pop | arts whatever

Wednesday, January 23, 2008

Otomatis Romantis: Mengejar Mas-mas Seri Dua

Dengan berbagai bungkusnya, semua kisah cinta sebenarnya adalah kisah Cinderella. Tapi, di jagad dongeng modern, tidak semua Cinderella itu perempuan. Film ini adalah komedi Cinderella modern versi laki-laki.

Film dibuka dengan memperkenalkan Marsya Timothy yang sedang digandrungi pria-pria straight maupun gay di Jakarta, yang berperan sebagai pemimpin redaksi ala-devil wears prada. Bedanya, yang ini masih muda (29 tahun) dan bermasalah dengan jodoh. Oh, tidak, ayahnyalah --yang ia panggil papi-- yang meributkannya. Tekanan sang Papi membuat sang Pemred uring-uringan di kantornya, sebuah majalah gaya hidup untuk perempuan kota.

Di dunia yang lain, kita diperkenalkan dengan Tora Sudiro sebagai mas-mas Jogja nan culun-polos-setengah tolol yang hidup di bawah tekanan kakaknya yang tukang judi.

Begitu adegan berikutnya si mas-mas jawir itu terlihat --ternyata-- bekerja sebagai staf rendahan di kantor si devil wears prada, deng deng deng, kita pun tahu belaka, apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dengan kemasan komedi Jawa ala Srimulat, dan menampilkan salah satu ikon terkuatnya dari generasi lama (Tarzan) dan ikon terkuat dari generasi baru (Tukul), film ini sama sekali tidak menyimpan motif apapun kecuali melucu.

Maka, saya depresi membaca beberapa review atas film ini yang menyinggung-nyinggung soal "benturan antara nilai-nilai lama dan baru", semacam itulah. Oh my God! Belum lagi ulasan-ulasan garing media mainstream yang menyebut-nyebut soal "tema dan permasalahan yang sebenarnya mengakar di hampir seluruh keluarga Indonesia, namun belum sempat diangkat menjadi film."

Dan, kalau itu belum cukup untuk membentur-mbenturkan kepada di layar komputer, maka simak juga rilis resmi dari pihak produser yang mengatakan, "Film ini...mengenai dua anak muda dalam proses pencarian sebuah cinta sejati."

Tolong, mana Decolgen saya!

Syukurlah, faktanya tidak sefrustrasi itu. Yang saya jumpai di layar hanyalah deja vu dari film-film FTV macam Kutunggu Kau di Pasar Minggu, sebuah versi lain dari film Notting Hill dari Anjasmara dan Dessy Ratnasari pada 2001 (wow, betapa dahsyatnya ingatan saya!), atau pun Ujang Pantry yang tak lain karya sutradara yang kini menyutradarai Otomatis Romantis ini.

Bedanya, sekali lagi, kemasannya yang Srimulatan abis!

Tarzan berperan sebagai Tarzan dengan cengkok bicaranya yang meliuk-liuk. Tukul berperan sebagai Tukul lengkap dengan trademark cipika-cipikinya, bahasa Inggris "British"-nya, dan diledek sebagai lele dumbo. Tora berperan sebagai pelawak Extravaganza yang kadang-kadang menjadi Gepeng (alm.) dan kadang-kadang sekemayu Didik Nini Thowok.

Ketika Tukul muncul satu frame --mengutip istilah Tukul sendiri yang diulang-ulang dalam lawakan Empat Mata-- dengan Tora, atau dengan Tarzan, maka dialog yang dipersiapkan untuk mereka pun sepenuhnya kalimat-kalimat lawakan. Ketika Tarzan marah, ketika Tukul menangis, semua tidak bermakna apa-apa kecuali mereka sedang melawak.

Bahkan, nama tokoh pun, Bambang (untuk Tora) diperhitungkan untuk mengejar efek lucu, menggugah kenangan fans Srimulat pada pelawak Triman (alm.) yang selalu memperkenalkan diri sebagai "Emmbammbaangg" dengan suara sengau dan mimik idiot.

Jadi, sia-sia saja sebenarnya ketika film ini memasukkan paradoks seorang pemred majalah wanita yang biasanya menulis tips mengejar laki-laki idola, tapi tak bisa membantu dirinya sendiri ketika jatuh cinta dan mengejar-ngejar seorang mas-mas Jogja, bawahannya pula. Itu pun kalau kita setuju bahwa memang ada paradoks di situ. Tapi, siapa yang sempat memikirkannya?

