Semua orang pada dasarnya menyukai dongeng atau cerita fantasi. Pesona dongeng tak membedakan usia. Serial
Harry Potter yang notabene cerita anak-anak, nyatanya digandrungi pula oleh orang dewasa. Penerbitan kembali karya-karya fantasi dari khasanah klasik seperti serial
Lord of the Rings-nya Tolkien atau pun
Chronicle of Narnia-nya Lewis juga disambut dengan gegap gempita oleh pembaca segala kalangan dan usia. Dan, ketika karya-karya tersebut difilmkan pun, berhasil menyedot perhatian dan menyihir penonton di seluruh dunia dari segala lapisan umur pula.
Bangkitnya kembali minat dan gairah dunia pada kisah fantasi mengimbas pada penulisan cerpen di Tanah Air. Dari yang sudah mapan seperti Linda Christanty (
Kuda Terbang Maria Pinto) hingga penulis dari generasi yang datang belakangan, seperti Intan Paramadhita (
Sihir Perempuan). Namun, cerpenis yang paling kuat mengembangkan daya fantasi dalam karya-karyanya adalah Ucu Agustin, yang meluncurkan buku kumpulan cerpen berjudul
Dunia di Kepala Alice di ajang
Q! Film Festival 2006 di Jakarta, September lalu. Ini merupakan buku kumpulan cerpen kedua setelah tahun lalu dia menerbitkan
Kanakar.
Dari
Kanakar ke
Dunia di Kelapa Alice, Ucu memperlihatkan diri sebagai penulis yang konsisten dengan gaya dan bentuk dongeng dalam cerpen-cerpennya. Pada Linda, juga Intan, dongeng memang menjadi nafas, namun belum merupakan nada dasar yang digeluti secara total dan intens untuk membangun cerita. Sedangkan pada Ucu, cerpen seolah-olah langsung identik dengan dongeng, dan itu tampak jelas pada 11 cerpen dalam buku ini. Setelah Danarto, barangkali baru Ucu Agustin penulis di negeri ini yang sejak semula sudah dengan sangat sadar menciptakan -apa yang disebut Umar kayam- "dunia alternatif" dalam cerpen-cerpennya.
Seperti yang pernah dilakukan Danarto, Ucu memahami dunia dan kehidupan bukan sebatas pengalaman rutin sehari-hari. Bedanya, pada Danarto, setidaknya yang tampak dalam empat kumpulan cerpen pertama dia (
Godlob, Adam Ma'rifat, Berhala dan
Gergasi), ada suasana mistis yang dikembangkan, yang terpengaruh oleh alam pikiran dan batin Islam serta Kejawen. Sementara pada Ucu, mungkin karena tumbuh di masa yang berbeda, lebih kosmopolit. Atau, dalam bahasa Ayu Utami yang memberikan komentar singkat di sampul belakang buku, yang diusung Ucu adalah “perkara kontemporer”. Dari soal kekerasan seksual terhadap anak-anak, perempuan yang diperkosa alien hingga nekrofilia.
Begitulah, realitas yang suram, "ganjil" dan pedih diramu dalam dongeng-dongeng indah, kadang ajaib. Bagi Ucu, seperti terbaca dari pikiran salah satu tokoh ciptaannya, Alice dalam cerpen yang menjadi judul buku ini, “Semua masuk akal di kepala." Dengan keyakinan seperti itu, maka kita saksikan begitu tangkas Ucu sebagai juru cerita mengaduk-aduk dunia nyata dan khayal, mempertemukan mitos dan modernitas (astronomi, teknologi), serta mengaburkan batas dunia orang dewasa dan kanak-kanak.
Cerpen yang secara kuantitatif menuntut kepadupadatan alur tutur, disiasati dengan kekayaan metafor, kekuatan bahasa puitik dan kemahiran bermain-main dengan teknik dan sudut pandang. Sehingga menjadikan dunia dalam cerita-cerita Ucu begitu luas, kompleks dan penuh kejutan. Obsesinya pada dongeng menjadikan dunia kanak-kanak -yang identik dengan
genre tersebut- mendapat porsi yang besar dalam cerpen-cerpen di buku ini. Cerpen
Vacuum Cleaner membuka antologi ini dengan kisah seorang anak penderita keterbelakangan mental yang menyedot kedua orangtuanya ke dalam alat pengisap debu. Sedangkan seorang anak kecil dalam cerpen
Dunia di Kepala Alice memasukkan kepalanya sendiri ke dalam
oven hingga mengembang seperti roti.
Dari dua cerpen yang ditempatkan pada bagian awal buku tersebut, pembaca seolah langsung diberitahu bahwa dunia yang dibangun Ucu bukanlah dunia yang kita akrabi sehai-hari. Namun, juga tidak serta merta dunia yang tak berpijak pada "realitas sosial". Di sinilah kepiawaian Ucu sebagai tukang dongeng. Ia menampilkan realitas dengan cara yang halus, tidak vulgar, kadang seperti sengaja menyembunyikannya. Alice, bocah penyendiri yang mencoba membangun dunianya sendiri dalam Dunia di Kepala Alice tadi ternyata korban pelecehan seksual laki-laki dewasa tetangganya. Pengalaman traumatis itu terasa menyentuh justru karena tidak dihamparkan secara telanjang, melainkan dibungkus dalam dongeng yang "tak pulang nalar".
