pop | arts whatever

Monday, May 28, 2007

Menulis dan Melawan

Clara Ng (novelis dan penulis cerita anak-anak Gramedia), mengawali diskusi dengan heroik. "Bagi saya menulis itu melawan semua hal."

Saya senang dengan pernyataan itu, karena meskipun agak klise, tapi untuk konteks diskusi sore itu, sangat relevan.

Kami diundang untuk berbicara tentang menulis oleh sebuah komunitas perempuan lesbian di Jakarta, Institut Pelangi Perempuan (IPP).

Kami duduk melingkar di atas tikar, di teras belakang sebuah kantor sekretariat lembaga donor asal Belanda. Ketua IPP Kamel meminta kami memperkenalkan diri.

Kami: cerpenis dan seniman teater asal Bali Cok Sawitri yang kini menetap di Jakarta, editor fiksi Gramedia Hetih Rusli, Clara dan saya.

Cok yang gagah dan bervokal mantap, yang saya kira akan membuat acara itu menjadi serius dan gawat, ternyata justru sebaliknya, mencairkan suasana dengan gayanya yang teatrikal dan penuh humor.

Dengan cerdik dan efektif, dia memulai diskusi dengan meminta peserta untuk mengungkapkan kesulitan-kesulitan mereka dalam menulis. Di luar dugaan, perempuan-perempuan yang tampak pendiam dan malu-malu itu ternyata merespon dengan hangat. Satu per satu tunjuk jari untuk bicara.

Diam-diam saya membatin, saya belum pernah melihat perempuan lesbian sebanyak ini. Tapi, kata Kamel, pada kesempatan lain yang hadir bisa lebih daripada sore itu.

Saya terbelalak.

Jumlah mereka cukup menggetarkan untuk turun ke jalan berteriak-teriak atau menggebrak meja pimpinan DPR meminta(-minta) pengakuan dan pengesahan perkawinan sesama jenis. Tapi, saya bahagia karena mereka, dengan jumlah sebanyak itu, lebih memilih berkumpul dua pekan sekali, memutar film, berdiskusi dan -sekarang- ingin belajar menulis.

Sambil menunggu giliran bicara, saya berbisik pada Hetih, "Terjawab sudah keheranan saya selama ini, kenapa acara-acara lesbian night selalu gagal. Ternyata, para lesbian lebih suka hal-hal yang bersifat intelektual."

Saya tidak tahu, di telinga Hetih, bisik-bisik saya itu terdengar serius atau bercanda, sebagai pujian yang tulus atau sindiran yang sinis.

Tapi, teman saya yang duduk di antara para peserta, Imelda, menghampiri saya usai acara dan berkata, "Memang, Mu selama ini banyak di antara kami para lesbian ini terlalu sibuk, nggak sempat mikirin kesenangan; nggak seksi. Belum lagi, rasa minder kami ini memang luar biasa."

***

Cok menampung semua curhat, dan melimpahkan kepada kami untuk menjawabnya. Hetih yang berpengalaman mengedit naskah banyak membagi ilmu tentang memilih dan memperkaya kosa kata, mengatasi kebuntuan dan hal-hal teknis lainnya.

Saya dengan sok-gagah namun gemetar, mencoba lebih menyelam ke filosofi:

Menulis itu susah. Tanya diri kalian sekali lagi, apakah benar-benar ingin menulis? Kalau tidak, lupakan saja. Toh, menulis bukanlah segalanya. Tapi, kalau kalian memang ingin menulis, tetapkan dulu, untuk (tujuan) apa?

Sekarang, semua orang telah menjadi penulis, dan kita lihat misalnya di berbagai blog, mereka menjadi komentator dan kritikus sosial-politik; apakah itu yang kalian inginkan? Apakah kalian ingin mengomentari ketidakberdayaan pemerintah menangani kasus lumpur lapindo sementara yang kalian hadapi sehari-hari hanyalah perasaan tertolak yang tiada berakhir, dan upaya terus-menerus untuk menerima diri sebagai seorang perempuan lesbi?

