pop | arts whatever

Tuesday, February 27, 2007

PIM 2

Senja yang asing
terkurung dalam dinding
mengurung manekin-manekin

tubuh-tubuh ramping
terlalu belia untuk
tak selalu ceria

seorang lelaki
melihat bayangannya sendiri
di kotak-kotak kaca

tiba-tiba merasa
sangat tua untuk
ikut menikmati senja


PIM 2 (2)

Seseorang merasa
hampir sempurna hidupnya
ketika menunggu kekasihnya

sambil menonton atraksi cina
tak seorang pun pada akhirnya
pernah merasa tua

Sabtu, 24/2/07/pk 19.08

Thursday, February 22, 2007

Setelah Banjir Berlalu

Setelah banjir berlalu, apakah orang-orang lantas berbondong-bondong pergi meninggalkan Jakarta, karena sudah kapok dan tak mau lagi mengalami hal yang sama tahun-tahun depan?

Apakah celetukan menggelikan sejumlah orang yang mengusulkan pemindahan ibukota negara, lantas benar-benar dilaksanakan?

Hohoho...alih-alih membenci Jakarta. Kita semua, saya rasa, justru makin mencintai kota ini. Banjir, angin puting beliung, kemacetan...tak satu pun bisa membuat kita lari dari Jakarta.

Ayo, bersama-sama kita akui, kita telah cinta mati pada Jakarta --walau mungkin untuk alasan yang berbeda-beda.

Bagi saya, ada tak kurang dari 10 alasan yang membuat saya belum ingin lari dari Jakarta, setidaknya sampai setahun ke depan:

1. Q! Film Festival 2007 digelar Agustus
2. Busway Koridor VI
3. Citos
4. Kantor Baru, Bos Baru, Bidang Pekerjaan Baru
5. Plaza E.X
6. Gaynight di Babyface
7. Blok M Bawah Tanah
8. PIM 2
9. Kafe Ohlala Djakarta Theater
10. Grand Indonesia (dengan Blitz di dalamnya) selesai tahun ini

Wednesday, February 21, 2007

Bos

Pagi-pagi, kami dikejutkan oleh pekikan-pekikan kecil namun cukup gaduh dari ruangan bos. Tak lama kemudian, pekikan itu terdengar makin keras dan dekat, karena si bos ternyata sudah berada di tengah-tengah kami yang sedang tenggelam di depan komputer.

"Hore! Hore! Hore!"

Kami hanya bisa saling pandang dengan wajah berkerut penuh tanda tanya. Tapi, yang lebih heran tentu saja tiga mahasiswa dari Yogya yang sedang magang di kantor kami. Mereka bengong dengan kepala mendongak dan mulut terganga lebar.

Menyadari hal itu, si bos langsung berkata kepada mereka. "Kalau kalian magang di kantor lain, bosnya itu jaim banget. Tapi, kalau di sini...(bosnya) kenthir!"

Kami semua tertawa ngakak.

Hari itu, si bos memang sedang gembira. Kemarin, ia menandai peluncuran produk terbaru perusahaan kami dengan sebuah konferensei pers, dan sukses. Hari ini, baru saja dia dihubungi oleh sebuah stasiun televisi untuk diminta menjadi narasumber acara mereka.

Ah, tapi kami memang sudah terbiasa mendapati si bos berkelakuan seperti anak kecil, melonjak-lonjak kegirangan. Misalnya, ketika tendernya menang atau proposal proyeknya disetujui.

***

Saya termasuk karyawan baru di kantor tempat saya kerja sekarang. Dengan demikian, si bos itu juga bisa dibilang bos baru bagi saya. Meskipun, juga nggak baru-baru amat. Dia salah satu direktur di kantor lama saya dulu. Dia keluar dan mendirikan perusahaan sendiri. Dan, sekarang saya bergabung dengannya.

Di kantor yang dulu, saya tak sempat mengenalnya, kecuali sebatas tahu bahwa dia salah satu pimpinan perusahaan. Saya bukan bawahan dia langsung.