Dari awal saya hanya gelisah, kok Tukul nggak muncul-muncul? Ya, layaknya menonton lawak, saya hanya ingin tertawa, kalau bisa sekeras-kerasnya. Dan, ketika ternyata saya memang bisa, maka saya tidak butuh apa pun lagi selain itu.

Monday, January 21, 2008

Feminisme Gelombang Kedua

Begitu lampu menyala, teman saya langsung menarik nafas dan berkata, “Jadi, kesimpulannya laki-laki itu jahat.”

Saya setuju, laki-laki memang jahat. Tapi, pesan moral dari film yang baru saja kami tonton itu, saya kira bukan itu. Apa boleh buat, sebuah film yang secara khusus dibuat untuk menyampaikan sebuah pesan, memang justru berisiko disalahpahami. Atau, dengan kata lain, harus siap ditafsirkan berbeda dengan apa yang dimaui pembuatnya.

Masalahnya terletak pada kejernihan cerita.

Seperti tersirat jadi judulnya yang lebih bernuansa faktual (dan politis) ketimbang fiksional, film ini sejak awal memang mengemban misi tertentu, yakni memberi pencerahan (baca: menyadarkan) kepada kaum perempuan mengenai hak-hak mereka.

Dalam acara Silat Lidah di AN-TV edisi promosi film ini, para perempuan yang terlibat dalam film ini, dari sutradara, aktris hingga penulis cerita mengajak para perempuan agar berbondong-bondong menonton film ini bersama suami mereka. Para feminis gelombang kedua –setelah gelombang pertama tampil lewat lembaga-lembaga riset, akademis dan agama, jurnal ilmiah, LSM serta sastra— telah menyeruak ke muka dengan semangat yang menggebu-nggebu.

Mereka telah merobohkan benteng terakhir persembunyian ideologi patriarki, yang selama ini belum tersentuh, yakni film. Ah, kadang-kadang saya memang suka agak hiperbol. Kenyataannya, Perempuan Punya Cerita adalah (atau hanyalah?) kumpulan 4 cerita (pendek) dari 4 sutradara dan dua penulis skrip yang berbeda, yang semuanya dimaksudkan untuk mengangkat isu penting dari dunia perempuan.

Cerita Pulau membawa misi pencerahan mengenai aborsi. Cerita Yogyakarta menyisipkan pesan yang hampir sama, dengan fokus pada pergaulan bebas remaja. Cerita Cibinong mengangkat isu gawat perdagangan anak-anak perempuan. Terakhir, Cerita Jakarta tentang penderitaan berganda terhadap perempuan penderita HIV/AIDS.

Jika tadi di atas telah dibilang, masalahnya adalah kejernihan cerita, kecuali Cerita Jakarta, film ini memang bermasalah dengan itu. Ibaratnya, film ini menempuh jalan yang terlalu berliku untuk sampai pada pesan yang diinginkannya. Seperti kalimat yang berputar-putar, berayap-sayap, sehingga apa yang ingin disampaikannya menjadi kabur atau kurang jelas.

Pada Cerita Pulau dan Cibinong, kita melihat begitu banyak “cerita”, begitu banyak "konflik" sehingga cerita kurang berhasil memberikan “kesan tunggal” yang kuat. Bidan yang terpanggil untuk memperjuangkan hak aborsi bagi perempuan yang memang “harus” melakukannya dalam Cerita Pulau, harus bergulat dengan dirinya sendiri yang menderita kanker stadium tiga. Sedangkan, yang “harus” aborsi itu adalah perempuan cacat mental yang rambutnya sangat rapi dan gaunnya selalu mewah –kontras dengan kondisi keluarganya yang (sangat) miskin—yang diperkosa oleh lelaki-lelaki pelabuhan. Fokus dan simpati kita jadi terpecah-pecah. Gambar-gambar yang gelap menambah kesan keruwetan cerita, dan pengadeganan yang “nggak mau repot” membuat film ini tak kunjung sampai pada kepaduan makna yang membekas.

Cerita Yogyakarta bahkan terjatuh ke dalam sketsa karikatural yang nyaris absurd, dan saya malas sekali untuk membahas bagian ini.

Pada Cerita Cibinong, perhatian dan simpati kita kembali terpecah, kali ini antara diva dangdut kelas kampung yang bermimpin sukses di Jakarta dengan anak perempuan yang menjadi korban sindikat perdagangan manusia. Memang, kedua “sub teks” tersebut saling berkaitan namun beban konfliknya menjadi terlalu banyak, terutama pada si korban trafficking itu, yang sebelumnya harus menghadapi pelecehan seksual oleh pacar ibunya sendiri.

