pop | arts whatever

Monday, July 30, 2007

Kepada Tukang VCD Bajakan di Glodok yang Mendekati Gue -pas Gue Lagi Nyari-nyari CD Snow Patrol- dan Berbisik, "Bokep? Bokep? Yang Gay juga Ada."

Maksuuud Looo, Baaang???

Sunday, July 29, 2007

Telegram

GEMETARLAH DALAM SEPATU KALIAN PARA BIROKRAT TITIK KEKUATAN INTERNASIONAL DEWAN BURUH AKAN LANGSUNG MENYAPU HABIS KALIAN TITIK UMAT MANUSIA TIDAK AKAN BAHAGIA SAMPAI BIROKRAT TERAKHIR DIGANTUNG DENGAN USUS KAPITALIS TERAKHIR TITIK HIDUP PERJUANGAN PELAUT-PELAUT KRONSTADT DAN KAUM MAKHNOVIS DALAM MELAWAN TROTSKY DAN LENIN TITIK HIDUP PEMBERONTAKAN BUDAPEST 1956 TITIK MAMPUS NEGARA TITIK

Friday, July 27, 2007

Hari Terburuk yang Membawaku pada (Ingatan tentang) Hakikat Hidup

Aku telah melewatkan satu hari terburuk pada pekan terakhir bulan Juni ketika angin bertiup terlalu kencang sehingga menerbangkan selembar daun kering dari pohon mahoni yang tumbuh jauh di halaman ke hamparan karpet merah di dalam Masjid Istiqlal.

Jauh hari, rekan sekantor memberitahu bahwa saya harus ikut dengannya bertemu orang MUI (Majelis Ulama Indonesia) untuk memperkenalkan produk baru perusahaan kami, sebuah portal tentang bisnis berbasis syariah. Maka, ketika hari yang telah dijadwalkan itu tiba, saya datang ke kantor dengan penampilan yang tak seperti biasa. Kali ini lebih rapi dengan celana bahan, sepatu pantofel dan kemeja lengan panjang yang sebenarnya membuat sekujur tubuh saya seperti diikat dengan tali sehingga tak bebas bergerak. Jam sepuluh lebih kami berangkat dan saya sama sekali tak tahu, akan bertemu dengan siapa nanti di sana, dan apa agendanya.

Ketika saya bertanya di dalam taksi, rekan sekantor saya lagi-lagi hanya bilang, akan bertemu dengan orang MUI. Agenda? Yang penting kenalan dulu, kata dia.

Sampai di sana, kami menunggu di ruang rapat dan tuan rumah yang menyambut kami tampak sibuk menyiapkan layar, in-focus dan laptop. Saya mulai cengok, autis dan mati gaya. Orang-orang lalu berdatangan. Obrol punya obrol, saya pun mulai tahu, bahwa akan ada meeting persiapan tablig akbar ulang tahun MUI sekaligus pencanangan gerakan syariah nasional. Ternyata, permintaan kami bertemu orang MUI untuk memperkenalkan portal baru kami, dikabulkan dengan melibatkan kami dalam rapat tersebut.

Setelah menunggu lebih dari satu jam, rapat pun dimulai tepat pukul 12.00. Saya terheran-heran, bagaimana mungkin sebuah pertemuan yang berlangsung di kantor MUI, di kompleks masjid, dan bertujuan membahas sesuatu yang berkaitan dengan syariah, justru meninggalkan praktik yang paling syariah itu sendiri, yakni salat tepat waktu?

Apa lacur, saya ikut saja duduk di meja bundar, di antara orang-orang dari lembaga yang baru hari itu saya dengar namanya, yang semuanya berkaitan dengan ekonomi syariah. Ada juga beberapa pejabat bank syariah. Saya ikut mendengar ketua panitia tablig akbar melaporkan persiapannya. Saya ikut mendengar KH Maruf Amin memberikan arahan-arahan singkatnya. Saya ikut mendengar banyak hal yang mestinya tak saya dengar, karena memang tidak berkaitan dengan hajat hidup saya, apalagi hajat hidup orang banyak. Gerakan syariah nasional? Plis deh! Kalangan aktivis pro rakyat pasti akan bilang: masyarakat sekarang ini makan sehari-hari saja susah boro-boro mikir ekonomi syariah...

Tapi, saya bukan aktivis apalagi pro rakyat. Saya hanya merasa telah melewatkan satu hari terburuk saja.

