pop | arts whatever

Tuesday, November 28, 2006

Nopember

sebatang rumput
menggigil
di atas genangan

lelaki di bawah payung
melangkah
menyeberangi hujan

Dongeng yang Me(nye)mbunyikan Realitas

Semua orang pada dasarnya menyukai dongeng atau cerita fantasi. Pesona dongeng tak membedakan usia. Serial Harry Potter yang notabene cerita anak-anak, nyatanya digandrungi pula oleh orang dewasa. Penerbitan kembali karya-karya fantasi dari khasanah klasik seperti serial Lord of the Rings-nya Tolkien atau pun Chronicle of Narnia-nya Lewis juga disambut dengan gegap gempita oleh pembaca segala kalangan dan usia. Dan, ketika karya-karya tersebut difilmkan pun, berhasil menyedot perhatian dan menyihir penonton di seluruh dunia dari segala lapisan umur pula.

Bangkitnya kembali minat dan gairah dunia pada kisah fantasi mengimbas pada penulisan cerpen di Tanah Air. Dari yang sudah mapan seperti Linda Christanty (Kuda Terbang Maria Pinto) hingga penulis dari generasi yang datang belakangan, seperti Intan Paramadhita (Sihir Perempuan). Namun, cerpenis yang paling kuat mengembangkan daya fantasi dalam karya-karyanya adalah Ucu Agustin, yang meluncurkan buku kumpulan cerpen berjudul Dunia di Kepala Alice di ajang Q! Film Festival 2006 di Jakarta, September lalu. Ini merupakan buku kumpulan cerpen kedua setelah tahun lalu dia menerbitkan Kanakar.

Dari Kanakar ke Dunia di Kelapa Alice, Ucu memperlihatkan diri sebagai penulis yang konsisten dengan gaya dan bentuk dongeng dalam cerpen-cerpennya. Pada Linda, juga Intan, dongeng memang menjadi nafas, namun belum merupakan nada dasar yang digeluti secara total dan intens untuk membangun cerita. Sedangkan pada Ucu, cerpen seolah-olah langsung identik dengan dongeng, dan itu tampak jelas pada 11 cerpen dalam buku ini. Setelah Danarto, barangkali baru Ucu Agustin penulis di negeri ini yang sejak semula sudah dengan sangat sadar menciptakan -apa yang disebut Umar kayam- "dunia alternatif" dalam cerpen-cerpennya.

Seperti yang pernah dilakukan Danarto, Ucu memahami dunia dan kehidupan bukan sebatas pengalaman rutin sehari-hari. Bedanya, pada Danarto, setidaknya yang tampak dalam empat kumpulan cerpen pertama dia (Godlob, Adam Ma'rifat, Berhala dan Gergasi), ada suasana mistis yang dikembangkan, yang terpengaruh oleh alam pikiran dan batin Islam serta Kejawen. Sementara pada Ucu, mungkin karena tumbuh di masa yang berbeda, lebih kosmopolit. Atau, dalam bahasa Ayu Utami yang memberikan komentar singkat di sampul belakang buku, yang diusung Ucu adalah “perkara kontemporer”. Dari soal kekerasan seksual terhadap anak-anak, perempuan yang diperkosa alien hingga nekrofilia.

Begitulah, realitas yang suram, "ganjil" dan pedih diramu dalam dongeng-dongeng indah, kadang ajaib. Bagi Ucu, seperti terbaca dari pikiran salah satu tokoh ciptaannya, Alice dalam cerpen yang menjadi judul buku ini, “Semua masuk akal di kepala." Dengan keyakinan seperti itu, maka kita saksikan begitu tangkas Ucu sebagai juru cerita mengaduk-aduk dunia nyata dan khayal, mempertemukan mitos dan modernitas (astronomi, teknologi), serta mengaburkan batas dunia orang dewasa dan kanak-kanak.

