pop | arts whatever

Wednesday, March 26, 2008

Novel "So Real/Surreal" Nugroho Nurarifin: Dunia yang Mencekam


Para penulis yang bisa kita asumsikan sebagai kaum heteroseksual cenderung memiliki imajinasi tertentu yang seragam atas homoseksualitas. Ini tentu tidak terlalu mengherankan karena mereka bagian dari masyarakat secara umum yang masih selalu melihat orang-orang homoseksual secara stereotip. Bagi mereka, sepertinya, lelaki-lelaki gay adalah potret paling sempurna dari derita manusia yang kesepian, pecundang sejati, celaka, dengan masa lalu yang kelam (diperkosa ayah tiri).


Novel kedua Nugroho Nurarifin ini (setelah debut berjudul Bidik) menampilkan tokoh utama seorang lelaki seperti itu, dan nyaris saja terjatuh ke dalam klise yang sama sekali tidak berguna bagi apa pun. Tapi, Nugi, panggilan akrab penulis favorit saya ini, bukanlah novelis sembarangan. Dua kritikus sastra bernama Nirwan (satu Dewanto dan satu lagi Arsuka) memang belum pernah mentahbiskan namanya. Namun, percayalah, penulis-penulis terbaik yang lahir di negeri ini memang hampir selalu luput dari pengamatan mereka yang dipuja-puja sebagai kritikus (sastra).


Dulu, tokoh sebesar HB Jassin masih sempat dan mau membaca novel Ben karya Gus tf Sakai yang --kala itu masih-- tergolong “pop” dan “remaja”. Tapi, sekarang, para kritikus sastra yang angker-angker itu kesibukan terbesarnya hanyalah mengangkat-angkat Avi Basuki agar semua orang yakin bahwa mantan peragawati itu bisa menulis cerpen. Lho, lho, lho lha ini kok malah ngomel.


Kembali ke Nugi, ya, saya senang bahwa di tengah penulis-penulis putus asa yang selalu mengembe-embeli karya mereka dengan label “sebuah novel pembangkit jiwa” atau “novel pemacu motivasi”, ternyata masih ada penulis yang berani melenggang semata-mata sebagai “tukang cerita” dengan elegan, meyakinkan, percaya diri dan tentu saja, serius --yang terakhir ini perlu digarisbawahi karena banyak sekali sekarang ini orang yang frustrasi dengan kehidupan dan kariernya, lalu “menjadi” novelis dan menulis sesuatu yang aneh-aneh, sok nyeleneh, maunya nyentrik, hiperbol, berlagak pemberontak, tapi otaknya mesum belaka, rendah imajinasi, dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya DAN SETERUSNYA!!!!!!!


Sampai kita muak.Novel ini, saya bangga merekomendasikannya kepada Anda, sebaliknya: sederhana tapi kuat, tidak menggebu-gebu tapi jernih, tidak terlalu baru dan mungkin juga tak cerdas-cerdas amat tapi berhasil melarikan diri dari kutukan terbesar yang merundung penulis Indonesia: klise. Taruhlah, kau orang yang cukup ngelotok dengan teori-teori Baudrillard, Eco dan filsuf-filsuf kontemporer yang sinting-sinting itu (yang menjadi pondasi tempat novel ini berpijak --sehingga kau mungkin akan menganggap si Nugi ini tak ubahnya mahasiswa puber yang sedang termehek-mehek dengan ide-ide tentang simulacrum, hiperealitas dan sebagainya), novel ini tetap menawarkan sesuatu.


Dengan kata lain, inilah novel-ide yang tidak garing (yup, novel-ide biasanya garing dan membosankan), atau dalam bahasa-templete-ala-kritikus: Nugie berhasi memadukan antara kejelasan ide dengan keterampilan mengembangkan alur cerita dengan baik. Novel ini berangkat dari ide abadi tentang keterasingan manusia, namun bukan dalam konteks klasik Marxisme, melainkan dalam konteks budaya (komunikasi) massa era blog sekarang ini.


Dari awal, perhatian kita langsung dibetot (atau disedot?) oleh tokoh utama yang memperkenalkan diri sebagai orang yang menjalani “hidup sekali pakai”: Aku makan dengan piring-piring styrofoam, minum dengan gelas-gelas plastik, susuku tersedia dalam karton-karton mungil sekali minum…Celana dalamku kertas, aku tidur di dalam sleeping bag yang kuganti setiap bulan…Hdup sekali pakai. Itulah yang kumiliki…Semua yang sifatnya jangka panjang hanya akan melukai….


Saya kira saya belum pernah menemukan pembukaan novel seindah dan semisterius itu.