Jam setengah dua rapat selesai, dan rekan sekantor saya sambil ngedumel buru-buru mengajak saya meninggalkan ruangan untuk salat dhuhur.

Dalam perjalanan kembali ke kantor, di dalam taksi saya berpikir bahwa hari terburuk itu akhirnya lewat sudah. Ternyata, sampai di kantor, saya harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah buruk. Bos saya membawa anaknya yang masih balita ke kantor, dan anak itu berteriak-teriak tak henti-henti. Saya duduk di depan komputer dengan konsentrasi yang kacau. Saya ingin pulang, tapi tentu tak enak sama teman-teman. Tapi, terus bertahan di depan komputer, toh tak bisa melakukan apa-apa selain ceting dan brosing nggak jelas. Akhirnya, setelah kenyang dengan kegaduhan kantor yang luar biasa, menjelang setengah 6 saya cabut dan "berlari" ke Plaza E.X.

Saya harus memulihkan bad-mood saya akibat hari terburuk yang telah saya lalui. Saya ke Starbucks dan melihat teman saya, Alif sedang jaga. Saya samperin dia. Cukup lama kami tidak bersua. Dia menyambut saya dengan mengatakan, telah membaca artikel saya di Addiction dan dia merasa menjadi model untuk tulisan saya itu. "Pas baca, eh, tulisan Mumu, dan isinya kok gue banget, behel warna ijo hihihi."

Dia lalu memberi saya secangkir coklat panas. Saya duduk sambil membaca Hers dan Area terbaru, sambil menikmati musik yang menggema dari lobi bawah, yang dimainkan oleh seorang DJ. Di sela melayani pembeli, Alif menghampiri meja saya dan kami ngobrol. Ketika ada pembeli, dia segera bergegas untuk melayani. Beberapa pembeli tampak sudah akrab dengannya, dan petang itu itu ada yang memberi dia dua dus popcorn. Lalu, datang seorang lelaki yang sangat gemulai, dengan kaos hitam lengan panjang ketat yang memperlihatkan perutnya, memesan minuman sambil berbincang akrab dengan Alif, kemudian pergi lagi.

"Siapa, Lif?" tanya saya ketika Alif ke meja saya lagi. "Perancang di sebuah bridal house, baru pulang dari sekolah mode di Amrik."

Jam setengah 7 Alif break, dan membawa satu kotak popcorn-nya ke bangku saya. Kami ngobrol lebih lepas dan lebih santai. Lalu, ia mengajak saya ke smoking room.

Baru beberapa detik di kotak kaca yang sempit itu, seseorang masuk dan bergabung. Ternyata, Alif mengenalnya. Mereka ngobrol. Dia seorang lelaki cina usia 26-an, berbadan kekar, dengan kaos hitam ketat dan celana militer, membawa salah satu episode Harry Potter edisi Indonesia. Tak lama kemudian dia pergi lagi.

"Siapa. Lif?"
"Pramuniaga di Sogo, pacaran sama marketing manager-nya Selebriti Fitness, cowok juga, tapi cowok itu sekarang pulang ke kampungnya di Malang, jadi dia merana."

Kami kembali ke Starbucks dan sebentar kemudian saya pamit untuk nyari makan. Alif menolak ajakan saya untuk bergabung makan di Pizza Hut di sebelah Starbucks. Usai makan, saya turun menikmati live music dari sebuah band beranggota empat anak muda tanpa (pemain) dram --melainkan perkusi-- yang menyanyikan lagu-lagu Maroon 5 dan Jamie Culum. Saya menikmati semuanya seorang diri, duduk di sofa sambil mengamati lalu-lalang orang di eskalator.

Tiba-tiba saya melihat teman saya, Erza yang belum lama merilis novel Roman Sarkastik. Tapi, saya tidak berminat untuk menyapanya. Saya sedang ingin sendiri saja. Lalu, saya juga melihat Ve Handojo yang baru saja pulang berlibur di Turki setelah skrip film horonya, Kuntilanak, sukses di Malaysia. Tapi, saya juga malas menyapa. Saya benar-benar ingin sendiri.

Dan, tiba-tiba sudah setengah sembilan. Saya bangkit dan melangkah menyusuri satu sisi lorong E.X menuju Plaza Indonesia. Di jembatan, saya berpapasan dengan VJ Daniel. Kali ini saya ingin menyapa. Tapi, dia sedang sibuk bicara di telepon dan berjalan buru-buru. Di samping itu, saya tidak mengenal dia.

