pop | arts whatever

Friday, September 26, 2008

Ketik Reg (spasi) Salat: Komodifikasi Agama pada Bulan Puasa

Takbiratul ikram yang benar akan menghidarkan Anda dari serangan jantung. Sujud yang tumakninah akan membuat Anda terbebas dari penyakit liver....ingin tahu khasiat gerakan-gerakan salat bagi kesehatan Anda, ketik...

Ustad yang jualan salat dengan kalimat-kalimat di atas, tampil gagah dan menggebu-nggebu dalam iklan yang ditayangkan di acara-acara sahur. Begitulah, komersialisasi dan komodifikasi agama di televisi pada bulan puasa tahun ini sudah mencapai taraf yang gila-gilaan. Kita sudah terbiasa dengan iklan-iklan yang mencoba menyentuh sentimen (ah, bilang aja menjilat, susah amat!) kaum muslimin dengan mengaitkan produk-produk tertentu dengan kelancaran aktivitas berpuasa. Misalnya, "berbukalah dengan yang manis" atau "promag mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa" atau yang belakangan "selama puasa kita perlu makanan yang bergzi...makanlah soziz saat sahur dan berbuka." Ya, ya, ya kita sudah terbiasa dengan itu semua tapi ketika kini bahkan salat pun "ikut" dijual, dengan cara yang begitu vulgar, yang mengingatkan kita pada para paranormal yang ramai-ramai berjualan mantra dan primbon lewat SMS, kita pun terperangah. Semua tiba-tiba terasa seperti omong kosong besar yang membuat kita geleng-geleng kepala.

Saya jadi ingat kata-kata Emha Ainun Nadjib suatu ketika, "Puasa kok suasananya lebih ribut dibanding tidak puasa. Puasa cap apa itu. Wong namanya saja puasa kok ribut...ribut jualan kue puasa, jajan puasa, kado puas, lawakan puasa, ustadz puasa, album puasa, kolak gethuk puasa...."

Laporan terbaru dari komoditas dan industri Ramadhan: Esia mengeluarkan HP Esia Hidayah, yang berisi ayat-ayat Al Quran sehinga umat Islam bisa belajar dengan mudah.

Dan, dalam iklan terbarunya, sebuah merk cairan untuk mengepel lantai mengingatkan, "lantaimu adalah tempat ibadahmu", dengan produk pembersih lantai ini salat tak perlu lagi pakai alas tikar atau sajadah.

Para pemasar di Indonesia rupanya telah menemukan paradigma baru marketing: apa pun produknya, penetrasi lewat agama! Ah, pasti ini sama sekali bukan paradigma baru. Sebab, pada kenyataannya, bukankah sejak dulu telah diyakini dan memang terbukti bahwa menjual agama adalah cara paling ampuh untuk membujuk rayu konsumen di negeri yang penduduknya konon sangat relijius ini? Tak perlu kreativitas tinggi-tinggi, tak perlu banyak energi untuk mikirin yang namanya konsep dan sebagainya. Bikin saja iklan yang ada adegan salatnya, ada toko ustadnya (yang kalau perlu diperankan oleh seorang ustad beneran), dengan dialog yang menggunakan kalimat-kalimat tayyibah, seperti "alhamdulillah, sekarang sudah ada bla bla bla..." Umat yang jumlahnya ratusan juta ini masih banyak yang bodo kok. Bikin saja copywrite semisal, "dengan memakai sarung ini, insya allah salat akan lebih kusyuk", atau "makanlah mie ini, Anda akan masuk surga", pasti mereka percaya. Sumpah. So, ayo, ayo jangan sungkan-sungkan, jual Islam!

Monday, August 25, 2008

Usaha Menjadi Indonesia dengan Batik

Aku pulang ke Solo dan mendapati pemandangan yang tak biasa. Di mana-mana orang memakai baju batik, laki-laki, perempuan, tua, muda sampai anak-anak. Mereka berbatik ria dalam berbagai kesempatan. Pendek kata, jalan-jalan di mal, di arena-arena nongkrong anak muda, tempat-tempat makan, sejauh mata memandang akan kepentok pada sosok-sosok yang mengenakan busana batik dengan senyum ceria dan aura wajah bangga. Sebenarnya agak ironis juga kalau tadi di awal saya bilang pemandangan yang tak biasa. Secara, ini Solo gitu loh, kota yang dikenal sebagai salah satu asal budaya batik --selain Yogyakarta, Pekalongan dan Cirebon. Tapi, memang begitulah kenyataannya, bahwa di kota asalnya sekali pun, batik baru menjadi budaya massa hari-hari ini saja, tidak sejak dulu.

Sebelumnya, yang terjadi, batik adalah busana formal, resmi, yang hanya dipakai untuk keperluan-keperluan terkait seremoni dan resepsi. Dengan kata lain, dalam waktu yang sangat lama, batik identik dengan citra high profile, komoditi para perancang busana, pakaian eksklusif sekelompok masyarakat kelas elit, atau lebih apes lagi, sekedar simbol retorika nasionalisme para pejabat. Tentu saja, sejak dulu batik murah juga ada, yang sesuai dengan pasar masyarakat kebanyakan, tapi sekali lagi, penggunaannya pun sangat terbatas, tidak pernah kunjung populer sebagai "pakaian sehari-hari" atau "baju gaul". Saya sendiri kebetulan (atau bukan kebetulan) punya pengalaman pribadi yang cukup emosional dengan batik. Ketika masih kecil dulu, setiap lebaran, baju baru yang dibelikan oleh ayah saya selalu batik. Dan, itu tidak terjadi pada anak-anak lain di kampung. Saya tidak tahu, mengapa ayah saya selalu memilihkan baju batik untuk saya berlebaran.

