Peri Kecil di Sungai Nipah
Novel ini dibuka seolah-olah kejadian yang sedang dituturkan tersebut sedang berlangsung saat ini. Tapi, beberapa halaman kemudian, tuturan sekonyong-konyong melompat, dan pembaca baru tahu, bahwa kisah itu sudah terjadi di masa lampau. Semua yang terjadi dalam novel ini adalah kejadian di masa lalu, dan dengan demikian, pengarang bisa menuturkannya dari mana saja, tiba-tiba flash back, lalu balik lagi, dan seterunya. Tapi, "kesalahan" pembingkaian waktu yang dilakukan di bagian awal, telanjur mengganggu kenikmatan saya membaca. Apakah ini problem Bahasa Indonesia yang tidak mengenal present, past dan future tense? Tidak. Menurut saya, ini sepenuhnya problem kegagapan teknik dari penulisnya.
Apakah dia ingin meniru (teknik) yang dilakukan Arundati Roy? Boleh saja, tidak masalah. Tapi, tanpa penguasaan teknik yang memadai, hasilnya memang tak cukup rapi untuk membentuk alur yang memutar berpilin-pilin, seperti tampak pada The God of Small Things, di mana semua kejadian sudah lewat, dan penulis mengisahkannya sedikit demi sedikit, dari bagian mana saja, secara tak terduga-duga. Pada Arundati, teknik ini melahirkan kejutan-kejutan kecil di sana sini, tapi pada Dyah Merta, cerita menjadi terasa benar-benar berputar-putar, lambat tak kunjung sampai ke ujung.
Lebih-lebih, ia banyak menyisipkan "tema-tema pendukung" yang maksudnya tentu untuk memperkuat dan mempekaya "tema utama", namun apa lacur justru membuat cerita menjadi terasa tidak fokus. Cerita-cerita mistik seputar Sungai Nipah yang menjadi setting cerita misalnya, dan juga demo berdarah ratusan buruh pabrik, gagal menjadikan novel ini menjadi sebuah jalinan kisah yang kompleks, meskipun juga (untunglah) tak lantas membuat karya ini jatuh dalam keruwetan. Belum.
Kata 'peri' pada judul novel ini merujuk pada tokoh Gora, dan saya pikir itu akan memiliki makna yang khusus. Tapi, ternyata tidak, kecuali bahwa ia adalah peri kecil bagi ayahnya. Selebihnya, ia gadis "biasa" dalam pusaran konflik keluarga. Bersama Dagu kakaknya, ia adalah anak dari Karyo Petir yang berselisih dengan istrinya, Dalloh menyusul kehadiran Kulung, yang tak lain anak Karyo dari hasil perselingkuhan dengan perempuan lain. Kulung si anak haram (atau "anak babi", kata Dalloh) kemudian menjadi sumber bencana di rumah itu; ia mencoba membalas sakit hati ibunya dengan mengaku pada Karyo bahwa dirinya telah meniduri Gora. Karyo yang terpukul makin merana karena Dalloh juga membelas berselingkuh.
Dyah Merta yang sebelumnya dikenal sebagai cerpenis (telah menerbitkan kumpulan cerita berjudul Hetaira) berhasil menggambarkan sebuah keluarga yang mengalami kebinasaan perlahan-lahan oleh perilaku anggotanya. Bahkan, dua pembantu keluarga itu, Bibi Kasemi dan Genuk juga terseret dalam konflik, dan semakin menghidupkan novel ini. Sayang, tokoh Dagu justru tak begitu mendapat porsi dalam api perseteruan yang menyala oleh dendam itu, dan sampai di sini kita tahu, untuk apa adegan demo buruh tadi ditempelkan: di sinilah nasib Dagu bermuara. Ia diculik dan disiksa menyudul demo itu, dan itu lagi-lagi berkat ulah si anak haram Kulung. Cerita menjadi begitu hitam putih.
Dengan setting pedesaan dan sentuhan ekologi lokal yang kuat, cerita yang ditawarkan Dyah Merta memang tipe yang muda membuat kita jatuh cinta. Namun, masih terlalu banyak faktor pengganggu yang membuat novel ini jadi kehilangan banyak daya tariknya, meskipun tidak semua. Yang paling sepele (dalam mengganggu kenikmatan pembaca) adalah komentar Guru Besar Sastra UI Melani Budianta yang ditaruh di sampul depan. Ini memang strategi dagang yang menjengkelkan, sebab blurb --yang memandingkan novel ini dengan The God of Small Things tadi, juga dengan The House of the Spirit karya Isabelle Allende-- tersebut membuat pembaca terus-menerus mencari-cari, di manakah kebenaran penilaian Melanie itu untuk kemudian membandingkannya dengan (kebenaran) penilaian kita sendiri.