Pada hari pertama saya datang di kantor dia sekarang, saya canggung-canggung masuk ke ruangannya. Tapi, dia menyambut saya dengan gelegar suara yang mencairkan suasana. Setelah obrolan beberapa saat, saya langsung marasa, saya akan cocok bekerja sama dia.

Beberapa hari bekerja, saya mulai mengenali kebiasaan dia. Berjalan dari bangku ke bangku, menyapa satu per satu anak buahnya sambil mengeluarkan kelakar-kelakar ala Srimulat. Kalau ada desainer atau programmer yang memperlihatkan hasil karya yang bagus dan memuaskan hatinya, dia akan berkata dengan gayanya yang khas. "Ukuran sepatumu berapa?"

Kebiasaan lain, yang mungkin tak lazim dijumpai pada seorang bos, dia suka menyanyikan lagu-lagu Agnes Monica. Cinta ini, terkadang tak ada logika. Di ruang kerjanya tersandar sebuah gitar listrik dan pada saat senggang dia memainkannya. Suatu hari, kami mendengar dia memetik gitar itu sambil lirih menembang. Dalam hitam gelap malam, kuberdiri melawan sepi.

Suaranya berat dan mantap, seperti seorang pemain teater.

Hari-hari ini, dia lagi senang menyenandungkan lagu terbaru Bunga Lestari. Sunny...sunny.

***

Suatu hari Sabtu, kami diminta masuk karena ada pekerjaan yang harus dikejar penyelesainnya. Tapi, si bos mengajak kami untuk pulang tak terlalu malam. Mau nonton grand final Indonesian Idol di televisi, katanya.

Di dalam lift dia memberi kami tebakan. Siapa yang akan menang? Ada yang menjawab Ihsan, ada yang Dirly. Menurut si bos, dua-duanya punya peluang menang sama besar, karena sama-sama bertampang melas.

***

Sehari setelah Hari Raya Imlek, Minggu (18/2/07) lalu, si bos menghampiri salah seorang manajer kami, yang beretnis Tionghoa. "Met Imlek ya, semoga rejekinya makin lancar."

Saya mendengar lamat-lamat, dan saya terharu.

Bos saya yang dulu, kalau melihat anak buahnya chatting di YM atau browsing yang tak berkaitan dengan pekerjaan, akan langsung berseru, "Mendingan kamu wawancara deh."

Tapi, bos saya yang sekarang justru selalu bilang, "Jangan kerja terus, kamu tetap harus punya kehidupan pribadi." Tak jarang saya juga mendengar dia berkata, "Pikirin deh idenya, kalau perlu keluar sana, ngopi-ngopi sambil diskusi."

Monday, February 19, 2007

Dalam Remang Merah

Sebuah SMS masuk ke HP saya, Minggu (11/2/07) pagi. Dari seorang teman, penulis naskah film yang karya terbarunya -horor- menjadi film terlaris 2006. Isinya sebuah undangan untuk menghadiri opening gaynight di Babyface. Dia menjadi salah satu host. Begitu selesai membacanya, saya langsung tahu, saya tak akan melewatkan undangan itu.

Kapan terakhir saya pergi ke gaynight?

Saya lupa. Yang jelas, sudah cukup lama tak ada gaynight baru di Jakarta, setelah yang ada di Centro dan tentu saja Heaven. Sebelumnya, kabar bahwa Babyface akan mengadakan gaynight memang sudah cukup santer tersiar dari mulut-(ke telinga dan kembali)-ke-mulut. Dan, sejak Minggu malam itu, sempurnalah "Sarinah-Thamrin Area" sebagai gayspot paling hot di Jakarta. Bayangkan: Malam Minggu nongkrong di Ohlala sampai pagi, Minggu Malamnya ke Babyface. Keduanya terletak di satu lokasi. Lengkaplah hidup cowok-cowok gay Jakarta!