Kebetulan lagi (atau bukan kebetulan lagi), salah satu kakak saya kemudian bekerja di Pekalongan, dan setiap kali pulang, oleh-oleh yang dibawakan untuk saya tak lain baju batik! Jadi, kalau ngomong-ngomong soal batik, terutama dalam konteks tren fashion belakangan ini, saya sudah kenyang semasa kecil dulu. Termasuk, tentu saja, kenyang diledeki teman-teman sebaya saya. "Nganggo batik koyo wong tuo." Begitulah, bahkan dalam alam pikiran anak-anak pun, sejak dini tertanam bahwa batik itu identik dengan orang tua. Entah, datang dari mana sosialisasi seperti itu. Ketika beberapa waktu lalu tiba-tiba Malaysia mengklaim bahwa batik merupakan budaya milik mereka, bangsa ini mendadak-sontak tersengat, mak-jenggirat, seperti orang yang sedang tiduran tiba-tiba dijambak rambutnya dari belakang, kaget, merasa sakit, marah, lalu mulai menimbang-nimbang, memikirkan kembali banyak hal....dan, hasilnya, batik tiba-tiba --boom!-- menjamur di mana-mana, menjadi tren yang menggoda semua orang.

Grosir-grosir di Pasar Klewer Solo mendadak sibuk berat, kebanjiran pesanan dari Jakarta, sampai kewalahan, tapi senang, panen uang dan produksi pun terus digenjot. Untuk pertama kalinya, baju batik menjadi begitu massif, layaknya sandal kepit atau kaos oblong yang dicari orang setiap saat. Wali kota Solo yang dipuja-puja warganya sebagai pamong yang kreatif dan jenius, Joko Widodo, dengan sigap menggelar Karnaval Batik. Salah satu produsen batik terbesar di Solo, 22 Agustus lalu meresmikan The House of Danar Hadi, sebuah pusat batik yang prestisius, yang resepsinya dihadiri orang-orang penting dari Ibukota. Memakai batik tiba-tiba tidak hanya terasa begitu membanggakan, tapi juga bergengsi, berbudaya, nasionalis, gaul dan funky. Saya tenggelam dalam histeria itu, tak mau ketinggalan momen, berjalan-jalan menyusuri pusat-pusat keramaian dengan celana jins dan baju batik coklat tua motif sido mukti yang saya beli dari Pusat Grosir Solo dengan harga relatif sangat murah. Dalam hati saya berkata, mudah-mudahan batik adalah "kasus" terakhir, dimana kita sebagai pemiliknya baru merasa bangga dan nyaman menyatakan diri sebagai pemiliknya setelah ada orang lain, negara lain, ujug-ujug mengklaimnya. Kita bukan bangsa yang bebal....

Maka, syahdan, singkat cerita, sambil memasukkan-masukkan baju batik yang telah saya borong ke dalam tas sebelum kembali ke Jakarta, dengan menggebu-nggebu dan berapi-api saya berkata kepada kakak saya, "Pokoknya, saya akan lebih memasyarakatkan batik sebagai busana kerja dan gaul di Jakarta." Saya juga membayangkan, seru juga kali ya clubbing pakai batik. Semua itu membuat saya bersemangat. Kebetulan (aduh, sudah tiga kali kebetulan ya) hari pertama masuk kerja setelah cuti, saya ada seminar di Hotel Mulia. Kesempatan, pikir saya. Kesempatan untuk berbatik ria agar membuat orang terinspirasi dan terdorong untuk lebih terbiasa memakai batik. Dengan dada membusung dan kepala mendongak saya berjalan melintasi lobi hotel. Orang-orang yang sedang duduk di situ memandang saya. Petugas hotel juga memperhatikan saya lekat-lekat. Ketika registrasi di meja panitia, dua perempuan Cina yang cantik menatap saya takjub. Karena saya datang agak terlambat, saya pun menjadi pusat perhatian ketika memasuki ruangan. Beberapa menit duduk, saya mulai merasa tidak pede. Saya merasa berpasang mata dari para peserta seminar berkali-kali menoleh ke arah saya. Saya pun berkali-kali mengedarkan pandangan. Kemeja-kemeja lengan panjang. Jas. Dasi.

Mendadak saya mulai gelisah. Batik lengan pendek yang menempel pas di tubuh saya tiba-tiba membuat saya gerah. Padahal ruangan seminar itu jelas ber-AC. Dingin sekali malah. Saya mencoba menenangkan diri. Sebuah upaya yang mulia biasanya memang penuh tantangan pada awalnya. Santai, Mu. Saya menarik nafas, dan minum air putih yang tersedia di gelas bertangkai di atas meja. Ketika siangnya saya ke kantor, saya sudah siap dengan sambutan teman-teman saya, yang akan terbangkitkan nalurinya untuk lebih mencintai batik dan memakainya sebagai busana kerja, setelah melihat saya hari itu. Saya melangkah memasuki kantor saya. "Mas Mumuuu...waaaaah pakai batik, mentang-mentang habis pulang kampung," teriak teman yang pertama kali melihat kehadiran saya.

Saya tersenyum-senyum saja.

Duduk di depan komputer, teman lain menghampiri. "Habis kondangan di mana, Bapak Mumu?"

Gubrak. Oh, kebangaan nasional, oh identitas budaya bangsa!

