pop | arts whatever

Monday, August 25, 2008

Usaha Menjadi Indonesia dengan Batik

Aku pulang ke Solo dan mendapati pemandangan yang tak biasa. Di mana-mana orang memakai baju batik, laki-laki, perempuan, tua, muda sampai anak-anak. Mereka berbatik ria dalam berbagai kesempatan. Pendek kata, jalan-jalan di mal, di arena-arena nongkrong anak muda, tempat-tempat makan, sejauh mata memandang akan kepentok pada sosok-sosok yang mengenakan busana batik dengan senyum ceria dan aura wajah bangga. Sebenarnya agak ironis juga kalau tadi di awal saya bilang pemandangan yang tak biasa. Secara, ini Solo gitu loh, kota yang dikenal sebagai salah satu asal budaya batik --selain Yogyakarta, Pekalongan dan Cirebon. Tapi, memang begitulah kenyataannya, bahwa di kota asalnya sekali pun, batik baru menjadi budaya massa hari-hari ini saja, tidak sejak dulu.

Sebelumnya, yang terjadi, batik adalah busana formal, resmi, yang hanya dipakai untuk keperluan-keperluan terkait seremoni dan resepsi. Dengan kata lain, dalam waktu yang sangat lama, batik identik dengan citra high profile, komoditi para perancang busana, pakaian eksklusif sekelompok masyarakat kelas elit, atau lebih apes lagi, sekedar simbol retorika nasionalisme para pejabat. Tentu saja, sejak dulu batik murah juga ada, yang sesuai dengan pasar masyarakat kebanyakan, tapi sekali lagi, penggunaannya pun sangat terbatas, tidak pernah kunjung populer sebagai "pakaian sehari-hari" atau "baju gaul". Saya sendiri kebetulan (atau bukan kebetulan) punya pengalaman pribadi yang cukup emosional dengan batik. Ketika masih kecil dulu, setiap lebaran, baju baru yang dibelikan oleh ayah saya selalu batik. Dan, itu tidak terjadi pada anak-anak lain di kampung. Saya tidak tahu, mengapa ayah saya selalu memilihkan baju batik untuk saya berlebaran.

Kebetulan lagi (atau bukan kebetulan lagi), salah satu kakak saya kemudian bekerja di Pekalongan, dan setiap kali pulang, oleh-oleh yang dibawakan untuk saya tak lain baju batik! Jadi, kalau ngomong-ngomong soal batik, terutama dalam konteks tren fashion belakangan ini, saya sudah kenyang semasa kecil dulu. Termasuk, tentu saja, kenyang diledeki teman-teman sebaya saya. "Nganggo batik koyo wong tuo." Begitulah, bahkan dalam alam pikiran anak-anak pun, sejak dini tertanam bahwa batik itu identik dengan orang tua. Entah, datang dari mana sosialisasi seperti itu. Ketika beberapa waktu lalu tiba-tiba Malaysia mengklaim bahwa batik merupakan budaya milik mereka, bangsa ini mendadak-sontak tersengat, mak-jenggirat, seperti orang yang sedang tiduran tiba-tiba dijambak rambutnya dari belakang, kaget, merasa sakit, marah, lalu mulai menimbang-nimbang, memikirkan kembali banyak hal....dan, hasilnya, batik tiba-tiba --boom!-- menjamur di mana-mana, menjadi tren yang menggoda semua orang.

Grosir-grosir di Pasar Klewer Solo mendadak sibuk berat, kebanjiran pesanan dari Jakarta, sampai kewalahan, tapi senang, panen uang dan produksi pun terus digenjot. Untuk pertama kalinya, baju batik menjadi begitu massif, layaknya sandal kepit atau kaos oblong yang dicari orang setiap saat. Wali kota Solo yang dipuja-puja warganya sebagai pamong yang kreatif dan jenius, Joko Widodo, dengan sigap menggelar Karnaval Batik. Salah satu produsen batik terbesar di Solo, 22 Agustus lalu meresmikan The House of Danar Hadi, sebuah pusat batik yang prestisius, yang resepsinya dihadiri orang-orang penting dari Ibukota. Memakai batik tiba-tiba tidak hanya terasa begitu membanggakan, tapi juga bergengsi, berbudaya, nasionalis, gaul dan funky. Saya tenggelam dalam histeria itu, tak mau ketinggalan momen, berjalan-jalan menyusuri pusat-pusat keramaian dengan celana jins dan baju batik coklat tua motif sido mukti yang saya beli dari Pusat Grosir Solo dengan harga relatif sangat murah. Dalam hati saya berkata, mudah-mudahan batik adalah "kasus" terakhir, dimana kita sebagai pemiliknya baru merasa bangga dan nyaman menyatakan diri sebagai pemiliknya setelah ada orang lain, negara lain, ujug-ujug mengklaimnya. Kita bukan bangsa yang bebal....

