pop | arts whatever

Thursday, August 16, 2007

Fashion, Seksualitas, Kelas

Kacamata berbingkai plastik warna putih, kalung manik-manik logam menjuntai panjang, dan rambut tampak-basah tegak mencuat ke langit sama sekali tak mampu menyembunyikan fakta bahwa lelaki itu sebenarnya sudah tak muda. Wajahnya yang hitam terlihat makin legam seiring malam yang semakin tua. Kilat keringat menerangi kerut-kerut ketuaannya. Duduk di beton pembatas antara jalur busway dengan jalur bus-bus reguler di Terminal Blok M, Jakarta Selatan, dia tampak sibuk dengan HP-nya seakan terpisah dari riuh dan bising di sekitarnya: tukang rokok dan gorengan, para penunggu bus dan orang-orang yang melintas.

Pada sisi lain beton pembatas yang terbentang memanjang itu, tampak pemandangan yang lebih "down to earth", kalau tak bisa dibilang kontras: lelaki muda bertubuh tinggi, kurus, berbalut kaos polo putih dengan tas selempang dan topi "skater". Jins-nya yang megar di ujung kaki membuat dia tampak seperti "mas-mas".

Saya duduk di antara dua "versi" penampakan itu. Waktu itu malam Minggu, menjelang pukul 22.00. Dengan frekuensi yang agak jarang, busway masih bemunculan dari jalurnya, melaju menuju Kota. Saya mencoba untuk tidak menarik perhatian dengan penampilan yang "ala kadarnya": celana bahan motif kotak-kotak kecil warna hijau, kaos biru bergambar lambang Superman warna merah di bagian dada, memakai sandal jepit dan menenteng tas plastik. Berusaha secuek mungkin, saya mulai menyulut sebatang Malboro filter kretek. Demi ilmu pengetahuan, bisik saya dalam hati dengan penuh kepalsuan.

Tak seberapa lama, seorang lelaki datang, duduk tepat di sebelah saya. Badannya agak besar, mengenakan kaos berwarna dasar kuning garis-garis coklat berkrah putih, tas selempang besar, dan merokok. Duduk sebentar, ia mulai bersenandung. Ngondek sekali. Seperti ada bara di tempat yang didudukinya, ia tampak begitu gelisah, lalu ngeloyor pergi. Saya pun kembali bergantian memperhatikan dua cowok yang duduk di sisi yang berbeda tadi, dan mendapati masing-masing sudah tak sendirian lagi.

Pada kubu si kacamata bingkai putih, terlihat antara lain seorang pria cukup berumur dengan kaos merah berlengan hitam yang kebesaran, sandal jepit, topi "Allstar". Sedangkan pada kubu si down to eart terlihat antara lain cowok muda dengan kaos donal bebek bersandal "Diadora". Awalnya tampak begitu manly tapi begitu bicara, ternyata agak-agak kemayu juga.

Berbaur di tengah ruang terbuka seramai dan "sekasar" terminal, memang membuat lelaki-lelaki itu tak mudah diidentifikasi sebagai anggota dari komunitas orang-orang dengan orientasi seksual tertentu. Apalagi, secara umum, penampakan fisik mereka cenderung tak jauh berbeda dengan lautan manusia lain di lokasi yang sama. Namun, dengan sedikit kepekaan saja, siapa pun yang cukup akrab atau sudah terbiasa dengan denyut kehidupan di area itu, akan dengan mudah mengindentifikasi mereka sebagai cowok-cowok gay. Masalahnya, siapa sebenarnya yang peduli dengan keberadaan mereka?

Di terminal, orang-orang hanya datang dan pergi, tak henti-henti, duduk lama atau pun sebentar di beton pembatas itu, merokok, makan gorengan, ngobrol, menelpon, menunggu bus, minum teh botol dan sebagainya. Hanya seorang seperti saya --yang berlagak sebagai peneliti, padahal sebenarnya punya pikiran-pikiran lain tersembunyi yang malu untuk diakui-- sajalah yang memperhatikan mereka dengan seksama. Ah, tapi sumpah, ini demi masa depan ilmu pengetahuan, pekik hati saya makin munafik.

