pop | arts whatever

Monday, December 17, 2007

Peri Kecil di Sungai Nipah

Novel ini dibuka seolah-olah kejadian yang sedang dituturkan tersebut sedang berlangsung saat ini. Tapi, beberapa halaman kemudian, tuturan sekonyong-konyong melompat, dan pembaca baru tahu, bahwa kisah itu sudah terjadi di masa lampau. Semua yang terjadi dalam novel ini adalah kejadian di masa lalu, dan dengan demikian, pengarang bisa menuturkannya dari mana saja, tiba-tiba flash back, lalu balik lagi, dan seterunya. Tapi, "kesalahan" pembingkaian waktu yang dilakukan di bagian awal, telanjur mengganggu kenikmatan saya membaca. Apakah ini problem Bahasa Indonesia yang tidak mengenal present, past dan future tense? Tidak. Menurut saya, ini sepenuhnya problem kegagapan teknik dari penulisnya.

Apakah dia ingin meniru (teknik) yang dilakukan Arundati Roy? Boleh saja, tidak masalah. Tapi, tanpa penguasaan teknik yang memadai, hasilnya memang tak cukup rapi untuk membentuk alur yang memutar berpilin-pilin, seperti tampak pada The God of Small Things, di mana semua kejadian sudah lewat, dan penulis mengisahkannya sedikit demi sedikit, dari bagian mana saja, secara tak terduga-duga. Pada Arundati, teknik ini melahirkan kejutan-kejutan kecil di sana sini, tapi pada Dyah Merta, cerita menjadi terasa benar-benar berputar-putar, lambat tak kunjung sampai ke ujung.

Lebih-lebih, ia banyak menyisipkan "tema-tema pendukung" yang maksudnya tentu untuk memperkuat dan mempekaya "tema utama", namun apa lacur justru membuat cerita menjadi terasa tidak fokus. Cerita-cerita mistik seputar Sungai Nipah yang menjadi setting cerita misalnya, dan juga demo berdarah ratusan buruh pabrik, gagal menjadikan novel ini menjadi sebuah jalinan kisah yang kompleks, meskipun juga (untunglah) tak lantas membuat karya ini jatuh dalam keruwetan. Belum.

Kata 'peri' pada judul novel ini merujuk pada tokoh Gora, dan saya pikir itu akan memiliki makna yang khusus. Tapi, ternyata tidak, kecuali bahwa ia adalah peri kecil bagi ayahnya. Selebihnya, ia gadis "biasa" dalam pusaran konflik keluarga. Bersama Dagu kakaknya, ia adalah anak dari Karyo Petir yang berselisih dengan istrinya, Dalloh menyusul kehadiran Kulung, yang tak lain anak Karyo dari hasil perselingkuhan dengan perempuan lain. Kulung si anak haram (atau "anak babi", kata Dalloh) kemudian menjadi sumber bencana di rumah itu; ia mencoba membalas sakit hati ibunya dengan mengaku pada Karyo bahwa dirinya telah meniduri Gora. Karyo yang terpukul makin merana karena Dalloh juga membelas berselingkuh.

Dyah Merta yang sebelumnya dikenal sebagai cerpenis (telah menerbitkan kumpulan cerita berjudul Hetaira) berhasil menggambarkan sebuah keluarga yang mengalami kebinasaan perlahan-lahan oleh perilaku anggotanya. Bahkan, dua pembantu keluarga itu, Bibi Kasemi dan Genuk juga terseret dalam konflik, dan semakin menghidupkan novel ini. Sayang, tokoh Dagu justru tak begitu mendapat porsi dalam api perseteruan yang menyala oleh dendam itu, dan sampai di sini kita tahu, untuk apa adegan demo buruh tadi ditempelkan: di sinilah nasib Dagu bermuara. Ia diculik dan disiksa menyudul demo itu, dan itu lagi-lagi berkat ulah si anak haram Kulung. Cerita menjadi begitu hitam putih.

Dengan setting pedesaan dan sentuhan ekologi lokal yang kuat, cerita yang ditawarkan Dyah Merta memang tipe yang muda membuat kita jatuh cinta. Namun, masih terlalu banyak faktor pengganggu yang membuat novel ini jadi kehilangan banyak daya tariknya, meskipun tidak semua. Yang paling sepele (dalam mengganggu kenikmatan pembaca) adalah komentar Guru Besar Sastra UI Melani Budianta yang ditaruh di sampul depan. Ini memang strategi dagang yang menjengkelkan, sebab blurb --yang memandingkan novel ini dengan The God of Small Things tadi, juga dengan The House of the Spirit karya Isabelle Allende-- tersebut membuat pembaca terus-menerus mencari-cari, di manakah kebenaran penilaian Melanie itu untuk kemudian membandingkannya dengan (kebenaran) penilaian kita sendiri.