Maka, syahdan, singkat cerita, sambil memasukkan-masukkan baju batik yang telah saya borong ke dalam tas sebelum kembali ke Jakarta, dengan menggebu-nggebu dan berapi-api saya berkata kepada kakak saya, "Pokoknya, saya akan lebih memasyarakatkan batik sebagai busana kerja dan gaul di Jakarta." Saya juga membayangkan, seru juga kali ya clubbing pakai batik. Semua itu membuat saya bersemangat. Kebetulan (aduh, sudah tiga kali kebetulan ya) hari pertama masuk kerja setelah cuti, saya ada seminar di Hotel Mulia. Kesempatan, pikir saya. Kesempatan untuk berbatik ria agar membuat orang terinspirasi dan terdorong untuk lebih terbiasa memakai batik. Dengan dada membusung dan kepala mendongak saya berjalan melintasi lobi hotel. Orang-orang yang sedang duduk di situ memandang saya. Petugas hotel juga memperhatikan saya lekat-lekat. Ketika registrasi di meja panitia, dua perempuan Cina yang cantik menatap saya takjub. Karena saya datang agak terlambat, saya pun menjadi pusat perhatian ketika memasuki ruangan. Beberapa menit duduk, saya mulai merasa tidak pede. Saya merasa berpasang mata dari para peserta seminar berkali-kali menoleh ke arah saya. Saya pun berkali-kali mengedarkan pandangan. Kemeja-kemeja lengan panjang. Jas. Dasi.

Mendadak saya mulai gelisah. Batik lengan pendek yang menempel pas di tubuh saya tiba-tiba membuat saya gerah. Padahal ruangan seminar itu jelas ber-AC. Dingin sekali malah. Saya mencoba menenangkan diri. Sebuah upaya yang mulia biasanya memang penuh tantangan pada awalnya. Santai, Mu. Saya menarik nafas, dan minum air putih yang tersedia di gelas bertangkai di atas meja. Ketika siangnya saya ke kantor, saya sudah siap dengan sambutan teman-teman saya, yang akan terbangkitkan nalurinya untuk lebih mencintai batik dan memakainya sebagai busana kerja, setelah melihat saya hari itu. Saya melangkah memasuki kantor saya. "Mas Mumuuu...waaaaah pakai batik, mentang-mentang habis pulang kampung," teriak teman yang pertama kali melihat kehadiran saya.

Saya tersenyum-senyum saja.

Duduk di depan komputer, teman lain menghampiri. "Habis kondangan di mana, Bapak Mumu?"

Gubrak. Oh, kebangaan nasional, oh identitas budaya bangsa!

Tuesday, August 05, 2008

Surat Terbuka untuk "Gerhana Kembar" *)

oleh D Jayadikarta, dari Sidney

Saat menghadiri peluncuran Antologi Cerpen Rahasia Bulan di Aksara Kemang beberapa tahun yang lalu, salah seorang jurnalis sebuah stasiun televisi swasta mendekati saya untuk melakukan wawancaranya. Dan saya dengan tegas menolaknya. Sebagai seorang gay, bukannya saya takut mendapat stigma buruk masyarakat terhadap status orientasi seksual saya, namun saya tak mau, dengan segala prasangka negatif yang sangat intoleran, profil saya ditempatkan dan disamakan dengan seorang pelacur. Padahal saya bukan seorang gigolo, atau seorang laki-laki yang terjerumus di dunia gay (karena saya tidak merasa dijerumuskan, apalagi menjerumuskan diri), dan saya juga bukan pekerja dunia malam lainnya. Saya memiliki karir yang cukup bagus di studio Fox Sydney. Saya telah menulis beberapa cerpen dan pernah dimuat di media massa, dan saya juga telah mempublikasikan novel pertama saya Totem dan saat ini baru saja merampungkan novel kedua. Pendek kata, saya tak kalah sukses dengan beberapa eksekutif muda di Jakarta yang dapat dengan bangga tampil mengisi rubrik-rubrik profil majalah ibukota dan stasiun-stasiun televisi swasta. Namun, pada sebuah wawancara sebuah peluncurun buku di toko buku Aksara (bila saat itu saya menerimanya), profil saya akan berakhir di "Buletin Malam" atau "Jakarta Undercover". Saya tidak akan ditampilkan secara wajar layaknya seorang yang bangga dengan karir dan kehidupannya, namun saya menjadi ikon gelap yang harus bersembunyi (atau dipaksa disembunyikan sehingga berkesan misterius dan dosa) seperti layaknya pelacur di klub-klub murahan ibukota. Hal inilah yang membuat saya menolak mentah-mentah wawancara itu. Bagi kaum gay, mereka sadar dan tahu betul bagaimana tragis dan mirisnya melihat perlakuan media di Indonesia. Tapi bagi masyarakat luas, dunia gay adalah tak lebih dari publikasi media yang penuh kegelapan, misteri, dan dosa.

