pop | arts whatever

Thursday, June 21, 2007

Matinya Homoseksualitas

Kematian homoseksualitas sebenarnya sudah lama kami ramalkan, bahkan diam-diam kami tunggu-tunggu; karena pada dasarnya kami tinggal menunggu waktu. Siapa sangka, ketika hal itu akhirnya benar-benar terjadi, ternyata kami lebih terkejut daripada yang kami duga. Mungkin kami hanya tak menyangka bahwa akhirnya, yang melakukannya --membunuhnya-- seorang perempuan kemarin sore yang barangkali hanya ingin numpang beken dengan memanfaatkan isu yang tengah ngetren.

Mungkin kami hanya tak rela bahwa homoseksualitas mati lebih cepat dari yang kami perkirakan, dengan cara yang teramat sepele bagi kami. Rasanya hampir tak percaya bahwa malam minggu kemarin kami masih melihatnya duduk di tengah keramaian Ohlala - Thamrin, makan beef potatoes dan menenggak sebotol bir bintang. Wajahnya riang seperti biasanya, tanpa menunjukkan tanda-tanda apapun bahwa ia akan meninggalkan kami. Hanya, memang, malam itu ia tak banyak bicara. Kami malah sempat menggodanya, sedang jatuh cinta ya? Kalem dia tersenyum, lalu melanjutkan makannya. Eh, tak tahunya, seminggu kemudian, tepat pada Senin tengah hari, remaja-remaja yang usai kuliah nomat di Blok M Plaza, menonton film Coklat Stroberi --gubrak-- homoseksualitas terkapar seperti pria pensiunan terserang penyakit jantung, mati seketika dengan wajah meninggalkan kerut-kerut misteri.

Semua orang keluar dari gedung bioskop dengan perasaan tak menentu. Keesokan harinya koran-koran pagi ramai memberitakan dengan nada yang berbeda-beda: ada yang terang-terangan mensyukurinya, namun tak sedikit pula yang tak bisa menutupi rasa simpati. Harian Benteng Moral Rakyat menulis dalam tajuknya: Ditandai dengan keberhasilan seorang filmmaker muda berbakat menyembuhkan seorang remaja gay dari Bandung, homoseksualitas telah menghembusan nafas terakhirnya dengan tenang. Masyarakat tak perlu khawatir lagi akan kemungkinan terancamnya nilai-nilai keluarga.

Seorang sejarawan tua, dari atas kursi rodanya, dengan perasan kecut melipat koran itu dan melemparkannya ke sudut. Ia lalu menelepon redaksi sebuah stasiun televisi yang memiliki acara talkshow berating tinggi. "Tolong angkat ini ya, orang-orang industri perfilman telah menjadi pedagang-pedagang kelontong yang memperalat kata realitas untuk menyusun drama murahan penguras airmata abege-abege tak berotak," Sebelum emosinya tak terkontrol ia menutup telepon dan menarik nafas panjang. Lalu, menyetel acara gosip dan melihat Ivan Gunawan tengah menjawab pertanyaan wartawan tentang kapan menikah dan seperti apa cewek idolanya.

Sebulan kemudian, ketika kami sudah hampir bisa melupakan kematian tragis itu, kami melihat homoseksualitas duduk di salah satu sofa di sudut Heaven. Wajahnya putih dalam keremangan ruang diskotek; kami menduganya itu pastilah hantu. Tapi, dia menyapa kami duluan, menjabat tangan kami satu per satu dan mengajak kami bergabung menikmati vodca orange --ia jadi host malam itu. Kami tak banyak bertanya, karena toh suara kami akan tertelan oleh hentakan musik yang menggema. Kami hanya menduga-duga bahwa mungkin sebenarnya selama ini homoseksualitas tidak mati. Ia hanya sedikit kecewa dengan keadaan, atau muak dengan sinetron-sinetron relijius yang sudah berlebihan dan keterlaluan dalam mengolok-olok dirinya, dan ditambah film-film dari generasi baru yang ternyata tak banyak membantu. Atau, mungkin dia hanya bosan dengan pekerjaannya, lalu sengaja menyepi sejenak ke sebuah vila di Pattaya atau Seminyak, berbaring di atas pasir pantai pukul tujuh pagi dengan dada telanjang, sambil membaca majalah yang memuat artikel profil Fachry Albar.