Baiklah, kalian mungkin memang ingin menulis. Maka, saran saya hanya satu, tulislah tentang diri kalian sendiri.

Clara berbagi cerita tentang perlawanannya. Sebagai perempuan yang lahir dalam keluarga keturunan Cina, ia mempertaruhkan banyak hal dengan memilih jadi penulis ketimbang membuka toko elektronik di Glodog. Saya menemukan relevansi dari spirit perlawanan itu sebagai pijakan bagi para lesbian untuk menulis.

Maka, dengan lagak seorang feminis yang sedang menempuh program S-2 UI dan sering diundang sebagai fasilitator pelatihan pemberdayaan kaum minoritas, saya berkata lagi:

Dengan menulis tentang diri sendiri, kita mengungkapkan pengalaman sebanyak-banyaknya, bukan untuk membuka mata dunia bahwa kita ada, tapi lebih sebagai upaya untuk memahami siapa kita, dulu, sekarang dan nanti.

Pada bagian akhir obrolan, Cok meminta panitia untuk membagikan kertas, dan saya kira ia sangat benar: cara terbaik untuk menulis adalah (langsung) memulainya.

***

Sebelum forum diakhiri, panitia membagikan doorprize, berupa buku, yang sebagian diberikan untuk peserta yang tulisannya dinilai terbaik, sebagian lagi untuk yang menjawab pertanyaan dengan benar.

"Berapa kali Mumu pacaran?" seru Cok tak terduga.

Semua tertawa.

Saya tersipu dan sibuk menyembunyikan muka.

"Tiga kali."
"Sepuluh."
"Duabelas."

Bujubuneng! Saya geleng-geleng kepala.

Friday, May 25, 2007

mengejar umang-umang

kematian selalu mengingatkan kami pada chairil, ketika dia berkata, bukan kematian benar menusuk kalbu. tapi, kematian pada suatu pagi dalam film kalian itu terlalu menusuk kalau hanya untuk melahirkan seorang pemberontak, bahkan yang paling busuk.

sebenarnya dia hanya seorang gadis 17 tahun yang gemar menggenakan celana super-pendek. bukankah semua remaja seperti dia? ingin menjadi burung yang lepas dari sangkar...

tapi, kami sudah terbiasa kok dengan premis-premis yang terlalu klise seperti itu: papa meninggal, mama mau kawin lagi sama oom itu, jadi aku harus pergi.

aku tak mau punya mama pelacur.

plak! apa katamu?

sinetron-sinetron yang kami tonton tiap malam ceritanya juga seperti itu. jangan-jangan kalian sebenarnya memang sudah bosan bikin film. ya sudah, ceritanya dibikin begini saja: dia minggat ke yogya, agar kalian bisa jalan-jalan juga, lari dari kesumpekan jakarta.

tapi, alasannya apa? gampang: pacar gadis itu sedang naik gunung di yogya, jadi dia sekalian menyusul.

tapi, apakah anak smu di jakarta sekarang suka naik gunung? dan, hei, di yogya kan nggak ada gunung. jangan nyinyir deh.

baiklah, jadi pokoknya harus yogya ya. meskipun sebenarnya kalau cuma hendak dipertemukan dengan pelacur agar dia mendapatkan pelajaran tentang kehidupan, sih, tak perlu jauh-jauh. kota ini, dan di mana pun, juga banyak mas-mas; mau nyari yang setengik apa?

tapi, kan dia harus minggat! film-film coming of age kan harus begitu. harus pergi jauh. tapi, mengapa harus pelacur ya? dan, apa sih sebenarnya yang ada di kepala kalian, sehingga seorang mas-mas harus kalian gambarkan sebagai sosok yang tiap hari berblangkon dan berbaju lurik?

dan, namanya harus parno, agar kalian bisa membuat lelucon seperti ini, ketika dia-yang-kabur-dari-jakarta tadi bertemu dan berkenalan dengannya:

saya parno
lu parno kenapa?
parno itu nama saya!

lucu sih, tapi lama-lama capek deh kalau semua yang kalian bikin itu semata-mata kalian maksudkan untuk mengejar efek tertentu, atau hanya dijadikan sebuah faktor penyebab. seperti kematian di awal tadi.

dan, sampe adegan si mas-mas main balapan umang-umang bersama anak-anak, lalu klelegen binatang itu, kami pun berunding sambil saling berpegangan tangan: oke, kita tonton sampai habis, tapi begitu keluar dari bioskop, kita lupakan saja semuanya.

kami kepontal-pontal mengikuti logika sampeyan berdua, mas rudi, mas monti.

