pop | arts whatever

Friday, April 27, 2007

Kala: Ketika Donat Dibikin Tertawa

oleh: seseorang dengan Yahoo-ID ayo invisible!

Ya, donat pun bisa tertawa. Itulah hal paling sensasional di dunia film, apalagi sejak teknologi tridi sudah bukan hal asing lagi. Dan, ketika seseorang memutuskan untuk membeli karcis bioskop, sebenarnya ia pun telah bersiap untuk dikibuli dengan, misalnya, cerita-cerita paling konyol macam "donat ketawa-ketiwi" ini. Saya pribadi, masuk bioskop berarti rekreasi. Soal ada film "merengkuh realitas", film "anti-intelek", film noir, whatevah dsb, buset dah, yang saya ingin tahu pertama-tama adalah seberapa cantik film itu "menipu" saya.

Untuk menyulap konsep-konsep konyol menjadi "jempol", bisa jadi Hitler adalah teladan sejati dengan teorinya: kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran. Karena teori itulah dengan penuh penasaran saya menunggu-nunggu nongolnya jilid ketiga Spiderman. Ada orang jadi laba-laba? Ternyata bisa saja karena si dia dulu begini dan begitu dan dia hidup di kota seperti itu dengan musuh-musuh yang... dst. Ada donat bisa tertawa? Ya, karena di sana semua kue memang cerewet semua, karena...karena... dst. Semua "kebenaran" dibangun dengan "kebohongan-kebohongan" sempurna, tidak asal "pokoknya ya begitulah ceritanya!"

Ketika saya nonton "Kala", saya tak bisa menyembunyikan kekecewaan karena parameter saya adalah Janji Joni yang lumayan asoi tipuannya. Menurut saya Kala tidak lebih bagus dari Janji Joni kerena satu alasan: Joko telah menjadi "egois" dengan menebar banyak sekali "pokoknya ya begitulah ceritanya!" di sepanjang cerita.

- mengapa dia gay? pokonya begitu ceritanya
- mengapa Jawa-baya? halah, ini kan cuma cerita
- mengapa hantu? oh, aku emang suka begitu
- mengapa ogoh-ogoh? emang apa peduli eloh?
- mengapa memburu harta? bleh, bikin cerita sendiri sana!

Saya sudah mulai terbiasa dan gak akan heboh bila "jawaban-jawaban" itu semua sudah jadi epidemi di film-film Indonesia, tapi...Joko Anwar gitu loh!! Masak sih?

Saya pikir tidak ada jeleknya bermain di zona aman, mengukuhkan pijakan, dengan membuat another Janji Joni yang katanya rendah teknologi tapi saya yakin telah betul-betul dikuasai Joko detil-detilnya. Saya pribadi tak peduli apakah filmmaker-nya pakai mini-DV ataukah kamera 35 mili, yang penting... cut, mana ekspresinyaaaaa?!

Joko kali ini memaksa saya percaya ada donat bisa tertawa tanpa peduli apakah saya cukup pintar membedakan mana donat mana tomat. Semoga ini dia lakukan tanpa sengaja.

Dan, di filmya kali tidak ada donat dan tomat sama sekali. Anda bisa buktikan sendiri. Kalau bisa, ajak juga semua teman, sodara, bapak, ibu, tetangga, semuanya untuk ikut menjadi saksi salah satu tonggak sejarah perfileman Indonesia. Saya serius!

Hidup film Indonesia!

Sunday, April 22, 2007

Ketika Golum Bertemu Lara Croft: Sebuah Model untuk (Memahami) Indonesia?

Begitu makluk berwarna putih berwajah seram itu muncul, partner nonton saya mencengkeram lengan saya dengan geram.

"Tuh, kan film horor kan, ih bete deh," nada suaranya menyiratkan kemarahan seorang yang sedang merasa tertipu.

Cukup repot juga saya menjelaskan, bahwa makluk itu (pasti) bukanlah hantu --belakangan, teman saya, cerpenis Ucu Agustin yang sangat piawai mendongeng, menyebutnya manusia terigu-- dan, ini bukan film horor. Tapi, seterusnya, berkali-kali makluk itu muncul lagi, membuat teman saya makin marah (bukan pada filmnya, tapi pada saya yang mengajaknya nonton). Saya mulai putus asa --bagaimana menjelaskannya?

Film terbaru Joko Anwar, Kala memang sesuatu yang baru dalam sejarah perfilman Indonesia. Sulit --untuk tak bilang tak ada-- mencari presedennya. Untuk pertama kalinya, seorang sineas di Tanah Air dengan sadar menciptakan sebuah "dunia alternatif" --sebuah model-- untuk memotret dan memahami "realitas".

Orang bisa saja mengetahui --dari berbagai pemberitaan di koran-- bahwa film ini berlokasi syuting di kota lama Semarang dan Ambarawa. Tapi, cerita filmnya sendiri sama sekali tak menyebut nama tempat. Kalau situs 21cineplex.com bisa dianggap mewakili pihak produser, maka kita ikuti saja klaim bahwa film ini bercerita tentang sebuah negeri tak bernama. Tapi, adakah yang benar-benar tak bernama, Tuan-tuan dan Puan-puan?