Bagian favorit saya adalah Cerita Jakarta: sederhana, rapi, mengalir, matang dan solid. Ini cerita yang paling tidak berteriak, juga paling lembut menyisipkan pesannya, namun justru efektif dan menyentuh. Cerita ini berhasil menggambarkan, betapa perempuan, dibanding dengan laki-laki, jauh lebih rentan terhadap ancaman HIV/AIDS, dan sekali terkena, itu menjadi sumber penderitaan yang berlapis.

Secara keseluruhan, film ini tampak dengan sengaja mengedepankan concern terhadap isu tertentu yang berkaitan dengan tubuh perempuan, dan bahkan dipersempit lagi ke organ reproduksi, dari sebegitu kompleksnya masalah keperempuanan di Indonesia yang barangkali masih banyak lainnya yang lebih menyentuh kehidupan keseharian kaum perempuan. Bukan berarti seks, aborsi dan trafficking tidak penting, tapi berangkat dari yang “lebih kecil” dan sehari-hari mungkin akan lebih mengena, mudah dipahami dan "nyampe". Daripada, disalahpahami sebagai, misalnya, mengkampanyekan legalisasi aborsi. Ini misalnya, lho!

Friday, January 18, 2008

Kawin Kontrak: Komedi Obat Kuat

Film ini sebenarnya tidak lebih buruk --dan itu artinya juga belum tentu lebih baik-- dibandingkan dengan Get Merried atau pun Quickie Express --untuk menyebut dua contoh saja film komedi yang masih segar dalam ingatan.

Tapi, siapa yang mau jujur untuk Raam Punjabi?

Tak seorang pun --dan mungkin termasuk saya (hehehe).

Raam selama ini identik dengan sinetron yang benar-benar bikin orang jengah, sehingga ketika terjun dalam produksi film, ia seperti memikul "dosa bawaan". Orang akan dengan mudah memvonis film-film Multivision Plus Picture --rumah produksi miliknya-- jelek sebelum atau bahkan tanpa perlu menontonnya. Jangan salahkan mereka. Dalam industri film, politik pencitraan itu penting, dan sekali salah memulai langkah, maka susah memperbaikinya selamanya. Satu-satunya cara untuk menebus dosa itu tak lain memproduksi film-film yang bagus.

Kawin Kontrak berangkat dari kegelisahan paling nyata yang dialami kebanyakan cowok yang mulai beranjak dewasa di zaman ini: gimana sih rasanya ML? Film ini lantas mengambil jalan berliku: cowok-cowok gatal itu memilih untuk kawin kontrak agar bisa melampiaskan keinginannya dengan aman.

Padahal, misalnya jalan yang ditempuh lebih simpel, misalnya, pergi saja ke panti pijat plus di Kota, kelucuan dan kekonyolan yang muncul juga tak kalah seru dan kompleks.

Kecuali, jika film ini memang berpretensi untuk menjadi semacam risalah sosiologi yang memotret praktik kawin kontrak yang masih menjadi bagian dari kenyataan masyarakat tertentu di Tanah Air. Kalau iya, ini tentu sangat mulia. Dan, nyatanya ada salah seorang penonton ang berkomentar (di blog-nya): wah, baru tahu kalau ada desa yang menyediakan jasa kawin kontrak lengkap dengan penghulunya! Thanks, Pak Raam, sebuah pelajaran sosiologi yang bagus untuk remaja.

Kabar baiknya lagi, itu semua diungkapkan dalam komedi yang cukup segar. Hanya saja, film ini kemudian terlalu serius dengan membelokkan banyolan-banyolan seksual-vulgarnya menjadi sebuah kisah kepahlawanan yang, plis dong ah, klise banget.

Cowok-cowok gatal yang ditampilkan begitu lugu, jujur dan mesum di bagian awal, akhirnya berubah menjadi detektif-detektif yang menyelamatkan masyarakat desa dari kibul dan kejahatan seorang bos-Arab-gadungan dari Tanah Abang. Dan, yang awalnya hanya ingin mencari kepuasan sesaat untuk melampiaskan kenakalan anak muda, salah satu dari mereka menjadi seorang pecinta-tulus yang "gombal" abis.

Coba kalau film ini konsisten dengan main-mainnya dari awal, dengan keberaniannya menantang orang-orang yang terobsesi pada moralitas, dan dengan komedi obat kuatnya yang tolol-konyol-abdsurd-tapi-yah-memang-lucu-sih itu!