Tuesday, August 05, 2008

Surat Terbuka untuk "Gerhana Kembar" *)

oleh D Jayadikarta, dari Sidney

Saat menghadiri peluncuran Antologi Cerpen Rahasia Bulan di Aksara Kemang beberapa tahun yang lalu, salah seorang jurnalis sebuah stasiun televisi swasta mendekati saya untuk melakukan wawancaranya. Dan saya dengan tegas menolaknya. Sebagai seorang gay, bukannya saya takut mendapat stigma buruk masyarakat terhadap status orientasi seksual saya, namun saya tak mau, dengan segala prasangka negatif yang sangat intoleran, profil saya ditempatkan dan disamakan dengan seorang pelacur. Padahal saya bukan seorang gigolo, atau seorang laki-laki yang terjerumus di dunia gay (karena saya tidak merasa dijerumuskan, apalagi menjerumuskan diri), dan saya juga bukan pekerja dunia malam lainnya. Saya memiliki karir yang cukup bagus di studio Fox Sydney. Saya telah menulis beberapa cerpen dan pernah dimuat di media massa, dan saya juga telah mempublikasikan novel pertama saya Totem dan saat ini baru saja merampungkan novel kedua. Pendek kata, saya tak kalah sukses dengan beberapa eksekutif muda di Jakarta yang dapat dengan bangga tampil mengisi rubrik-rubrik profil majalah ibukota dan stasiun-stasiun televisi swasta. Namun, pada sebuah wawancara sebuah peluncurun buku di toko buku Aksara (bila saat itu saya menerimanya), profil saya akan berakhir di "Buletin Malam" atau "Jakarta Undercover". Saya tidak akan ditampilkan secara wajar layaknya seorang yang bangga dengan karir dan kehidupannya, namun saya menjadi ikon gelap yang harus bersembunyi (atau dipaksa disembunyikan sehingga berkesan misterius dan dosa) seperti layaknya pelacur di klub-klub murahan ibukota. Hal inilah yang membuat saya menolak mentah-mentah wawancara itu. Bagi kaum gay, mereka sadar dan tahu betul bagaimana tragis dan mirisnya melihat perlakuan media di Indonesia. Tapi bagi masyarakat luas, dunia gay adalah tak lebih dari publikasi media yang penuh kegelapan, misteri, dan dosa.

Dalam kaitannya dengan kasus di atas, setelah membaca Gerhana Kembar, Clara Ng telah menempatkan tema GLBT, baik disengaja ataupun tidak, dalam wacana lain kesusastraan Indonesia. Ia juga telah berani menyampaikan pesan khusus kepada publik bahwa persoalan GLBT tidak lagi dilihat dari sudut pandang negatif yang pada umumnya mencoba menafsirkan kaum gay dari sudut pandang yang sangat totalitarian dan disorientatif , yaitu kaum gay adalah tak ubahnya dengan pendosa, dan prostitusi. Hingga, di Indonesia, bila kita berbicara tentang homoseksualitas, pasti lah media telah dengan salah kaprah menempatkannya dalam program khusus dunia malam daripada menempatkannya pada rubrik profil orang-orang sukses, misalnya. Padahal, menjadi gay, tidak lah bisa melihatnya hanya dari orientasi tertentu saja, yang celakanya orientasi itu sangat homophobic dan negatif. Melainkan mendekonstruksi dan merekonstruksinya ke dalam platform dan perspektif baru, yaitu menjadi gay lebih merupakan pilihan hidup yang sangat dan teramat manusiawi; yaitu permasalahan dunia gay juga tak ubahnya seperti permasalahan masyarakat pada umumnya; berjuang mencari pekerjaan tetap, jatuh cinta dan ditolak, masih berjuang mencari pasangan, masih bergelut untuk melunasi cicilan rumah atau bayar kos, dan lain-lain.

Bila melihat dari sudut pandang seorang penulis seperti Clara Ng ini, ia telah melakukan pendekatan—yang walaupun tidak baru—kepada masyarakat luas; yaitu memandang percintaan hubungan sesama jenis dengan teramat manusiawi tanpa unsur prasangka yang buruk. Sungguh, ini merupakan poin khusus untuk Clara, yang mencoba menggarap novel bertema GLBT. Namun, yang sangat mengecewakan dari literatur-literatur bertema GLBT di Indonesia termasuk Gerhana Kembar ini adalah, saya belum pernah membaca karya para penulis yang memberikan ruang kritik 'khusus yang peduli namun tetap toleran' kepada kaum gay sendiri. Hingga karya-karya semacam Gerhana Kembar ini, untuk kaum gay sendiri, tidak memberikan sesuatu yang baru melainkan proses penyampaian percintaan sesama jenis "biasa" yang dibungkus dalam kemasan yang lebih menyentuh dan manusiawi. Taruh saja bila nama Henrietta saya ganti menjadi Henri dan Diana tetaplah Diana. Novel ini hanya akan berakhir menjadi roman percintaan sepasang kekasih dimasa lalu, seorang laki-laki dan perempuan yang jatuh cinta dengan segala permasalahan percintaan mereka. Dan lucunya, bila pun Clara mengubah percintaan tokohnya menjadi percintaan heteroseksual, saya tetap menikmati membaca Gerhana Kembar seperti layaknya novel percintaan biasa.