Kami bayangkan, di sana ia ditemani satu dua brondong lokal berkulit coklat agak gelap, berwajah manis, berbibir irisan buah delima dan mengenakan boxer putih bergambar bunga cengkeh kartu remi warna hijau; membiarkan jemari mungil mereka memijiti punggung dan bahunya. Malamnya, dia pergi ke klab, dan bertemu serta menyapa basa-basi satu-dua wajah selebriti laki-laki dari Jakarta yang tengah mencari pria bule setengah tua, dan salah satu dari mereka sempat bertanya, apakah dirinya akan datang ke peluncuran novel gay Erza ZT berjudul Roman Sarkastik di Balcony, 27 Juni nanti.

Monday, June 18, 2007

Di Rumah Iwan Abdulrachman

sebuah akhir pekan akan berlalu di sini

rumah bercerobong asap ala desa di negeri empat musim
di antara pohon-pohon pinus

bangku-bangku kayu mengelilingi api unggun

sepasang tenda yang hangat dan sepanci bajigur
mendesis di atas kompor gas

semangkuk serutan kelapa muda dan senampan
ubi madu mengharumkan udara

dan tuan rumah yang ramah

dingin menyusut oleh tawa tak berkesudahan
malam memanjang seperti bayang-bayang

rumah-rumahan untuk burung itu kosong
tinggal kesunyian yang bersarang

dari balik rimbun bougenville angin basah mengendap lewat
meniup api kecil lampu-lampu minyak di kanan-kiri tangga

Bandung, 15-16 Juni 2007

setelah tol pasteur, udara jadi dingin. menghembuskan rayuan baliho dan memori yang kembali. semua orang punya kenangan dengan kota ini, katamu. jalan-jalan pun seperti berbisik di telingaku. tapi, paris van java hanyalah sederet toko baju dan gedung bioskop. selebihnya, rumah-rumah tua sebagai pemandangan yang tersisa. siapa bersedih di situ? cihampelas tak seperti dulu. dan, senja tiba-tiba sudah sampai di ujungnya, padahal kami masih punya banyak lagi cerita, saat terlihat orang-orang dari jakarta melepas baju kerja mereka, berfoto bersama patung wisnu di atas pancuran depan "rumah mode". malamnya, kami bertemu lagi di valley, menyantap tiga ekor cumi-cumi bakar sambil melempar pandang pada kota yang menjelma belantara kerlip lampu --kota yang selalu membuatmu ingin bertanya, siapa dirimu

: turis yang tak merasa asing, atau kawan lama yang datang setelah sekian lama dan ingin mendengar tuan rumah berkata, anggap saja rumah sendiri?

Thursday, June 14, 2007

Dondong opo Salak

Film ini bisa diberi judul apa saja, sebenarnya: Mie Ayam Gado-gado, Capucino Vanilla Latte, atau Mentos Kopiko.

Semua bisa mewakili teori yang mendasari film ini: ada dua macam (rasa) cowok, yakni Coklat dan Stroberi. Coklat itu straight, dan stroberi itu gay. Maka, demikian antara lain premis yang kemudian hendak diajukan: kalau kamu stroberi, tetap berlakulah seolah-olah coklat. Orang lain jangan sampai tahu kalau sebenarnya "rasa"-mu stroberi.

Di atas fondasi itulah cerita dibangun: sepasang gay itu baru datang dari Bandung, dan menumpang di rumah kontrakan milik tantenya. Di situ sudah ada dua cewek, yang harus rela berbagi kontrakan dengan dua cowok itu, karena mereka tak kunjung bisa membayar uang sewa. Dan, karena dua cowok itu sepasang kekasih, maka begitulah, setiap upaya untuk menutupi diri mereka, menjadi bahan kelucuan dan terus-menerus dieksplorasi untuk mengembangkan cerita.

Tapi, saya nyaris tak percaya bahwa si pembuat cerita itu adalah orang yang tempo hari menulis (sekaligus menyutradarai) Realita Cinta dan Rock n Roll yang menuai banyak pujian itu. Film tersebut telah melesatkan namanya ke barisan depan filmmaker di Tanah Air dan memberi dia citra "intelektual". Wajar, kalau lantas dia menjadi salah satu orang yang paling diharapkan untuk kemajuan masa depan industri film Indonesia.