Cerpen yang secara kuantitatif menuntut kepadupadatan alur tutur, disiasati dengan kekayaan metafor, kekuatan bahasa puitik dan kemahiran bermain-main dengan teknik dan sudut pandang. Sehingga menjadikan dunia dalam cerita-cerita Ucu begitu luas, kompleks dan penuh kejutan. Obsesinya pada dongeng menjadikan dunia kanak-kanak -yang identik dengan genre tersebut- mendapat porsi yang besar dalam cerpen-cerpen di buku ini. Cerpen Vacuum Cleaner membuka antologi ini dengan kisah seorang anak penderita keterbelakangan mental yang menyedot kedua orangtuanya ke dalam alat pengisap debu. Sedangkan seorang anak kecil dalam cerpen Dunia di Kepala Alice memasukkan kepalanya sendiri ke dalam oven hingga mengembang seperti roti.

Dari dua cerpen yang ditempatkan pada bagian awal buku tersebut, pembaca seolah langsung diberitahu bahwa dunia yang dibangun Ucu bukanlah dunia yang kita akrabi sehai-hari. Namun, juga tidak serta merta dunia yang tak berpijak pada "realitas sosial". Di sinilah kepiawaian Ucu sebagai tukang dongeng. Ia menampilkan realitas dengan cara yang halus, tidak vulgar, kadang seperti sengaja menyembunyikannya. Alice, bocah penyendiri yang mencoba membangun dunianya sendiri dalam Dunia di Kepala Alice tadi ternyata korban pelecehan seksual laki-laki dewasa tetangganya. Pengalaman traumatis itu terasa menyentuh justru karena tidak dihamparkan secara telanjang, melainkan dibungkus dalam dongeng yang "tak pulang nalar".

Dengan demikian, cerpen-cerpen Ucu adalah dongeng kepedihan yang mencoba merangkum pengalaman manusia modern yang selalu serba penuh warna dan tak terduga. Cerpen Amoretti, Kisah Labu yang Jatuh Cinta pada Serigala dengan sangat baik mewakili realitas paling kontemporer dari kepedihan manusia yang tak berdaya menghadapi kuasa teknologi komunikasi yang mengatur tidak hanya identitas seseorang tapi juga masa depan hubungan-hubungan personalnya. Situasi yang sama juga tampak pada cerpen Penelan Cahaya: sepasang saudara sekandung yang saling jatuh cinta itu harus menelan luka kekecewaan sampai akhir hayat mereka hanya karena salah satu tidak membalas SMS yang lain!

Masalah seksualitas, sebagai bagian dari sumber gelisahan manusia modern, juga mendapat porsi yang besar dalam cerita-cerita Ucu, seperti tampak pada cerpen Lelaki yang Menetas di Tubuhku dan Mengapa Kau Menari, Pierr? Pada kedua cerpen ini, Ucu mencoba memahami, mengapa dalam pergaulan sosial masyarakat kita ada perempuan-perempuan yang mencintai (sesama) perempuan dan lelaki-lelaki yang hanya jatuh cinta pada (sesama) lelaki. Sebagai juru cerita, Ucu sama sekali tak bermaksud menghakimi apa yang dalam pandangan umum dianggap sebagai penyimpangan itu, atau pun mencoba menghadapkannya dengan pertanyaan moral. Yang muncul hanyalah "kepolosan" seorang pendongeng yang menutup kisahnya dengan sederetan kalimat tanya, untuk selanjutnya terserah pendengar (:pembaca) menafsirkannya.

Pada sebagian cerpen yang lain, Ucu tampak membebaskan dirinya dengan fantasi-fantasi yang kesannya main-main, atau meminjam bahasa anak muda-gaul zaman sekarang, "sekedar buat lucu-lucuan". Misalnya, pada cerpen Giring Angin dikisahkan seorang lelaki yang mengaku lahir dari perempuan yang dihamili oleh angin. Cerpen ini mengingatkan kita pada lakon Kunti dalam pewayangan yang dihamili oleh (dewa) matahari sehingga melahirkan Karna. Sedangkan tokoh perempuan dalam cerpen Origins harus berusaha keras meyakinkan anaknya, bahwa ia dulu diperkosa alien sehingga sang anak tersebut adalah mansia hybrid.