(Judul: Peri Kecil di Sungai Nipah, Pengarang: Dyah Merta, Penerbit: Koekoesan, Depok, 2007)

Sunday, December 02, 2007

Ketika Pilihan Sudah Tak Ada Lagi

Setiap hari saya turun dari busyway di halte Mampang Prapatan dan berjalan kaki beberapa puluh meter untuk sampai ke kantor di Jalan Kuningan Barat. Tak ada trotoar kecuali sisa pinggiran jalan, dan itu pun sesak oleh tiang-tiang listrik/telepon, pohon dan motor para tukang ojek. Ah, semua itu pun belum seberapa. Masih ada "rintangan" lain yang benar-benar membuat berjalan kaki di Jakarta ini terasa begitu sengsara dan tidak dihargai. Selalu ada motor yang tidak hanya naik ke trotoar, eh sisa jalan tadi, tapi juga melawan arus laju lalu-lintas. Tidak, tidak hanya itu. Para pengendara motor yang menerobos sisa jalan dan melawan arus itu melajukan motornya dengan kecepatan seolah-olah mereka sedang melenggang di jalan yang mulus dan sepi, sambil mengklakson para pejalan kaki. Oh, tidak, tidak hanya itu. Mereka juga akan melotot sambil meraung-raungkan gas motornya, ke arah para pejalan kaki yang tak mau (dan memang tak harus) minggir (sebab: minggir ke mana lagi coba?). Seolah-olah, para pejalan kaki itu telah menyerobot dan menghalangi para pengendara motor yang sekali lagi tidak hanya menerobos sisa jalan tapi juga melawan arus itu!

Hari-hari belakangan ini, semua orang bicara tentang kemacetan Jakarta.

Ada yang menuding, ini salah perencanaan ("Quo Vadis" Jakarta? Ivan Hadar, Kompas, Rabu, 28/11/07), ada yang mengaku menderita akibat kemacetan tersebut sehingga mengajukan sejumlah saran perbaikan ("Transjakartaway", Jaya Suprana, ibid). Ada juga yang "sekedar" membuat semacam renungan filsafat (Kota Tanpa Spirit Kekotaan, Triyono Lukmantoro, Kompas, Kamis, 29/11). Sungguh aneh, atau sebenarnya tidak aneh, bahwa orang-orang berbicara mengenai problematika sebuah kota tanpa menengok dan mempertimbangkan penghuninya, dalam hal ini perilaku dan sikap mentalnya. Ini sebenarnya sama dengan ketika orang-orang tiba-tiba ramai membicarakan soal bullying, kekerasan di kalangan remaja, menyusul terungkapnya kasus penganiayaan seorang siswa SMU 34 oleh sebuah geng seniornya. Semua bicara tentang sistem pengajaran, kontrol guru-guru, tanggung jawab kepala sekolah dan banyak hal lagi namun tak sedikit pun memperhitungkan yang terlibat langsung, terutama pelakunya: datang dari keluarga seperti apa mereka, apa yang mereka lakukan sehari-harinya, bagaimana pergaulannya, apa musik favoritnya, dibesarkan dalam lingkungan seperti apa, buku apa yang mereka baca, ke mana mereka biasanya pergi dan apa yang mereka obrolkan ketika berkumpul? Jangan-jangan mereka itu ya anak-anak remaja "biasa", yang humoris, suka cekakak-kekikik --tapi, kenapa ("bisa memilih jalan kekerasan") seperti itu?

Kita terbiasa, atau kalau tidak malah selalu, melihat sebuah persoalan "dari atas", pada jarak tertentu, dengan berbagai teori hingga pada akhirnya justru menjauhkan dari inti masalahnya, dan hasilnya adalah sebuah kesimpulan umum yang abstrak, yang sama sekali melupakan akar persoalan dan hal-hal lain yang terkait langsung. Saya menduga, hal itu terjadi karena sebagian sangat besar (atau jangan-jangan semua) yang memiliki akses untuk bicara (menulis di --atau diwawancarai oleh-- Kompas misalnya) biasanya justru mereka yang berada di titik yang jauh dari apa yang mereka bicarakan. Apa, misalnya, makna kata "menderita" jika itu keluar dari seorang Jaya Suprana? Apakah dia setiap hari harus duduk, atau berdiri berdesakan, dalam metromini, kegerahan dan mandi keringat digencet kemacetan di antara mobil-mobil pribadi; atau, dia ada di balik kaca-kaca gelap mobil-mobil pribadi itu, duduk di belakang sopir di ruangan yang dingin, sibuk menelepon atau memangku laptop dan membalas email, setelah menghabiskan pop mie atau burger atau donat atau kentang goreng dan meneguk kopi dalam gelas plastik yang tadi dibelinya di Starbuck?