Namun, film Dondong opo Salak ini memperlihatkan bahwa harapan itu ternyata salah alamat.

Film ini merupakan langkah mundur dia. Dari film ini saya jadi tahu --dan yakin-- bahwa dia tak lebih dari seorang filmmaker yang malas. Saya ragu dia paham betul dunia yang dia pindahkan ke layar lebar. Sepertinya dia hanya orang yang merasa sudah tahu, dan dengan demikian tidak mau melakukan pengamatan. Apa yang dia tampilkan adalah apa yang dia yakini dia tahu, dan dia yakini benar.

Dengan kata lain, dia bahkan tak sekedar terjatuh ke dalam stereotip, melainkan yang dia tampilkan itu mitos(-mitos) belaka.

Di satu sisi ada gay yang lemah-lembut, cemburuan, obsesif, pinter masak; di sisi lain ada gay yang undercover, macho dan akhirnya sembuh, jatuh cinta sama cewek, dan berkata pada pacar cowoknya, "Kamu telah salah mengerti hubungan kita selama ini."

Halo???

Setelah dua tahun bersama?

"...itu realitasnya, saya nggak ngarang-ngarang," kata dia usai press screening di Planet Hollywood, Senin (11/5/07) lalu.

Tahukah, wahai, tanpa pengetahuan, pendalaman, pendekatan dan penafsiran yang memadai, wajar dan proporsional, realitas hanya akan menjadi kutukan yang mengubah dia menjadi jahat? Sehingga di mata dia, lelaki-lelaki gay hanyalah manusia-manusia karikatural yang absurd, bahan tertawaan, sekaligus makluk tak lengkap yang kelak harus menyempurnakan dirinya dengan mencintai lawan jenisnya...

Oho, filmmaker ataukah satpam moral dia?

Tuesday, June 12, 2007

Oks Bangs Lah

Baks di sins sans tak?

Ambar hanya menjawab pertanyaan Yusuf itu dengan senyum.

Dan, mereka pun nyimeng lagi...

Dan, ingatanmu akan terseret pada sebuah kurun waktu, mungkin 3 tahun lalu, ketika anak-anak gaul kota ini bicara dengan kata-kata yang dipotong dan diberi huruf s di ujungnya.

Apakah hal itu kemudian jadi basi ketika ditampilkan sekarang? Well, setidaknya memang sudah nggak gaul lagi. Mungkin, lebih tepat kalau dibilang sudah terlambat. Namun, hal itu justru menunjukkan bahwa materi film ini telah mengalami semacam pengendapan, sehingga hasilnya adalah sebuah karya yang bening dan cemerlang.

Damn! Bagaimana sebuah film yang nyaris tanpa konflik dan klimaks, bisa begitu mengena; berhasil merogoh sukma dan menyedot rasa? Ah, kau pasti berlebihan. Tapi, memang sudah terlalu lama kan tak merasakan kemewahan kecil ini: keluar dari gedung bioskop dengan perasaan lega dan gembira?

Studio 2 Citos, Senin, jam 7 malam itu tak menyisakan satu bangku pun dan semua orang begitu menikmati. Ketika di layar tampak poster "Bags Lah" --yang merupakan plesetan dari poster film A Bug's Life-- semua tertawa, dan sejak itu semua terus saja tertawa.

Dan, film itu, yang mungkin sudah kau tunggu-tunggu, karena poster besarnya yang menggodamu di mana-mana, akan lebih jauh lagi menyeret memorimu. Mungkin sampai pada momen-momen ketika kau baru lulus SMU, menjadi manusia yang begitu merdeka, sambil deg-degan menunggu pengumuman UMPTN, melewatkan hari-hari dan malam-malam bersama satu atau dua teman dekat, merasa telah menjadi manusia yang lebih dewasa, ngobrol patah-patah tentang hidup, perjalanan usia, masa depan sampai ke soal pernikahan juga.

That's all. Ya. Film ini hanya berisi obrolan sepasang anak muda, laki-laki dan perempuan, mereka saudara sepupu, yang tengah menempuh perjalanan mobil dari Jakarta ke Yogyakarta untuk acara perkawinan kakak perempuan mereka. Namun, baru saja sampai tol di luar kota, keisengan muncul. Ke Bandung dulu yuk.