Sejak adegan pembuka, sulit bagi penonton untuk tak mengasosiaskan bahwa (negeri) itu tak lain Indonesia. Dua orang polisi berada di lokasi kejadian pembakaran lima lelaki yang diteriaki pencuri oleh massa. Bukankah itu mengingatkan kita pada tindakan main hakim sendiri yang beberapa waktu lalu sempat marak di Jakarta? Dari sinilah, cerita berkembang, menjadi sebuah potret --yang diambil dari sudut gelap-- tentang Indonesia masa kini.

Tapi, jangan bayangkan sebuah film yang --layaknya Marsinah tempo hari-- memindahkan mentah-mentah realitas ke dalam bahasa gambar, hingga jadinya sebuah reportase yang pucat dan membosankan. Juga, jangan bayangkan sebuah film --yang layaknya Ekspedisi Madewa-- yang sebenarnya cukup berpotensi menjadi model alternatif untuk menatap keindonesiaan kita masa kini, namun terjebak dalam formula yang klise, sehingga hasilnya tak lebih daripada banyolan yang tak lucu.

Kala adalah lompatan yang tinggi, yang barangkali selama ini hanya ada dalam khalayan nakal naluri kanak-kanak kita. Apa jadinya kalau Gatotkaca bertemu Spiderman? Seru kali ya kalau perempuan-perempuan perkasa dalam Underworld atau manusia-manusia kate dalam Lord of the Rings berada dalam satu frame dengan Joko Geledek atau Gundala Putra Petir. Pada sastra, orang sudah lama melakukannya. Ingatkah Tuan-tuan dan Puan-puan pada (cerpen-cerpen) Danarto, dan belakangan teman saya yang sudah saya sebut namanya di atas?

Begitulah, Kala merengkuh "realitas" yang dekat, tapi sekaligus menepisnya jauh-jauh. Ia menghadirkan sesuatu yang masih lekat dalam ingatan kita, tapi memilih untuk tidak menamainya. Tapi tidak. Tak ada yang pernah benar-benar tak bernama. Ia memotret wajah yang jelas-jelas Indonesia, tapi (menyamarkan dengan cara) dengan keras menolak untuk "menjadi Indonesia".

Ibu-ibu yang muncul dari kegelapan di TKP itu, berbicara dalam tradisi orang Barat. Tanpa ditanya, ketika pak polisi Eros (Ario Bayu) yang ganteng datang, ia langsung menyergah, "Ogoh-ogoh!" Lalu, dengan gaya yang sok-asik dan sok-akrab, ibu-ibu itu meminta rokok pada pak polisi itu dan terjadilah obrolan yang berat: ibu-ibu itu menuturkan teori akumulasi kemarahan yang melahirkan kekerasan dalam masyarakat.

Namun, kalau tadi saya bilang, "ibu-ibu itu...berbicara dalam tradisi orang Barat"...apa sebenarnya tradisi? Apa itu Barat? Apa itu (ke)Indonesia(an)? Joko memutuskan untuk tak peduli, dan dia bisa jadi benar. Mungkin ketakpedulian itu pula yang mendasarinya untuk agak genit menempelkan identitas gay --meskipun tak secara eksplisit-- kepada tokoh Eros.

"Nggak penting banget deh, apa kaitannya dengan cerita?" keluh partner nonton saya tadi, yang agaknya mulai bisa melupakan --atau "menerima"?-- tokoh si manusia terigu (Jose Rizal Manua). Ah, bagaimana menjelaskannya?

Bagi saya, ini sama dengan ketika tim pujangga yang ditunjuk oleh Paku Buwana V menyelipkan adegan-adegan seks sesama laki-laki dalam satu-dua lembar dari beribu lembar naskah Centhini. Sebuah impian masa depan tentang masyarakat yang ideal, di mana berbagai perbedaan (termasuk atribut-atribut seksual) tak (perlu) lagi dipersoalkan?

Yang jelas, sebagai sebuah model, Kala menjadi leluasa untuk memungkinkan segalanya. Sosok manusia terigu yang datang dan pergi itu menjadi tak bermasalah dengan logika. Demikian juga tokoh Ranti (Fahrani) yang penyanyi kafe itu, yang pada akhir cerita digambarkan dengan sangat keren sebagai pendekar perkasa, dengan pedang di tangan, berdiri di atas reruntuhan candi dan meluncur setengah terbang menyerang musuhnya.

Joko meramu kenyataan dan fantasi, fakta dan dongeng, sejarah dan (impian) masa depan.