Di belantara dunia nyata sekaligus maya bernama Jakarta, alkisah, dia seorang pegawai biro perjalanan kecil di Setiabudi. Dan, di belantara dunia maya sekaligus nyata bernama internet dia adalah diri yang lain, yang memiliki kepribadian dan obsesi serta harapan yang lain lagi. Hidup adalah kesibukan hilir-mudik dari dunia yang nyata ke dunia yang maya meskipun kita tak pernah benar-benar bisa membedakannya. Dalam ruang tanpa batas antara yang real dan yang khayal, hidupnya yang sepi bersilang jalan dengan Nugroho Nurarifin (ya, si Nugi ini memakai namanya sendiri sebagai tokoh dalam novelnya), seorang penulis novel dan copywriter di agensi iklan Pantarei, yang terbosesi dengan eksperimen seksual tertentu. Pada saat yang sama, Anisa, pasangan Nugroho, juga terjebak dalam affair singkat dengan seorang pengusaha muda bidang media benama Raymond.


Dengan perangkat teori-teori budaya (massa) kontemporer sebagai bingkai, Nugi telah mempersembahkan dongeng tentang kesepian manusia dengan cara yang paling kelam dan mencekam yang pernah diceritakan. Pada akhirnya, kita memang bisa menerima jika homoseksualitas (masih) ditampilkan dengan begitu stereotip, karena kehadirannya bermakna ganda, simbolis sekaligus sebagai subteks “gay-life” itu sendiri dalam sosialisasinya di dunia nyata dan maya, dan sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat urban megapolitan. Meskipun, pada titik ini Nugi gagal menghindari kelemahan yang biasanya menghinggapi novel-novel ide: menyederhanakan sesuatu (hubungan antartokoh dan sebagainya) yang mestinya kompleks, demi mengejar tercapainya (atau terbuktinya) ide yang dihipotesiskan. Misalnya, pada bagian akhir kita akan menemukan, ooo ternyata Raymond itu bla bla bla….sebuah kejutan kecil ala sinetron atau semacam faktor kebetulan yang selalu menghiasi alur film Indonesia.


Fakta tersebut sedikit membuat kita down, karena merasa kehilangan sebuah misteri atau ambiguitas yang sebelumnya menyelimuti kepala kita. Namun, dengan ending yang masih menunjukkan bahwa Nugi adalah penulis dengan kontrol diri yang terjaga dan tahan godaan, misteri dan ambiguitas yang meneror itu, kalau memang ada, tidak sepenuhnya hilang, sehingga novel ini tetap meninggalkan satu lobang kecil di jiwa kita, yang membuat kita sakit, menjerit, mengumpat dan terkapar dengan nafas terengah-engah, lalu merasakan udara di sekeliling kita

g e l a p...

Monday, March 03, 2008

Lari dari Blora


Dengan segala kekurangannya, saya cukup suka dengan film ini. Bukan karena perasaan ajaib dan haru bahwa di tengah judul-judul film yang makin absurd (Antara Aku Kau dan Mak Erot? Oke, itu belum seberapa. 40 Hari Bangkitnya Pocong?, Tali Pocong Perawan? Astagaaa) masih ada filmmaker (tak peduli dari generasi mana) yang mau bersusah-payah, menempuh jalan sunyi, memikul risiko untuk tidak populer, dengan mengangkat cerita seperti ini. Melainkan, karena saya memang merasa menyukainya begitu selesai menontonnya.

Dua orang narapidana melarikan diri dari penjara Blora, dan dalam pelariannya mereka memutuskan untuk bersembunyi di Desa Samin. Pada saat yang sama, seorang perempuan asal Amerika (yang telah lama tinggal di Semarang) baru saja datang ke desa itu meneliti ajaran Saminisme yang masih dianut oleh penduduk setempat. Ditambah dengan keberadaan seorang guru muda idealis dari kota yang memperjuangkan anak-anak Samin bisa bersekolah, dua narapidana dan peneliti bule yang cantik itu mengusik masyarakat desa yang sebelumnya hidup tenang dengan cara mereka.

Film dibuka dengan sebuah gambar-ala kartu pos seorang perempuan mengayuh sepeda di jalan yang membelah lereng gunung. Bertemu dengan serombongan laki-laki di keramaian, perempuan tadi langsung meninggalkan sepedanya begitu saja, dan beralih ke boncengan motor salah satu lelaki itu. Adegan ini cukup menjadi penjelasan awal tentang satu sisi masyarakat Samin yang serba “bebas”, termasuk dalam soal pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, penjelasan lebih jauh tentang masyarakat tersebut membombardir penonton lewat adegan di dalam kelas sebuah sekolah sadar, ketika pak guru muda idealis tadi mengajar sejarah.