Di Kota Kembang, Ambar menginap di markas anak-anak band, di mana seorang personelnya adalah pacarnya. Yusuf sempat mengintip ketika Ambar bercinta dengan kekasihnya itu.

Begitulah, dengan kesengajaan agar terlambat sampai di Yogya, kedua anak muda itu menikmati perjalanan dengan santai, berganti-ganti menyetir sambil berbagi cimeng, istirahat di pinggir jalan atau di pantai, menginap di rumah warga desa dan terakhir sempat tidur di mobil sambil menunggu subuh untuk mampir dulu ke Sendang Sono, sebuah tempat ziarah orang Katolik.

Dan, memang begitulah, tak ada kejadian besar yang menegangkan, peristiwa penting yang mengguncang maupun kejutan-kejutan. Obrolan mereka pun bukanlah obrolan yang "cerdas" seperti yang selalu dituntut oleh mereka yang baru saja nonton Before Sunrise. Sebaliknya, mereka bahkan boleh dibilang mengisi perjalanan itu dengan obrolan-obrolan "bodoh" yang remeh-temeh dan tidak penting.

Tapi, damn! justru dengan segala kewajarannya yang sederhana dan kelugasnnya yang realistik itu, film ini begitu efektif menggambarkan alam pikiran dan hasrat terpendam anak muda pada satu momen dalam hidup mereka, di antara jutaan anak muda lainnya.

Banyak hal dipertanyakan, dibahas tapi serba tak dituntas, atau memang dibiarkan menguap begitu saja bersama asap lintingan mereka. Atau, jawaban yang telah dengan susah payah mereka temukan, mereka mentahkan lagi begitu saja, untuk kemudian kembali ke obrolan bodoh yang tidak penting. Karena, pertanyaan-pertanyaan itu --tentang hidup, perjalanan usia, masa depan dan pernikahan-- sebenarnya memang tidak lebih penting dari "baks laaah".

Dan, mereka pun nyimeng lagi...

Ambiguitas kedua anak muda itulah --yang di satu sisi seolah gelisah dengan berbagai pertanyaan, namun di sisi lain sebenarnya tak terlalu ingin mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu-- yang menurut saya membuat film ini menjadi tampak sangat jujur, jernih dan steril dari pretensi apa pun.

Berbeda dengan film-film serupa yang dinafasi semangat kebebasan anak muda (sebut saja Realita Cinta dan Rock n Roll atau Garasi), film ini tampak tak berambisi untuk mewakili --atau bahkan sekedar memotret sekali pun -- realitas di luar sana. Ambar adalah Ambar dan Yusuf adalah Yusuf. Mereka bukan siapa-siapa sekaligus bisa siapa saja, tapi sebenarnya bisa juga keduanya adalah satu, ego sekaligus alter ego dari sang pembuat cerita.

Sebagai film yang menaruh sebagian besar fondasinya pada dialog, peran penulis skrip Sinar Ayu Massie barangkali memang sangat menentukan. Namun, bila di depan kau telah bilang, "Nyaris tanpa konflik dan klimaks, tapi begitu mengena", tentu itu tak lepas dari peran besar sutradara. Riri Riza telah memberi sentuhan yang ciamik pada naskah Ayu; selain pengaturan dialog-dialognya yang pas, mata kamera dia juga telah membuat film ini menjadi begitu kaya visual. Oks bangs laaah pokoknya.

Dan, film dengan hasil seperti ini, hanya bisa lahir dari para kreator (terutama, dalam hal ini penulis skrip) dengan kualifikasi yang pernah dituntut oleh Asrul Sani: benar-benar telah memiliki kekayaan pengalaman hidup yang layak untuk dibagi. Bukan, sekedar seorang pengamat yang tahu dari buku.

Selamat, Nico, Adinia untuk akting yang bagus. Terima kasih, Ayu, Riri untuk film ini.

Tuesday, June 05, 2007

Pesta

Keluarkan semua buku berdebu dari gudang, bawalah ke Senayan dan kalian bilang itu pesta. Atau: pindahkan saja tokomu untuk memenuhi separo area. Orang-orang pasti datang. Pasangan-pasangan muda dari sebuah masyarakat baru yang membaca buku-buku terjemahan tentang cara mendidik anak yang baik.

