pop | arts whatever

Wednesday, February 20, 2008

Bulu Halus di Perut Dimas Seto: Politik Tubuh Lelaki dalam Majalah Terkini


Pada masa-masa awal pertumbuhan televisi swasta di Indonesia, banyak pengamat, budayawan, sosiolog, feminis –atau, pendek kata pakar-- bicara tentang eksploitasi tubuh perempuan dalam media massa. Khususnya, mereka menyoroti representasi perempuan dalam tayangan iklan, yang intinya dikritik sebagai “melecehkan perempuan, memuaskan hasrat pandangan laki-laki”. Uniknya, kritik tersebut tidak hanya dilontarkan oleh para pakar perempuan, melainkan pakar-pakar laki-laki pun tiba-tiba menjadi begitu bijak menyerang kaumnya sendiri. Saya sendiri, kala itu, berdiri dalam barisan tersebut, meskipun jelas bukan sebagai pakar melainkan mahasiswa culun yang sedang puber dan gandrung setengah mati terhadap feminisme. Begitulah, berbicara membela kaum perempuan, kala itu begitu “intelek” dan “seksi”. (Mungkin sekarang pun masih).

Sekarang setelah saya pikir-pikir lagi, dalam khasanah budaya pop (televisi, iklan, majalah) posisi perempuan dan laki-laki sebenarnya tak jauh berbeda. Di tangan media massa –arena tempat lahirnya budaya pop— baik tubuh perempuan maupun laki-laki sebenarnya diperlakukan sama, yakni sebagai komoditas. Tapi, mengapa kala itu, bahkan mungkin gemanya masih terdengar sampai sekarang, tidak pernah ada yang berbicara tentang (eksploitasi) tubuh laki-laki dalam iklan, misalnya? Saya punya banyak dugaan, namun ada dua yang terpenting. Pertama, meskipun tubuh baik milik laki-laki maupun perempuan sama-sama dianggap komoditas oleh media, namun harus diakui, frekuensi kemunculannya memang berbeda, dalam hal ini perempuan lebih banyak dan lebih sering dimanfaatkan.

Kedua, keberhasilan yang luar biasa dari gerakan feminisme telah mempengaruhi (baca: mengubah) pola pikir dan cara pandang banyak orang (termasuk laki-laki) dalam berbagai lini (akademisi, praktisi, mahasiswa) sehingga “semua orang” tiba-tiba seolah-olah mengenakan kaca mata perempuan dalam melihat berbagai hal. Dampak paling fatal dari fenomena tersebut ada dua. Pertama, semua perempuan tiba-tiba dituntut harus berpikir secara politis –bahwa semua ini tentang dominasi laki-laki atas perempuan, dan itu bersifat menindas, menguasai dan semacamnya. Kedua, tersingkirnya perspektif lain di luar feminisme, misalnya perspektif queer (gay dan lesbian). Meskipun yang terakhir ini bisa diperdebatkan: secara teoritis kelompok-kelompok minoritas seksual tersebut berada dalam payung feminisme juga. Namun, kenyataannya, feminisme sendiri terlalu sibuk dengan isu-isu keperempuanan (saja), dan gagal mengakomodasi gay dan lesbian.

Ketika pasar media massa (cetak) di Indonesia mendapat serbuan dari majalah-majalah “gaya hidup” luar negeri yang hadir di sini secara franchise, dua hal yang tersingkir oleh histeria feminisme tadi –yakni perspektif perempuan non-politis dan perspektif queer—seolah menemukan ladangnya. Hadirnya Majalah Cosmopolitan Indonesia misalnya, seolah mengumumkan lahirnya generasi baru perempuan yang mewarisi pencerahan feminisme dari generasi ibu mereka, namun “maaf, kami tak ingin terlalu intelektual, tapi jelas tak mau kalah dari laki-laki, dan hei sebenarnya kami hanya ingin bersenang-senang dengan tubuh kami.” Maka, Fun Fearless Female menjadi mantra sucinya, dan “29 Tips Seks Panas”, “10 Jurus Jitu Menjerat Pria Idaman” dan “6 Strategi Makeover Karier” adalah menu bulannya, plus, 4 halaman Man Manual yang tiap lembarnya menyajikan pria telanjang dada yang siap dipelototi setiap lekuk tubuh atletisnya dan dibawa mimpi wajah macho-innocent-nya.

Dan, tidak ada yang dieksploitasi.

Politik tubuh fantastis laki-laki semacam itu kemudian bahkan menjadi semacam strategi sukses bisnis franchise majalah gaya hidup karena kenyataannya, ini semacam sekali merengkuh dayung: tubuh-tubuh terbuka pria itu tidak hanya membuat perempuan-perempuan urban megapolitan ketagihan, namun juga mampu membuat lelaki-lelaki gay jejeritan. Cosmopolitan pun menjadi majalah yang “dilanggani wanita, diintip pria (gay)”. Demikian pula majalah-majalah franchise yang hadir dalam setahun belakangan, yang umumnya mengisi kekosongan pasar majalah khusus pria.

Datanglah ke agen atau toko buku, dan ambil satu dari produk jenis itu, secara acak. Kemungkinan kau akan mendapatkan satu dari majalah-majalah ini:
1. DaMan
2. Men’s Folio
3. Esquire
4. Muscle

Yang jelas, apapun yang kau raih, tak sulit bagimu untuk menemukan artikel tentang tren celana dalam yang membuatmu bisa memelototi model-model pria setengah telanjang, baik dari dalam maupun luar negeri. Edisis terbaru (Februari) Esquire Indonesia bahkan memuat artikel tentang celana dalam pria yang model dan jenisnya tak kalah banyak –dan sudah barang tentu juga tak kalah eksotik— dibandingkan celana dalam wanita.

Begitulah, ketika sudut pandang dunia telah bergeser, di mana perempuan-perempuan non-politis dan kaum gay semakin mendapat tempat dan diperhitungkan secara cermat sebagai konsumen potensial bisnis majalah gaya hidup, maka boxer, G-string, dan tong menjadi komoditas yang penting. Sama pentingnya dengan menampilkan artis film dan sinetron Dimas Seto dalam penampilan topless yang memamerkan dengan jelas bulu-bulu halus di perutnya –dalam edisi terbaru Muscle Indonesia (majalah apalagi ini?)

Dan, sekali lagi, eksploitasi sudah tidak menjadi tema cerita lagi. Sebab, seperti diteriakkan Cindy Lauper berpuluh tahun silam, girls just wanna have fun –dan termasuk di dalamnya adalah pria-pria gay yang memang suka mengindentikkan diri bagian dari girls itu. Hehehe.