Lalu apa bedanya menulis dengan menempatkan karakter gay/lesbian dengan karakter heteroseksual atau sebaliknya bila menulis novel bertema gay tidak menjanjikan apalagi melahirkan kritik dan wacana baru terhadap kehidupan gay sendiri? Bukan kah permasalahan kehidupan gay, khususnya di Indonesia, tidak semata berasal dari penerimaan masyarakat yang homophobic dan media-media yang selalu menghubungkan dunia gay dengan secara salah kaprah dan tragis hingga menjadi gay tak ubahnya menjadi seorang pelacur? Bukan kah permasalahan dunia gay di Indonesia saat ini, bagaimana pun berpulang kembali kepada kaum gay itu sendiri: bagaimana mengubah citra buruk itu ke dalam perspektif baru yang segar; tanpa prasangka yang negatif, bagaimana bergelut untuk menjadi diri sendiri di tengah masyarakat yang masih sangat intoleran terhadap pluralisme, bagaimana mengubah prasangka buruk bahwa menjadi gay bukan lah semata mencari kepuasan seks sesama jenis sebanyak mungkin, melainkan lebih kepada pilihan hidup yang layak dan manusiawi. Sepertinya, Clara Ng tidak atau belum berani melakukan dekonstrusi dan rekonstruksi secara internal terhadap permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan homoseksualitas dan kehidupannya di dalam Gerhana Kembar dan terus terang, sebagai seorang gay yang hidup ditengah prasangka buruk masyarakat, saya sangat dan teramat kecewa karena cerita ini tak ubahnya sebagai bentuk eksplotasi kehidupan gay belaka. Karya ini tidak lebih sebagai sebuah novel percintaan biasa sementara dilain pihak kaum gay sendiri menuntut, jika pun tidak sejauh mendambakan, lebih daripada itu, yaitu karya-karya yang berani memberikan pencerahan dan wacana baru terhadap permasalahan—baik itu internal maupun eksternal--homoseksualitas di Indonesia.

Sydney, 4 Agustus 2008

*) Gerhana Kembar adalah novel karya Clara Ng yang awalnya dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas yang banyak mendapat perhatian khusus karena mengangkat kisah percintaan lesbian. Novel ini akan didiskusikan dalam konteks tema besar "Perempuan, Seksualitas dan Media" di Goethe Haus, Jakarta Pusat, Jumat (8/8/08) pukul 19.00 WIB. Menghadirkan Maria Hartiningsih, Ratih Kumala, Alberthiene Endah sebagai pembahas.

Monday, June 23, 2008

Film "Fiksi.": Dongeng dan Sosiologi Rumah Susun

Salah satu perkembangan yang cukup tebal mewarnai dunia penciptaan seni (sastra, film) di Indonesia adalah kecenderungannya untuk sejauh mungkin menghindari realitas. Penyair Afrizal Malna dengan eksentrik tapi benar mengibaratkan gejala semacam itu dengan ungkapan "seperti novel yang malas menceritakan manusia." Namun, jika disimak lebih dalam, karya-karya tersebut sebenarnya bukan menghindari, melainkan mendekati realitas dari arah yang lain. Masalahnya, bagi kita sebagai audiens (pembaca, penonton), seberapa dalam kita harus menyimak, atau seberapa besar kesabaran kita, untuk sampai pada "kebenaran" bahwa ini tak lain persoalan pendekatan (bentuk) --hingga akhirnya kita tahu bahwa dari segi isi, karya-karya itu justru sebenarnya sangat ingin mengatakan sesuatu tentang realitas, dan bukan hendak menghindarinya?

Menonton debut penyutradaan seorang pendatang baru bernama Mouly Surya lewat film berjudul Fiksi., problem seperti itulah yang saya hadapi. Saya nyaris kehilangan kesabaran sebelum akhirnya menemukan bahwa ini karya yang cukup cemerlang. Sepasang muda-mudi yang nonton bersama saya sore itu tidak memiliki kesabaran seperti saya, sehingga belum sampai separo durasi film berjalan, mereka sudah ngeloyor keluar dari gedung bioskop. Namun, ketika ada satu pasangan lagi menyusul bahkan setelah film melewati tiga perempat durasinya, saya pun berpikir kembali tentang kesabaran --benarkah itu problemnya? Mengapa bagi pasangan yang belakangan saya sebut itu, film ini seperti tidak menggerakkan mereka untuk penasaran, ntar ending-nya gimana ya?

Pada bagian awal, ketika sedang memperkenalkan tokoh utamanya, Alisha (Ladya Cherryl) saya sendiri merasa, film ini kurang "menyedot" keingintahuan dan bahkan mungkin kepedulian kita. Seorang perempuan 20 tahun dari sebuah keluarga yang kaya raya --apa yang tak bisa dilakukannya? Kenyataannya, ia tak ubahnya boneka-boneka yang berjajar di kamarnya. Hidupnya sepi dan membosankan. Rumah yang ditinggalinya demikian besar, tapi ayahnya hanya datang sesekali. Ia hidup dengan seorang kepala rumah tangga (Rina Hasyim) dan sopir yang siap mengantarnya ke mana-mana. Ibunya? Belakangan kita tahu, lewat sejumlah kilas balik yang surealis, sang ibu sudah mati karena bunuh diri. Ada perempuan lain di hati sang ayah yang menyebabkan semua itu, namun tidak diceritakan. Alisha sempat menyinggung soal "perempuan (lain) itu" ketika makan bersama ayahnya, tapi lelaki itu tidak menggubris. Sampai akhirnya ada orang asing yang mengusik hari-hari beku Alisha. Dia seorang lelaki bertampang bad boy, yang beberapa hari menggantikan tukang kebun yang sedang mudik. Sepeninggalan lelaki itu, Alisha jadi kesepian lagi. Namun, kali ini dia sudah tahu penyebabnya dan oleh karenanya tahu bagaimana mengatasinya: harus mencari laki-laki itu.