Saya kembali memperhatikan dua kubu itu bergantian, dan masing-masing semakin ramai. Tiba-tiba tiga cowok datang, duduk tepat di sebelah saya dan mengalihkan perhatian saya dari kedua kubu itu. Dua di antara cowok yang baru datang itu masih brondong dan yang satu sudah agak lebih dewasa, cukup keren dengan kaos polo coklat yang mudah ditebak bermerk mahal. Kehadiran si kaos coklat ini segera menarik perhatian salah seorang anggota kubu down to eart. Dia, seorang lelaki berbadan bagus namun agak pendek, berkaos putih ketat bertuliskan "Spirit Bro" dan kunci mobil menyembul dari balik saku celana jins-nya, terdengar seperti bertanya pada diri sendiri, "Yang baju coklat itu sekong nggak sih?" sambil terus mencuri-curi pandang.

Yang dipandang dengan cara mencuri-curi agaknya sadar, dan mulai berlagak pasang sikap cool, tapi jatuhnya malah jadi tampak pongah dan kege-eran. Selanjutnya, kubu down to earth ini memang lebih banyak menyita perhatian saya, karena orang-orang baru terus berdatangan, bergabung. Salah seorang dari mereka, lelaki berumur yang mengenakan kaos hitam ber-resleting yang dipadu dengan celana 7/8, dengan gaya yang sangat kemayu. Datang-datang dia langsung menyarankan pada seorang tukang roti yang ada di situ untuk ikutan acara Dangdut Mania di TPI. Dari obrolan selanjutnya saya tahu dia kru acara tersebut. Dia mencatat nomer HP si tukang roti, seorang lelaki berkulit hitam, berambut agak ikal, berwajah cukup manis untuk ukuran mas-mas.

Selesai dari urusan tersebut, kru TPI itu meneriaki lelaki bertopi "Allstar" berkaos kedombrongan yang ada di kubu kacamata bingkai putih. "Hai, Mariance Mantau!" Dipanggil dengan nama artis tahun 80-an, dia segera menghampiri. Ikut pula menyeberang kubu bersamanya, seorang lelaki --ya, lagi-lagi berumur-- berpenampilan sangat jadul: topi yang dibalik ke belakang. Berkaos ketat garis-garis ungu dengan warna dasar putih, anting mungil menghiasi telinga kirinya.

Seperti sahabat yang lama tak saling berjumpa, mereka bertiga tenggelam dalam canda yang seru dan saling meledek. Sementara, si "Spirit Bro" masih juga penasaran dan mengincar si coklat yang sok-cool itu. Si kaos donal merespon dengan sengaja mengeras-ngeraskan suaranya, "Katanya pengen kenalan sama baju coklat?" Kru TPI ikut-ikutan menimpali, lalu berseru ke arah si coklat sok-cool. "Jangan didengarin, Mas, dia banci."

Si coklat menatap sekilas kubu itu, dengan kilatan sinar mata tak suka, bahkan seperti meremehkan. Seolah ia merasa terlalu keren untuk lelaki-lelaki yang sedang berusaha menggodanya itu, atau sebaliknya, ia sebenarnya juga cukup tertarik dengan si "Spriti Bro" yang sekali lagi harus diakui berbadan bagus. Masalahnya, siapa yang tahu kalau si coklat cool yang anggota rombongannya dua cowok berusia brondong bergaya punk itu juga gay?

Siapa saja bisa singgah di beton pembatas itu, dari pengamen yang meruapkan aroma badan tak sedap hingga serombongan lelaki berbahasa jawa timuran berkaos The Beatles, Che Guevara dan sebagainya yang mencomot tahu dan bakwan dan memakannya sambil berdiri di depan penggorengan. Dan, malam terus merambat, membuyarkan bayangan orang-orang yang bergegas. Busway terakhir baru saja lewat, tapi di jalur reguler, metromini masih berderet panjang sampai nanti jauh malam.

Seorang pria bertampang bapak muda yang sedang gundah, dari balik jendela kaca Kopaja jurusan Kampung Rambutan menatap heran ke arah si kacamata bingkai putih, yang kini tinggal berdua saja dengan seorang cowok muda berambut spike ekstrem, bercelana 3/4 dengan kemeja putih transparan yang bagian lengannya digulung tinggi memperlihatkan lengannya yang kurus.

Saya menoleh ke kubu down to earth, dan satu per satu juga mulai pergi. Seorang perempuan berbedak tebal, bertindik dua di telinga kanannya dan mengenakan kardigan tipis warna hijau tigapuluhribuan muncul begitu tiba-tiba, dan menyapa si tukang roti. Busway terakhir mungkin sudah menyusuri ujung terjauh Jalan Sudirman, tapi malam masih panjang di terminal itu. Karena setelah ada yang pergi, selalu ada yang lain yang baru saja memulai hari.