pop | arts whatever

Tuesday, August 29, 2006

Kematian yang Romantis

Di mana letak surga itu?
Biar kugantikan, tempatmu denganku


Lagu andalan kedua dari album terbaru Agnes Monica, Whaddup…A? (2006) merupakan sebuah balada yang menyayat tentang kehilangan seorang kekasih. Sang kekasih itu mati, dan ‘aku’ meratapinya begitu rupa, sampai ingin menggantikan tempatnya di surga. Tapi, di mana letak surga itu? Dan, seandainya ‘aku’ berhasil menemukannya, dan kemudian menggantikan tempat sang kekasih, bukankah itu artinya, dia yang (gantian) mati dan kekasihnya hidup kembali? Artinya, mereka tetap tak akan bertemu dan bersatu lagi.

Tapi, lirik yang kurang cermat itu sama sekali tak menggurangi popularitas lagu berjudul “Tanpa Kekasihku” itu. Lagu ini dituangkan ke dalam video klip dengan tafsir yang begitu setia pada liriknya. Video klip tersebut melukiskan adegan kematian sang kekasih, yang ditusuk oleh seorang preman di jalanan. ‘Aku’ yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kekasihnya tewas di sisinya, menangis sejadi-jadinya. Sesaat sebelum tragedi itu, mereka berantem di sebuah kafe, dan barangkali hal itu membuat penyesalan dan rasa kehilangan si aku atas kepergian kekasihnya terasa lebih pahit dan menyesakkan. Video klip tersebut dengan gamblang menerjemahkan lagu, dan berhasil menambah efek dramatisasi dari lagu yang sangat sendu itu.

Lewat visualisasi video klip, kematian dalam lirik lagu menjadi terasa lebih dramatik. Dalam adegan yang memilukan, kematian menjadi terkesan begitu romantis. Cinta remaja yang menggebu-nggebu dan maunya serba indah, serba heroik memang selalu membutuhkan efek-efek sensasi untuk mengejar nilai keromantisan. Dan, kematian menjadi pilihan yang paling sensasional, ekstrem, ultim, untuk mendapatkan feel romantis yang luar biasa. Video klip “Tanpa Kekasihku” hanyalah potret parsial tentang bagaimana budaya remaja begitu memuja cinta sehingga kematian pun jadi terasa seksi dan eksotik. Gambaran yang lebih utuh tentang betapa romantisnya kematian tampak dalam film karya terbaru sutradara Hanny R Saputra, Heart. Dalam film ini benar-benar terasa bahwa kematian hanyalah alat untuk mengejar efek romantis untuk sebuah cerita cinta.

***

Laju arus cerita dalam Heart memperlihatkan jalinan benang-benang merah yang bisa disederhanakan ke dalam dua aspek besar. Yakni, aspek filosofi dan aspek moralitas. Dalam satu kalimat pendek film ini bisa digambarkan begini: filosofinya “dapet” tapi moralitas ceritanya sungguh ketinggalan zaman. Melaju dengan plot tunggal yang cukup kuat, film ini menggulirkan arus ceritanya secara linier, lurus-lurus saja, tidak neko-neko. Babak demi babak tersaji dengan rapi, puitis dan mengalir lancar. Namun, dari awal sudah demikian gamblang terbaca ke mana arah cerita. Ketika film dibuka dengan adegan dua anak kecil, maka penonton sudah tahu, cerita akan segera melompat ke masa dewasa yang penuh konflik. Ketika kemudian muncul orang ketiga di antara mereka, penonton sudah tahu, hubungan antara dua sahabat tadi akan berubah oleh pergeseran dari bentuk pertemanan ke perasaan cinta. Begitulah, Heart memberi kita sebuah sajian paling
Baku dan paling klasik dari apa yang selama ini kita kenal sebagai cerita cinta.

Dengan kata lain, Heart adalah sebuah dongeng yang sudah berkali-kali kita tonton atau kita dengar sebelumnya, dalam berbagai variasi. Dan, layaknya dongeng, kita tak diberi kejutan apa-apa karena semua yang akan terpapar pada dasarnya sudah bisa kita tebak. Dan, layaknya mendengar atau menonton dongeng, kita tak perlu repot-repot bertanya, misalnya, kapan peristiwa itu terjadi. Heart adalah satu dari ribuan cerita yang terjadi “pada suatu ketika”. Soal di mana-nya juga tak penting. Tokoh-tokoh dalam Heart berpakain modis masa kini, tapi mereka tidak nongkrong di kafe atau jalan-jalan di town square. Mereka bermain di rumah-rumahan di atas pohon di hutan, berlarian di jalan setapak berliku yang membelah kebun teh, berdayung sampan di danau sambil menyaksikan kura-kura yang selalu ada di tempat yang sama, dan sesekali berkunjung ke toko bunga.

