pop | arts whatever

Thursday, February 08, 2007

Menghidupkan Kembali Romantisme Jadul di Zaman-"Capek Deh"

Di tengah cuaca Jakarta yang masih dibayang-bayangi hujan dan ancaman banjir, saya berkesempatan menonton press screening film Badai Pasti Berlalu di Planet Hollywood. Mendung gelap sama sekali tak menyurutkan semangat wartawan untuk datang. Semua sudah tak sabar untuk menyaksikan hasil usaha sutradara Teddy Soeriaatmadja (Banyu Biru, Ruang) me-remake film Teguh Karya yang sangat populer pada 1970-an itu.

Sebagian di antara kami, para wartawan yang hadir siang itu, adalah generasi yang lahir pada paro kedua dasawarsa 70. Artinya, ketika film itu dirilis pertama kali dan meledak, kami belum tahu merah-hitamnya dunia. Namun, film itu memiliki gema yang sangat panjang. Album soundtrack film itu misalnya, terus diproduksi dan bahkan diaransemen ulang oleh Erwin Gutawa pada 2001 lalu.

Remake atas film itu sendiri tentu saja juga merupakan bagian dari gema panjang itu. Sekaligus, memperpanjang dan bahkan mungkin mengabadikan gema itu untuk terus melintasi perjalanan waktu. Agaknya memang sudah ditakdirkan, Badai Pasti Berlalu adalah ikon abadi dalam khasanah budaya pop di Indonesia. Kini, lewat kerja keras Teddy dan timnya, generasi saya yang belum sempat menyaksikan film itu, dan lebih-lebih generasi yang lebih muda, mendapatkan giliran untuk melihat langsung sumber suara itu, dan bukan hanya gemanya.

Sebagai sebuah karya daur-ulang, Badai Pasti Berlalu versi Teddy tak bisa menghindarkan diri dari semangat zaman ketika versi asli film itu dibuat. Setting lokasi, gaya berpakain dan aspek-aspek yang berkaitan dengan konteks situasi, tentu saja bisa diubah, digeser dan disesuikan dengan kekinian. Tapi, perasaan-perasaan, psikologi tokoh-tokoh dan feel keseluruhan film itu harus dipertahankan. Me-remake film tahun 1970-an, sampai batas tertentu, sama artinya dengan mengusung kembali romantisme jadul ke masa kini.

Dan, masa kini itu adalah zaman ketika anak-anak usia belasan tahun merupakan konsumen terbesar film Indonesia. Mereka adalah generasi yang moody, sedikit-sedikit merasa bete, sebentar-sebentar bilang "cuape de", dan cenderung menyederhanakan setiap pengalaman ke dalam ungkapan-ungkapan "basi!", "gak segitunya" dan "penting ya?" Saya kira, itulah tantangan terbesar yang akan dihadapi Badai Pasti Berlalu versi Teddy.

Nanti, setidaknya yang saya bayangan, ketika orang-orang dewasa sibuk membanding-mbandingkan akting Roy Martin dengan Vino Bastian sebagai Leo, penonton dari generasi-capek deh tadi hanya akan manggut-manggut karena mendapatkan pengetahuan sejarah: Ya, ya, ya...jadi cewek zaman dulu tuh begitu ya, kalau patah hati pergi menyendiri ke vila ortunya yang mewah di pinggir pantai di Bali, menghabiskan waktu sepanjang hari dengan membaca buku dan bermain ayunan di atas pasir.

Saya tidak tahu apakah kisah cinta yang dibangun dari estetisasi patah hati semacam itu akan cukup mengena di hati remaja sekarang. Yang jelas, menurut saya, sebagai karya yang diangkat dari novel pop (karya Marga T) dengan tokoh utama antara lain mahasiswa kedokteran tingkat akhir, film ini terlalu "dewasa" untuk penonton remaja. Itu kalau saya boleh berasumsi bahwa versi remake ini terutama --dan sudah semestinya-- ditujukan kepada penonton remaja.

Sutradaranya sendiri tidak secara eksplisit menyatakan bahwa karyanya tersebut untuk remaja. Ia menggunakan ungkapan --yang membuat saya tertawa-- "ramah untuk penonton Indonesia". Saya adalah bagian dari penonton Indonesia itu, dan sejujurnya, saya begitu menikmati Badai Pasti Berlalu hasil remake Teddy. Saya senang dengan printilan-printilan yang memikat: adegan ketika Slamet Rahardjo menyanyikan lagu Sabda Alam-nya Ismail Marzuki dan kemunculan sekilas Niniek L Karim.

Dan, sudah barang tentu, akting keren Winky Wiryawan sebagai penjahat halus yang flamboyan. Dalam konteks kekinian, kisah yang diangkat Badai Pasti Berlalu memang tak teramat istimewa. Namun, menurut saya tetap penting dan relevan, yakni kompleksitas hubungan-hubungan antarmanusia: antara lelaki dan perempuan, antara suami dan istri, antara orangtua dan anak, antarsaudara kandung, dan antarsahabat.

Film ini merangkum semua itu dalam jalinan-jalinan yang lembut, misterius dan tak jarang "kejam". Sebab, di dalamnya tak hanya ada ketulusan, niat baik dan kesetiaan, tapi juga penghinaan, pengkhianatan dan dendam. Perselingkuhan, misalnya, ditampilkan dengan begitu "manis" dan "alami" namun tetap terasa memedihkan. Orang-orang "jahat" digambarkan dengan demikian "elegan". Begitu pula dengan kesedihan dan derai air mata: cukup banyak tangis, tapi tak ada kecengengan. Sebuah drama kehidupan yang maskulin.