Tapi, benarkah fantasi-fantasi itu hanya main-main? Pertanyaan ini pada akhirnya mau tidak mau juga akan berlaku untuk keseluruhan cerita dalam buku ini, dan dengan demikian otomatis tertuju pada penulisnya. Menyedot orangtua sendiri ke dalam vacuum cleaner, memasukkan kepala ke dalam oven, dan ada labu yang bisa jatuh cinta pada serigala, bukankah hal-hal itu juga kedengaran konyol? Dan, serta-merta kepedihan yang ditimbulkannya pun hanyalah semacam sensasi sebuah teks? Barangkali benar bahwa nyaris tak terhindarkan adanya semangat main-main pada setiap penciptaan dunia alternatif dalam cerpen.

Masalahnya kemudian, bagaimana pembaca dibuat yakin bahwa main-main sang penulis itu mengandung keseriusan dan hal penting untuk direnungkan (kembali) -dan tidak berhenti menjadi sebatas main-main tanpa makna? Pada sisi lain, kita tak boleh melupakan kemungkinan lain, semisal, bagaimana kalau pengarang memang sejak awal sadar dan sengaja justru mengaburkan antara yang main-main dan yang serius itu? Berbeda dengan buku kumpulan cerpen yang banyak terbit belakangan ini, Dunia di Kepala Alice memang menawarkan sebuah bahan yang kaya dan terbuka dengan berbagai kemungkinan pembacaan (dan penafsiran).

Selalu ada realitas yang seolah disembunyikan, namun sebenarnya itu dilakukan semata sebagai upaya untuk menghindar dari jebakan banalitas berita koran dan televisi sehari-hari yang juga kerap menjual kepedihan. Tetap ada yang faktual di balik dunia yang seolah-olah bukan dunia “di sini, saat ini”, seperti tampak pada cerpen Ismael, Penjahit Hati. Dengan indahnya cerpen ini berkisah tentang seorang legenda turun-temurun yang bisa menjahit hati orang-orang yang sobek dan patah karena cinta. Namun, di balik itu, cerpen ini sebenarnya sebuah pernyataan keprihatinan atas Tragedi Bom Bali. Dongeng-dongeng Ucu tidak menyembunyikan realitas, melainkan membunyikannya dengan cara yang lain, lebih lirih dan lebih menggoda.

Tuesday, November 21, 2006

Abimanyu Gugur

Dalam waktu yang agak berdekatan, ada tiga "peristiwa budaya" yang berhasil menyentuh "rasa Jawa" saya. Ini memang agak norak, dan apa boleh buat sedikit melanlokis. Saya yang orang Jawa tulen ini -atau bahasa sononya "Jowo cekek"- sudah cukup lama merasa sok tercerabut dari akarnya, menjadi manusia metropolis yang lupa asal-usul. Sehingga setiap kali melihat sesuatu yang berkaitan dengan Jawa, atau istilah kerennya ya itu tadi, membangkitkan rasa Jawa, saya jadi excited, surpraise, atau dalam bahasa penyair Cecep Syamsul Hari, seperti anak kecil yang menemukan kembali mainannya yang hilang. Misalnya saja ketika menonton pertunjukan tari Retno Maruti berjudul Abimanyu Gugur di Graha Bhakti Budaya, TIM, Senin (20/11/2006) malam.

Begitu masuk gedung dan melihat seperangkat gamelan di depan-bawah panggung, saya langsung histeris. Kapan terakhir saya mendengarkan secara langsung gamelan ditabuh di depan mata saya? Saya tidak menyangka bahwa pergelaran tari malam itu akan diiringi gamelan "beneran" -maksudnya, saya pikir musiknya dari rekaman. Namun, sesaat kemudian, sambil menunggu pertunjukan dimulai, saya tertawakan diri saya sendiri yang sok-rindu pada sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang dari diri saya, sesuatu yang dulu, dulu sekali, pernah saya akrabi. Tapi, mungkin saya juga harus jujur dan adil, memberi kesempatan pada diri sendiri untuk mengakomodasi perasaa sok itu tadi, ya sok rindu, ya sok kehilangan, yang jangan-jangan memang benar-benar nyata alias bukan sesuatu yang bersifat sok semata.