Layaknya dongeng pula, dunia dalam Heart serba indah, begitu membuai, menerbangkan angan ke alam mimpi, alam “entah”. Dan, karena ini dongeng, maka jatuh cinta pun bisa terjadi begitu saja, begitu pun perjumpaan. Pada suatu ketika, tersebutlah Farel (Irwansyah) sedang mencari komik baru di toko buku. Penjaga toko merekomendasikan sebuah komik baru, berjudul “Heart”. Kalau kau beli komik ini, kata sang penjaga toko, kau bisa sekalian mendapatkan tanda tangan penulisnya. Sebab, sim salabim, si penulis komik itu ada di luar sana, dan ketika Farel menoleh ke jendela, tampaklah gadis cantik bak bidadari turun dari mobil. Farel segera mengejar bidadari itu, minta tanda tangan sekalian nomor telepon dan alamat rumah. Pada suatu kesempatan, Farel pun datang ke rumah sang bidadari bernama Luna (Acha Septriasa) itu, membawa karangan bunga, berputar-putar mengitari Luna sambil merayu dengan gaya dan bahasa layaknya Romeo merayu Juliet di atas panggung teater.

Cinta mati Farel pada Luna menyisakan persoalan. Dan, penonton sudah tahu. Rachel (Nirina Zubir), teman masa kecil Farel, cemburu. Diam-diam, ia juga mencintai Farel dan –layaknya cerita cinta yang membenturkan antara sahabat dan orang ketiga- Farel tidak membaca gelagat itu. Sambil meredam gejolak perasaannya sendiri, Rachel mendukung usaha Farel untuk mendapatkan cinta Luna. Dengan bantuan Rachel pula, Farel akhirnya “menembak” Luna dengan sebuah upacara ala “Katakan Cinta” yang menggelikan. Sebelum acara penembakan secara resmi itu, Farel sudah melakukan pendekatan lain, misalnya mengajak Luna ke suatu tempat yang indah dengan menutup matanya. Ketika mata itu dibuka, jreng, terhampar sekelompok pemain musik beraksi dengan latar belakang pemandangan yang menakjubkan. Semua adegan itu, tentu saja maunya memberi efek romantis yang luar biasa, tapi malah terjatuh ke dalam kesan “jadul” yang, ya itu tadi, menggelikan.

Tak disangka, cinta Farel ditolak. Namun, dari sini terungkap, bahwa ternyata Luna bukanlah bidadari, melainkan peri yang sedang menunggu kematiannya: ia menderita penyakit hati yang tak bisa disembuhkan. Namun, pada akhirnya Farel berhasil meyakinkan peri murung itu, dan mengubah dia menjadi peri yang riang. Rachel kalut melihat sahabat yang dicintainya sudah menjadi milik perempuan lain. Ia berlari tanpa tujuan di jalan-jalan tebing yang curam, hingga akhirnya terperosok ke jurang. Pada saat yang sama, kondisi kesehatan Luna berada di titik kritis. Dan, karena ini dongeng, maka tak perlu mempersoalkan kalau kedua perempuan itu bisa terbaring sebelah menyebelah di ruangan yang sama di rumah sakit. Dan, penonton sudah tahu, siapa akan berbuat apa. Ya, Rachel mendonorkan hatinya untuk kesembuhan Luna.

Sampai di sini kita pun jadi maklum, mengapa Heart menampilkan moralitas cerita yang tidak hanya klasik tapi bahkan sudah klise. Moralitas cerita yang entah sudah berapa puluh kali diusung oleh drama-drama lepas TVRI tahun 1980-an: tokoh yang begitu mulia hatinya bak malaikat, yang walaupun disakiti, tetap berbuat baik untuk orang yang menyakitinya itu, terdorong oleh rasa cintanya yang demikian besar. Apakah cinta memang begitu berharga, sampai harus ditempuh dengan pengorbanan nyawa yang demikian heroik? Apa artinya pengorbanan yang habis-habisan itu kalau toh orang yang dicintai tetap saja tak bisa dimiliki, dan tetap memilih menjadi milik orang lain?
Sekali lagi, kita maklum belaka, karena dari awal film ini memang dengan penuh kesadaran hendak mengabdi pada filosofi cerita tertentu tentang hati. Dengan mendonorkan hatinya kepada Luna, yang kemudian dinikahi oleh Farel, Rachel merasa bahwa hatinyalah yang sebenarnya berpaut dengan Farel. Jadi, seperti telah saya bilang pada bagian awal, secara filosofi cerita film ini memang “dapet”, tapi secara moralitas cerita “enggak banget”. Film ini jadi tak ubahnya reality show panjang tentang bagaimana cinta diungkapkan dengan penuh pengorbanan, penuh penderitaan dan serba mengharukan. Semua serba dilebih-lebihkan, didramatisasi, dan akibatnya justru gagal mendapatkan feel yang diinginkan. Beberapa bagian yang maunya bersedih-sedih dan romantis malah bikin penonton tertawa. Apa yang ditampilkan terlalu jauh dari kewajaran dunia nyata, dan di mata penonton hanya tampak sebagai sebuah dunia yang diidealisasikan, diimpikan, dunia dongeng yang membuai tapi tidak di sini, saat ini.

