pop | arts whatever

Monday, June 23, 2008

Film "Fiksi.": Dongeng dan Sosiologi Rumah Susun

Salah satu perkembangan yang cukup tebal mewarnai dunia penciptaan seni (sastra, film) di Indonesia adalah kecenderungannya untuk sejauh mungkin menghindari realitas. Penyair Afrizal Malna dengan eksentrik tapi benar mengibaratkan gejala semacam itu dengan ungkapan "seperti novel yang malas menceritakan manusia." Namun, jika disimak lebih dalam, karya-karya tersebut sebenarnya bukan menghindari, melainkan mendekati realitas dari arah yang lain. Masalahnya, bagi kita sebagai audiens (pembaca, penonton), seberapa dalam kita harus menyimak, atau seberapa besar kesabaran kita, untuk sampai pada "kebenaran" bahwa ini tak lain persoalan pendekatan (bentuk) --hingga akhirnya kita tahu bahwa dari segi isi, karya-karya itu justru sebenarnya sangat ingin mengatakan sesuatu tentang realitas, dan bukan hendak menghindarinya?

Menonton debut penyutradaan seorang pendatang baru bernama Mouly Surya lewat film berjudul Fiksi., problem seperti itulah yang saya hadapi. Saya nyaris kehilangan kesabaran sebelum akhirnya menemukan bahwa ini karya yang cukup cemerlang. Sepasang muda-mudi yang nonton bersama saya sore itu tidak memiliki kesabaran seperti saya, sehingga belum sampai separo durasi film berjalan, mereka sudah ngeloyor keluar dari gedung bioskop. Namun, ketika ada satu pasangan lagi menyusul bahkan setelah film melewati tiga perempat durasinya, saya pun berpikir kembali tentang kesabaran --benarkah itu problemnya? Mengapa bagi pasangan yang belakangan saya sebut itu, film ini seperti tidak menggerakkan mereka untuk penasaran, ntar ending-nya gimana ya?

Pada bagian awal, ketika sedang memperkenalkan tokoh utamanya, Alisha (Ladya Cherryl) saya sendiri merasa, film ini kurang "menyedot" keingintahuan dan bahkan mungkin kepedulian kita. Seorang perempuan 20 tahun dari sebuah keluarga yang kaya raya --apa yang tak bisa dilakukannya? Kenyataannya, ia tak ubahnya boneka-boneka yang berjajar di kamarnya. Hidupnya sepi dan membosankan. Rumah yang ditinggalinya demikian besar, tapi ayahnya hanya datang sesekali. Ia hidup dengan seorang kepala rumah tangga (Rina Hasyim) dan sopir yang siap mengantarnya ke mana-mana. Ibunya? Belakangan kita tahu, lewat sejumlah kilas balik yang surealis, sang ibu sudah mati karena bunuh diri. Ada perempuan lain di hati sang ayah yang menyebabkan semua itu, namun tidak diceritakan. Alisha sempat menyinggung soal "perempuan (lain) itu" ketika makan bersama ayahnya, tapi lelaki itu tidak menggubris. Sampai akhirnya ada orang asing yang mengusik hari-hari beku Alisha. Dia seorang lelaki bertampang bad boy, yang beberapa hari menggantikan tukang kebun yang sedang mudik. Sepeninggalan lelaki itu, Alisha jadi kesepian lagi. Namun, kali ini dia sudah tahu penyebabnya dan oleh karenanya tahu bagaimana mengatasinya: harus mencari laki-laki itu.

Setelah berhasil menemukan bahwa lelaki itu tinggal di sebuah rumah susun, Alisha pun nekat kabur dari rumah besarnya dengan mengelabuhi sopirnya, untuk menyewa sebuah kamar di sebelah tempat tinggal lelaki itu. Namanya Bari (Donny Alamsyah), seorang pekerja serabutan yang tengah berusaha menyesaikan novelnya, dan tinggal tinggal bersama pacarnya, Renta (Kinaryosih). Alisha yang dari awal memang terobsesi dengan Bari, akhirnya menyelingkuhinya di belakang Renta. Namun, bukan itu saja. Sejak pindah ke rumah susun itu, Alisha "tiba-tiba" menjadi psikopat yang mengguncang kehidupan rumah susun yang semula tenang. Tempo film yang awalnya "malas-malasan" berubah menjadi penuh ketegangan yang memacu degup jantung. Dan saya terus bertanya-tanya, kenapa sopir pribadi yang konon mantan intel dan disewa khusus untuk mengawasi Alisha itu tidak dikisahkan lagi, misalnya dia sedang kebingungan muter-muter Jakarta karena majikannya "lepas"?

Sampai film berakhir, sopir dan kepala rumah tangga dan rumah besar itu benar-benar tak diceritakan lagi. Alisha menjadi tokoh "baru", yang sakit jiwa dan membawa malapetaka bagi kehidupan di sekitarnya. Kita hanya bisa memaklumi, sejak awal dia memang misterius. Penampilan dan rias wajahnya mirip boneka, atau putri dari negeri dongeng. Tapi, dari mana sifat iblis itu tiba-tiba datang? Kita tidak diberi petunjuk dari masa lalunya, selain ibunya yang bunuh diri. Pada titik ini, problem psikologi yang melatari film ini menjadi tidak begitu meyakinkan. Saya kemudian justru menemukan, isu-isu sosial yang dikembangkan di sekitar tema utama menjadi lebih solid dan menarik. Inilah yang tadi di awal saya singgung, film yang tampaknya ingin lari dari realitas ini sebenarnya justru memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Dan, mengingat skenario film ini ditulis oleh Joko Anwar, kita kemudian melihat adanya kemiripan "pola" dengan salah satu karya dia sebelumnya, Kala (bedanya yang satu disutradarai Joko sendiri dan satunya oleh orang lain). Tidak hanya dalam pendekatan noir yang diterapkan, kemiripan itu juga terjadi pada persambungan antara dongeng yang diusungnya dengan realitas-aktual di luar cerita. Pada Kala kita masih ingat, ada isu kekerasan hingga politik. Pada Fiksi., ada isu sosiologis masyarakat kelas bawah yang harus membayar ongkos (baca: menjadi korban) pembangunan kota. Meramu dongeng (tentang putri dari dunia mimpi yang terobsesi pada cinta dan sebagainya) dengan kenyataan (kehidupan rumah susun yang sedang ditulis menjadi novel oleh salah satu penghuninya) bukankah hal yang mudah dan tak berisiko. Film ini dengan baik telah melakukannya, menaklukkan sejumlah risiko yang mungkin, dan dalam hal ini mungkin lebih baik ketimbang yang telah dicapai Kala.