Saya jadi tegang dan berdebar-debar. Ah, blaik. Ciloko mencit. Benar saja, ternyata saya memang rindu. Saya langsung terhanyut dalam suasana mistis yang ajaib dan menggairahkan ketika gamelan mulai ditabuh dan satu per satu penari muncul di atas panggung. Ada 18 penari bedoyo dengan kostum yang seragam, namun terbagi menjadi dua kelompok dengan warna sampur yang berbeda. Dengan lembut, lambat dan lentur mereka menari, mengisi sudut-sudut panggung. Tergambar suasana kesibukan mempersiapkan prajurit untuk maju ke medan perang. Pandawa yang dipimpin oleh Abimanyu baru saja meraih kemenangan dengan berhasil membunuh panglima Kurawa, Burisrawa. Giliran Kurawa membalas dendam dengan mengangkat panglima yang lebih tanggung, Jayadrata, dengan sasaran membunuh Abimanyu.

Dalam lakon wayang Jawa, yang pernah saya akrabi lewat pementasan rutin setiap malam di Taman Sriwedari Solo berpuluh tahun silam, episode gugurnya Abimanyu termasuk lakon yang rame, seru sekaligus menyentuh. Setiap dipentaskan, kisah ini berhasil mengurai airmata penonton karena kematian sang putra Arjuna itu begitu menggenaskan, digropyok panah sewu alias dihajar dengan seribu panah. Namun, Abimanyu Gugur versi Maruti, layaknya karya-karya tari dia yang lain yang bertolak dari cerita klasik Jawa (antara lain Sang Pembayun, Dewabrata), tidak ditampilkan dalam penokohan yang jelas. Artinya, para penari tidak secara tegas memerankan tokoh tertentu, dengan kostum tertentu yang mudah diindentifikasi. Kita hanya tahu, ketika salah seorang dari penari itu tewas, dialah sang Abimanyu.

Abimanyu Gugur sebelumnya dipentaskan di ajang Indonesia Dance Festival (IDF) 1994. Semalam dipentaskan lagi untuk hajatan Women International Playwright ke-7, sebuah konferensi tiga tahunan para penulis naskah drama perempuan se-dunia yang pertama kali digelar di Buffalo AS, 1988. Sebagai pertunjukan di hari pertama, Abimanyu Gugur cukup elegan dan percaya diri, sama tak canggungnya dengan ketika tampil di IDF dulu. Maruti berhasil memindahkan salah satu adegan paling mistis dari kisah perang besar Baratayuda ke dalam sebuah miniatur yang subtil, tangkas dan memikat berbentuk langendriyan. Yakni, opera ala Jawa, dengan dialog berupa tembang yang dilantunkan oleh sang penari.

Sampai ketika langkah sudah jauh meninggalkan gedung pertunjukkan, saya masih terus berpikir, ideologi macam apa yang mendasari pilihan cara berkesenian Retno Maruti, sehingga ia bisa menampilkan adegan perang yang keras dan brutal dalam pusaran gerak yang luar biasa lamban, lembek dan bahkan di satu titik benar-benar mandek, namun tetap dengan efektife menggelorakan mood yang menegangkan? Saya benar-benar seperti nonton film perang yang mendebarkan ketika dua kelompok penari itu berhadapan, menggambarkan pasukan Kurawa dan Pandawa beradu senjata, dibingkai iringan gamelan yang bertalu-talu.

Saya kira ini sudah bukan nalar yang bekerja, melainkan bagaimana jiwa saya berhasil dibuat sumeleh ketika menyaksikan setiap lekuk jemari, gerak bahu dan putaran tubuh di atas panggung itu tidak hanya menyatu, namun menyerah bulat-bulat pada bunyi gamelan. Saya tersihir. Saya meleleh. Sampai padamnya lampu panggung mengembalikan kesadaran akan keberadaan saya di tempat duduk. Abimanyu Gugur adalah satu dari tiga peristiwa budaya yang telah menyentuh rasa Jawa saya, setelah film Kuntilanak (http://layarperak.com/news/reviews/2006/index.php?id=1162244121), dan pentas wayang air oleh Ki Slamet Gundono pada pembukaan Internasional Puppetry Festival di Taman Fatahilah tempo hari.