Monday, May 14, 2007

Cerita dari Jauh

"Aku kasihan kalau lihat mereka,"
Kata dia tiba-tiba, setelah melihat sejenak ke sekeliling. saya agak terkejut.
"Kasihan kenapa?" tanya saya.
"Mereka itu ada, tapi mengapa mereka tidak diakui?"

***

Seperti biasa, malam Minggu itu, saya duduk di Ohlala. Yang tidak biasa adalah lelaki yang duduk semeja dengan saya. Seorang lelaki yang nyaris tak bisa berhenti bicara sejak detik pertama saya menyalaminya.

Dengan ekspresi wajah yang kenes, ia bicara seperti menulis kalimat-kalimat yang panjang dan penuh kemarahan. Di ujung kalimat panjangnya itu, tak jarang nadanya melengking tinggi menyerupai suara perempuan. Seseorang pernah meledek gaya bicaranya yang seperti itu, dan dia marah, menganggap itu pelecehan. Dan, malam itu dia banyak bercerita tentang hal-hal yang selalu tampak dan terdengar salah di mata dan telinganya. Hal-hal yang membakar dirinya untuk selalu marah dan melawan. Ia marah ketika masih saja ada orang yang mengatakan dirinya "sakit". Ia marah ketika seorang psikiater yang memeriksanya bertanya, "Apakah Anda pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kecil?"

Dalam keyakinannya, ia menjadi seperti sekarang --mencintai sesama lelaki-- bukan oleh suatu faktor penyebab apa pun, melainkan karena ia memang terlahir seperti itu, karena Tuhan memang menghendaki begitu. Habis perkara.

Berkali saya dibuat kaget dengan gelegak-gelegak perasaannya. Wajahnya yang hitam sesekali tampak menahan geram, seperti ada luapan dendam yang sudah lama dipendam, dan ingin ia tumpahkan semuanya di meja malam itu, di hadapan saya. Sementara, makin banyak dia menumpahkan kalimat-kalimat panjangnya, saya makin merasa bersalah telah mengajaknya bertemu di kafe itu. Saya bahkan kemudian juga merasa, saya pasti tak seperti yang dia bayangkan, yang dia harapkan.

Ah, ah, toh saya hanya seseorang yang direkomendasikan untuk dia temui...

***

Namanya Toyo, 32 tahun. Dua bulan sebelum akhirnya kami bertemu malam itu, dia mengirim SMS pada saya dan memperkenalkan diri. Dia bilang, dia tahu saya dari seseorang di Jurnal Perempuan. Dia disarankan untuk menemui saya. Dia baru datang dari Aceh, dan ditampung di Kapal Perempuan. Dia gay korban kekerasan polisi pada Januari 2007. Saya dengan senang hati berjanji untuk ketemuan dengannya, tapi entahlah, mungkin karena kesibukan masing-masing, agenda itu tak kunjung kesampaian. Sampai awal April lalu, tiba-tiba ia muncul di Majalah Tempo sebagai berita, berjudul Karena Bermesra di Kedai Pesona, dengan lead "Dituduh berbuat tak senonoh, sepasang gay babak-belur dihajar massa. Polisi menganiaya lebih sadis."

Dan, malam itu saya mendengar sendiri, "Saya dikencingi, dan disuruh seks oral di depan polisi-polisi itu, dan harus sampai keluar."

Saya ngilu mendengarnya.

