Menulis dan Melawan
Clara Ng (novelis dan penulis cerita anak-anak Gramedia), mengawali diskusi dengan heroik. "Bagi saya menulis itu melawan semua hal."
Saya senang dengan pernyataan itu, karena meskipun agak klise, tapi untuk konteks diskusi sore itu, sangat relevan.
Kami diundang untuk berbicara tentang menulis oleh sebuah komunitas perempuan lesbian di Jakarta, Institut Pelangi Perempuan (IPP).
Kami duduk melingkar di atas tikar, di teras belakang sebuah kantor sekretariat lembaga donor asal Belanda. Ketua IPP Kamel meminta kami memperkenalkan diri.
Kami: cerpenis dan seniman teater asal Bali Cok Sawitri yang kini menetap di Jakarta, editor fiksi Gramedia Hetih Rusli, Clara dan saya.
Cok yang gagah dan bervokal mantap, yang saya kira akan membuat acara itu menjadi serius dan gawat, ternyata justru sebaliknya, mencairkan suasana dengan gayanya yang teatrikal dan penuh humor.
Dengan cerdik dan efektif, dia memulai diskusi dengan meminta peserta untuk mengungkapkan kesulitan-kesulitan mereka dalam menulis. Di luar dugaan, perempuan-perempuan yang tampak pendiam dan malu-malu itu ternyata merespon dengan hangat. Satu per satu tunjuk jari untuk bicara.
Diam-diam saya membatin, saya belum pernah melihat perempuan lesbian sebanyak ini. Tapi, kata Kamel, pada kesempatan lain yang hadir bisa lebih daripada sore itu.
Saya terbelalak.
Jumlah mereka cukup menggetarkan untuk turun ke jalan berteriak-teriak atau menggebrak meja pimpinan DPR meminta(-minta) pengakuan dan pengesahan perkawinan sesama jenis. Tapi, saya bahagia karena mereka, dengan jumlah sebanyak itu, lebih memilih berkumpul dua pekan sekali, memutar film, berdiskusi dan -sekarang- ingin belajar menulis.
Sambil menunggu giliran bicara, saya berbisik pada Hetih, "Terjawab sudah keheranan saya selama ini, kenapa acara-acara lesbian night selalu gagal. Ternyata, para lesbian lebih suka hal-hal yang bersifat intelektual."
Saya tidak tahu, di telinga Hetih, bisik-bisik saya itu terdengar serius atau bercanda, sebagai pujian yang tulus atau sindiran yang sinis.
Tapi, teman saya yang duduk di antara para peserta, Imelda, menghampiri saya usai acara dan berkata, "Memang, Mu selama ini banyak di antara kami para lesbian ini terlalu sibuk, nggak sempat mikirin kesenangan; nggak seksi. Belum lagi, rasa minder kami ini memang luar biasa."
***
Cok menampung semua curhat, dan melimpahkan kepada kami untuk menjawabnya. Hetih yang berpengalaman mengedit naskah banyak membagi ilmu tentang memilih dan memperkaya kosa kata, mengatasi kebuntuan dan hal-hal teknis lainnya.
Saya dengan sok-gagah namun gemetar, mencoba lebih menyelam ke filosofi:
Menulis itu susah. Tanya diri kalian sekali lagi, apakah benar-benar ingin menulis? Kalau tidak, lupakan saja. Toh, menulis bukanlah segalanya. Tapi, kalau kalian memang ingin menulis, tetapkan dulu, untuk (tujuan) apa?
Sekarang, semua orang telah menjadi penulis, dan kita lihat misalnya di berbagai blog, mereka menjadi komentator dan kritikus sosial-politik; apakah itu yang kalian inginkan? Apakah kalian ingin mengomentari ketidakberdayaan pemerintah menangani kasus lumpur lapindo sementara yang kalian hadapi sehari-hari hanyalah perasaan tertolak yang tiada berakhir, dan upaya terus-menerus untuk menerima diri sebagai seorang perempuan lesbi?
Baiklah, kalian mungkin memang ingin menulis. Maka, saran saya hanya satu, tulislah tentang diri kalian sendiri.
Clara berbagi cerita tentang perlawanannya. Sebagai perempuan yang lahir dalam keluarga keturunan Cina, ia mempertaruhkan banyak hal dengan memilih jadi penulis ketimbang membuka toko elektronik di Glodog. Saya menemukan relevansi dari spirit perlawanan itu sebagai pijakan bagi para lesbian untuk menulis.
Maka, dengan lagak seorang feminis yang sedang menempuh program S-2 UI dan sering diundang sebagai fasilitator pelatihan pemberdayaan kaum minoritas, saya berkata lagi:
Dengan menulis tentang diri sendiri, kita mengungkapkan pengalaman sebanyak-banyaknya, bukan untuk membuka mata dunia bahwa kita ada, tapi lebih sebagai upaya untuk memahami siapa kita, dulu, sekarang dan nanti.
Pada bagian akhir obrolan, Cok meminta panitia untuk membagikan kertas, dan saya kira ia sangat benar: cara terbaik untuk menulis adalah (langsung) memulainya.
***
Sebelum forum diakhiri, panitia membagikan doorprize, berupa buku, yang sebagian diberikan untuk peserta yang tulisannya dinilai terbaik, sebagian lagi untuk yang menjawab pertanyaan dengan benar.
"Berapa kali Mumu pacaran?" seru Cok tak terduga.
Semua tertawa.
Saya tersipu dan sibuk menyembunyikan muka.
"Tiga kali."
"Sepuluh."
"Duabelas."
Bujubuneng! Saya geleng-geleng kepala.