Thursday, November 16, 2006

Coffee Bean-Citos Sore Itu

kau hisap aku dalam tatapan berat
kepul kopi tinggal panas di dinding gelas
dan aroma

kureka-reka sebuah kalimat perpisahan
tapi sore di kafe itu terlalu gaduh
untuk airmata yang nyaris jatuh

malam sebentar lagi memejamkan ruang
menghitamkan ujung sepatuku dan sepatumu
yang membisu
di bawah bangku

Wednesday, November 15, 2006

Tesla

Berhari-hari saya memikirkan Nikola Tesla –kejutan kecil yang muncul dalam film The Prestige (Christopher Nolan) yang kini sedang diputar di bioskop-bioskop di Jakarta. Diperankan oleh David Bowie dengan mengesankan, Tesla ditampilkan sebagai sosok ilmuwan jenius yang melatari perseteruan dua pesulap di Inggris awal abad XX, Robert Angier melawan Alfred Borden.

Dikisahkan, temuan Tesla yang spektakuler di bidang eletromagnetik dimanfaatkan oleh salah satu untuk memperkuat trik sulapnya dalam menandingi yang lain.

Sejak masih duduk di kursi Studio XXI Plaza E.X nama Tesla sudah langsung menyeret saya dalam pusaran ingatan yang serba samar. Tesla…Tesla…Tesla…saya merasa seperti pernah mengenalnya. Maksud saya, saya seperti pernah mendengar namanya. Bayangan gelap dalam kepala saya mulai berangsur menemukan titik terang ketika dalam satu adegan disebut-sebut nama Thomas Edison, yang dikonteks-kan sebagai seteru Tesla.

Thomas Edison. Siapa bisa melupakan namanya? Murid SD inpres di desa tertinggal juga tahu siapa dia. Dan, munculnya nama dia membuat saya membenarkan keyakinan tadi, bahwa saya pernah mendengar nama Tesla. Dia ilmuwan yang benar-benar ada, seperti Edison si penemu bola lampu itu. Saya lalu ingat, ketika duduk di bangku SMA, jurusan Fisika, saya pernah mempelajari bahwa nama Tesla dipakai sebagai satuan induksi magnetik (B) dengan simbol T.

Berhari-hari saya terus memikirkan Nikola Tesla. Mengapa dia yang namanya diabadikan menjadi satuan salah satu besaran penting dalam fisika, seperti hilang dari ingatan? Sedangkan, Thomas Edison yang namanya tidak dipakai untuk satuan apapun, justru melekat begitu kuat dalam benak? Apakah temuan Tesla kurang penting dibandingkan temuan Edison? Apakah pengaruh (temuan) Tesla kurang besar dan kurang mengubah sejarah dibandingkan Edison?

Apakah ini semata kerja ingatan kita, ketika subjek tertentu begitu lekat dalam ingatan kita dan subjek yang lain seolah terlupakan? Siapa sebenarnya Tesla?

Saya tahu, sama sekali tidak sulit untuk melacak informasi mengenai suatu subjek tertentu di zaman internet ini. Maka, begitulah, di sela-sela hari kerja yang membosankan, saya pelototi wikipedia untuk mengumpulkan kembali keping-keping fakta tentang Tesla. Kau bisa membaca sendiri di sana. Tapi, kau tetap tak akan pernah tahu, mengapa nama Tesla tak melekat di kepala kita seperti nama Edison.

Apakah ini semata kerja ingatan?

Berhari-hari saya terus memikirkan Nikola Tesla….

Thursday, November 09, 2006

Bulan Separo

Samar-samar
Tikus

Meringkuk

Dalam keranjang

Wednesday, November 08, 2006

Tua

Beginikah rasanya menjadi tua?