Dengan demikian, cerpen-cerpen Ucu adalah dongeng kepedihan yang mencoba merangkum pengalaman manusia modern yang selalu serba penuh warna dan tak terduga. Cerpen
Amoretti, Kisah Labu yang Jatuh Cinta pada Serigala dengan sangat baik mewakili realitas paling kontemporer dari kepedihan manusia yang tak berdaya menghadapi kuasa teknologi komunikasi yang mengatur tidak hanya identitas seseorang tapi juga masa depan hubungan-hubungan personalnya. Situasi yang sama juga tampak pada cerpen
Penelan Cahaya: sepasang saudara sekandung yang saling jatuh cinta itu harus menelan luka kekecewaan sampai akhir hayat mereka hanya karena salah satu tidak membalas SMS yang lain!
Masalah seksualitas, sebagai bagian dari sumber gelisahan manusia modern, juga mendapat porsi yang besar dalam cerita-cerita Ucu, seperti tampak pada cerpen
Lelaki yang Menetas di Tubuhku dan
Mengapa Kau Menari, Pierr? Pada kedua cerpen ini, Ucu mencoba memahami, mengapa dalam pergaulan sosial masyarakat kita ada perempuan-perempuan yang mencintai (sesama) perempuan dan lelaki-lelaki yang hanya jatuh cinta pada (sesama) lelaki. Sebagai juru cerita, Ucu sama sekali tak bermaksud menghakimi apa yang dalam pandangan umum dianggap sebagai penyimpangan itu, atau pun mencoba menghadapkannya dengan pertanyaan moral. Yang muncul hanyalah "kepolosan" seorang pendongeng yang menutup kisahnya dengan sederetan kalimat tanya, untuk selanjutnya terserah pendengar (:pembaca) menafsirkannya.
Pada sebagian cerpen yang lain, Ucu tampak membebaskan dirinya dengan fantasi-fantasi yang kesannya main-main, atau meminjam bahasa anak muda-gaul zaman sekarang, "sekedar buat lucu-lucuan". Misalnya, pada cerpen
Giring Angin dikisahkan seorang lelaki yang mengaku lahir dari perempuan yang dihamili oleh angin. Cerpen ini mengingatkan kita pada lakon Kunti dalam pewayangan yang dihamili oleh (dewa) matahari sehingga melahirkan Karna. Sedangkan tokoh perempuan dalam cerpen
Origins harus berusaha keras meyakinkan anaknya, bahwa ia dulu diperkosa
alien sehingga sang anak tersebut adalah mansia
hybrid.
Tapi, benarkah fantasi-fantasi itu hanya main-main? Pertanyaan ini pada akhirnya mau tidak mau juga akan berlaku untuk keseluruhan cerita dalam buku ini, dan dengan demikian otomatis tertuju pada penulisnya. Menyedot orangtua sendiri ke dalam
vacuum cleaner, memasukkan kepala ke dalam
oven, dan ada labu yang bisa jatuh cinta pada serigala, bukankah hal-hal itu juga kedengaran konyol? Dan, serta-merta kepedihan yang ditimbulkannya pun hanyalah semacam sensasi sebuah teks? Barangkali benar bahwa nyaris tak terhindarkan adanya semangat main-main pada setiap penciptaan dunia alternatif dalam cerpen.
Masalahnya kemudian, bagaimana pembaca dibuat yakin bahwa main-main sang penulis itu mengandung keseriusan dan hal penting untuk direnungkan (kembali) -dan tidak berhenti menjadi sebatas main-main tanpa makna? Pada sisi lain, kita tak boleh melupakan kemungkinan lain, semisal, bagaimana kalau pengarang memang sejak awal sadar dan sengaja justru mengaburkan antara yang main-main dan yang serius itu? Berbeda dengan buku kumpulan cerpen yang banyak terbit belakangan ini,
Dunia di Kepala Alice memang menawarkan sebuah bahan yang kaya dan terbuka dengan berbagai kemungkinan pembacaan (dan penafsiran).
Selalu ada realitas yang seolah disembunyikan, namun sebenarnya itu dilakukan semata sebagai upaya untuk menghindar dari jebakan banalitas berita koran dan televisi sehari-hari yang juga kerap menjual kepedihan. Tetap ada yang faktual di balik dunia yang seolah-olah bukan dunia “di sini, saat ini”, seperti tampak pada cerpen
Ismael, Penjahit Hati. Dengan indahnya cerpen ini berkisah tentang seorang legenda turun-temurun yang bisa menjahit hati orang-orang yang sobek dan patah karena cinta. Namun, di balik itu, cerpen ini sebenarnya sebuah pernyataan keprihatinan atas Tragedi Bom Bali. Dongeng-dongeng Ucu tidak menyembunyikan realitas, melainkan membunyikannya dengan cara yang lain, lebih lirih dan lebih menggoda.