pop | arts whatever

Sunday, December 02, 2007

Ketika Pilihan Sudah Tak Ada Lagi

Setiap hari saya turun dari busyway di halte Mampang Prapatan dan berjalan kaki beberapa puluh meter untuk sampai ke kantor di Jalan Kuningan Barat. Tak ada trotoar kecuali sisa pinggiran jalan, dan itu pun sesak oleh tiang-tiang listrik/telepon, pohon dan motor para tukang ojek. Ah, semua itu pun belum seberapa. Masih ada "rintangan" lain yang benar-benar membuat berjalan kaki di Jakarta ini terasa begitu sengsara dan tidak dihargai. Selalu ada motor yang tidak hanya naik ke trotoar, eh sisa jalan tadi, tapi juga melawan arus laju lalu-lintas. Tidak, tidak hanya itu. Para pengendara motor yang menerobos sisa jalan dan melawan arus itu melajukan motornya dengan kecepatan seolah-olah mereka sedang melenggang di jalan yang mulus dan sepi, sambil mengklakson para pejalan kaki. Oh, tidak, tidak hanya itu. Mereka juga akan melotot sambil meraung-raungkan gas motornya, ke arah para pejalan kaki yang tak mau (dan memang tak harus) minggir (sebab: minggir ke mana lagi coba?). Seolah-olah, para pejalan kaki itu telah menyerobot dan menghalangi para pengendara motor yang sekali lagi tidak hanya menerobos sisa jalan tapi juga melawan arus itu!

Hari-hari belakangan ini, semua orang bicara tentang kemacetan Jakarta.

Ada yang menuding, ini salah perencanaan ("Quo Vadis" Jakarta? Ivan Hadar, Kompas, Rabu, 28/11/07), ada yang mengaku menderita akibat kemacetan tersebut sehingga mengajukan sejumlah saran perbaikan ("Transjakartaway", Jaya Suprana, ibid). Ada juga yang "sekedar" membuat semacam renungan filsafat (Kota Tanpa Spirit Kekotaan, Triyono Lukmantoro, Kompas, Kamis, 29/11). Sungguh aneh, atau sebenarnya tidak aneh, bahwa orang-orang berbicara mengenai problematika sebuah kota tanpa menengok dan mempertimbangkan penghuninya, dalam hal ini perilaku dan sikap mentalnya. Ini sebenarnya sama dengan ketika orang-orang tiba-tiba ramai membicarakan soal bullying, kekerasan di kalangan remaja, menyusul terungkapnya kasus penganiayaan seorang siswa SMU 34 oleh sebuah geng seniornya. Semua bicara tentang sistem pengajaran, kontrol guru-guru, tanggung jawab kepala sekolah dan banyak hal lagi namun tak sedikit pun memperhitungkan yang terlibat langsung, terutama pelakunya: datang dari keluarga seperti apa mereka, apa yang mereka lakukan sehari-harinya, bagaimana pergaulannya, apa musik favoritnya, dibesarkan dalam lingkungan seperti apa, buku apa yang mereka baca, ke mana mereka biasanya pergi dan apa yang mereka obrolkan ketika berkumpul? Jangan-jangan mereka itu ya anak-anak remaja "biasa", yang humoris, suka cekakak-kekikik --tapi, kenapa ("bisa memilih jalan kekerasan") seperti itu?

Kita terbiasa, atau kalau tidak malah selalu, melihat sebuah persoalan "dari atas", pada jarak tertentu, dengan berbagai teori hingga pada akhirnya justru menjauhkan dari inti masalahnya, dan hasilnya adalah sebuah kesimpulan umum yang abstrak, yang sama sekali melupakan akar persoalan dan hal-hal lain yang terkait langsung. Saya menduga, hal itu terjadi karena sebagian sangat besar (atau jangan-jangan semua) yang memiliki akses untuk bicara (menulis di --atau diwawancarai oleh-- Kompas misalnya) biasanya justru mereka yang berada di titik yang jauh dari apa yang mereka bicarakan. Apa, misalnya, makna kata "menderita" jika itu keluar dari seorang Jaya Suprana? Apakah dia setiap hari harus duduk, atau berdiri berdesakan, dalam metromini, kegerahan dan mandi keringat digencet kemacetan di antara mobil-mobil pribadi; atau, dia ada di balik kaca-kaca gelap mobil-mobil pribadi itu, duduk di belakang sopir di ruangan yang dingin, sibuk menelepon atau memangku laptop dan membalas email, setelah menghabiskan pop mie atau burger atau donat atau kentang goreng dan meneguk kopi dalam gelas plastik yang tadi dibelinya di Starbuck?