Tokoh(-tokoh) dibuat se-real mungkin, dan disengaja untuk memancing emosi-asosiatif penonton, misalnya menteri pariwisata. Namun, pada saat yang sama tokoh(-tokoh) itu dibuat segila mungkin: rakus, kejam, irasional. Realitas, di tangan Joko, hanyalah impuls bagi ide, untuk kemudian dengan kreatif ia kembangkan menjadi sebuah dunia yang lain, yang serba aneh, dingin, sunyi, mencekam, yang seolah-olah tak memiliki sambungan dengan kenyataan-kekinian, tapi membuat kita justru (semakin) yakin: hei, itu kan wajah kita sendiri!

Cermin, Tuan, cermin, Puan. Ya, barangkali film ini adalah cermin. Sepanjang film, penonton seperti dituntun untuk mengunjungi jejak-jejak memori kolektif bangsanya sendiri atas mitos-mitos dan isu-isu yang selalu kembali seperti gema: dana revolusi, menteri agama yang memerintahkan penggalian lokasi harta karun, sampai Ratu Adil juga.

Ya, ya, bukankah hal yang paling tak bisa dipercaya dari bangsa ini adalah sejarahnya?

Dan, Kala menawarkan formula (baru) untuk memahaminya.

"Iiih keren bangeeet," seru partner nonton saya, ketika Ranti menancapkan pedangnya ke tanah dan menjatuhkan tubuhnya, berlutut di depan Eros.

Nah, sekarang sudah jelas bukan, bahwa tak perlu penjelasan apapun untuk membuat dia melupakan makluk putih itu, si monster terigu itu, atau siapalah dia! Gantian saya yang kemudian jadi kepikiran: saya teringat ibu-ibu yang pintar tadi. Tiba-tiba dia terasa begitu logis di antara yang tak logis, dan dengan demikian justru terasa mengganjal.

Dan, hei, bukankah masih ada satu ibu-ibu lagi, yang juga anomim, yang juga muncul begitu saja, dan memberi banyak menjelasan penting untuk menyambung alur cerita? Ternyata Joko tak benar-benar tak peduli. Atau, untuk tak peduli sebenarnya butuh "ketahanan mental" yang besar? Teori cerdas dan berbagai penjelasan dari tokoh-tokoh anonimus itu seperti menjungkirkan dunia alternatif yang sedari awal dibangun Joko dengan rapi.

Menjadi "anti intelek" --dengan menciptakan tokoh-tokoh yang membuat wartawan Kompas gelisah ("Apa maunya hantu merangkak yang selalu muncul tiba-tiba untuk menakut-nakuti? Untuk mencipta misteri atau atas nama seni?"), ternyata sulit juga. Dan, Joko tak tahan untuk tak berkomentar, dengan menampilkan tokoh ibu-ibu jalanan yang mungkin penjelmaan sosiolog UI.

Pada akhirnya, Kala adalah sebuah film tentang ide, gagasan, mungkin tentang sejarah, mungkin yang lain, yang jelas itu ide atau gagasan besar. Tokoh-tokoh, dengan segala karakterisasinya yang kuat --misalnya seorang wartawan yang si penidur-- digerakkan untuk mendukung penyampaian ide besar itu.

Lalu, di manakah manusia di ide itu? Kita tak pernah tahu, misalnya, apa yang terjadi ketika si penidur itu (ter)tidur? Kita hanya (diberi) tahu, setiap kali ia menghadapi ketegangan, ia terkulai, tidur lalu cut to adegan lain, dan ketika cut to lagi, kita lihat dia tengah merangkak bangkit.

Realitas direduksi ke dalam ide, dan pada gilirannya mereduksi (atau, jangan-jangan menghilangkan) manusia.

Teman saya sibuk SMS-an sambil sesekali manggut-manggut biar terlihat bahwa ia masih mendengarkan saya.

Friday, April 13, 2007

Paragraf-paragraf yang Kubayangkan akan Menjadi Pembuka Novelku

2005
Kau duduk di dalam taksi, di jok belakang pinggir jendela kiri. Pohon-pohon di sepanjang tepi jalan, hamparan sawah yang tersisa di sela deretan ruko-ruko baru dan baliho-baliho iklan berlarian ke arah yang berlawanan dengan laju taksimu. Kau kira sudah cukup sore. Kau malas mengeluarkan HP hanya untuk melihat jam. Kau juga enggan melongok ke depan –di situ pasti juga ada angka yang menunjukkan waktu. Nanti malah dikira melihat argo. Malu. Lagi pula posisi dudukmu sudah sangat enak untuk digeser dengan gerakan sekecil apapun. Kau benar-benar tak ingin melakukan apa-apa, bahkan hanya untuk sekedar mengetahui sekarang jam berapa. Apa pula artinya bagimu? Di ujung perhentian taksi ini, hidup barangkali sudah tak akan berarti lagi. Setelah taksi ini berhenti, hidupmu barangkali juga akan berhenti


1991
Sebuah mobil mewah menikung tajam memasuki halaman luas rumah besar yang juga mewah. “Ini rumah kamu?” Adit membelalak setengah tak percaya. Dari tempat duduknya di jok depan, Resa menoleh ke arah temannya di belakang, tapi merasa tak perlu memberi jawaban. “Yuk, turun,” katanya sebelum kemudian meloncat lincah. Setelah turun dari mobil, Adit masih berdiri bengong memandangi rumah teman barunya itu. Mereka masih mengenakan seragam sekolah. Akhir pekan yang melegakan. Hari terakhir dalam masa pekan pertama masuk SMP yang baru diisi dengan perkenalan dan orientasi sekolah namun cukup melelahkan.
“Ayo masuk, malah bengong!”
“Rumah kamu bagus sekali, besar sekali…”
“Ah, biasa aja, udah ayo masuk.”
Resa menarik tangan Adit.