Lalu alur berjalan datar, nyaris tanpa konflik yang berarti, lebih banyak penjelasan-penjelasan verbal yang panjang lebar ketimbang gambar-gambar yang dengan kuat “berbicara sendiri”. Pada titik tertentu, verbalitas film ini terasa sampai membosankan, misalnya adegan ketika guru muda idealis itu berdialog dengan sesepuh desa yang dipanggil Simbah, dan lebih-lebih pada adegan ketika guru itu berdebat dengan Pak Lurah yang tidak setuju dengan program menyekolahkan anak-anak Samin. Sampai di sini, penonton bisa menduga bahwa muara dari konflik film ini adalah tarik-menarik antara kepentingan pemerintah (yang ingin mempertahankan “keaslian” masyarakat Samin) dengan pak guru muda idealis (yang berpretensi ingin memajukan masyarakat).

Tapi, ternyata tidak. Film ini melangkah lebih jauh lagi, nyaris tak terduga, dengan melarikannya ke dalam konteks “global”, yakni politik anti terorisme yang tengah gencar didengungkan oleh pemerintah pusat. Perjuangan pak guru muda idealis yang pantang menyerah, ditambah kehadiran peneliti dari Amerika dan dua narapidana pelarian menjadi pintu masuk bagi aparat kapubaten untuk melancarkan operasi keamanan dengan alasan, Desa Samin dicurigai berpotensi menjadi tempat persembunyian aliran sesat pelaku aksi terorisme. Agak maksa? Atau, bahkan terlalu maksa?

Bagi saya, sebenarnya ide mengaitkan ketertutupan masyarakat Samin dengan kemungkinan dijadikannya desa itu sebagai sarang teroris cukup menarik. Sayangnya, indikasi-indikasi yang dimunculkan kurang kuat. Guru muda idealis itu tetaplah hanya seorang guru yang memang masih muda dan idealis. Peneliti asing itu memang dari Amerika, tapi apakah itu serta-merta bisa dicomot sebagai simbol terorisme? Dan, dua narapida itu, setelah “meresahkan warga” dan dengan demikian “mengganggu keamanan”, pada akhirnya hanyalah pintu masuk untuk menguatkan karakter Simbah (diperankan dengan bagus dan selalu mencuri perhatian oleh Rendra) yang eksentrik, aneh, tidak patuh (antara lain karena dia justru “melindungi” dua narapidana yang buron itu).

Film ini barangkali akan jauh lebih kuat seandainya berani memilih fokus, tidak berambisi “bicara besar”, dan “hanya” mengulik-ngulik kehidupan masyarakat Samin itu sendiri di saat ada guru muda yang berjuang menyadarkan pentingnya sekolah bagi anak-anak, ketika ada bule datang untuk meneliti, dan ketika ada dua penjahat bersembunyi di desa. Memperdalam hubungan-hubungan mereka mungkin akan menghasilkan sebuah cerita yang lebih solid dan menggugah, ketimbang hanya “memperalat” mereka sebagai cara untuk memasukkan isu terorisme, sehingga akhirnya meninggalkan banyak lobang dari kisah-kisah kecil yang tak selesai. Kisah cinta antara guru muda idealis dengan sesama rekan guru yang juga anak pak camat, terasa hanya tempelan, atau setidaknya tidak tergarap dengan baik.

Demikian juga, hubungan antara seorang guru muda yang cantik dengan pak camat itu, dibiarkan misterius, tapi toh tidak berfungsi apa-apa bagi keseluruhan cerita. Puncaknya adalah, bagaimana “operasi keamanan” itu kemudian benar-benar dilaksanakan (kendaraan berat tentara menderu-nderu masuk ke desa, melindas motor seorang polisi lokal, lalu satu per satu mereka berlompatan, berbaris, mengokang senjata di dataran yang tandus) terasa begitu berlebihan. Dramatis sih, memang, apalagi diselang-seling dengan adegan bagaimana Simbah dengan tetap karismatik dan ketenangan yang luar biasa mengatasi kepanikan warga. Dramatis, itu kata yang tepat. Tapi, itu hanya terjadi pada bagian sangat akhir dari film ini, setelah sebelumnya nyaris tak terjadi apa-apa, selain penjelasan demi penjelasan, yang panjang lebar, dialog-dialog yang diplomatis, sering terlalu cerdas untuk tokohnya (jadi, yang cerdas sebenarnya penulis skripnya, yang juga sutradara, Akhlis Suryapati) dan kaku, tentang sejarah dan cara hidup masyarakat Samin, di lereng gunung Kabupaten Blora.