Setelah berhasil menemukan bahwa lelaki itu tinggal di sebuah rumah susun, Alisha pun nekat kabur dari rumah besarnya dengan mengelabuhi sopirnya, untuk menyewa sebuah kamar di sebelah tempat tinggal lelaki itu. Namanya Bari (Donny Alamsyah), seorang pekerja serabutan yang tengah berusaha menyesaikan novelnya, dan tinggal tinggal bersama pacarnya, Renta (Kinaryosih). Alisha yang dari awal memang terobsesi dengan Bari, akhirnya menyelingkuhinya di belakang Renta. Namun, bukan itu saja. Sejak pindah ke rumah susun itu, Alisha "tiba-tiba" menjadi psikopat yang mengguncang kehidupan rumah susun yang semula tenang. Tempo film yang awalnya "malas-malasan" berubah menjadi penuh ketegangan yang memacu degup jantung. Dan saya terus bertanya-tanya, kenapa sopir pribadi yang konon mantan intel dan disewa khusus untuk mengawasi Alisha itu tidak dikisahkan lagi, misalnya dia sedang kebingungan muter-muter Jakarta karena majikannya "lepas"?

Sampai film berakhir, sopir dan kepala rumah tangga dan rumah besar itu benar-benar tak diceritakan lagi. Alisha menjadi tokoh "baru", yang sakit jiwa dan membawa malapetaka bagi kehidupan di sekitarnya. Kita hanya bisa memaklumi, sejak awal dia memang misterius. Penampilan dan rias wajahnya mirip boneka, atau putri dari negeri dongeng. Tapi, dari mana sifat iblis itu tiba-tiba datang? Kita tidak diberi petunjuk dari masa lalunya, selain ibunya yang bunuh diri. Pada titik ini, problem psikologi yang melatari film ini menjadi tidak begitu meyakinkan. Saya kemudian justru menemukan, isu-isu sosial yang dikembangkan di sekitar tema utama menjadi lebih solid dan menarik. Inilah yang tadi di awal saya singgung, film yang tampaknya ingin lari dari realitas ini sebenarnya justru memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Dan, mengingat skenario film ini ditulis oleh Joko Anwar, kita kemudian melihat adanya kemiripan "pola" dengan salah satu karya dia sebelumnya, Kala (bedanya yang satu disutradarai Joko sendiri dan satunya oleh orang lain). Tidak hanya dalam pendekatan noir yang diterapkan, kemiripan itu juga terjadi pada persambungan antara dongeng yang diusungnya dengan realitas-aktual di luar cerita. Pada Kala kita masih ingat, ada isu kekerasan hingga politik. Pada Fiksi., ada isu sosiologis masyarakat kelas bawah yang harus membayar ongkos (baca: menjadi korban) pembangunan kota. Meramu dongeng (tentang putri dari dunia mimpi yang terobsesi pada cinta dan sebagainya) dengan kenyataan (kehidupan rumah susun yang sedang ditulis menjadi novel oleh salah satu penghuninya) bukankah hal yang mudah dan tak berisiko. Film ini dengan baik telah melakukannya, menaklukkan sejumlah risiko yang mungkin, dan dalam hal ini mungkin lebih baik ketimbang yang telah dicapai Kala.

Wednesday, May 14, 2008

Kompilasi Film Pendek "9808": Cina dan Hal-hal yang Tak Akan Pernah Selesai

Baru sepuluh tahun, gumam Lucky Kuswandi. Dia mengingatkan agar orang-orang keturunan Cina di Indonesia tidak melupakan begitu saja luka-luka masa lalu, hanya karena kini Hari raya Imlek sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah. Baru sepuluh tahun, gumamnya, seperti sebuah bisikan lirih yang nyaris tertelan kembali. Apakah kau yakin mereka sudah tak membenci kita lagi?

Saya bukan keturunan Cina, tapi saya merinding mendengar peringatan itu, dan pelupuk mata saya memanas oleh air mata yang saya tahan agar tidak tumpah. Lucky, lewat film pendeknya yang puitis berjudul A Letter of Unprotected Memories adalah sebuah suara lain dari komunitas keturunan Cina yang tak pernah kita dengar dari saluran resmi. Dan, sebagai sebuah suara lain, yang mencoba mengatasi formalisme dan basa-basi bahasa kekuasaan, suara itu terdengar begitu lugas, telanjang, jujur. Pada satu titik, kejujuran Lucky bahkan mengagetkan, yakni ketika dia meragukan dirinya sendiri apakah sudah bisa mencintai negeri ini.

Karya Lucky Kuswandi tersebut merupakan satu dari 10 film pendek yang dikompilasi di bawah judul 9808. Di bawah supervisi Prima Rusdi, Hafiz dan Edwin, kompilasi tersebut dimaksudkan untuk menandai 10 tahun reformasi. Setelah diputar perdana di Kineforum, TIM, Jakarta, Selasa (13/5/08) film ini bisa disaksikan oleh masyarakat umum di tempat yang sama hingga 20 Mei 2008, dan rencananya akan dikelilingkan ke kampus-kampus di berbagai kota.

Dengan bentuk respon, referensi dan gaya ungkap masing-masing, 10 filmmaker mencoba memaknai dan menafsirkan apa itu reformasi, setelah 10 tahun bergulir terhitung sejak lengsernya Soeharto pada 1998. Kita mendapatkan respon dan tafsir yang beragam, namun ada garis tebal yang menyita perhatian dari sana, yakni separo dari isu yang muncul berkaitan dengan "isu-Cina". Ariani Darmawan lewat karya berjudul Sugiharti Halim misalnya, dengan pendekatan komedi yang sangat mengena, mengusung ironi di balik peraturan pemerintah yang mengharuskan orang keturunan Cina untuk memiliki nama Indonesia.