2029
“Terus, terus…”

Sebuah truk besar berjalan mundur memasuki halaman sebuah rumah yang sepi dan runggut, dan salah seorang dari empat awaknya dengan riuh memberi aba-aba kepada sopir. Seorang lelaki berusia 52 tahun namun masih tampak gagah dan berpenampilan keren turun dari kabin. Bak terbuka truk itu penuh oleh barang-barang rumah tangga. Dia sedang pindahan. Empat awak truk itu segera bekerja dengan cepat, menurunkan satu per satu barang dari atas truk, dan digotong bersama-sama untuk dimasukkan ke dalam, ditaruh di tempat sesuai petunjuk yang diberikan pemilik rumah.


LANGKAHMU begitu ragu-ragu. Seperti ada yang memberati kedua kakimu. Atau, sesuatu yang memberati langkahmu itu sebenarnya ada di dalam kepalamu? Padahal, kau sedang pulang ke rumahmu sendiri. Rumah ibumu. Rumah masa kecilmu. Apa yang kau takutkan? Kau seret langkah beratmu seperti menyeret hatimu yang tertinggal di belakang, penuh debar kecemasan.

Teras rumahmu terasa jauh, dan sebelum kau mencapainya, kau lihat seorang perempuan yang tampak lebih tua dibandingkan usianya yang kau tahu, muncul dari balik pintu. Itu ibumu, tapi kau melihatnya seperti sosok asing yang sedang berusaha kau kenali. Ibumu berdiri terpaku, barangkali dengan perasaan yang sama dengan apa yang berkecamuk dalam dadamu. Kau begitu asing di matanya. Langkahmu makin dekat, dan kau bisa melihat, mata ibumu berkaca-kaca. Mata itu seperti menyimpan magnet yang menarik tubuhmu hingga tiba-tiba kau dapati dirimu berada dalam pelukannya. Atau, ibumu yang berada dalam pelukanmu?

Tangis ibumu pecah dan kau pun tak kuasa lagi menahan airmata yang sejak tadi kau tahan. Sejak kau masih duduk di dalam taksi. Selepas pelukan itu, ibumu melangkah masuk. Tapi, kau masih terpaku di tempatmu berdiri. Ibumu berhenti di ambang pintu dan menoleh. Wajahnya memberimu isyarat yang telah kau tahu.

***

Adit langsung diajak ke kamar. Ia ingat kamarnya sendiri di rumah. Sungguh sangat jauh berbeda. Kamar ini dingin dan semuanya ada. Televisi besar dan seperangkat alat permainan. Komik dan majalah-majalah memenuhi rak. Kase-kaset VCD, DVD berserakan di mana-mana. Mobil-mobilan dan berbagai hiasan bagus memenuhi meja-meja dan dinding-dinding.

“Kamu bengong terus sih dari tadi.”
“Eh, enggak…aku sedang mengagumi kamarmu.”
“Ah, biasa aja kok, apanya yang dikagumi, aku malah kadang bosan di kamarku.”
“Kamu di rumah sendirian aja?”
“Ada kakakku di kamar sebelah, mungkin belum pulang.”
“Bapak ibu kamu?”
“Papa mama yang kerjalah, pulangnya malam.”
“Ooo.”
“Udah ah, kita makan dulu yuk, Mbok Tum pasti udah nyiapin.”

Adit mengikuti langkah Resa keluar kamar, menuju ruang makan. Di sana ternyata sudah ada orang lain yang sedang makan. Adit menghentikan langkahnya.

“Ini kak Vio ternyata udah pulang. Kak, ini Adit teman Resa.”
“Hai, Dit, sini makan dulu.”
Adit mengambil duduk di bangku seberang Vio. Kakak Resa itu masih mengenakan seragam putih abu-abu.
“Kakakku juga baru masuk SMU, Dit.”
Adit cuma mengangguk dan tersenyum, lalu melirik ke arah Vio lagi. Ternyata Vio juga sedang melirik ke arahnya. Adit buru-buru mengalihkan pandangan. Tapi, sesaat kemudian ia melirik ke arah yang sama lagi untuk memastikan apakah Vio masih melihat ke arahnya. Ternyata masih. Adit jadi salah tingkah.

“Ambil sendiri, Dit nasinya, itu lauknya, ambil aja, jangan malu-malu.”
“Iya, Dit jangan malu-malu.”