Saya datang, bareng teman saya tadi, sekitar pukul 11. Tidak seheboh yang saya kira, tapi tak bisa dibilang sepi juga. Saya sempat membayangkan, pasti suasana keriuhan sudah terasa di teras antara Pizza Hut dan Ohlala. Tapi, ternyata tidak. Namun, setelah saya naik tangga berjalan, barulah terasa crowd-nya. Serombongan brondong china berdiri di sudut, depan tangga naik menuju Djakarta Theater. Teman saya menyapa ke arah gerombolan itu, dan mengajak beberapa orang di antaranya masuk. Tapi, mereka bilang masih menunggu teman.

Karpet merah terbentang di depan pintu masuk, bertabur bunga mawar. Di antara beberapa cowok mature yang menyambut kedatangan kami, terlihat seorang bapak-bapak cina di balik bangku penerima tamu. Kami mengenalinya sebagai Koh Santo, lelaki bertubuh gempal, pendek dengan rambut belah pinggir yang rapi dan klimis, yang selalu terlihat di berbagai crowd gay. Dia menyambut teman saya, sebelum teman saya itu digiring untuk difoto sebagai tamu kehormatan di depan papan yang bertuliskan tema acara itu: XXX - The Premiere. Saya masuk duluan.

Nuansa serba merah mendominasi ruangan. Orang-orang membentuk kerumunan-kerumunan kecil dalam gelap. Dress code yang ditetapkan dalam undangan: express your body, tapi itu sama sekali tak terpantul dari penampilan mereka. Apa yang terlihat tak jauh beda dengan pemandangan yang selalu terbentang dalam berbagai acara gaynight yang pernah ada dan saya datangi.

Sebagai host, teman saya mendapat jatah table --tepat di sebelah kiri pintu masuk. Di sisi kanan, terdapat bar memanjang hampir dari ujung ke ujung. Sedangkan di sisi kiri, selain meja DJ, juga difungsikan sebagai semacam panggung utama. selebihnya, bangku-bangku panjang tempat orang-orang duduk menikmati minuman. Satu deret dengan sofa yang kami duduki, terdapat dua sofa lagi --yang satu diduduki oleh dua orang waria bersama beberapa brondong, dan pada sofa satunya lagi saya lihat --lagi-lagi-- seorang bapak-bapak cina berpenampilan ala pejabat BUMN.

Kami hanya berbisik-bisik, menebak-nebak, kalangan bapak-bapak cina itu pastilah crowd yang dibawa Koh Santo. "Mereka mungkin salah satu penyandang dana," bisik teman saya, seraya menambahkan, bahwa berkebalikan dengan sofa di ujung itu, sofa kami akan menjadi tempat berkumpulnya para brondong. Tapi, dari sekian puluh brondong yang diundang teman saya lewat SMS, saya ada tiga orang yang muncul, itu pun tidak sepenuhnya bergabung dengan teman saya, tapi berkali-kali minta izin untuk bergabung dengan teman-temannya sesama brondong. Mereka tidak cukup betah untuk hanya duduk di sofa meneguk wine di gelas bertangkai.

Akhirnya, sofa kami memang sepi, hanya saya dan teman saya si penulis skenario itu saja yang mengisi. Namun, tak lama berselang, teman saya yang bekerja di Starbuck Plaza EX datang menyusul membawa seorang temannya. Dan, teman dari salah satu undangan si penulis skenario juga datang menyusul, katanya meluncur dari Centro karena di sana sepi.

Saya lirik, sofa sebelah tak jauh beda. Akhirnya hanya terlihat dua waria duduk kesepian di sana, sementara brondong-brondong yang tadi ada, juga tak selalu bertahan di situ. Rupanya memang banyak hal jauh dari perkiraan saya. Dari awal saya menduga, akan banyak selebriti beken menjadi host malam itu. Dan, akan ada acara dengan MC dari kalangan seleb juga.

Ternyata semua itu tak ada. Satu-satunya yang akhirnya bisa kami tunggu hanyalah fashion show, yang itu artinya lelaki-lelaki bercelana dalam meliuk-liuk di atas meja bar. Mereka muncul pukul 12 tepat: dua lelaki di bar panjang, dua lagi di bar sayap kiri dan dua di panggung utama. Mereka mengenakan celana dalam merk Metrox --satu dari beberapa sponsor acara malam itu selain sebuah panti pijat khusus pria di kawasan Jalan Blora, dan Kafe Ohlala di lantai bawah dalam kompleks yang sama.