Seperti halnya Lucky, Ariani juga keturunan Cina dan karya mereka menjadi semacam pernyataan (politik) yang bersifat personal tanpa kehilangan daya gugahnya sebagai bahan perenungan bersama. Namun, sebagai sebuah bentuk respon, tidak semua dari 10 karya dalam kompilasi ini bersifat "curhat". Ucu Agustin misalnya, menyajikan reportase atas sosok Sumarsih, ibu dari korban Tragedi Semanggi 1 Wawan dalam Yang Belum Usai. Dengan penuturan yang padu-padat, Ucu tidak hanya mengembalikan ingatan kita pada salah satu luka dari reformasi. Lebih dari itu, ia juga berhasil menggambarkan perubahan hidup seorang perempuan warga sipil biasa dari ibu rumah tangga yang rajin ke gereja menjadi demonstran "radikal" yang gigih --mungkin sampai akhir hayatnya.

Bentuk reportase juga disajikan oleh Steven Pillar Setiabudi lewat Sekolah Kami, Hidup Kami. Tidak secupu judulnya, film berdurasi kurang dari 12 menit ini mencengangkan kita dengan "temuan" di kota kecil nun jauh dari Jakarta: sebuah gerakan anti korupsi yang dilancarkan oleh pengurus OSIS SMU 3 Solo terhadap kepala sekolah dan guru-gurunya!

Lucky, Ariani, Ucu dan Pillar menurut saya termasuk yang berhasil mengkomunikasikan isi kepala dan kegelisahan mereka dalam merespon tema besar dan gawat "10 tahun reformasi". Artinya, jujur saja, memang tidak semua karya dalam kompilasi ini berhasil berbicara secara jernih dalam merespon isu yang disodorkan. Ada yang terkesan "bingung-sendiri" sehingga kehilangan poin dan tidak nyambung. Ada yang sok-asik, tapi jadinya malah hanya berisik. Ada yang terlalu filosofis sehingga jadinya malah tak bicara apa-apa. Ada yang terlalu "harfiah" dalam menerjemahkan "10 tahun reformasi" sehingga terasa kaku dan gagal memperkaya perspektif penonton.

Saya kira yang paling tampak berkilau adalah karya Ifa Isfansyah, Huan Chen Guang (judul bahasa Inggris: Happiness Morning Light). Di tangan Ifa, "10 tahun reformasi" menjadi isu yang begitu terbuka untuk dimaknai. Di sini, lagi-lagi, kita bertemu dengan "isu-Cina", namun Ifa mendekatinya dengan cara yang sama sekali berbeda. Ia mengolah satu keping realitas dari puing-puing kerusuhan massa yang mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru, yakni perkosaan atas perempuan-perempuan Cina, menjadi sebuah fiksi yang halus. Film ini filosofis, tapi tak kehilangan pijakan; dramatis namun tak cengeng.

Layaknya kasus perkosaan Mei yang sampai sekarang tak pernah benar-benar diakui pernah terjadi, Ifa bermain-main antara realitas dan fiksi dengan secara simbolis memasukkan tokoh-tokohnya ke dalam dunia antara mimpi dan kenyataan. Secara teknis, Ifa juga menseriusi "proyek" ini dengan gambar-gambar yang diambil di lokasi-lokasi yang sulit sehingga hasilnya begitu utuh dan meyakinkan.

Wednesday, March 26, 2008

Novel "So Real/Surreal" Nugroho Nurarifin: Dunia yang Mencekam


Para penulis yang bisa kita asumsikan sebagai kaum heteroseksual cenderung memiliki imajinasi tertentu yang seragam atas homoseksualitas. Ini tentu tidak terlalu mengherankan karena mereka bagian dari masyarakat secara umum yang masih selalu melihat orang-orang homoseksual secara stereotip. Bagi mereka, sepertinya, lelaki-lelaki gay adalah potret paling sempurna dari derita manusia yang kesepian, pecundang sejati, celaka, dengan masa lalu yang kelam (diperkosa ayah tiri).


Novel kedua Nugroho Nurarifin ini (setelah debut berjudul Bidik) menampilkan tokoh utama seorang lelaki seperti itu, dan nyaris saja terjatuh ke dalam klise yang sama sekali tidak berguna bagi apa pun. Tapi, Nugi, panggilan akrab penulis favorit saya ini, bukanlah novelis sembarangan. Dua kritikus sastra bernama Nirwan (satu Dewanto dan satu lagi Arsuka) memang belum pernah mentahbiskan namanya. Namun, percayalah, penulis-penulis terbaik yang lahir di negeri ini memang hampir selalu luput dari pengamatan mereka yang dipuja-puja sebagai kritikus (sastra).


Dulu, tokoh sebesar HB Jassin masih sempat dan mau membaca novel Ben karya Gus tf Sakai yang --kala itu masih-- tergolong “pop” dan “remaja”. Tapi, sekarang, para kritikus sastra yang angker-angker itu kesibukan terbesarnya hanyalah mengangkat-angkat Avi Basuki agar semua orang yakin bahwa mantan peragawati itu bisa menulis cerpen. Lho, lho, lho lha ini kok malah ngomel.


Kembali ke Nugi, ya, saya senang bahwa di tengah penulis-penulis putus asa yang selalu mengembe-embeli karya mereka dengan label “sebuah novel pembangkit jiwa” atau “novel pemacu motivasi”, ternyata masih ada penulis yang berani melenggang semata-mata sebagai “tukang cerita” dengan elegan, meyakinkan, percaya diri dan tentu saja, serius --yang terakhir ini perlu digarisbawahi karena banyak sekali sekarang ini orang yang frustrasi dengan kehidupan dan kariernya, lalu “menjadi” novelis dan menulis sesuatu yang aneh-aneh, sok nyeleneh, maunya nyentrik, hiperbol, berlagak pemberontak, tapi otaknya mesum belaka, rendah imajinasi, dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya DAN SETERUSNYA!!!!!!!


