernah kau mengalami hari-hari yang begitu menyibukkan, sekaligus menggairahkan, seperti hari-hari belakangan ini. Kau mulai saja dari Sabtu (24/2/07) lalu. Pagi-pagi kau sudah berada di Kampus UI Salemba untuk menghadiri sebuah forum sharing praktek manajemen human resource (HR) yang menampilkan narasumber dari PT Astra. Habis makan siang, menjelang sore, kau duduk di kafe tenda TIM bersama para penulis dan editor. Kalian terlibat obrolan penuh gosip tapi inspiratif.

Sore menjelang petang, kau meluncur jauh ke PIM untuk bertemu manajer HR perusahaan asing tambang batubara. Kau mewawancarainya dengan santai dan akrab di Coffee Bean & Tea Leaf. Usai itu, kau berjalan-jalan mengitari mall yang mewah itu sambil menunggu pacarmu yang sedang on the way menyusulmu. Jam setengah delapan pacarmu datang, dan kalian langsung menuju Solaria untuk makan malam. Dari situ, kalian sepakat melanjutkan acara ke Ohlala Djakarta Theater. Bertemu dan bergabung dengan beberapa teman, kalian nongkrong di situ sampai dini hari.

Minggunya, setelah seharian memanjakan diri dengan tidur dan bermalasan-malasan, malamnya kau bertemu lagi dengan pacarmu untuk menyaksikan penampilan The Upstairs di Bulungan. Dan, awal pekan pun datang lagi. Senin, usai makan siang kau kembali ke Kampus UI di Salemba untuk mewawancarai direktur Lembaga Manajemen FEUI. Malamnya, kau meluncur ke Hotel Kartika Candra untuk bertemu dengan direktur HR perusahaan asing yang memproduksi tisu dan pembalut wanita.

Dua hari kemudian, bertepatan dengan hari terakhir Bulan Mei, pagi-pagi sekali kau sudah berada di Hotel Sultan untuk --selain makan pagi, tentu saja-- menyaksikan presentasi tentang produk baru dari sebuah perusahaan konsultan HR asing. Sorenya, kau meluncur ke Binus di Kebun Jeruk untuk meliput career expo yang digelar oleh kampus tersebut --setelah siangnya menyempatkan diri menengok pameran distro di Departemen Perindustrian.

Keesokan harinya, Kamis, pulang kerja kau kembali bersama pacarmu, kali ini janjian ketemu di Tebet untuk mencari cardigan di deretan distro yang ada di sana. Jumat malam, usai jam kerja, bersama temanmu kau datang ke sebuah acara peluncuran buku kumpulan cerpen Gunawan Maryanto di Warung Apresiasi. Lalu, Sabtu datang lagi. Betapa cepat waktu berputar. Jam dua siang kau menemui seorang perempuan berusia 38 tahun yang ingin berkonsultasi tentang menerbitkan novel. Kalian ngobrol di Cofee Bean Citos dan dia memintamu untuk menyunting naskahnya, yang baru saja ditolak Gramedia. Menjelang sore kau pulang, dan malamnya, kira-kira pukul 10.00, kau kembali ke Citos dan duduk di kafe yang sama, kali ini bersama pacarmu.

Minggunya, setelah hujan mengguyur pada tengah hari, kalian melewatkan waktu dengan jalan-jalan ke Blok M, Senayan City dan makan serta "belanja-belenji" di Metro Plaza Senayan yang sedang menggelar diskon. Bertemu lagi dengan Senin, kalian lagi-lagi ke citos untuk nomat Music and Lyrics. Selasa pagi, kau sudah bersiap dengan pakaian formal, karena akan mewawancarai direktur HR PT Coca Cola. Tapi, sebelum melangkah keluar rumah, sebuah SMS masuk ke HP-mu, mengabarkan bahwa calon narasumbermu sakit sehingga wawancara terpaksa ditunda. Kau pun meluncur ke kantormu seperti hari-hari biasa yang telah lalu.

Pendek kata, kalau kau hidup di Jakarta, dan umurmu sudah berkepala tiga, maka satu-satunya cara untuk bertahan dan merasa ada, tak lain dengan menandai diri dengan kesibukan demi kesibukan. Agar, orang-orang di sekelilingmu menganggap dirimu orang yang cukup penting, atau setidaknya kau berpikir seperti itu. Sehingga, kau merasa hidupmu berarti, dan memiliki alasan untuk berkali-kali berbisik, meyakinkan diri, "Aku bahagia."