Saya tertawa getir dalam hati, dan sambil mempercepat langkah, saya teringat baris panutup cerpen Nuage Kusuma berjudul Lari yang dimuat di antologi Rahasia Bulan: Aku terlahir ke dunia ini seorang diri. Sendiri itulah hakikatnya. Percuma mencoba lari dari hakikat itu.

Friday, July 20, 2007

Aneh, Ironis, Absurd

Sebutir buah ciplukan memberi tahu aku, bahwa sebagian dari yang tampak mewah dalam hidup ini, sebenarnya hanyalah sesuatu yang pernah menjadi bagian dari masa lalu orang-orang kampung.

Kau tahu ciplukan?

Kau mungkin hanya tak ingat.

Tapi, aku ingat. Dulu, aku sering menemukannya, meranggas kesepian di sela rimbun rumpun rumput tegalan pinggir kali. Pohonnya berupa perdu rendah, dengan batang-batang lunak tak berkayu. Daunnya nyaris menyerupai lambang 'cinta', dan buahnya --yang kami sebut ciplukan itu-- kecil-kecil, seukuran buah kersen namun terbungkus kelopak tipis yang mengerucut ke bawah. Bila kau kupas kelopak itu, akan tampak buah mungil yang mengkilat. Hijau warnanya jika masih mentah, dan oranye menyala jika sudah masak. Rasanya asem dengan sedikit manis. Kulit ari buahnya cukup keras, sehingga kalu digigit akan bunyi 'pluk' seperti benda berongga yang pecah. Daging buahnya yang lunak berarir banyak seperti tomat bisa muncrat.

Ibu selalu mengingatkan agar aku tak menjamah buah-bauh yang bergelantungan itu, karena dalam keyakinan dia, ciplukan tumbuh dari tahi manusia. Tapi, kami, anak-anak, lebih percaya ujaran yang mengatakan bahwa ciplukan itu tumbuhan liar makanan ular kebun. Dan, kami tak begitu menggubris apapun kata orang tentang ciplukan, dan setiap menemukan pohon itu di antara semak belukar, kami merasa seperti menjumpai sebuah keajaiban. Kami langsung memetikinya jika kebetulan buah-buahnya sedang masak, dan memakannya tanpa ragu.

Seiring bertambahnya usia, masa kanak-kanakku berlalu dan pohon ciplukan pun menghilang dari pandangan, juga ingatan.

Sampai beberapa waktu lalu, aku menemukan sebuah artikel di majalah gratisan (namanya lupa, saking banyaknya majalah gratis sekarang) tentang ciplukan. Katanya, buah itu cukup bergengsi dan disukai di Prancis, dan dijual di supermarket.

Lalu, pada suatu siang, dalam sebuah jamuan makan di sela seminar di hotel berbintang, aku menemukan beberapa butir buah yang kucurigai ciplukan, oranye menggoda, dengan kelopaknya yang mengering masih dibiarkan menempel, nyungsep di kubangan es krim yang lumer bertabur coklat. Penasaran, aku ambil satu dan aku gigit. Benar, ternyata ciplukan. Aku langsung ingat pada hari-hari ketika kami, orang-orang kampung, masih suka berkebun dengan memanfaatkan sebidang tanah di sepanjang bantaran sungai. Ayah menanam singkong dan aku menyusuri jalan-jalan setapak di antara pepohonan, membayangkan diriku Brahma Kumbara Raja Madangkara yang sedang mengembara, menjelma rakyat jelata.

Sampai berhari-hari aku masih memikirkan ciplukan dalam kubangan es krim itu. Bagaimana ceritanya, buah yang dalam keyakinan ibuku tumbuh dari kotoran manusia, dan dalam pengetahuan kami tak lebih dari tumbuhan liar makanan ular, ternyata mendapat tempat yang berharga dalam dunia kuliner hotel berbintang, di zaman ketika aku sudah dewasa. Peradaban kota, manusia-manusia modern ini, kadang-kadang memang aneh, ironis dan absurd...

Wednesday, July 11, 2007

Berjuang Meraih Mimpi. Berjuang?