Sehari-harinya, Toyo adalah aktivis sebuah lembaga kajian perempuan di Aceh, dan ketika kontroversi rancangan UU antipornografi mencuat, dia getol wara-wiri Aceh-Jakarta untuk mengajukan penolakan di DPR. Aktivitas itu membuatnya dekat dengan "orang-orang gerakan" di Jakarta, termasuk kalangan "petinggi"-nya seperti Nursjahbani Katjasungkana.

Tak heran, jika kasus yang menimpanya di Aceh kemudian hari itu, langsung terdengar sampai ke Jakarta. Nursjahbani konon menelpon langsung Kapolri, dan Kapolri menelpon Kapolda Aceh. Ketika akhirnya memutuskan untuk "mengungsi" ke Jakarta, jalan pun terbentang mulus dan luas bagi Toyo. Banyak pihak menyambut, menampung, memberinya perlindungan serta pembelaan. Toyo berencana menuntut balik pihak kepolisian Aceh. "Bahkan, sebenarnya saya juga bisa menuntut orang-orang sipil yang menghajar saya," katanya dengan sisa-sisa amarah yang masih ia bawa malam itu. Tak kurang dari Adnan Buyung Nasution kini menjadi pembelanya.

Saya nyaris hanya menjadi pendengar malam itu. Saya takjub. Saya tak percaya bahwa kekerasan terhadap orang homoseksual benar-benar ada dan terjadi di negeri ini. Tapi, bukankah apa yang dialami Toyo ini hanyalah sebuah kasus? Yang belum tentu sebulan atau bahkan setahun sekali terjadi? Ah, saya tahu saya memang naif. Saya terlalu apolitis, dan bahkan mungkin ahistoris. Saya terlalu tidak peduli. Selama ini yang saya tahu hanyalah bahwa di Jakarta ini, lelaki-lelaki gay setiap malam Minggu menghabiskan waktu di Ohlala, ngopi sambil ngrumpi sampai pagi. Saya merasa berasalah telah bertemu dengan Toyo karena setelah mendengar ceritanya yang pedih, dan kalimat-kalimat panjang penuh amarahnya, saya tetap saja merasa bahwa cerita tentang diskrimnasi kaum gay itu hanyalah "cerita yang datang dari jauh".

Barangkali saya memang harus melakukan semacam --apa yang dibilang Marx dan dikutip Toyo malam itu-- bunuh diri kelas. Kalau untuk memperjuangkan buruh orang harus menjadi buruh, mungkin untuk percaya tentang diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum homoseks, saya harus mengalaminya dulu, seperti Toyo. Ah, janganlah. Jangan sampai. Saya tahu saya cukup tergetar dan bersimpati dengan cerita Toyo, dan saya pastilah tak se-apolitis yang saya duga. Tapi, mau apa lagi? Lmbat laun obrolan mulai tersendat dan saya makin merasa sedih, karena saya merasa tidak seideologi dengan Toyo --apa pun arti kata yang berulang-ualng dia selipkan dalam hampir setiap kalimatnya.

***

Dan, saya bertanya balik kepadanya:
"Apakah menurutmu orang-orang ini butuh pengakuan?"

Toyo seperti tak percaya dengan pertanyaan saya. Ia mungkin tak percaya bahwa saya --yang direkomendasi oleh seseroang dari Jurnal Perempuan untuk dia temui-- kok bertanya dengan nada seperti itu. Sebuah pertanyaan yang mematahkan, dan saya menyesal telah mengungkapkannya.

Dengan nada yang saya dengar agak kesal --mungkin hanya perasaan saya saja yang berlebihan-- dia akhirnya menjawab. Panjang dan berapi-api.

"Ya, kalau sekarang mereka didatangi satu-satu lalu ditanya pasti jawabnya enggak, tapi kalau diajak ngobrol lebih intens, dalam suasana diskusi yang serius, pastilah semua orang butuh pengakuan."

Saya mulai agak capek dengan keseriusannya. Hampir saja saya mau nyeletuk untuk mencairkan suasana. "Kalau gue sendiri sih jujur ya, lebih butuh brondong lucu ketimbang pengakuan."