Sampai kita muak.Novel ini, saya bangga merekomendasikannya kepada Anda, sebaliknya: sederhana tapi kuat, tidak menggebu-gebu tapi jernih, tidak terlalu baru dan mungkin juga tak cerdas-cerdas amat tapi berhasil melarikan diri dari kutukan terbesar yang merundung penulis Indonesia: klise. Taruhlah, kau orang yang cukup ngelotok dengan teori-teori Baudrillard, Eco dan filsuf-filsuf kontemporer yang sinting-sinting itu (yang menjadi pondasi tempat novel ini berpijak --sehingga kau mungkin akan menganggap si Nugi ini tak ubahnya mahasiswa puber yang sedang termehek-mehek dengan ide-ide tentang simulacrum, hiperealitas dan sebagainya), novel ini tetap menawarkan sesuatu.


Dengan kata lain, inilah novel-ide yang tidak garing (yup, novel-ide biasanya garing dan membosankan), atau dalam bahasa-templete-ala-kritikus: Nugie berhasi memadukan antara kejelasan ide dengan keterampilan mengembangkan alur cerita dengan baik. Novel ini berangkat dari ide abadi tentang keterasingan manusia, namun bukan dalam konteks klasik Marxisme, melainkan dalam konteks budaya (komunikasi) massa era blog sekarang ini.


Dari awal, perhatian kita langsung dibetot (atau disedot?) oleh tokoh utama yang memperkenalkan diri sebagai orang yang menjalani “hidup sekali pakai”: Aku makan dengan piring-piring styrofoam, minum dengan gelas-gelas plastik, susuku tersedia dalam karton-karton mungil sekali minum…Celana dalamku kertas, aku tidur di dalam sleeping bag yang kuganti setiap bulan…Hdup sekali pakai. Itulah yang kumiliki…Semua yang sifatnya jangka panjang hanya akan melukai….


Saya kira saya belum pernah menemukan pembukaan novel seindah dan semisterius itu.


Di belantara dunia nyata sekaligus maya bernama Jakarta, alkisah, dia seorang pegawai biro perjalanan kecil di Setiabudi. Dan, di belantara dunia maya sekaligus nyata bernama internet dia adalah diri yang lain, yang memiliki kepribadian dan obsesi serta harapan yang lain lagi. Hidup adalah kesibukan hilir-mudik dari dunia yang nyata ke dunia yang maya meskipun kita tak pernah benar-benar bisa membedakannya. Dalam ruang tanpa batas antara yang real dan yang khayal, hidupnya yang sepi bersilang jalan dengan Nugroho Nurarifin (ya, si Nugi ini memakai namanya sendiri sebagai tokoh dalam novelnya), seorang penulis novel dan copywriter di agensi iklan Pantarei, yang terbosesi dengan eksperimen seksual tertentu. Pada saat yang sama, Anisa, pasangan Nugroho, juga terjebak dalam affair singkat dengan seorang pengusaha muda bidang media benama Raymond.


Dengan perangkat teori-teori budaya (massa) kontemporer sebagai bingkai, Nugi telah mempersembahkan dongeng tentang kesepian manusia dengan cara yang paling kelam dan mencekam yang pernah diceritakan. Pada akhirnya, kita memang bisa menerima jika homoseksualitas (masih) ditampilkan dengan begitu stereotip, karena kehadirannya bermakna ganda, simbolis sekaligus sebagai subteks “gay-life” itu sendiri dalam sosialisasinya di dunia nyata dan maya, dan sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat urban megapolitan. Meskipun, pada titik ini Nugi gagal menghindari kelemahan yang biasanya menghinggapi novel-novel ide: menyederhanakan sesuatu (hubungan antartokoh dan sebagainya) yang mestinya kompleks, demi mengejar tercapainya (atau terbuktinya) ide yang dihipotesiskan. Misalnya, pada bagian akhir kita akan menemukan, ooo ternyata Raymond itu bla bla bla….sebuah kejutan kecil ala sinetron atau semacam faktor kebetulan yang selalu menghiasi alur film Indonesia.


Fakta tersebut sedikit membuat kita down, karena merasa kehilangan sebuah misteri atau ambiguitas yang sebelumnya menyelimuti kepala kita. Namun, dengan ending yang masih menunjukkan bahwa Nugi adalah penulis dengan kontrol diri yang terjaga dan tahan godaan, misteri dan ambiguitas yang meneror itu, kalau memang ada, tidak sepenuhnya hilang, sehingga novel ini tetap meninggalkan satu lobang kecil di jiwa kita, yang membuat kita sakit, menjerit, mengumpat dan terkapar dengan nafas terengah-engah, lalu merasakan udara di sekeliling kita

g e l a p...

Monday, March 03, 2008

Lari dari Blora


Dengan segala kekurangannya, saya cukup suka dengan film ini. Bukan karena perasaan ajaib dan haru bahwa di tengah judul-judul film yang makin absurd (Antara Aku Kau dan Mak Erot? Oke, itu belum seberapa. 40 Hari Bangkitnya Pocong?, Tali Pocong Perawan? Astagaaa) masih ada filmmaker (tak peduli dari generasi mana) yang mau bersusah-payah, menempuh jalan sunyi, memikul risiko untuk tidak populer, dengan mengangkat cerita seperti ini. Melainkan, karena saya memang merasa menyukainya begitu selesai menontonnya.

