pop | arts whatever

Wednesday, May 14, 2008

Kompilasi Film Pendek "9808": Cina dan Hal-hal yang Tak Akan Pernah Selesai

Baru sepuluh tahun, gumam Lucky Kuswandi. Dia mengingatkan agar orang-orang keturunan Cina di Indonesia tidak melupakan begitu saja luka-luka masa lalu, hanya karena kini Hari raya Imlek sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah. Baru sepuluh tahun, gumamnya, seperti sebuah bisikan lirih yang nyaris tertelan kembali. Apakah kau yakin mereka sudah tak membenci kita lagi?

Saya bukan keturunan Cina, tapi saya merinding mendengar peringatan itu, dan pelupuk mata saya memanas oleh air mata yang saya tahan agar tidak tumpah. Lucky, lewat film pendeknya yang puitis berjudul A Letter of Unprotected Memories adalah sebuah suara lain dari komunitas keturunan Cina yang tak pernah kita dengar dari saluran resmi. Dan, sebagai sebuah suara lain, yang mencoba mengatasi formalisme dan basa-basi bahasa kekuasaan, suara itu terdengar begitu lugas, telanjang, jujur. Pada satu titik, kejujuran Lucky bahkan mengagetkan, yakni ketika dia meragukan dirinya sendiri apakah sudah bisa mencintai negeri ini.

Karya Lucky Kuswandi tersebut merupakan satu dari 10 film pendek yang dikompilasi di bawah judul 9808. Di bawah supervisi Prima Rusdi, Hafiz dan Edwin, kompilasi tersebut dimaksudkan untuk menandai 10 tahun reformasi. Setelah diputar perdana di Kineforum, TIM, Jakarta, Selasa (13/5/08) film ini bisa disaksikan oleh masyarakat umum di tempat yang sama hingga 20 Mei 2008, dan rencananya akan dikelilingkan ke kampus-kampus di berbagai kota.

Dengan bentuk respon, referensi dan gaya ungkap masing-masing, 10 filmmaker mencoba memaknai dan menafsirkan apa itu reformasi, setelah 10 tahun bergulir terhitung sejak lengsernya Soeharto pada 1998. Kita mendapatkan respon dan tafsir yang beragam, namun ada garis tebal yang menyita perhatian dari sana, yakni separo dari isu yang muncul berkaitan dengan "isu-Cina". Ariani Darmawan lewat karya berjudul Sugiharti Halim misalnya, dengan pendekatan komedi yang sangat mengena, mengusung ironi di balik peraturan pemerintah yang mengharuskan orang keturunan Cina untuk memiliki nama Indonesia.

Seperti halnya Lucky, Ariani juga keturunan Cina dan karya mereka menjadi semacam pernyataan (politik) yang bersifat personal tanpa kehilangan daya gugahnya sebagai bahan perenungan bersama. Namun, sebagai sebuah bentuk respon, tidak semua dari 10 karya dalam kompilasi ini bersifat "curhat". Ucu Agustin misalnya, menyajikan reportase atas sosok Sumarsih, ibu dari korban Tragedi Semanggi 1 Wawan dalam Yang Belum Usai. Dengan penuturan yang padu-padat, Ucu tidak hanya mengembalikan ingatan kita pada salah satu luka dari reformasi. Lebih dari itu, ia juga berhasil menggambarkan perubahan hidup seorang perempuan warga sipil biasa dari ibu rumah tangga yang rajin ke gereja menjadi demonstran "radikal" yang gigih --mungkin sampai akhir hayatnya.

Bentuk reportase juga disajikan oleh Steven Pillar Setiabudi lewat Sekolah Kami, Hidup Kami. Tidak secupu judulnya, film berdurasi kurang dari 12 menit ini mencengangkan kita dengan "temuan" di kota kecil nun jauh dari Jakarta: sebuah gerakan anti korupsi yang dilancarkan oleh pengurus OSIS SMU 3 Solo terhadap kepala sekolah dan guru-gurunya!

Lucky, Ariani, Ucu dan Pillar menurut saya termasuk yang berhasil mengkomunikasikan isi kepala dan kegelisahan mereka dalam merespon tema besar dan gawat "10 tahun reformasi". Artinya, jujur saja, memang tidak semua karya dalam kompilasi ini berhasil berbicara secara jernih dalam merespon isu yang disodorkan. Ada yang terkesan "bingung-sendiri" sehingga kehilangan poin dan tidak nyambung. Ada yang sok-asik, tapi jadinya malah hanya berisik. Ada yang terlalu filosofis sehingga jadinya malah tak bicara apa-apa. Ada yang terlalu "harfiah" dalam menerjemahkan "10 tahun reformasi" sehingga terasa kaku dan gagal memperkaya perspektif penonton.

Saya kira yang paling tampak berkilau adalah karya Ifa Isfansyah, Huan Chen Guang (judul bahasa Inggris: Happiness Morning Light). Di tangan Ifa, "10 tahun reformasi" menjadi isu yang begitu terbuka untuk dimaknai. Di sini, lagi-lagi, kita bertemu dengan "isu-Cina", namun Ifa mendekatinya dengan cara yang sama sekali berbeda. Ia mengolah satu keping realitas dari puing-puing kerusuhan massa yang mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru, yakni perkosaan atas perempuan-perempuan Cina, menjadi sebuah fiksi yang halus. Film ini filosofis, tapi tak kehilangan pijakan; dramatis namun tak cengeng.

Layaknya kasus perkosaan Mei yang sampai sekarang tak pernah benar-benar diakui pernah terjadi, Ifa bermain-main antara realitas dan fiksi dengan secara simbolis memasukkan tokoh-tokohnya ke dalam dunia antara mimpi dan kenyataan. Secara teknis, Ifa juga menseriusi "proyek" ini dengan gambar-gambar yang diambil di lokasi-lokasi yang sulit sehingga hasilnya begitu utuh dan meyakinkan.