Kemacaten Jakarta, yang memuncak belakangan ini, adalah cermin paling jujur yang memantulkan bayangan paling asli dari sikap mental masyarakat bangsa ini (oke, maksudnya kota ini, Jakarta) yang egois, mau menang sendiri, tak peduli dengan orang lain dan tak mau tahu dengan keadaaan asalkan diri sendiri selamat, dan segala perasaan yang berakar pada "kepentingan pribadi jangan sampai dikalahkan oleh kepentingan bersama". Perasaan-perasaan seperti itulah yang antara lain, atau terutama, telah membuat proyek busway --yang sejak awal diadakan dengan maksud agar orang-orang meninggalkan mobil pribadinya untuk bersama-sama beralih ke angkutan umum sehingga volume kendaraan pribadi di jalan raya berkurang-- tidak sepenuhnya berhasil. Mereka, para pengendara mobil pribadi itu lebih suka berpikir sebaliknya: lebih baik macet tapi berada dalam mobil pribadi yang aman dan nyaman ketimbang lancar tapi harus bergabung dengan orang banyak yang nggak jelas dan belum tentu aman. Jadi, benarkah ada kata "menderita" yang disebabkan karena kemacetan sejauh itu keluar dari mulut orang-orang bermobil?

Dengan kata lain, kalau naik mobil saja mengaku menderita, terus yang berdesakan berpeluh dalam angkutan umum itu "harus" mengeluh apa, dong?

Inilah uniknya, atau tidak uniknya, bahwa mereka yang naik angkutan umum itu bahkan sama sekali tidak (pernah) mengeluh. Mereka tidak menulis opini di koran, atau surat pembaca atau marah-marah di blog (seperti saya hehehe). Mereka duduk diam, sesekali melongok ke jendela metromini dan menyaksikan bayangan orang di balik kaca gelap mobil mengilap sedang menikmati sarapannya sambil menyandarkan punggunya ke belakang, meluruskan kakinya dengan santai dan bicara di telepon. Mereka tidak mengumpat atau memaki kemacetan di luar, dan juga tidak membicarakannya dengan penumpang lain yang duduk di sebelah, karena mereka tahu masalahnya memang bukan pada angkutan yang mereka tumpangi, yang jumlahnya tak sampai sepersepuluh dari mobil pribadi yang berderet-deret sampai jauh ke belakang seolah tak berujung itu. Mereka tahu memang kemacetan itu tak bisa diapa-apakan lagi, atau bisa tapi tergantung pada "kemauan baik" para pemakai mobil pribadi itu untuk meninggalkan mobilnya di rumah, atau di halte busway terdekat, untuk bergabung dengan penggunana angkutan massal itu.

Dan, mereka tahu, tak ada, tak satu pun, yang mau melakukannya!

Sebenarnya ada, mungkin cukup banyak juga, tapi belakangan mereka yang sudah dengan hati mulia meninggalkan mobilnya di rumah untuk beralih ke busway itu kembali membawa mobilnya karena adanya kebijakan "baru" yang mengizinkan mobil pribadi masuk ke jalur busway tertentu. Sehingga, jalur busyway menjadi sama macetnya dengan jalur biasa, dan mereka yang sudah "mengalah" dengan meninggalkan mobilnya di rumah itu jadi berpikir, tak ada gunanya lagi beralih ke busway. Jadi, sekarang benar-benar tak ada pilihan: jalur biasa dan busway sama macetnya. Tuan-tuan, puan-puan, jadi percayalah, kemacetan ini soal sikap mental, baik masyarakat yang egois maupun aparat pemerintah yang bingung diombang-ambing suara para pengamat sehingga mengubah-ubah kebijakannya.

Dan, yang menderita karena macet tetaplah mereka yang berdesakan berpeluh di angkutan umum dan para pejalan kaki, dan bukan orang-orang bermobil.

Saturday, December 01, 2007

Surat (Ancaman) dari Joko Anwar Penulis Skenario Quickie Express

Elo beruntung kita bukan mafia kayak The Godfather. Kalo iya, elo udah kita sikat di dunia nyata.

(Dikirim Joko Anwar lewat milis dunia-film pada Jumat, 30 November 2007 pukul 4:09 pm, menanggapi review atas film Quickie Express yang saya posting di milis yang sama pada 27 November 2007 pukul 12.01 am)