Tapi, untunglah saya masih mampu mengontrol mulut saya yang suka celamitan ini. Sehingga saya tidak melukai semangat perjuangannya.

Friday, May 11, 2007

Mata Asing

Saya sering bertanya, mengapa hampir setiap orang yang saya lihat di sepanjang jalan, mal dan pusat-pusat keramaian selalu tampak begitu cakep dan keren? Suatu saat saya menemukan jawaban dan semacam kesimpulan: itu karena saya baru pertama kali melihat mereka. Orang-orang yang sudah sering saya temui, secakep dan sekeren apa mereka, pastilah menjadi tampak "biasa", atau kecakepan dan kekerenan mereka sudah tidak begitu menggetarkan lagi, seperti ketika saya pertama kali melihat mereka. Sesuatu yang asing, selalu memiliki daya kejut yang menyita perhatian. Namun, siapa yang asing sebenarnya dalam hal ini? Mata (dan dengan demikian mungkin juga hati dan seluruh indera) saya ataukah subjek yang saya lihat?

Lintasan-lintasan pikiran semacam itu kembali membelit-mbelit kepala saya ketika saya terjepit di tengah kepadatan tamu undangan pembukaan pameran fotografi Libre Journal de Jakarta di Galeri Nasional, Kamis (10/5/07) malam. Ini pameran karya fotografer Perancis Gerard Rondeau (berlangsung hingga 25 Mei) yang sekaligus menandai pembukaan rangkaian hajat besar Festival Seni Budaya Prancis 2007. Kendati terdapat kata 'Jakarta' pada judulnya, dengan sub-judul Portraits et autres voyage, tidak semua karya foto Gerard yang dipamerkan itu berlatar ibukota tercinta kita ini. Namun, sebagai "penonton dari Jakarta", foto-foto yang berlatar kota inilah yang menarik perhatian saya.

Yang menarik dari Gerard, sebagai seorang fotografer "asing", dia tak semata-mata melihat Jakarta sekedar sebuah "latar". Jakarta dia rekam melalui personifikasi-personifikasi, baik yang hidup maupun yang mati, di dalamnya. Alhasil, karya-karya foto Gerard lebih banyak menawarkan "kisah-kisah" ketimbang "laporan-laporan pandangan mata". Namun, sekali orang asing tetaplah orang asing, dan bagi Gerard, apa yang menarik dan tidak menarik kemudian menjadi nisbi, sebagaimana pandangan pertama saya pada orang-orang di mal. Oleh karenanya, subjek-subjek foto Gerard mengguratkan tanda tanya di kening saya: apa yang menarik dari orang-orang yang dia potret ini?

Di Jakarta ini, saya bisa ketemu dengan, misalnya Ayu Utami di mana-mana, dari posenya di sampul majalah kebudayaan Basis sampai di food court Plaza Senayan. Kalau "tiba-tiba" orang yang sama muncul dalam bingkai besar foto karya "orang Prancis" yang dipamerkan, apalagi yang bisa saya lihat dari dia? Saya hanya khawatir bahwa Ayu tiba-tiba menjadi menarik "lagi" hanya karena ia --kali ini-- ditampilkan melalui tatapan mata (orang) asing. Saya berharap, Ayu memang subjek yang selalu menarik. Tapi, Gerard membuat saya ragu karena ia ternyata juga memotret sampul bukunya, Larung dan sampul-sampul buku yang lain, misalnya Aku Ingin Jadi Peluru-nya Wiji Thukul. Bahkan, Gerard juga memotret makam Pram.