Saya melihat di sekitar saya, orang-orang beranjak, meniti usia dan meninggalkan tempat mereka berdiri sebelumnya. Mereka menikah, lalu menjalani kehidupan layaknya sepasang suami-istri: mengkredit rumah, punya anak...

Tapi, saya juga punya seorang teman yang lebih sibuk me-modif motornya ketimbang mempersiapkan pernikahan. Oleh teman saya yang lain, dia dikomentari begini: kapan kowe arep rabi yen pikiranmu isih koyo cah enom!?

Saya juga belum menikah, tapi saya tidak dikomentari. Tapi, saya merasa komentar itu juga tertuju kepada saya, terutama pada bagian "isih koyo cah enom".

Selama ini saya memang merasa berjiwa muda, dan lebih dari itu, juga berlagak layaknya anak muda. Cara saya berpakaian, pilihan-pilihan pada tempat nongkrong dan hiburan bahkan sampai ke pola pikir.

Tapi, apa salahnya berjiwa muda? Bukankah tua itu hanya soal angka dan jiwa adalah hal yang sama sekali berbeda? Bahkan, saya juga bergaul cukup 'intens' dengan orang-orang yang secara umur jauh (sekali) di bawah saya.

Komentar teman untuk teman saya yang juga terasa menyentil saya itu, membuat saya memikirkan kembali banyak hal dalam hidup saya. Tiba-tiba saya merasa seperti berhenti di satu tempat, dan orang-orang terus berjalan, melewati tempat saya berhenti, dan berlalu menjauhi saya.

Pada libur lebaran tempo hari, saya sempatkan mengunjungi seorang teman lama. Istrinya sedang hamil tua dan anak pertamanya sudah melewati usia satu tahun. Saya membayangkan bagaimana rasanya dipanggil 'bapak', lalu memeluk dan mengangkat tubuh mungil yang tadi memanggil. Saya pasti bahagia, seperti saya lihat teman saya tampak begitu bahagia dengan buah perkawinannya.

Beberapa hari ketika kembali ke Jakarta, saya kembali bersilaturahmi-dalam-rangka-lebaran dengan beberapa teman lama. Di tengah suasana ngobrol ngalor-ngidul, terbetiklah obrolan tentang anak.

Kami duduk berlima di rumah salah seorang di antara kami di kompleks perumahan Vila Pamulang. Dua di antara kami sudah menikah, punya anak dan sedang mencicil rumah di kompleks yang sama. Sedangkan tuan rumah masih membujang.

Yang sudah berkeluarga tak henti-hentinya menyarankan agar kami yang masih lajang segera menikah. Lalu, terlontar pernyataan bahwa 'anak itu segalanya' dan 'jika tak ada anak betapa akan hambar dan keringnya hidup'.

Lalu, kami makan bersama sambil terus berbincang tentang dunia yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan kami. Sebelum acara 'hahal-bihalal-kecil-kecilan-tak-formal' itu berakhir, kami sempat mampir ke rumah salah satu di antara dua dari kami yang sudah menikah.

Istrinya sibuk membuatkan kami minum. Saya tak henti-henti memperhatikan ruangan tempat kami duduk dan terus bertanya-tanya, "Bagaimana orang bisa sampai pada titik yang jauh dari perjalanan hidupnya?"

Rumah ini, dan perempuan yang membuatkan kami minuman tadi, adalah pencapaian, hasil dari sebuah keputusan untuk pilihan pada hidup yang mapan, hidup yang "seharusnya" dijalani dalam ukuran umum seumum-umumnya.

Berhari-hari setelah itu, saya memikirkan kembali lebih banyak hal lagi dalam hidup saya. Saya melihat di sekitar saya, orang-orang beranjak, meniti usia dan meninggalkan tempat mereka berdiri sebelumnya. Mereka menikah, lalu menjalani kehidupan layaknya sepasang suami-istri: mengkredit rumah, punya anak...

Dan, saya melihat bayangan diri saya sendiri yang masih berdiri di tempat yang sama, melihat orang-orang terus berjalan, melewati tempat saya berhenti, dan berlalu menjauhi saya...