Adit malu.

***

Sore telah berlalu. Pekerjaan menata barang-barang di rumah baru telah selesai. Awak truk yang mengerjakannya bahkan sudah pamit pulang. Kini dia sendiri, belum bosan-bosan pula melihat-lihat ruangan demi ruangan rumah barunya, sambil mencoba membenai letak lemari yang kurang pas, atau posisi dipan yang miring atau meja sudut yang dirasa kurang serasi. Ada saja yang dirasakannya tidak harmonis dalam penglihatannya.

Baru hari pertamanya, pikirnya. Tak perlu buru-buru. Dia bukan hendak menempati rumah ini satu-dua hari. Dia tidak sedang menginap di hotel. Ini rumah barunya, yang akan ditempatinya sepanjang sisa hidupnya. Dia melangkah masuk ke kamar. Tirai jendela belum dipasang. Besok saja. Sekalian memasang semua gorden untuk ruang-ruang yang lain. Yang penting semua barang sudah masuk. Yang penting semua sudah tertata. Yang lain menyusul sesuai keperluan. Dia berdiri di kamar. Segalanya asing di matanya.

***

Kau berdiri di kamar. Segalanya asing di matamu....

Thursday, April 12, 2007

Makan Siang

Makan siang kami kali ini cukup istimewa. Kami duduk di ruangan yang luas di sisi dinding kaca yang seolah menjadi kanvas bagi lukisan panorama kota. Gedung-gedung tinggi, rumah-rumah, jalan, pepohonan dan langit. Orang yang menjamu kami, menyambut dengan senyum yang mengkrabkan. Lalu, memperkenalkan kami dengan menu-menu yang sudah terhidang di atas meja. Lidah bebek masak kecap, lumpia kering dan lumpia basah. Menu utama belum datang.

Pramusaji, seorang berempuan berseragam, bertubuh montok dan berpupur tebal, menghampiri meja kami dan membangikan cawan-cawan mungil. Tak lama kemudian, ia berputar sambil menuangkan teh hangat ke dalam cawan-cawan itu. Sambil terus mengobrol, orang yang menjamu kami mulai mengulurkan tangannya, dan menyumpit sepotong lidah bebek yang tadi dia bilang sebagai kesukaannya. Saya pun penasaran mencoba. Enak juga. Manis. Coba sedikit diberi rasa pedas, pasti lebih lezat. Saya jadi ingat, sering masak seperti juga, tapi dari bahan yang beda, yakni sayap ayam.

Teman saya menyusul mencoba. Rasanya agak aneh, katanya. Dan, setelah itu saya lihat ia tak mengambil lagi. Sedangkan saya akhirnya menghabiskan 3 dari 7 potong yang tersaji di piring panjang. Lalu, datang lagi satu porsi makanan pembuka. Kukira daging goreng. Enam potong tipis-tipis. Ternyata, itu menu vegetarian. Ketika saya cicipi, rasanya mirip daging, tapi lebih empuk dan lebih lembut.

Kami terus saja makan sajian-sajian pembuka itu sebelum menu utama datang. Lumpia basahnya enak, dipotong kecil-kecil. Sedangkan lumpia keringnya berisi udang. Mbak-mbak pramusaji datang lagi, mengantarkan empat mangkuk sup. Kami langsung menyambutnya. Kental. Dan, agak asam. Isinya jamur dan parutan tahu Jepang. Tidak cocok dengan cita rasa selera Jawa saya. Dua sendok saya berhenti, dan tak pernah menyambanginya lagi.

Dan, ulala, menu utama yang kami tunggu-tunggu datanglah pula. Udang kupas rebus kuning telur, kepiting goreng telur asin dan cah kangkung campur daging. Semuanya menggoda. Semuanya begitu mengena di lidah. Tapi, kami makan begitu lambat karena sambil tak henti-henti ngobrol. Sesekali saya menyeruput teh hangat dalam cawan. Tawar, tapi enak sekali. Mbak-mbak pramusaji berkali datang untuk menuang teh ke dalam cawan mungil kami yang berkali-kali tandas.

Nasi putih dalam mangkuk-mangkuk kami akhirnya tak habis jua. Demikian pula dengan udang, kepiting dan kangkung campur daging itu. Kami kekenyangan, tapi mata masih terus mencari-cari apa yang masih bisa disantap di atas meja. Saya raih lumpia kering terakhir di atas piring. Baru sadar saya, bahwa lumpia ini terbuat dari udang juga. Lalu, saya melirik ke arah lidah bebek --masih satu tapi kini letaknya terlalu jauh dari jangkauan sumpit saya.

Teh dalam cawan tandas lagi. Mbak-mbak pramusaji datang lagi dan mengisinya lagi. Saya masih sempat makan satu butir kepiting goreng telur asin yang gurih dan dua potong udang kupas yang kenyal itu sebelum akhirnya kami mengakhiri makan siang hari itu. Ketika keluar dari ruangan, saya baru sadar bahwa di lobi restauran itu terdapat berderet-deret akuarium, dengan aneka ikan dan binatang air laut lain yang bergerak resah di dalamnya. Untunglah tak terlihat seekor bebek pun yang sedih membisu karena kehilangan lidahnya.