Namun, saya tetap memuji keberanian film ini untuk "pasang badan" terhadap risiko dianggap mengajari anak muda ngeseks di luar nikah --lengkap dengan petunjuk teknis untuk "tahan lama" segala. Makanya, diam-diam setelah menonton film ini saya menunggu ada tokoh agama atau sekelompok orang memprotes film ini.

Ternyata sampai sekarang tidak ada. Saya jadi semakin yakin, para pemrotes itu tidak pernah melihat film yang diprotesnya kecuali hanya menyimpulkan dari judulnya. Tak heran film-film seperti Buruan Cium Gue dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda jadi sasaran. Kawin Kontrak? Orang mungkin justru mikir, wah ini film islami. Dapat salam dari Aa Gym, Pak Raam! Hehehe.

Wednesday, January 09, 2008

Film "Mereka Bilang, Saya Monyet": Sebuah Esei Biografis

Film yang tengah diputar di Blitz dan dirayakan sebagai bagian dari "revolusi digital di jagat sinema" ini bagi saya lebih menyerupai sebuah esei ketimbang fiksi.

Sebuah esei biografis tentang bagaimana seorang perempuan merebut tempat di tengah pusaran sastra Indonesia. Tentang kekerasan yang melatari lahirnya sebuah cerpen berjudul "Lintah". Tentang menjadi perempuan simpanan seorang mentor, dan tentang menulis sambil menenggak bir kalengan.

Semua terasa begitu "nyata", antara lain diwakili oleh syut atas halaman koran Kompas yang memuat cerpen itu. Dan, penonton pun, sebagian penonton, menduga-duga, siapakah si mentor? Siapa pula pengusaha yang muncul sekilas itu?

Menonton debut penyutradaraan Djenar Maesa Ayu ini jadi terasa seperti sebuah petualangan mencocok-cocokkan antara fakta dan fiksi, dan saya begitu menikmati kesibukan itu. Dan, dalam banyak hal, ini jauh lebih menarik ketimbang filmnya itu sendiri. Sulit bagi saya untuk peduli dengan cerita tentang pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan yang kelak di kemudian hari bisa begitu leluasa untuk memilih lelaki yang menidurinya karena "butuh belanja, bayar apartemen dll".

Dan, apa sih makna pelecehan seksual jika kelak yang bersangkutan bisa dengan sentausa menjadi simpanan seorang penulis tua agar terorbit karir menulisnya?

Terlalu banyak gosip tentang Djenar sejak pertama kali kemunculannya di jagad sastra, sehingga ketika semua yang pernah terdengar secara bisik-bisik itu terproyeksikan dalam film ini, sepertinya sudah tak ada yang menarik lagi.

Tapi, saya suka dengan metafor lintah itu. Saya suka dengan cara film ini bertutur. Gambar-gambar yang tampil lugu, bahkan mentah, menjadi begitu termaafkan berkat struktur penceritaan yang bagus. Saya terbuai oleh dinamisasi adegan demi adegan yang dengan tangkas keluar-masuk berpindah-pindah dari masa kini ke masa lalu dengan lompatan-lompatan yang smooth. Meskipun, layaknya sebuah esei, film ini memuat begitu banyak ide, dan dalam film kadang-kadang ide hanyalah kata lain dari "komentar sosial" yang disisipkan di sana-sini, dari soal bagaimana realitas harus dipandang sampai ke isu sastra wangi.

Satu lagi yang menarik, soal moralitas. Film ini begitu ngotot untuk melarikan diri sejauh-jauhnya dari unsur tersebut, namun semakin jauh itu bisa dihindari, semakin tampak bahwa ada ketikdajujuran di sana. Hingga pada akhirnya, Djenar menyerah, oke, menjadi liar itu memang tidak mudah, ketika film sampai pada adegan pertengkaran sang tokoh utama dengan dua perempuan sahabatnya.

Setelah tokoh kita itu membentak kedua sohibnya untuk turun dari mobil, kamera terus mengikuti masing-masing, dan saya seperti terbanting ke "dunia nyata": yang satu sampai di rumah menangis karena ingat hidupnya yang hampa tanpa anak, yang satu lagi menangis menyaksikan anaknya tidur di sisi pembantu --wajah-wajah mereka seperti pendosa yang insaf. Gubrak. Jangan-jangan itulah "wajah" Djenar yang sesungguhnya, yang sepanjang film tadi ia tutupi dengan adegan-adegan ngewe, kaleng-kaleng bir kosong dan dialog-dialog vulgar. Duh.