Tiga pasang lelaki itu melakukan aksi-aksi yang tak jauh beda dengan yang sudah sering kami lihat di berbagai gaynight. Mereka menari-nari, meliuk, mengesankan sebuah adegan yang intim, erotik. Pada satu saat, mereka memelorotkan bagian bekalang celananya, memamerkan pantatnya yang dalam remang lampu klab tampak indah mulus tanpa cela. Sekitar setengah jam mereka beraksi. Dan, muncul lagi sejam kemudian dengan aksi yang lebih hot. Kali ini mereka muncul berbalut handuk putih kecil, dan ketika dibuka barulah kelihatan bahwa mereka mengenakan G-string. Dua pasang cowok di atas bar yang berbeda melakukan aksi yang "normatif", sedangkan sepasang cowok di panggung utama menarik perhatian karena melakukan sesuatu yang belum pernah terjadi dalam acara-acara gaynight di Jakarta selama ini.

Dua cowok itu masuk ke ruangan sempit yang tercipta dari tirai-tirai merah yang menjuntai dari atap. Di balik remang tirai merah itu, tubuh mereka menjelma siluet hitam, tak sepenuhnya siluet, melainkan masih tampak cukup jelas, ketika mereka merogoh-rogohkan tangannya ke dalam celana, meremas dan menarik-narik penisnya seolah sedang masturbasi. Lambat laun, mereka mulai melepas celana dalamnya, dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tak memungkinkan penis mereka kelihatan. Beberapa saat mereka menari-nari, sambil menggenggam penisnya, dan pada saat yang lain menggosok-nggosok bagian penis itu dengan handuk putih tadi. Sebelum akhirnya kembali melilitkan handuknya lagi ke pinggang, meraih celana dalamnya dan menentengnya turun dari panggung, dan menghilang...

Setelah itu, sepertinya tak ada lagi alasan yang cukup kuat untuk membuat orang-orang masih tetap bertahan di situ. Satu per satu kerumuman memudar, menyusut dan menyisakan kelengangan.

Tuesday, February 13, 2007

Citos

Sudah tak terhitung kali saya ke Citos, menyusuri koridor-koridornya, nongkrong di kafe-kafenya. Tapi, segalanya tampak berbeda ketika kau datang pada waktu dan dengan tujuan yang tak sama dengan biasanya.

Pukul 10.00 pagi. Hujan yang turun cukup deras sejak pagi tinggal menyisakan gerimis dan dingin. Saya duduk di sudut Coffee Bean and Tea Leaf. Secangkir double capuccino meruapkan aroma harum di atas meja. Tiga lembar free magazine yang saya ambil dari rak saya tumpuk di sofa.

Saya belum sempat menuangkan gula ke dalam minuman ketika HP di kantong saya bergetar. Orang yang akan saya wawancarai berdiri di depan sana, namun saya tak mungkin meneriakinya. Akhirnya saya jawab telepon itu dan dia segera menghampiri saya. "Musiknya kenceng banget," kata dia sebelum mengajak saya pindah ke bangku di bagian luar.

Dia seorang praktisi HR yang punya lembaga konsultan sendiri, di samping mendirikan yayasan yang bergerak dalam area yang sama. Masih cukup muda, idealis dan penuh semangat. Saya senang dengan gayanya yang gaul dan akrab, sehingga bisa mencairkan suasana formal sebuah aktivitas kerja bernama wawancara. Ditambah, tentu saja, atmosfer Citos yang hangat dan bergairah, hampir tiga jam berlalu tanpa terasa.

Kami masih duduk untuk ngobrol santai beberapa saat sebelum kemudian berpisah. Inilah bagian yang paling menyenangkan dari pekerjaan saya: bertemu orang. Apalagi kalau pertemuannya berlangsung di luar kantor seperti pagi ini, sudah pasti jauh lebih menyenangkan. Berada di tengah keramaian ruang publik semacam Citos pada jam kerja, bukankah itu sebuah kemewahan yang langka?