Wednesday, April 11, 2007

Turunkan Tanganmu, Jenderal!

Nagabonar, yang kini sudah tua, diajak anaknya, Bonaga ke Jakarta. Sang anak, setelah disekolahkan sampai S-2 di Inggris dari hasil kebun kelapa sawit di Medan, kini telah jadi pengusaha sukses. Di Jakarta, Nagabonar ternyata harus menyetujui rencana anaknya menjual kebun kelapa sawit itu kepada investor asing. Jenderal mantan copet itu tak setuju, terutama karena di sana ada makam leluhur yang dia junjung tinggi.

Di tengah kemarahannya pada sang anak, Nagabonar menghabiskan waktu dengan jalan-jalan keliling Jakarta. Selain ke Tugu Proklamasi untuk menjenguk Bung Karno, ia juga sowan ke Jenderal Sudirman di Dukuh Atas. Ketika melihat Jenderal Besar itu menghormat, ia terheran-heran. Nagaonar tak melihat apapun yang harus dihormati oleh Jenderal Sudirman, kecuali mobil-mobil yang berderet dalam kemacetan.

"Tidak semua dari mereka pantas kau hormati!" teriak Nagabonar masygul. "Turunkan tanganmu, Jenderal!" ia mulai meradang. Tapi, tak ada sautan dari sang Jenderal Besar. Nagabonar makin kalap. Ia raih tali yang terjulur dari atas, dan ia panjat patung itu sambil terus meraung-raung, "Turunkan tanganmu, Jenderal." Teriakannya membelah langit.

Sudah lama saya tidak dibuat menangis oleh sebuah film (Indonesia), dan menonton adegan Deddy Miswar dalam Nagabonar Jadi 2 yang dia sutradarai sendiri itu saya mrabak. Sebuah adegan yang mungkin berlebihan, bahkan absurd, tapi -entahlah- saya tidak bisa membendung airmata saya. Saya bergidik. Saya meriding. Saya jadi melupakan betapa ringannya cerita film itu sendiri. Saya juga tak peduli lagi bahwa banyak adegan yang agak membosankan dan bahkan mungkin tak perlu.

Ini film yang begitu mudah kita maafkan kekurangan-kekurangannya untuk kemudian kita sukai dengan sepenuh hati. Emosinya yang naik-turun dan tak rata, printil-printil yang sebagian tidak berkaitan langsung dengan cerita, ungkapan "apa kata dunia" yang begitu basi...semua termaafkan, antara lain, oleh akting Deddy Miswar yang menggetarkan, yang didukung dengan ensambel pemain yang bagus, terutama -sudah barang tentu- Tora Sudiro sebagai Bonaga, dan juga Wulan Guritno.

Dan, satu adegan di Dukuh Atas itu rasanya sudah cukup...untuk membungkam mulut saya yang nyinyir ini.

Wednesday, April 04, 2007

Legend of the Fall

Sekarang dia harus bekerja. Terakhir ketemu, dia bahkan menjual HP-nya kepada saya. Karena harganya cukup reasonable, dan kebetulan saya juga lagi ada sedikit uang, langsung saja saya tarik dia ke ATM basement Plaza EX. Itung-itung sekalian nolong juga, pikir saya. Dia salah satu teman terbaik yang pernah saya punya. "Saya mau nyari kos," katanya. Wajahnya yang putih tampak makin pias oleh nada suara yang sedih. Seleret senyum yang memperlihatkan behel warna pink coba dipaksakan, namun saya justru lebih melihatnya sebagai sebuah upaya untuk menelan kepahitan.

Saya pertama kali mengenalnya lebih dua tahun lalu. Namanya Dodi. Dia "dibawa" oleh teman saya, Boy yang kala itu juga belum lama saya kenal. Mereka tampak sangat akrab dan mesra, dan itu membuat saya penasaran. Setahu saya, Boy sudah punya pacar, dan bahkan tinggal serumah dengan Mas Rudi. Saya juga pernah diperkenalkan dengannya. Belakangan saya tahu, Boy memang jadian sama Dodi. Awalnya, mereka sembunyi-sembunyi, tapi lambat laun, Boy justru memperkenalkan Dodi ke Mas Rudi dan akhirnya Dodi justru diajak tinggal bareng dengan mereka! Agak shock juga saya dengan kenyataan itu: pacaran bertiga, gimana ceritanya?

Awalnya, saya menyaksikan, segalanya tidak hanya baik-baik saja, tapi juga tampak serba indah. Saya bahkan sempat agak iri dan kepengen. Mereka bahkan kemudian seperti menjadi magnet yang berhasil menghubungkan dan mengumpulkan banyak orang, dan melahirkan sebuah komunitas kecil. Rumah Mas Rudi yang cukup besar dan nyaman di Cilandak menjadi tempat nongkrong. Pada malam-malam tertentu, kami beramai-ramai pergi ke Centro atau Heaven, dan pulangnya menginap di kamar-kamar di bagian belakang rumah, yang dibangun untuk disewakan kelak kalau Mas Rudi sudah tua.

