Matinya Homoseksualitas
Kematian homoseksualitas sebenarnya sudah lama kami ramalkan, bahkan diam-diam kami tunggu-tunggu; karena pada dasarnya kami tinggal menunggu waktu. Siapa sangka, ketika hal itu akhirnya benar-benar terjadi, ternyata kami lebih terkejut daripada yang kami duga. Mungkin kami hanya tak menyangka bahwa akhirnya, yang melakukannya --membunuhnya-- seorang perempuan kemarin sore yang barangkali hanya ingin numpang beken dengan memanfaatkan isu yang tengah ngetren.
Mungkin kami hanya tak rela bahwa homoseksualitas mati lebih cepat dari yang kami perkirakan, dengan cara yang teramat sepele bagi kami. Rasanya hampir tak percaya bahwa malam minggu kemarin kami masih melihatnya duduk di tengah keramaian Ohlala - Thamrin, makan beef potatoes dan menenggak sebotol bir bintang. Wajahnya riang seperti biasanya, tanpa menunjukkan tanda-tanda apapun bahwa ia akan meninggalkan kami. Hanya, memang, malam itu ia tak banyak bicara. Kami malah sempat menggodanya, sedang jatuh cinta ya? Kalem dia tersenyum, lalu melanjutkan makannya. Eh, tak tahunya, seminggu kemudian, tepat pada Senin tengah hari, remaja-remaja yang usai kuliah nomat di Blok M Plaza, menonton film Coklat Stroberi --gubrak-- homoseksualitas terkapar seperti pria pensiunan terserang penyakit jantung, mati seketika dengan wajah meninggalkan kerut-kerut misteri.
Semua orang keluar dari gedung bioskop dengan perasaan tak menentu. Keesokan harinya koran-koran pagi ramai memberitakan dengan nada yang berbeda-beda: ada yang terang-terangan mensyukurinya, namun tak sedikit pula yang tak bisa menutupi rasa simpati. Harian Benteng Moral Rakyat menulis dalam tajuknya: Ditandai dengan keberhasilan seorang filmmaker muda berbakat menyembuhkan seorang remaja gay dari Bandung, homoseksualitas telah menghembusan nafas terakhirnya dengan tenang. Masyarakat tak perlu khawatir lagi akan kemungkinan terancamnya nilai-nilai keluarga.
Seorang sejarawan tua, dari atas kursi rodanya, dengan perasan kecut melipat koran itu dan melemparkannya ke sudut. Ia lalu menelepon redaksi sebuah stasiun televisi yang memiliki acara talkshow berating tinggi. "Tolong angkat ini ya, orang-orang industri perfilman telah menjadi pedagang-pedagang kelontong yang memperalat kata realitas untuk menyusun drama murahan penguras airmata abege-abege tak berotak," Sebelum emosinya tak terkontrol ia menutup telepon dan menarik nafas panjang. Lalu, menyetel acara gosip dan melihat Ivan Gunawan tengah menjawab pertanyaan wartawan tentang kapan menikah dan seperti apa cewek idolanya.
Sebulan kemudian, ketika kami sudah hampir bisa melupakan kematian tragis itu, kami melihat homoseksualitas duduk di salah satu sofa di sudut Heaven. Wajahnya putih dalam keremangan ruang diskotek; kami menduganya itu pastilah hantu. Tapi, dia menyapa kami duluan, menjabat tangan kami satu per satu dan mengajak kami bergabung menikmati vodca orange --ia jadi host malam itu. Kami tak banyak bertanya, karena toh suara kami akan tertelan oleh hentakan musik yang menggema. Kami hanya menduga-duga bahwa mungkin sebenarnya selama ini homoseksualitas tidak mati. Ia hanya sedikit kecewa dengan keadaan, atau muak dengan sinetron-sinetron relijius yang sudah berlebihan dan keterlaluan dalam mengolok-olok dirinya, dan ditambah film-film dari generasi baru yang ternyata tak banyak membantu. Atau, mungkin dia hanya bosan dengan pekerjaannya, lalu sengaja menyepi sejenak ke sebuah vila di Pattaya atau Seminyak, berbaring di atas pasir pantai pukul tujuh pagi dengan dada telanjang, sambil membaca majalah yang memuat artikel profil Fachry Albar.
Kami bayangkan, di sana ia ditemani satu dua brondong lokal berkulit coklat agak gelap, berwajah manis, berbibir irisan buah delima dan mengenakan boxer putih bergambar bunga cengkeh kartu remi warna hijau; membiarkan jemari mungil mereka memijiti punggung dan bahunya. Malamnya, dia pergi ke klab, dan bertemu serta menyapa basa-basi satu-dua wajah selebriti laki-laki dari Jakarta yang tengah mencari pria bule setengah tua, dan salah satu dari mereka sempat bertanya, apakah dirinya akan datang ke peluncuran novel gay Erza ZT berjudul Roman Sarkastik di Balcony, 27 Juni nanti.