Lelaki-lelaki berbaju badut bertopi kerucut menyambut di setiap sudut, membagi-bagikan balon bertangkai panjang. "Untuk anak-anak masa depan yang cerdas!" kata mereka dengan jenaka. Hati siapa yang tak terharu menyaksikannya? Meskipun anak-anak itu sebenarnya terlalu kecil untuk sebuah acara yang kalian namakan pesta buku.

Para ayah itu akhirnya jadi lebih sibuk menggendong dan menenangkan anak-anak mereka yang menangis karena kegerahan dan istri-istri mereka yang anggun dan berjilbab menimang-nimang Menjadi Istri yang Solehah dan Aku Rela Suamiku Poligami.

Ingatkah iklan itu? Jakarta terendam, Jakarta punya monorail. Tentu saja, Jakarta memang oke, karena kami tidak hanya berbondong-bondong ke Blitz dan gerai-gerai baru Starbucks, tapi juga berdesak-desakan di pameran buku. Ah, ya, pesta, katamu. Mari bersulang. Demi Serambi dan Dastan. Terima kasih telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dengan novel-novel detektif dan kisah-kisah nyata tentang orang-orang sakit jiwa.

Diskon empatpuluh persen yang kalian beri, cukup membuat kami sempoyongan ketika pulang dengan kedua tangan menenteng masing-masing 2-3 tas plastik penuh buku, melintasi boulevard menjelang malam, membiarkan bunga-bunga kering dari pohon-pohon tak bernama berguguran di rambut kami.

Monday, June 04, 2007

Greiga

Tengah hari yang menyengat tiba-tiba terasa teduh oleh seraut wajah lonjong yang muncul di antara orang-orang yang menunggu.

Aku duduk di bangku besi halte busway Sarinah menjelang jam makan siang hari itu, dan tak begitu yakin dengan siapa yang kulihat.

Aku masih ragu, dan merasa telah salah mengenali orang, ktika dia tiba-tiba melihat ke arahku dan tersenyum.

Ah, jadi memang benar, dia. Berapa bulan tak bertemu dengannya? Tambah cakep saja. Dan, aku nyaris tak mengenali.

"Wah, kemarin baru diomongin, kangen deh ama Mumu..."

Aku tahu itu hanya ungkapan kesopanan dari seseorang teman yang sudah lama tidak berjumpa. Namun, aku merasa harus tetap senang mendengarnya.

Setelah obrolan basi-basi yang terpatah-patah, dia pun mulai sibuk menelpon.

Sebelum terdengar pembicaraan pun aku sudah tahu dia menelpon pacarnya, Boy, yang entah di mana.

"Lagi di mana?
"..."
"Coba tebak, gue ketemu siapa?"
..."

Ternyata, Boy sedang ada di Kemang, dan mereka memang sudah janjian akan bertemu di Blok M.

"Mumu nggak buru-buru kan, ketemu Boy dulu aja, kita ngobrol..."

Busway yang penuh sesak datang, menelan tubuh-tubuh kurus kami.

***

Di dalam busway aku kembali memperhatikan dia dengan seksama. Dengan penampilan yang sungguh rapi dan formal ala mas-mas kantoran, dia tampak jauh lebih dewasa melampaui umurnya. Aku tidak begitu suka dengan penampakan seperti itu. Namun, ketika itu melekat pada seorang yang belum lagi genap 20 tahun, rasanya begitu beda.

Celana bahan coklat tua, dipadu baju lengan panjang coklat muda bergaris-garis tipis vertikal didobeli rompi warna serasi. Seperti membaca isyarat "keheranan" dari tatapanku, dia berkata, "Iya nih, tiap Kamis ada profesional image gitu di kampus, jadi harus tampil resmi."

Dia baru saja masuk jurusan pi-ar di Interstudi di Gedung Sarinah. Dengan pancingan-pancingan pertanyaanku, dia lalu banyak cerita tentang kesibukannya selama ini. Dia bilang, selain mulai kuliah, dia sibuk nyari-nyari job sebagai sales promotion boy (SPB).

"Kadang-kadang jaga stan berdua sama Boy, seru deh, kita suka ngaku kakak-adik gitu. Tapi, belakangan Boy dapet job ngemsi juga untuk acara launching produk."