Dan, saya juga baru tahu, kalau tempat-tempat hang out macam Citos itu ternyata ramai juga pada jam-jam ketika kebanyakan orang sibuk di kantor, bahkan ketika cuaca tak cukup bersahabat seperti hari ini. Sempat terbetik tanya dalam benak: siapakah orang-orang yang begitu bikin iri ini? Jam 10 pagi sudah duduk di kafe, minum kopi dan menyantap roti?

Kalau saya sih jelas, saya berada di sini pada jam segini karena sedang bekerja. Tapi, orang-orang itu? Seorang lelaki muda duduk sendirian, kusuk memelototi layar laptop-nya. Serombongan pria bertampang oom-oom berbincang santai di sudut sana. Sepasang muda-mudi tengah asyik ngrumpi. Di luar kafe, di koridor yang luas dan panjang, tengah digelar bazaar. Di lobi utama ada panggung catwalk bertuliskan Fashion Tuesday.

Saya melangkah ke toilet sambil berpikir, makan siang di mana ya? Dua lelaki duduk berjauhan dan saling diam dalam smoking room. Yang satu tidak merokok, tapi duduk dengan kepala tersandar letih dan mata terpejam. Earphone terpasang di kedua telinganya. Rambutnya model Jepang. Cakep sekali. Selesai dengan urusan di toilet, saya kembali menyusuri koridor yang telah menjadi "pasar elit".

Beberapa ibu-ibu "sosialite" tengah memilih-milih baju atau tas. Sepasang brondong melintas. Tiga bule belia bertubuh jangkung masuk ke salah satu resto. Sebuah kalimat di kaos yang dipajang dengan manekin terekam di ekor mata saya: I Hate Valentine. Dunia dan kehidupan begitu indah di dalam town square menjelang pukul 12 siang. Sampai akhirnya saya sadar, saya harus segera kembali ke kantor, ke dunia nyata.

Monday, February 12, 2007

Busway

Seorang bapak menelepon sebuah acara pagi di radio pada hari ketika busway koridor 6 dan 7 dibuka beberapa waktu lalu, sebelum Jakarta banjir. Dengan nada khas seorang pengecam busway, dia menginformasikan bahwa Jalan Buncit Raya macet "gara-gara busway". Ia bicara seolah-olah para pendengar radio itu berada dalam situasi gawat sehingga harus diperingatkan dengan kata 'awas' dan semacamnya. Bagi dia, busway adalah ancaman, yang mengganggu dan merugikan kaum pengendara mobil.

Pagi ini, gema suara bapak itu seolah kembali ke telinga saya, ketika dalam angkot 61 (Cinere - Pasar Minggu) saya dengar seorang ibu mengeluhkan kemacetan yang luar biasa di Jalan Marga Satwa. Ibu itu juga menyalahkan busway sebagai penyebab --penambah-- kemacetan, dan bukannya seperti dimaksudkan Gubernur Sutiyoso, untuk mengatasi kemacetan. Saya heran, mengapa ibu itu bisa punya pikiran seperti itu, padahal jelas-jelas, angkot yang dia tumpangi tidak bisa bergerak karena mobil-mobil pribadi, dan bukannya karena busway yang punya jalur sendiri.

Setelah sempat berhenti beroperasi karena banjir, busway koridor 6 (Ragunan - Manggarai) kembali dibuka, dan pagi ini, Senin (12/2/07) pukul 09.00 WIB saya berniat untuk naik karena saya lihat armadanya sudah cukup banyak. Terbukti, jarak antara satu bus dengan bus berikutnya tak begitu lama. Saya turun angkot dan naik tangga untuk mencapai halte SMK 37. Perempuan muda yang menjaga loket tersenyum manis dan ramah menyambut saya, begitu pun laki-laki muda yang bertugas menyobek tiket.

Tak banyak orang yang duduk menunggu --wajah-wajah yang sumringah dan memancarkan sinar semangat menyongong hari pertama pekan aktivitas rutin mereka. Tak sampai lima menit busway datang. Masih banyak bangku kosong di dalam, sehingga saya bisa memilih tempat duduk dengan leluasa dan menikmati perjalanan dengan nyaman, sampai ke tempat tujuan, halte perempatan Mampang.