Dalam kaitannya dengan kasus di atas, setelah membaca Gerhana Kembar, Clara Ng telah menempatkan tema GLBT, baik disengaja ataupun tidak, dalam wacana lain kesusastraan Indonesia. Ia juga telah berani menyampaikan pesan khusus kepada publik bahwa persoalan GLBT tidak lagi dilihat dari sudut pandang negatif yang pada umumnya mencoba menafsirkan kaum gay dari sudut pandang yang sangat totalitarian dan disorientatif , yaitu kaum gay adalah tak ubahnya dengan pendosa, dan prostitusi. Hingga, di Indonesia, bila kita berbicara tentang homoseksualitas, pasti lah media telah dengan salah kaprah menempatkannya dalam program khusus dunia malam daripada menempatkannya pada rubrik profil orang-orang sukses, misalnya. Padahal, menjadi gay, tidak lah bisa melihatnya hanya dari orientasi tertentu saja, yang celakanya orientasi itu sangat homophobic dan negatif. Melainkan mendekonstruksi dan merekonstruksinya ke dalam platform dan perspektif baru, yaitu menjadi gay lebih merupakan pilihan hidup yang sangat dan teramat manusiawi; yaitu permasalahan dunia gay juga tak ubahnya seperti permasalahan masyarakat pada umumnya; berjuang mencari pekerjaan tetap, jatuh cinta dan ditolak, masih berjuang mencari pasangan, masih bergelut untuk melunasi cicilan rumah atau bayar kos, dan lain-lain.

Bila melihat dari sudut pandang seorang penulis seperti Clara Ng ini, ia telah melakukan pendekatan—yang walaupun tidak baru—kepada masyarakat luas; yaitu memandang percintaan hubungan sesama jenis dengan teramat manusiawi tanpa unsur prasangka yang buruk. Sungguh, ini merupakan poin khusus untuk Clara, yang mencoba menggarap novel bertema GLBT. Namun, yang sangat mengecewakan dari literatur-literatur bertema GLBT di Indonesia termasuk Gerhana Kembar ini adalah, saya belum pernah membaca karya para penulis yang memberikan ruang kritik 'khusus yang peduli namun tetap toleran' kepada kaum gay sendiri. Hingga karya-karya semacam Gerhana Kembar ini, untuk kaum gay sendiri, tidak memberikan sesuatu yang baru melainkan proses penyampaian percintaan sesama jenis "biasa" yang dibungkus dalam kemasan yang lebih menyentuh dan manusiawi. Taruh saja bila nama Henrietta saya ganti menjadi Henri dan Diana tetaplah Diana. Novel ini hanya akan berakhir menjadi roman percintaan sepasang kekasih dimasa lalu, seorang laki-laki dan perempuan yang jatuh cinta dengan segala permasalahan percintaan mereka. Dan lucunya, bila pun Clara mengubah percintaan tokohnya menjadi percintaan heteroseksual, saya tetap menikmati membaca Gerhana Kembar seperti layaknya novel percintaan biasa.

Lalu apa bedanya menulis dengan menempatkan karakter gay/lesbian dengan karakter heteroseksual atau sebaliknya bila menulis novel bertema gay tidak menjanjikan apalagi melahirkan kritik dan wacana baru terhadap kehidupan gay sendiri? Bukan kah permasalahan kehidupan gay, khususnya di Indonesia, tidak semata berasal dari penerimaan masyarakat yang homophobic dan media-media yang selalu menghubungkan dunia gay dengan secara salah kaprah dan tragis hingga menjadi gay tak ubahnya menjadi seorang pelacur? Bukan kah permasalahan dunia gay di Indonesia saat ini, bagaimana pun berpulang kembali kepada kaum gay itu sendiri: bagaimana mengubah citra buruk itu ke dalam perspektif baru yang segar; tanpa prasangka yang negatif, bagaimana bergelut untuk menjadi diri sendiri di tengah masyarakat yang masih sangat intoleran terhadap pluralisme, bagaimana mengubah prasangka buruk bahwa menjadi gay bukan lah semata mencari kepuasan seks sesama jenis sebanyak mungkin, melainkan lebih kepada pilihan hidup yang layak dan manusiawi. Sepertinya, Clara Ng tidak atau belum berani melakukan dekonstrusi dan rekonstruksi secara internal terhadap permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan homoseksualitas dan kehidupannya di dalam Gerhana Kembar dan terus terang, sebagai seorang gay yang hidup ditengah prasangka buruk masyarakat, saya sangat dan teramat kecewa karena cerita ini tak ubahnya sebagai bentuk eksplotasi kehidupan gay belaka. Karya ini tidak lebih sebagai sebuah novel percintaan biasa sementara dilain pihak kaum gay sendiri menuntut, jika pun tidak sejauh mendambakan, lebih daripada itu, yaitu karya-karya yang berani memberikan pencerahan dan wacana baru terhadap permasalahan—baik itu internal maupun eksternal--homoseksualitas di Indonesia.

Sydney, 4 Agustus 2008

*) Gerhana Kembar adalah novel karya Clara Ng yang awalnya dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas yang banyak mendapat perhatian khusus karena mengangkat kisah percintaan lesbian. Novel ini akan didiskusikan dalam konteks tema besar "Perempuan, Seksualitas dan Media" di Goethe Haus, Jakarta Pusat, Jumat (8/8/08) pukul 19.00 WIB. Menghadirkan Maria Hartiningsih, Ratih Kumala, Alberthiene Endah sebagai pembahas.