Jangan percaya kalau mendengar atau membaca bahwa film Kamulah Satu-satunya bercerita tentang perjuangan dan kenekadan seseorang mengejar impiannya. Jangan. Nanti kau akan berharap terlalu banyak. Nanti kau akan kecewa. Karya terbaru Hanung Bramantyo ini hanyalah sebuah film konyol yang sangat membosankan tentang kejamnya Jakarta; yang mestinya dibuat pada 1970-an. Selain lagu-lagu yang didaur ulang untuk soundtrack, dalam film ini kau hanya akan menemui hal-hal usang: orang desa yang terkagum-kagum melihat Patung Selamat Datang, menumpang mobil bak terbuka bersama kambing-kambing dan tentu saja tersesat, bertemu orang yang tampaknya baik tapi ternyata penipu, dan selebihnya, copet di mana-mana. Ah, tapi film ini mungkin memang dimaksudkan sebagai cerita tentang perjuangan dan kenekadan seseorang mengejar impiannya. Cuman, karena pembuatnya tidak mampu mengembangkan cerita dengan "benar" dan wajar, akhirnya menjadi nggeladrah ndak karu-karuan. Nirina berperan sebagai cewek desa yang berharap memenangkan kuis nonton konser Dewa di Kemang. Ketika harapan itu kandas, ia berusaha mati-matian, menempuh berbagai cara untuk tetap bisa bertemu dengan band idolanya itu. Dan, ia berhasil. Namun, ini memang film tentang perjuangan dan kenekadan seseorang mengejar impiannya. Jadi, untuk memberi efek yang diinginkan itu, pembuat cerita harus menempatkan berbagai rintangan yang menghadang tokoh tersebut dalam usahanya mewujudkan impiannya itu. Rintangan-rintangan itulah yang kemudian membelokkan film ini menjadi sebuah banyolan yang tidak hanya nggak lucu, tapi juga nggak mutu, nggak penting dan nggak...banget! Nggak percaya, sih bukankah dari awal sudah saya bilang, ini bukan film tentang perjuangan dan kenekadan seseorang meraih impiannya. Jadi, masih nekad mau nonton?

Monday, July 09, 2007

Anak-anak Borobudur

"Sebenarnya kamu lebih menderita hantu sawah. Karena belum apa-apa kamu sudah langsung menjadi hantu."

Setelah berkata begitu, Amat mencabut orang-orangan yang terbuat dari jerami itu dan memanggulnya, seperti Yesus memanggul salib, dan tertatih-tatih sepanjang pematang untuk membawanya pulang.

"Pak, hantu sawah ini harus diruwat, Pak, diruwat. D-i-r-u-w-a-t," kata anak itu setelah sampai di rumah. Sang Bapak yang bisu, malah menyodorkan cangkir minum.

Dan, salah seorang dari serombongan abege yang duduk di depan saya berbisik, "Diruwat apaan sih? Dirawat?"

***

Film dibuka begini: Amat yang sedang sibuk membuat patung sambil menyanyikan lagu dolanan Cublak-cublak Suweng disodori sepiring nasi dan lauk-pauk oleh bapaknya, dan dia menyambut dengan kalimat, "Pak, orangtua itu tak hanya perlu memberi makan anaknya, tapi juga harus memberi nasihat." Dan, Amat terus nyerocos mengajari bapaknya tentang nasihat seperti apa yang harus diberikan oleh seorang bapak kepada anaknya.

Adegan berganti, Amat hendak berangkat ke sekolah. Sang Bapak menyodorkan tangan (kanan). "Pak, masak tangan kanan terus yang harus dicium, nanti tangan kiri iri lho." Sang Bapak pun menurunkan tangan kanannya dan mengulurkan tangan kirinya. Amat menciumnya. Lalu, anak itu mengejar perempuan yang sedang berjalan.

"Mbak Mi, Mbak Mi," panggilnya. "Mbak Mi ndak keramas ya?"

***

Amat adalah tokoh khas ciptaan Arswendo Atmowiloto, sutradara sekaligus penulis skrip film ini: bocah desa (Jawa) yang pintar, kemlinthi dan celelekan. Namun, entah karena akting pemerannya (Adadiri Tanpalang) yang kaku, kurang luwes dan sering wagu (sebagai bocah lelaki dia terlalu kemayu) , atau karena dialog-dialog yang dibebankan kepadanya setara dengan ujaran-ujaran seorang filsuf atau setidaknya orang dewasa, ia menjadi ganjalan terbesar dari film ini. Setiap bicara ia begitu tampak bijak dan selalu ingin melucu, tapi hampir selalu gagal.