(Judul: Peri Kecil di Sungai Nipah, Pengarang: Dyah Merta, Penerbit: Koekoesan, Depok, 2007)
Apakah dia ingin meniru (teknik) yang dilakukan Arundati Roy? Boleh saja, tidak masalah. Tapi, tanpa penguasaan teknik yang memadai, hasilnya memang tak cukup rapi untuk membentuk alur yang memutar berpilin-pilin, seperti tampak pada The God of Small Things, di mana semua kejadian sudah lewat, dan penulis mengisahkannya sedikit demi sedikit, dari bagian mana saja, secara tak terduga-duga. Pada Arundati, teknik ini melahirkan kejutan-kejutan kecil di sana sini, tapi pada Dyah Merta, cerita menjadi terasa benar-benar berputar-putar, lambat tak kunjung sampai ke ujung.
Lebih-lebih, ia banyak menyisipkan "tema-tema pendukung" yang maksudnya tentu untuk memperkuat dan mempekaya "tema utama", namun apa lacur justru membuat cerita menjadi terasa tidak fokus. Cerita-cerita mistik seputar Sungai Nipah yang menjadi setting cerita misalnya, dan juga demo berdarah ratusan buruh pabrik, gagal menjadikan novel ini menjadi sebuah jalinan kisah yang kompleks, meskipun juga (untunglah) tak lantas membuat karya ini jatuh dalam keruwetan. Belum.
Kata 'peri' pada judul novel ini merujuk pada tokoh Gora, dan saya pikir itu akan memiliki makna yang khusus. Tapi, ternyata tidak, kecuali bahwa ia adalah peri kecil bagi ayahnya. Selebihnya, ia gadis "biasa" dalam pusaran konflik keluarga. Bersama Dagu kakaknya, ia adalah anak dari Karyo Petir yang berselisih dengan istrinya, Dalloh menyusul kehadiran Kulung, yang tak lain anak Karyo dari hasil perselingkuhan dengan perempuan lain. Kulung si anak haram (atau "anak babi", kata Dalloh) kemudian menjadi sumber bencana di rumah itu; ia mencoba membalas sakit hati ibunya dengan mengaku pada Karyo bahwa dirinya telah meniduri Gora. Karyo yang terpukul makin merana karena Dalloh juga membelas berselingkuh.
Dyah Merta yang sebelumnya dikenal sebagai cerpenis (telah menerbitkan kumpulan cerita berjudul Hetaira) berhasil menggambarkan sebuah keluarga yang mengalami kebinasaan perlahan-lahan oleh perilaku anggotanya. Bahkan, dua pembantu keluarga itu, Bibi Kasemi dan Genuk juga terseret dalam konflik, dan semakin menghidupkan novel ini. Sayang, tokoh Dagu justru tak begitu mendapat porsi dalam api perseteruan yang menyala oleh dendam itu, dan sampai di sini kita tahu, untuk apa adegan demo buruh tadi ditempelkan: di sinilah nasib Dagu bermuara. Ia diculik dan disiksa menyudul demo itu, dan itu lagi-lagi berkat ulah si anak haram Kulung. Cerita menjadi begitu hitam putih.
Dengan setting pedesaan dan sentuhan ekologi lokal yang kuat, cerita yang ditawarkan Dyah Merta memang tipe yang muda membuat kita jatuh cinta. Namun, masih terlalu banyak faktor pengganggu yang membuat novel ini jadi kehilangan banyak daya tariknya, meskipun tidak semua. Yang paling sepele (dalam mengganggu kenikmatan pembaca) adalah komentar Guru Besar Sastra UI Melani Budianta yang ditaruh di sampul depan. Ini memang strategi dagang yang menjengkelkan, sebab blurb --yang memandingkan novel ini dengan The God of Small Things tadi, juga dengan The House of the Spirit karya Isabelle Allende-- tersebut membuat pembaca terus-menerus mencari-cari, di manakah kebenaran penilaian Melanie itu untuk kemudian membandingkannya dengan (kebenaran) penilaian kita sendiri.
(Judul: Peri Kecil di Sungai Nipah, Pengarang: Dyah Merta, Penerbit: Koekoesan, Depok, 2007)