Ah, makam itu pasti hanyalah sebuah batu, sekali pun tercetak nama pengarang besar di atasnya. Tapi, mata asing Gerard membuat segalanya jadi berbeda, seperti ketika ia melihat Oscar Lawalata, Sujiwo Tejo, Ade Darmawan, pasangan Nano-Ratna Riantiarno, Wien Muldian dll yang menjadi subjek foto-fotonya. Saya kira di sinilah letak makna pameran Gerard, fotografer asing itu: mengingatkan kita bahwa bukan subjek itu sendiri yang penting, melainkan siapa yang melihatnya. Dan, saya jadi benar-benar cemas, jangan-jangan, saya memang harus belajar dari (mata) orang asing untuk menyadari bahwa orang-orang, dan benda-benda, yang ada di sekitar saya selama ini penting dan "benar-benar ada". Dengan kata lain, saya harus menjadi orang asing dulu untuk merasa dekat dan mencintai hal-hal dalam hidup saya.

Thursday, May 10, 2007

Kata Mikael Johani sebelum Kami Berpisah Sore itu

aku mau pulang saja. mampir senayan city. makan burger sendirian. mungkin ke gunung agung. ah, nggak males. sebenarnya aku pengen segera di kamarku saja. baca buku lowell yang waktu itu kubeli buru-buru sebelum aku pindah ke sini. tadi malam kubaca. aku suka. ada beberapa coretanku di situ. jadi, ternyata sudah kubaca juga. hanya belum semua -aku ketiduran. bangun sebentar karena sudut buku itu menusuk pipiku. mungkin aku cuma ingin begini-begini saja. tidur karena buku kesayangan, bangun karena buku kesayangan. siapa bilang 'books don't keep you warm at night?' they do.

Monday, May 07, 2007

Jalan Blog

Akhir pekan lalu, dua hari berturutan --Jumat dan Sabtu-- saya menghadiri pertemuan yang tidak saling berkaitan namun memberi saya satu benang merah yang menarik untuk digosipkan. Ya, karena saya tidak suka merenung jadi lebih baik bergosip saja.

Begini ceritanya:

Jumat sore itu saya menghadiri undangan gathering peresensi buku Kompas yang digelar di tengah acara pameran buku Grup Gramedia di Istora Senayan. Salah satu dari sekian peristiwa dan suasana yang tercipta di sana adalah curhat (baca: keluhan) seorang undangan yang telah berkali-kali mengirim resensi buku tapi belum pernah dimuat. Sebagai pelampiasannya, ia kemudian menampung tulisan-tulisan yang ditolak itu dalam blog. "Tapi, jadinya ya seperti onani saja," kata dia.

Mendengar pengakuan yang jujur dan polos itu, saya ikut tertawa bersama semua yang hadir di situ. Tapi, sesaat setelah itu saya tercenung. Menulis di blog ibarat onani? Pertanyaan itu terus tergiang di benak saya sampai keesokan harinya, Sabtu sore, ketika saya ikut seorang teman menghadiri pertemuan sebuah komunitas kecil para blogger di Citos. Pemrakarsanya seorang ibu dua anak yang tinggal nun jauh di Bogor. Ia mengaku, sehari-hari hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa, dan satu-satunya kesibukan dia yang penting ya ngeblog itu.

Oleh teman-temannya ia dianggap sudah masuk golongan yang disebut seleb blog. Salah satu penandanya, setiap tulisan yang dia unggah selalu mendapat komentar yang berderet-deret. Artinya, blog dia dikunjungi banyak orang dan punya pembaca setia.

Dibandingkan dengan crowd yang pada gathering perensensi buku itu, orang-orang yang saya temui di offline para blogger itu sungguh menghadirkan nuansa lain di hati saya. Mereka manusia-manusia urban dengan karir kantoran yang cukup mapan, dan di tengah kesibukan mereka menyempatkan diri ngeblog: menulis hal-hal yang "remeh-temeh", tanpa pretensi untuk membuat "tulisan yang bagus", tak berharap "jadi penulis" dan dapat honor. Mereka ngeblog karena senang, dan bukan untuk "melarikan diri" dari kegagalan menjadi penulis (di) koran.

Pada mereka, saya seperti melihat cermin yang memantulkan hasrat-hasrat paling jujur seputar aktivitas menulis dan motif-motif yang mendorong dan melatarinya. Menulis, dan menjadi penulis, di tangan para blogger itu, tak lagi menjadi sesuatu yang angker, bergengsi, dan merupakan "hak istimewa" para penulis, sastrawan, pengamat, peneliti, wartawan, kolumnis, dan budayawan.