Kemacaten Jakarta, yang memuncak belakangan ini, adalah cermin paling jujur yang memantulkan bayangan paling asli dari sikap mental masyarakat bangsa ini (oke, maksudnya kota ini, Jakarta) yang egois, mau menang sendiri, tak peduli dengan orang lain dan tak mau tahu dengan keadaaan asalkan diri sendiri selamat, dan segala perasaan yang berakar pada "kepentingan pribadi jangan sampai dikalahkan oleh kepentingan bersama". Perasaan-perasaan seperti itulah yang antara lain, atau terutama, telah membuat proyek busway --yang sejak awal diadakan dengan maksud agar orang-orang meninggalkan mobil pribadinya untuk bersama-sama beralih ke angkutan umum sehingga volume kendaraan pribadi di jalan raya berkurang-- tidak sepenuhnya berhasil. Mereka, para pengendara mobil pribadi itu lebih suka berpikir sebaliknya: lebih baik macet tapi berada dalam mobil pribadi yang aman dan nyaman ketimbang lancar tapi harus bergabung dengan orang banyak yang nggak jelas dan belum tentu aman. Jadi, benarkah ada kata "menderita" yang disebabkan karena kemacetan sejauh itu keluar dari mulut orang-orang bermobil?

Dengan kata lain, kalau naik mobil saja mengaku menderita, terus yang berdesakan berpeluh dalam angkutan umum itu "harus" mengeluh apa, dong?

Inilah uniknya, atau tidak uniknya, bahwa mereka yang naik angkutan umum itu bahkan sama sekali tidak (pernah) mengeluh. Mereka tidak menulis opini di koran, atau surat pembaca atau marah-marah di blog (seperti saya hehehe). Mereka duduk diam, sesekali melongok ke jendela metromini dan menyaksikan bayangan orang di balik kaca gelap mobil mengilap sedang menikmati sarapannya sambil menyandarkan punggunya ke belakang, meluruskan kakinya dengan santai dan bicara di telepon. Mereka tidak mengumpat atau memaki kemacetan di luar, dan juga tidak membicarakannya dengan penumpang lain yang duduk di sebelah, karena mereka tahu masalahnya memang bukan pada angkutan yang mereka tumpangi, yang jumlahnya tak sampai sepersepuluh dari mobil pribadi yang berderet-deret sampai jauh ke belakang seolah tak berujung itu. Mereka tahu memang kemacetan itu tak bisa diapa-apakan lagi, atau bisa tapi tergantung pada "kemauan baik" para pemakai mobil pribadi itu untuk meninggalkan mobilnya di rumah, atau di halte busway terdekat, untuk bergabung dengan penggunana angkutan massal itu.

Dan, mereka tahu, tak ada, tak satu pun, yang mau melakukannya!

Sebenarnya ada, mungkin cukup banyak juga, tapi belakangan mereka yang sudah dengan hati mulia meninggalkan mobilnya di rumah untuk beralih ke busway itu kembali membawa mobilnya karena adanya kebijakan "baru" yang mengizinkan mobil pribadi masuk ke jalur busway tertentu. Sehingga, jalur busyway menjadi sama macetnya dengan jalur biasa, dan mereka yang sudah "mengalah" dengan meninggalkan mobilnya di rumah itu jadi berpikir, tak ada gunanya lagi beralih ke busway. Jadi, sekarang benar-benar tak ada pilihan: jalur biasa dan busway sama macetnya. Tuan-tuan, puan-puan, jadi percayalah, kemacetan ini soal sikap mental, baik masyarakat yang egois maupun aparat pemerintah yang bingung diombang-ambing suara para pengamat sehingga mengubah-ubah kebijakannya.

Dan, yang menderita karena macet tetaplah mereka yang berdesakan berpeluh di angkutan umum dan para pejalan kaki, dan bukan orang-orang bermobil.

5 Comments:

Blogger AM Putra said...

Beberapa penyebab Kota ini semakin macet: Jakarta direncanakan dengan sistem koridor. Katakanlah Jakarta dipetak-petak, hanya ada satu jalan yang benar-benar menghubungkan kedua petak itu. Jadi ketika terjadi peningkatan trafik, pengendara tidak memiliki pilihan lain/jalan alternatif untuk menuju ke tempat itu.

Kedua, semakin menggilanya pertumbuhan bangunan komersial real estate. Kita lihat bahwa rata-rata komplek bangunan mereka bisa memakan sekitar 5-10 hektar, penuh untuk mereka makan semua dengan bangunan tanpa menyisakan ruang publik atau jalan penghubung.

CMIIW, setidaknya itu dari sudut pandang arsitektur.

4:05 AM  
Blogger amethys said...

klo niatnya memang tinggal dikota kaya Jakarta, mengapa harus mengeluh dengan penderitaan seperti itu? "NIKMATI SAJA"

klo ga suka ya pindah aja..nyari kehidupan lain....gitu aja koq ngeluh

8:23 AM  
Anonymous Anonymous said...

sabar..sabar.. anggap aja sebagai terapi melatih kesabaran :)

12:31 AM  
Blogger Poison Ivy said...

ah, sepertinya kantor kita satu gedung. :)

3:31 AM  
Blogger Unknown said...

tory burch outlet
coach outlet store
oakley outlet store
adidas wings shoes
canada goose jackets
true religion outlet
coach outlet online
ray ban sunglasses
tory burch outlet online
nobis jacket
mizuno running shoes
beats by dre
cheap ray ban sunglasses
tods outlet
canada goose jackets
ghd uk
chanel handbags outlet
snapbacks wholesale
cheap nike shoes
michael kors uk
1126minko

1:13 AM  

Post a Comment

<< Home