Saya membayangkan Boy di atas panggung, memegang mike dan mulai ngocol. Pasti dia bisa. Mungkin itu lebih cocok buat dia, sebab sejujurnya, dia terlalu keren untuk menjadi SPB. Tapi, untuk merambah dunia sinetron pun mereka dia agak nanggung. Aku menilai ada yang kurang dari dia, tapi aku tak tahu apa, atau aku hanya terlalu tak enak untuk menyebutkannya

Usaha dia selama ini untuk masuk dunia entertainment hanya menghasilkan beberapa kali kemunculan sebagai figuran, baik untuk tayangan iklan, sinetron tidka terkenal maupun acara komedi yang tidak lucu. Greiga mungkin akan mengikuti jejaknya.

***

Aku dikenalkan dengan Greiga di tengah kehangatan suasana Zoom oleh penampilan Rika Roeslan yang sedang menggelar konser mini untuk menandai peluncuran album solonya.

"Lucu kan?" bisik Boy membanggakan remaja yang waktu itu statusnya masih selingkuhan itu.

Sebelumnya, dia telah cerita bahwa baru saja dapat brondong baru. Baru dalam arti yang sebenar-benarnya karena Boy-lah orang yang pertama kali memperawaninya. sebelumnya, katanya, dia pacaran dengan cewek, layaknya anak-anak usia SMU kebanyakan.

"Abis itu, dia nelpon gue terus gitu, Mu!"

Belakangan, setelah beberapa kali bertemu lagi dengan Greiga, aku paham mengapa dia menelpon terus. Tentu saja karena dia bingung. Sampai pada suatu kesempatan, dia curhat, betapa tak mudahnya menjadi dirinya, seorang kekasih gelap.

"Bayangkan, Mu, di usiaku yang semuda ini, harus sudah jadi selingkungan." Dia bilang, dia tidak mau terus begitu; pacaran secara sembunyi-sembunyi.

Aku bingung harus memberi nasihat seperti apa. Kecuali, dengan sok bijak aku bicara tentang pilihan-pilihan dan tentang bahwa orang bisa memilih.

"Jangan mau diperdaya sama Boy," aku merasakan sendiri dari nada suaraku, aku mulai emosi. Kemudaan dan kepolosan Greiga membuat saya merasa Boy telah memperlakukannya dengan jahat.

Aku mencoba tidak memihak siapa-siapa. Tapi, aku tak tahan untuk tak membeberkan fakta-fakta tentang Boy yang pasti belum dia ketahui. Bahwa, Boy bukan hanya sudah punya pacar, namun, dia dan pacarnya itu pacaran lagi dan tinggal di rumah seseorang bernama Mas Rudi.

Greiga tampak kaget.

Lalu diam. Sedih. Gusar. Tak tenang.

Berkali-kali dia mengaku senang dan lega telah bertemu dan curhat padaku.

Aku ingin bilang, kau masih terlalu muda untuk hanya menjadi kekasih simpanan. Kalau memang kau mencintainya, rebutlah dia dan mintalah untuk menjadi milikmu seutuhnya. Kalau dia memang mencitaimu, dia harus melakukannya.

Tapi, semua itu tertelan kembali karena aku ingat, jika itu terjadi, Dodi --yang bagaimana pun juga sahabat baikku- akan menjadi orang yang paling kehilangan.

Namun, yang terjadi, terjadilah. Siapa bisa menebak perjalanan waktu? Hidup seperti berputar arah. Banyak hal terjadi, dengan muara ini: Greiga akhirnya menggantikan Dodi tinggal di rumah itu, rumah Mas Rudi.

***

Sebelum turun dari busway aku sempat memperhatikan Greiga sekali lagi. Pada dirinya aku seperti melihat cermin, tempat semua orang bisa berkaca dan menemukan satu fakta tentang bagaimana seorang remaja gay lahir.

Aku tak yakin dia telah bahagia. Tapi, aku agak yakin, dia telah menemukan apa yang mungkin selama ini memang dia cari dan dia inginkan.

Mungkin ia hanya pasrah mengikuti perjalanan nasib. Tapi, apa itu nasib?

Setelah sampai di anak tangga terakhir terminal Blok M, aku berubah pikiran. Aku memisahkan diri dari Greiga, dan berbasi-basi menitip salam untuk Boy. "Kapan-kapan aja, kita ngobrol."