Dalam sebuah obrolan di Citos itu, seorang perempuan muda berbusana gaya etnis yang bekerja di sebuah free magazine tentang HP dan gadget, dengan serius mengatakan, menulis di blog itu awal untuk menjadi wartawan. Saya sih setuja-setuju saja, tapi maksud saya, di luar soal setuju atau tidak, dan benar atau salah pendapat itu, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa bagi sebagia orang, ngeblog memang bukan aktivitas yang merujuk pada perasaan putus asa, seperti diperlihatkan oleh penulis yang tak kunjung berhasil menembus koran tadi.

Seseorang yang lain, di pertemuan Citos itu, mengaku ngeblog untuk menyalurkan hobi otomotifnya. Lho apa hubungannya? "Saya hobi otak-atik dan memodifikasi motor dan saya ingin berbagi pengalaman soal itu lewat blog," kata dia dengan binar wajah yang bahagia. Berbagi pengalaman. Saya jadi ingat Frederick Jameson yang pernah mengatakan, "Telling of the individual story and individual experience as ultimately involving the whole laborious process of telling of the collectivity itself." Atau, dalam bahasa persilatan, mereka telah memilih 'jalan blog' untuk mencari dan menyatakan kebenaran.

Blog adalah bagian dari laju perkembangan teknologi yang tiada pernah henti, dan itu berguna atau tidak, dan kalau berguna untuk apa saja, pada akhirnya semua tergantung hasrat yang kita pendam. Bagi yang menulis karena ingin diakui sebagai penulis, menembus koran, terkenal dan dapat honor, blog barangkali memang hanya sebuah onani. Tapi, bagi yang telah menganggap bahwa menulis itu adalah bagian dari aktivitas keseharian yang tak bisa ditinggalkan, seperti halnya berjalan, makan, bernafas dan nonton TV, maka blog --seperti teks iklan sebuah supermarket-- memberi lebih dari yang Anda bayangkan.

Ibu dua anak yang hobi ngeblog tadi dari awal barangkali tidak pernah berambisi dan terobsesi untuk "menjadi penulis". Tapi, dengan blog, dari rumahnya di pelosok pedalaman yang jauh dari Jakarta, ia mampu mengumpulkan berpuluh, bahkan mungkin beratus orang, yang setia membaca cerita-cerita personalnya, dan aktif memberi komentar. Ia tak dapat honor dari tulisan-tulisannya, dan mungkin tidak terkenal se-Indonesia Raya, dan tak ada yang menjulukinya sebagai penulis. Tapi, julukan 'seleb blog' yang melekat padanya cukup besar memberinya kuasa: begitu ia mengumumkan akan mengadakan ketemuan di Citos, orang pun berbondong-bondong datang. Dan, kopdar Sabtu kemarin itu bukan yang pertama kali ia adakan. Penulis yang namanya harum dan berkilat-kilat di halaman koran mungkin tidak akan pernah mendapatkan kemesraan seperti itu: punya massa penggemar seloyal dan seintim itu.

Wednesday, May 02, 2007

Dinding-dinding ini Tak Punya Telinga, Antonieta

Dindin-dinding ini tak punya telinga, Antonieta. Jadi santai saja. Dan, ini memang bukan dunia yang pernah dibayangkan Orwell, di mana yang hitam berarti putih dan yang putih berarti hitam. Ini hanya sebuah diskotek tua, mungkin tertua. Kau bilang, atas nama ilmu pengetahuan, kita harus ke sini. Oh My God, bisikmu berkali-kali begitu kita turun dari taksi.

Sebagian masih sama saja seperti dulu, satu atau dua tahun yang lalu. Lelaki-lelaki bergerombol di halte, sekitar toilet umum, warung kopi hingga depan pintu masuk yang mirip mulut sebuah gua. Tapi, lihat, ada pos ronda juga di situ, tepat di sisi pintu masuk yang mirip mulut sebuah gua itu. Ah, nanti kau akan lebih banyak tahu, betapa segalanya jauh di luar bayanganmu tentang sebuah tempat bernama diskotek, bahkan jika harus ditambahi “yang buruk” sekali pun.