Sampai pada suatu hari, Dodi curhat pada saya. Ia mulai tahu perangai asli Boy yang ternyata masih suka selingkuh dengan brondong lain. Konon, itu kebiasaan sejak lama, dan Mas Rudi juga sudah tahu itu. Bahkan, konon lagi, Mas Rudi pernah mengusir Boy dari rumah itu karena ketangkap basah. "Ternyata, udah ada gue, dia belum berubah juga," saya masih ingat kesedihan yang membayang di mata Dodi ketika itu.

Mungkin karena merasa sama-sama "korban" kenakalan Boy, Mas Rudi jadi lebih dekat dengan Dodi. Mereka kemudian bahkan sepakat untuk "menindak tegas" Boy jika suatu saat terbukti selingkuh lagi. Dan, saat itu akhirnya memang tiba. Tapi, segalanya ternyata tak semudah yang dipikirkan. Dodi sempat lari dan bersembunyi ke rumah saya waktu itu."Kalau Boy nelpon jangan bilang gue di sini," pesannya wanti-wanti. Sampai malam Dodi di rumah saya, dan dia curhat sambil nangis-nangis. Tiba-tiba Boy nelpon dan mereka bicara lama sekali. Hampir tengah malam, Boy muncul di rumah saya. Ternyata Dodi akhirnya mengaku bahwa dia sembunyi di rumah saya. Dan, mereka baikan lagi.

"Gue nggak tega, Mu," kilah Dodi ketika saya komplain mengapa ia tak menjalankan rencananya dengan konsisten. Lama-lama saya jadi tahu, Dodi hanyalah seorang yang lemah dan peragu. Setelah kejadian itu, Boy masih saja selingkuh dan selingkuh lagi, dan Dodi lagi-lagi hanya mengancam dan mengertak tapi akhirnya memaafkan dan mereka baikan lagi. Saya lama-lama capek karena selalu menjadi tempat mereka lari jika sedang berantem. Bahkan, saya mulai bisa "mengerti" dan "menerima" kebiasaan buruk Boy. Diam-diam, saya justru "berpihak" padanya, setidaknya dalam hati kecil saya yang paling tersembunyi. Saya benar-benar gemas dan masygul dengan ketakberdayaan Dodi.

Lalu, datang masa ketika saya tak lagi dekat dengan mereka. Dan, ketika suatu hari saya bertemu dengan Dodi, segalanya sudah berubah. Dodi menggandeng cowok item manis, dan bercerita bahwa Boy sudah pergi dari rumah itu. "Mas Rudi sudah nggak tahan," katanya. Terus, ini pacar baru, tanya saya dengan isyarat pandangan mata pada brondong yang baru diperkenalkan ke saya itu. "Ini Aston, temen kok," sanggahnya. Saya percaya saja. Dodi masih seperti dulu, banyak curhat dan banyak mengeluh. Kali ini keluhannya tentang Mas Rudi. "Suka aneh, Mu, kalau gue jalan gini suka ditelponin, macem-macem aja alasannya, intinya sih gue nggak boleh keluar, ya kan bosen di rumah mulu."

Hari-hari setelah itu, saya jadi sering jalan sama Dodi dan Aston. Dan dia tetap saja mengeluh tentang Mas Rudi. Tapi, kali ini saya mulai paham mengapa Mas Rudi "suka aneh", karena ternyata Dodi memang hampir setiap malam jalan dan itu bagi Mas Rudi "hanya menghabis-habiskan uang". Saya mengerti psikologi orang "setua" Mas Rudi. Tapi, saya juga tidak menyalahkan Dodi. Meskipun, saya mulai curiga Dodi dan Aston tak hanya berteman biasa. Dan, seperti kata Trie Utami, hari-hari pun berlalu bagaikan kereta biru. Gosip demi gosip tersebar dan kabar demi kabar bertukar: Dodi kini tak di rumah itu lagi, diusir sama Boy yang tiba-tiba balik lagi bersama brondong barunya, dan diterima dengan baik oleh Mas Rudi.

Semalaman kabar itu menjadi bahan diskusi teman-teman dekat Dodi. "Ih, Boy itu nggak tahu diri banget sih, bisa-bisanya balik lagi dan bawa brondongnya pula!"
"Gue justru heran, kok Mas Rudi bisa nerima Boy lagi. Parah banget sih tuh orang, maunya apa sih. udah tuwir nggak tahu balas budi banget deh, Dodi kan selama ini udah baik banget ama dia, ngurusin dia, nyuci baju dia, masak, bersih-bersih rumah."
"Brondongnya Boy itu juga lacur banget sih, nggak tau malu banget!"
"Pasti mobil Mas Rudi sekarang jadi milik mereka berdua."
"Sundal!"
"Perempuan busuk!"