Dan, ketika pada keadaan tertentu, ia bisa berubah menjadi "sangat tua". Lihat bagaimana ia berkali-kali menguliahi bapaknya (Adi Kurdi) yang bisu, yang puncaknya terjadi pada adegan ketika ia merenggut peralatan mematung dari tangan Sang Bapak lalu membuangnya jauh-jauh, dan meradang, "Ini bukan saatnya diam, Pak, ini saatnya bicara, ayo, Pak bicara, Pak, bicara, bicara..."

***

Bapak Amat bekerja sebagai pematung. Istrinya, alias Ibu Amat pergi entah ke mana. Amat mewarisi bakat mematung bapaknya, dan suatu hari diminta sekolah untuk mewakili daerahnya ikut lomba tingkat propinsi. Patung amat dinilai terbaik, tapi ketika upacara penyerahan piala, ia mengungkapkan sesuatu yang membuat semua orang merasa tertipu. Amat pun kemudian dijauhi oleh teman-temannya, dan dibenci guru-gurunya.

Selain bersahabat dengan Siti (Acintyaswasti Widianing) yang anak seorang bakul di pasar, dan dekat dengan teman barunya yang datang dari Jakarta, Yoan (Lani Regina) yang cucu seorang ningrat (Nungki Kusumastuti), Amat kecil juga berteman dengan Mbak Mi (Djenar Maesa Ayu) yang merana ditinggal suaminya karena anaknya cacat.

Hubungan-hubungan itu jalin-menjalin, menganyam satu kesatuan plot yang runtut, mengalir dan solid, yang dituangkan dalam gambar-gambar indah ala kartu pos berlatar panorama Desa Muntilan nan eksotik. Tampak dan terasa, pada beberapa bagian, Arswendo sengaja mencangkokkan suasana-suasana dan analogi-analogi dari karya(-karya) dia sebelumnya, seperti serial televisi Keluarga Cemara. Kesatuan yang padu ini membuat saya bisa melupakan kekurangwajaran yang muncul dari penokohan Amat.

Saya menganggap bahwa Anak-anak Borobudur adalah obsesi Arswendo pada nilai moral tertentu (dalam hal ini kejujuran), dan ia menempatkan diri sebagai semacam "guru bangsa" yang hendak menyuarakan pesan itu kepada negerinya. Kapasitas Arswendo memang sudah memungkinkan untuk itu, setara dengan Deddy Miswar yang melakukan hal yang sama untuk bangsanya lewat Nagabonar Jadi 2 tempo hari. Mungkin, film ini juga lebih cocok untuk ditonton ramai-ramai para pejabat.

Sayang sekali, film ini minim publikasi dan dianaktirikan oleh 21. Di Studio 6 Blok M Plaza misalnya, film ini harus berbagi jam tayang dengan 3 Hari untuk Selamanya: dari 5 jam tayang, dua untuk Anak-anak Borobudur, selebihnya untuk 3 Hari. Dan, anak-anak remaja yang sedang liburan sekolah itu lebih memilih untuk menyerbu Die Hard, Transformers dan Fantastic Four.

***

"Mat, mau ke mana?"
"Aku mau ke gunung."
"Untuk apa ke gunung?"
"Ke gunung kok untuk apa! Ke gunung ya ke gunung. Ndak perlu ditanya untuk apa. Ibu pergi untuk apa? Bapak bisu untuk apa?"

Monday, July 02, 2007

Menjadi Wartawan Kompas

Aldi tidak digambarkan sebagai cowok yang genit...secara keseluruhan, adegan demi adegan disajikan dengan wajar...sangat menjunjung tinggi sebuah pilihan hidup...cerita yang...bermakna dalam. (Susi Ivaty, "Pilih Coklat atau Stroberi? Ya Coklat Stroberi", Kompas, 1 Juli 2007)

Menjadi wartawan Kompas, Susi, bukan berarti kamu tidak perlu bergaul, mengenali di mana kamu hidup saat ini, dan dengan orang-orang seperti apa? Kau bukan perempuan berjilbab umur 46 tahun yang tinggal di desa Kemusu, Boyolali yang sepanjang hidupnya tak pernah ke mana-mana selain membantu suami di sawah, mengurus anak-anak serta pergi ke kawinan dan pengajian. Jadi, kalau kau menulis resensi seperti itu, sebenarnya dunia mana yang kau pijak selama ini?