Thursday, March 01, 2007

Wartawan

*teriring simpati dan duka yang sedalam-dalamnya atas tragedi kematian wartawan di bangkai kapal levina

Dari kolom Emha Ainun Nadjib di Tempo pada 80-an, ke "Resonansi" Zaim Uchrowi di Republika akhir 90-an, hingga novel Imperia-nya Akmal Nasery Basral (2005), wartawan direfleksikan sebagai sosok yang serba-heroik. Emha misalnya, mengungkapkan kebanggaannya sebagai -orang yang pernah menjadi- wartawan yang menurut dia mirip Tuhan dalam hal kemahatahuannya. "Wartawan itu tahu siapa pejabat yang korupsi, dan menyimpan foto bugil sejumlah artis."

Zaim memuji anak buahnya yang bernama Muhammad Subarkah --tentu dalam kolom itu namanya disamarkan-- yang gagah berani menembus sarang GAM di Aceh. Sedangkan, Akmal menciptakan sosok fiktif bernama Wikan Larasati, yang dimakasdkan sebagai potret reporter pemula yang tangkas dan hebat.

Ketika membaca kolom Emha, saya masih kuliah di Solo, dan terlongong-longong membayangkan, betapa luar biasa makluk berprofesi wartawan itu. Tak lama setelah membaca "Resonansi" Zaim, saya mendapat panggilan kerja di Jakarta, di sebuah koran baru yang dipimpin Zaim sendiri! Tapi, liputan pertama saya bukanlah medan perang Aceh, melainkan konser musik simakDialog di GKJ.

Koran tempat saya bekerja itu hanya bertahan dua bulan, namun tak sampai setahun kemudian, saya kembali mendapat panggilan, kali ini dari sebuah media online pertama di Indonesia. Saya memang mengalami hal-hal yang luar biasa, namun tidak dalam hal pengalaman meliput di lapangan, melainkan luar biasa kerja keras! Berita tidak menunggu terbit keesokan hari, melainkan detik itu juga. Saya menjadi bagian dari generasi pertama wartawan dotcom di negeri ini.

Ritme dan irama kerja media online yang banyak berbeda dengan media konvensional, memberi saya pengalaman yang lain pula. Menjadi wartawan, pikir saya, ternyata "tak seheroik itu". Tentu saja, apa yang saya alami dan rasakan berkaitan langsung dengan bidang liputan saya, yang memang tidak memberi saya kesempatan untuk, misalnya, pergi ke daerah-daerah konflik. Sebagai wartawan, pekerjaan saya "hanya" nonton konser-konser musik, baik lokal maupun asing, berpindah dari kafe ke kafe untuk menyaksikan syukuran peluncuran album atau film baru, dan sesekali berdesakan di antara wartawan infotainment meliput jumpa pers perceraian artis.

Sebagai wartawan "hiburan" -katakanlah begitu- saya bahkan tidak mengalami apa yang dialami Wikan dalam novel Akmal itu. Sebab, selama saya menjadi wartawan, tak pernah ada kasus pembunuhan yang melibatkan artis terkenal, yang harus saya investigasi sampai ke luar negeri. Jadi, saya ini wartawan apaan? Ketika suatu hari saya mau "nembak" bikin KTP, ayah melarang saya mencantumkan profesi saya. "Jangan ditulis wartawan, nanti petugas keluarahannya malah takut." Ayah tidak tahu bahwa sebagai wartawan, yang paling banter bisa saya lakukan hanyalah mengejar Desi Ratnasari ke Sukabumi untuk mendapatkan konfirmasi tentang kabar pernikahan terbarunya!

Belakangan ini, lahir satu generasi baru lagi dalam dunia kewartawanan di Tanah Air, yakni wartawan media (majalah) gratisan. Pasti mereka juga punya pengalaman dan karakteristik yang berbeda dengan wartawan media konvensional maupun dotcom. Ladang liputan mereka umumnya tempat-tempat hang out di Jakarta. Di antara mereka, saya berkenalan dengan wartawan majalah gratis khusus perfilman. Suatu kali, ia menulis resensi yang agak pedas atas film Long Road to Heaven yang diproduseri Nia Dinata. Rupanya, sang produser tidak suka dengan resensi itu, dan menelpon pemimpin redaksi. "Saya jadi down, Mu."

Dimarahi --dan, dianggap "nggak ngerti film"-- oleh seorang produser sekaligus filmmaker beken tentu saja tak seberapa jika dibandingkan dengan risiko kehilangan nyawa saat melakukan tugas peliputan berita. Tapi, dalam konteks tertentu, itu bisa tak kalah heroik. Pengalaman, berikut segala kebanggaan yang ada di dalamnya, bagi seorang wartawan, pada akhirnya memang tak pernah bermakna tunggal. Setiap zaman punya dinamika yang berbeda, dan arti "menjadi-wartawan" tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, apalagi yang berlainan zaman.