Sepanjang jalan, saya begitu bahagia melihat mobil-mobil merayap seperti keong. Busway yang melaju cepat tanpa hambatan seperti mengejek dengan telak mobil-mobil pribadi yang berderet panjang dalam kemacetan. Sebaliknya, orang-orang yang duduk dengan sentausa di dalam mobil-mobil mewah itu pastinya sewot dan terbete-bete melihat busway yang nyelonong mendahului mereka tanpa ampun. Saya makin gembira membayangkan mereka menyumpah-nyumpah dengan kesal.

Bagi saya, busway adalah salah satu hal yang paling menyenangkan dari kehidupan kota Jakarta saat ini. Sejak awal, saya sepenuhnya mendukung pengadaan sarana transportasi umum yang dikritik banyak orang itu. Sejak awal pula, saya percaya bahwa busway --sampai saat ini-- merupakan satu-satunya cara paling mungkin dan masuk akal untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Bahwa, dalam kenyataannya, dengan adanya busway kemacetan sama sekali tidak berkurang, saya kira bukan salah busway-nya, melainkan sikap mental dan cara berpikir kaum bermobil-lah yang harus diubah.

Mengharapkan orang-orang mereka meninggalkan mobil mereka di rumah dan memilih naik busway, jelas hanyalah mimpi di siang bolong. Meskipun, saya bukannya tidak yakin, orang seperti itu ada. Tapi, jumlahnya jelas masih sangat jauh panggang dari api untuk mampu membuat tujuan busway terwujud. Para pengritik --dan pembenci-- busway, seperti tersirat dari sikap yang ditunjukkan bapak penelepon di atas merupakan tipikal khas kaum bermobil Jakarta, yang merasa paling berhak atas jalan-jalan raya.

Mereka menutup mata bahwa merekalah pihak yang sebenarnya paling bertanggung jawab --dan, dengan demikian paling bisa diharapkan untuk mengurai-- atas keruwetan lalu lintas di Jakarta. Okelah, mereka tak perlu meninggalkan mobil mereka dan beralih naik busway, tapi plis deh, tidak usah lantas menyalahkan busway sebagai penambah kemacetan. Karena itu sungguh melukai hati masyakarat luas yang tela lama menunggu adanya fasilitas tansportasi umum yang murah, aman, nyaman dan cepat. Kaum tak bermobil juga berhak untuk sampai di kantor dalam keadaan tetap rapi dan tak berkeringat, seperti mereka yang bermobil.

Thursday, February 08, 2007

Menghidupkan Kembali Romantisme Jadul di Zaman-"Capek Deh"

Di tengah cuaca Jakarta yang masih dibayang-bayangi hujan dan ancaman banjir, saya berkesempatan menonton press screening film Badai Pasti Berlalu di Planet Hollywood. Mendung gelap sama sekali tak menyurutkan semangat wartawan untuk datang. Semua sudah tak sabar untuk menyaksikan hasil usaha sutradara Teddy Soeriaatmadja (Banyu Biru, Ruang) me-remake film Teguh Karya yang sangat populer pada 1970-an itu.

Sebagian di antara kami, para wartawan yang hadir siang itu, adalah generasi yang lahir pada paro kedua dasawarsa 70. Artinya, ketika film itu dirilis pertama kali dan meledak, kami belum tahu merah-hitamnya dunia. Namun, film itu memiliki gema yang sangat panjang. Album soundtrack film itu misalnya, terus diproduksi dan bahkan diaransemen ulang oleh Erwin Gutawa pada 2001 lalu.

Remake atas film itu sendiri tentu saja juga merupakan bagian dari gema panjang itu. Sekaligus, memperpanjang dan bahkan mungkin mengabadikan gema itu untuk terus melintasi perjalanan waktu. Agaknya memang sudah ditakdirkan, Badai Pasti Berlalu adalah ikon abadi dalam khasanah budaya pop di Indonesia. Kini, lewat kerja keras Teddy dan timnya, generasi saya yang belum sempat menyaksikan film itu, dan lebih-lebih generasi yang lebih muda, mendapatkan giliran untuk melihat langsung sumber suara itu, dan bukan hanya gemanya.