Saya menduga, selain karena hanya ingin berindah-indah dengan filosofi cerita, hal lain yang membuat film ini terasa berjarak dan gagal membuat penonton terhanyut ke dalam romantisme dan keharuan yang diinginkan, adalah akting pemain-pemainnya. Nirina, okelah. Tapi, akting Acha sebagai Luna sungguh membosankan. Ekspresinya monoton, setiap bicara selalu berusaha tertawa. Begitu pun dengan Irwansyah yang selalu terkesan canggung. Kedua aktor ini belum “selesai” dengan peran masing-masing sehingga kita juga tak mungkin berharap mereka bisa membangun reaksi kimia satu sama lain sebagai dua orang yang saling jatuh cinta.

Ganjalan lain, di antaranya, film ini berpanjang-panjang pada beberapa bagian sementara di bagian akhir justru terasa buru-buru didesakkan. Misalnya, penonton hanya diberi tahu lewat surat bahwa Rachel akhirnya meninggal dan mendonorkan hatinya kepada Luna. Agak tak logis, kalau hanya terperosok ke jurang saja, kaki sampai harus diamputasi, dan kemudian bahkan mati. Tapi, bagaimana Rachel mati, tidak disebutkan dengan jelas. Ia memang sempat berkata, daripada diamputasi lebih baik mati. Tapi, sekali lagi bagaimana akhirnya ia benar-benar mati? Apakah ia memilih mati? Dengan cara apa? Atau, semua pertanyaan ini tak penting, pokoknya Rachel hanya harus mati, itu saja, agar hatinya bisa didonorkan kepada Luna! Film Heart telah menampilkan sebuah filosofi cerita yang luar biasa gagah, juga indah, tapi tidak ada gunanya bagi penonton yang sedang dan akan jatuh cinta. Penonton dari kalangan abege paling cuma akan nyeletuk dengan enteng, tapi “dalem”: kayaknya nggak segitunya deh.

4 Comments:

Blogger oakleyses said...

louis vuitton outlet, oakley sunglasses, michael kors handbags, cheap jordans, prada handbags, uggs outlet, michael kors outlet, oakley sunglasses, uggs on sale, ray ban sunglasses, burberry outlet, tiffany jewelry, uggs on sale, kate spade, gucci handbags, ray ban sunglasses, prada outlet, longchamp outlet, louboutin uk, burberry factory outlet, tory burch outlet, nike air max, tiffany jewelry, christian louboutin, louboutin shoes, oakley sunglasses, cheap oakley sunglasses, chanel handbags, michael kors outlet store, louis vuitton outlet, nike outlet, ralph lauren polo, louis vuitton, christian louboutin, michael kors outlet online, longchamp outlet, uggs outlet, michael kors outlet online, nike air max, longchamp bags, replica watches, ralph lauren outlet, oakley sunglasses, ray ban sunglasses, louis vuitton outlet online, nike free, michael kors

6:57 PM  
Blogger oakleyses said...

converse shoes outlet, salvatore ferragamo, timberland boots, softball bats, herve leger, ray ban, hollister, louboutin, gucci, nike roshe run, iphone cases, beats by dre, mcm handbags, oakley, p90x workout, insanity workout, wedding dresses, abercrombie and fitch, abercrombie, nike air max, mac cosmetics, babyliss pro, valentino shoes, bottega veneta, mont blanc, converse, jimmy choo outlet, hollister clothing, nike air max, north face outlet, new balance shoes, north face outlet, instyler ionic styler, soccer shoes, lululemon outlet, asics running shoes, ghd hair, giuseppe zanotti, soccer jerseys, nfl jerseys, longchamp uk, reebok outlet, nike air huarache, chi flat iron, hermes handbags, vans outlet, polo ralph lauren, celine handbags, nike trainers uk, vans scarpe

7:01 PM  
Blogger rokaa said...

تنكر سجب مجاري الكويت
سباك الكويت
شركة تسليك مجاري
فني صحي حولي
نقل عفش الكويت
نقل عفش حولي
نقل عفش الاحمدى
شركة تنظيف شقق الكويت
شركة تنظيف الكويت

3:46 PM  
Blogger yanmaneee said...

adidas superstar
jordans
kevin durant shoes
yeezy boost
air max
adidas nmd
cheap jordans
kd 11
retro jordans
yeezy boost

2:53 AM  

Post a Comment

<< Home