Saya lebih banyak jadi pendengar. Lalu, terpikir untuk mengirim sepatah-dua patah kata untuk menguatkan hati Dodi lewat SMS sambil bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi. "Ceritanya panjang, Mu, ntar aja kalau kita ketemu gue ceritain. Thx perhatiannya, seharusnya gue dengerin kata-kata lu sejak dulu," balas dia. Ketika saya tanya sekarang tinggal di mana, ia bilang di rumah kakaknya. Kabar berikutnya yang saya dengar, Dodi diterima kerja di Starbuck Setia Budi. Saya senang dan ikut bersyukur.

Pada suatu malam Minggu, akhirnya saya bertemu lagi dengannya, dan beberapa teman lain geng-nongkrong-ohlala. Wajahnya tak seceria dulu lagi. Penampilannya juga tak seglamor dulu. Tubuhnya tampak makin kurus. Dia datang bersama Aston yang masih juga belum dia akui sebagai pacarnya. Tapi, dengan segala yang telah terjadi, kami tetap dan makin sayang padanya.

Tuesday, April 03, 2007

Jakarta, Buku Itu, Film Ini

Jakarta Undercover (strd: Lance, skrip: Joko Anwar), ternyata, bukan film yang diangkat dari buku berjudul sama karya Moamar Emka. Melainkan, ini film yang dibuat dengan mendompleng"kesuksesan" buku tersebut. Saya kira, kalau film ini diberi judul lain mungkin tidak akan ada bedanya apa-apa. Apakah para kreator di balik film ini segitu tak percaya dirinya sehingga harus meminjam judul buku itu untuk cerita yang sebenarnya memang sudah menjadi fenomena umum di Jakarta, dan bukan monopoli liputan eksklusif Emka?

Tapi, ada baiknya juga bahwa film ini sebenarnya tak memfilmkan buku itu. Maksud saya, buku sampah berselera murah(an) itu. Ah, Anda terlalu tahulah maksud saya. Bagaimana membayangkan bahwa buku "seperti itu" difilmkan? Tentu saja saya tahu benar bahwa buku itu laris bukan kepalang. Tapi, ya, justru itulah soalnya. Bukankah yang laku itu biasanya buku yang buruk --atau, Anda pura-pura tak tahu itu?

Jadi, sekali lagi, bahwa film ini ternyata tidak benar-benar memfilmkan buku itu, adalah fakta yang paling menggembirakan dari film ini. Selebihnya? Setelah banci itu mati, penonton sudah tahu apa yang akan terjadi. Kita sudah menyaksikannya beribu-ribu kali dalam film-film Hollywood. Intinya, saksi pembunuhan harus dilenyapkan. Dan, semua itu terjadi dalam semalam. Viki (Luna Maya), saksi itu, harus terus berlari dari kejaran para pelaku, Haryo (Lukman Sardi) dan dua kawannya.

Selebihnya? Semuanya berjalan sesuai rumus yang sudah dihafal di luar kepala. Ada yang mencoba melindungi Viki, tapi si pelindung ternyata musuh lama para pelaku, sehingga terjadi negosiasi. Tentu saja Viki bisa lolos, untuk mencari tempat bersembunyian yang lain. Tapi, para pelaku itu kan anak-anak pejabat, yang punya banyak teman, yang sekali telepon, banyak yang bisa membantu mendeteksi keberadaan Viki. Jadi, ke mana pun dia lari, dengan gampang Haryo dkk menemukannya. Memang begitulah aturannya. Kalau semua bisa digampangkan, kenapa harus susah-susah.

--Dibikin begini saja, pasti juga ada yang memuji kayak gini kok, "Yang membuat Jakarta Undercover berbeda dengan film Indonesia lainnya, yang lain mencoba jadi pintar tapi jatuhnya bodoh. Jakarta Undercover bodoh dengan sengaja tapi tak jarang jatuhnya pintar." Puji Tuhan, kita hidup di zaman ketika satu-satunya cara yang dianggap sah untuk menjadi pintar adalah dengan tidak terlihat pintar, atau berpura-pura tidak pintar.--

Tinggal diperkuat saja dengan penokohan yang "aneh-aneh": Haryo yang gemar nge-fuck banci sampai (si banci) mati; lesbian tua bertato naga di punggungnya. Dan, hei, keduanya sangat berkuasa, dan saling berebut wilayah kekuasaan. Selebihnya? Tentu saja setelah berkali-kali hampir tertangkap, Viki akhirnya bisa melakukan serangan balik lewat cara yang unik dan tak tersangka-sangka oleh para pengejarnya. Selebihnya? Sebuah kesimpulan: di kota ini tak ada yang benar-benar kalah atau benar-benar menang. Ah, ternyata hanya sebuah dongeng-modern lain tentang "sekejam-kejamnya ibu tiri lebih kejam ibu kota."

Joko Anwar, dapat salam dari (alm) Ateng!