Aku sudah lupa kapan terakhir ke sini. Semua lelaki seperti kita, kurasa, pernah ke sini, sedikitnya sekali. Namun, hampir semua akan lupa atau pura-pura lupa ketika ditanya. Mungkin aku juga cuma pura-pura lupa sekarang. Tapi, aku melihat, di antara sebagian yang masih sama saja seperti dulu, ternyata ada juga yang telah berubah. Gerai fastfood Amerika itu dulu belum ada, juga mini market di sebelahnya. Jadi, tempat ini belum teramat buruk, bukan?

Kau mungkin hanya telanjur terlalu banyak mendengar cerita-cerita dan prasangka-prasangka. Setelah kita membayar tanda masuk 20 ribu rupiah, dan melewati tangga berlantai tegel penuh debu, dan petugas yang melobangi karcis kita –ah, seperti masuk taman hiburan rakyat saja ya!-- kau akan melihat dengan mata kepalamu sendiri, dan merasakan ambience-nya. Kecuali musiknya yang norak dan dinding-dindingnya yang kumuh, kukira kau akan menyukainya.

Dan, dinding-dinding itu memang hanya kumuh saja. Itu tidak bahaya. Mereka tak punya telinga, yang akan mendengar setiap debar jantung kecemasanmu, detak nadi kepenasarananmu dan tarikan napas berat keterkejutanmu. Itulah sebabnya, semua orang yang datang ke sini tiba-tiba seperti terbebas dari segala belenggu, menjadi manusia yang merdeka untuk merayakan tidak hanya tubuhnya, tapi juga hasrat-hasrat yang paling terpendam. Di luar sana, mereka mungkin seorang bapak yang baik, juragan toko emas di pasar pagi, tukang pijat di "man to man massage" atau murid SMU swasta yang juara kelas tapi introvert.

Dan, kita sendiri, aku dan kamu, siapakah? Dewa-dewa yang sedang turun ke bumi? Pejabat yang meninjau rakyat? Pengunjung kebun binatang? Setelah menukar tiket dengan minuman yang merk-nya kita komentari dengan geli, kita hanya berdiri-berdiri saja melipat tangan di dada, melihat-lihat, sambil terus menjaga jarak. Sampai akhirnya kita duduk-duduk di lorong menuju toilet. Di lorong itu, kita melihat orang-orang tak henti-hentinya mondar-mandir ke toilet.

Lelaki yang sejak tadi duduk di samping kita, tak henti-henti cetak-cetok memainkan permen karet yang dikunyahnya. Dan, bapak-bapak berkumis berperut buncit berkalung rantai itu berkali-kali melirik ke arah kita. Dan, remaja-remaja itu, oh My God, desahmu berkali-kali. Mereka cakep-cakep. Mereka keren-keren. Mereka begitu belia, dan begitu menggairahkan. Hanya, kaos mereka tidak bermerk. Sepatu mereka bajakan. Gaya rambut mereka "enggak banget". Dan, oh My God, mereka bedakan.

Tapi, mereka sebenarnya cakep. Mereka sebenarnya keren. Mereka hanya miskin. Tapi, apa artinya ‘hanya’? Aku mendengar kesedihan dari kata “sebenarnya” yang berulang kau ucapkan. Dan, di balik bedak murah-tebal lelaki-lelaki yang bahkan belum genap 17 tahun itu, tersimpan lebih banyak lagi kata “sebenarnya” yang tak pernah terungkap.

Barangkali sejak awal kita hanya salah memilih posisi. Kita datang sebagai dewa dan merekalah titah. Kita datang sebagai pejabat dan merekalah rakyat. Kita datang sebagai pengunjung kebun binatang dan merekalah…

Astaga, Antonieta. Siapa kita sebenarnya?