Sebagai sebuah karya daur-ulang, Badai Pasti Berlalu versi Teddy tak bisa menghindarkan diri dari semangat zaman ketika versi asli film itu dibuat. Setting lokasi, gaya berpakain dan aspek-aspek yang berkaitan dengan konteks situasi, tentu saja bisa diubah, digeser dan disesuikan dengan kekinian. Tapi, perasaan-perasaan, psikologi tokoh-tokoh dan feel keseluruhan film itu harus dipertahankan. Me-remake film tahun 1970-an, sampai batas tertentu, sama artinya dengan mengusung kembali romantisme jadul ke masa kini.

Dan, masa kini itu adalah zaman ketika anak-anak usia belasan tahun merupakan konsumen terbesar film Indonesia. Mereka adalah generasi yang moody, sedikit-sedikit merasa bete, sebentar-sebentar bilang "cuape de", dan cenderung menyederhanakan setiap pengalaman ke dalam ungkapan-ungkapan "basi!", "gak segitunya" dan "penting ya?" Saya kira, itulah tantangan terbesar yang akan dihadapi Badai Pasti Berlalu versi Teddy.

Nanti, setidaknya yang saya bayangan, ketika orang-orang dewasa sibuk membanding-mbandingkan akting Roy Martin dengan Vino Bastian sebagai Leo, penonton dari generasi-capek deh tadi hanya akan manggut-manggut karena mendapatkan pengetahuan sejarah: Ya, ya, ya...jadi cewek zaman dulu tuh begitu ya, kalau patah hati pergi menyendiri ke vila ortunya yang mewah di pinggir pantai di Bali, menghabiskan waktu sepanjang hari dengan membaca buku dan bermain ayunan di atas pasir.

Saya tidak tahu apakah kisah cinta yang dibangun dari estetisasi patah hati semacam itu akan cukup mengena di hati remaja sekarang. Yang jelas, menurut saya, sebagai karya yang diangkat dari novel pop (karya Marga T) dengan tokoh utama antara lain mahasiswa kedokteran tingkat akhir, film ini terlalu "dewasa" untuk penonton remaja. Itu kalau saya boleh berasumsi bahwa versi remake ini terutama --dan sudah semestinya-- ditujukan kepada penonton remaja.

Sutradaranya sendiri tidak secara eksplisit menyatakan bahwa karyanya tersebut untuk remaja. Ia menggunakan ungkapan --yang membuat saya tertawa-- "ramah untuk penonton Indonesia". Saya adalah bagian dari penonton Indonesia itu, dan sejujurnya, saya begitu menikmati Badai Pasti Berlalu hasil remake Teddy. Saya senang dengan printilan-printilan yang memikat: adegan ketika Slamet Rahardjo menyanyikan lagu Sabda Alam-nya Ismail Marzuki dan kemunculan sekilas Niniek L Karim.

Dan, sudah barang tentu, akting keren Winky Wiryawan sebagai penjahat halus yang flamboyan. Dalam konteks kekinian, kisah yang diangkat Badai Pasti Berlalu memang tak teramat istimewa. Namun, menurut saya tetap penting dan relevan, yakni kompleksitas hubungan-hubungan antarmanusia: antara lelaki dan perempuan, antara suami dan istri, antara orangtua dan anak, antarsaudara kandung, dan antarsahabat.

Film ini merangkum semua itu dalam jalinan-jalinan yang lembut, misterius dan tak jarang "kejam". Sebab, di dalamnya tak hanya ada ketulusan, niat baik dan kesetiaan, tapi juga penghinaan, pengkhianatan dan dendam. Perselingkuhan, misalnya, ditampilkan dengan begitu "manis" dan "alami" namun tetap terasa memedihkan. Orang-orang "jahat" digambarkan dengan demikian "elegan". Begitu pula dengan kesedihan dan derai air mata: cukup banyak tangis, tapi tak ada kecengengan. Sebuah drama kehidupan yang maskulin.