Dua orang narapidana melarikan diri dari penjara Blora, dan dalam pelariannya mereka memutuskan untuk bersembunyi di Desa Samin. Pada saat yang sama, seorang perempuan asal Amerika (yang telah lama tinggal di Semarang) baru saja datang ke desa itu meneliti ajaran Saminisme yang masih dianut oleh penduduk setempat. Ditambah dengan keberadaan seorang guru muda idealis dari kota yang memperjuangkan anak-anak Samin bisa bersekolah, dua narapidana dan peneliti bule yang cantik itu mengusik masyarakat desa yang sebelumnya hidup tenang dengan cara mereka.

Film dibuka dengan sebuah gambar-ala kartu pos seorang perempuan mengayuh sepeda di jalan yang membelah lereng gunung. Bertemu dengan serombongan laki-laki di keramaian, perempuan tadi langsung meninggalkan sepedanya begitu saja, dan beralih ke boncengan motor salah satu lelaki itu. Adegan ini cukup menjadi penjelasan awal tentang satu sisi masyarakat Samin yang serba “bebas”, termasuk dalam soal pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, penjelasan lebih jauh tentang masyarakat tersebut membombardir penonton lewat adegan di dalam kelas sebuah sekolah sadar, ketika pak guru muda idealis tadi mengajar sejarah.

Lalu alur berjalan datar, nyaris tanpa konflik yang berarti, lebih banyak penjelasan-penjelasan verbal yang panjang lebar ketimbang gambar-gambar yang dengan kuat “berbicara sendiri”. Pada titik tertentu, verbalitas film ini terasa sampai membosankan, misalnya adegan ketika guru muda idealis itu berdialog dengan sesepuh desa yang dipanggil Simbah, dan lebih-lebih pada adegan ketika guru itu berdebat dengan Pak Lurah yang tidak setuju dengan program menyekolahkan anak-anak Samin. Sampai di sini, penonton bisa menduga bahwa muara dari konflik film ini adalah tarik-menarik antara kepentingan pemerintah (yang ingin mempertahankan “keaslian” masyarakat Samin) dengan pak guru muda idealis (yang berpretensi ingin memajukan masyarakat).

Tapi, ternyata tidak. Film ini melangkah lebih jauh lagi, nyaris tak terduga, dengan melarikannya ke dalam konteks “global”, yakni politik anti terorisme yang tengah gencar didengungkan oleh pemerintah pusat. Perjuangan pak guru muda idealis yang pantang menyerah, ditambah kehadiran peneliti dari Amerika dan dua narapidana pelarian menjadi pintu masuk bagi aparat kapubaten untuk melancarkan operasi keamanan dengan alasan, Desa Samin dicurigai berpotensi menjadi tempat persembunyian aliran sesat pelaku aksi terorisme. Agak maksa? Atau, bahkan terlalu maksa?

Bagi saya, sebenarnya ide mengaitkan ketertutupan masyarakat Samin dengan kemungkinan dijadikannya desa itu sebagai sarang teroris cukup menarik. Sayangnya, indikasi-indikasi yang dimunculkan kurang kuat. Guru muda idealis itu tetaplah hanya seorang guru yang memang masih muda dan idealis. Peneliti asing itu memang dari Amerika, tapi apakah itu serta-merta bisa dicomot sebagai simbol terorisme? Dan, dua narapida itu, setelah “meresahkan warga” dan dengan demikian “mengganggu keamanan”, pada akhirnya hanyalah pintu masuk untuk menguatkan karakter Simbah (diperankan dengan bagus dan selalu mencuri perhatian oleh Rendra) yang eksentrik, aneh, tidak patuh (antara lain karena dia justru “melindungi” dua narapidana yang buron itu).

Film ini barangkali akan jauh lebih kuat seandainya berani memilih fokus, tidak berambisi “bicara besar”, dan “hanya” mengulik-ngulik kehidupan masyarakat Samin itu sendiri di saat ada guru muda yang berjuang menyadarkan pentingnya sekolah bagi anak-anak, ketika ada bule datang untuk meneliti, dan ketika ada dua penjahat bersembunyi di desa. Memperdalam hubungan-hubungan mereka mungkin akan menghasilkan sebuah cerita yang lebih solid dan menggugah, ketimbang hanya “memperalat” mereka sebagai cara untuk memasukkan isu terorisme, sehingga akhirnya meninggalkan banyak lobang dari kisah-kisah kecil yang tak selesai. Kisah cinta antara guru muda idealis dengan sesama rekan guru yang juga anak pak camat, terasa hanya tempelan, atau setidaknya tidak tergarap dengan baik.

Demikian juga, hubungan antara seorang guru muda yang cantik dengan pak camat itu, dibiarkan misterius, tapi toh tidak berfungsi apa-apa bagi keseluruhan cerita. Puncaknya adalah, bagaimana “operasi keamanan” itu kemudian benar-benar dilaksanakan (kendaraan berat tentara menderu-nderu masuk ke desa, melindas motor seorang polisi lokal, lalu satu per satu mereka berlompatan, berbaris, mengokang senjata di dataran yang tandus) terasa begitu berlebihan. Dramatis sih, memang, apalagi diselang-seling dengan adegan bagaimana Simbah dengan tetap karismatik dan ketenangan yang luar biasa mengatasi kepanikan warga. Dramatis, itu kata yang tepat. Tapi, itu hanya terjadi pada bagian sangat akhir dari film ini, setelah sebelumnya nyaris tak terjadi apa-apa, selain penjelasan demi penjelasan, yang panjang lebar, dialog-dialog yang diplomatis, sering terlalu cerdas untuk tokohnya (jadi, yang cerdas sebenarnya penulis skripnya, yang juga sutradara, Akhlis Suryapati) dan kaku, tentang sejarah dan cara hidup masyarakat Samin, di lereng gunung Kabupaten Blora.