pop | arts whatever

Wednesday, January 10, 2007

Gila

Kapan tekahir Anda bertemu orang gila?

Keriuhan lalu lintas pertigaan Pasar Pondok Labu pagi itu terasa semakin chaos oleh teriakan seorang perempuan di satu sisi jalan. Ia terlihat mengalamatkan teriakannya itu dua lelaki berboncengan motor yang sedang lewat. Orang-orang pun mulai tersita perhatiannya, dan barangkali seperti saya, mereka langsung berpikir, ah, orang gila.
Saya terus memerhatikannya. Dia berbalik badan, menghampiri lapak koran, membeli Lampu Merah lalu. Sambil melangkah pelan ia membaca agak keras salah satu judul berita di halaman depan, seperti anak kecil yang sedang belajar mengeja kalimat kata per kata.

Ia menghampiri seorang perempuan muda berbusana kerja dan menanyakan sebuah kata dari judul berita yang baru saja diejanya. Yang ditanya tampak agak takut, menggeleng dan berusaha menghindari. Si gila berlalu, dan pindah ke lelaki muda bertubuh tinggi dan menanyakan kata yang sama. Reaksi yang didapat pun tak jauh beda. Saya segera menduga, si gila akan beralih ke saya, dan memang benar.

Tapi, ia tak benar-benar menginginkan jawabab dari pertanyaannya, terbukti sebelum pergi ia memencet hidung saya sedemikian rupa seolah-olah saya ini brondong imut yang menggemaskan. kebetulan hari itu saya mengenakan skinny jeans dan kaos agak ketat layaknya cowok-cowok belia yang hendak pergi ke pensi yang menampilkan The Upstairs. Padahal, oalah, kalau dia tahu berapa umur, dia pasti akan menyesal telah "memperlakukan saya dengan segemas itu".

Saya berusaha tak bereaksi berlebihan, kecuali spontan mengucapkan 'anjing', tanpa nada memaki. Sebelum berlalu, saya sempat mendengar si gila ngedumal, dan saya tiba-tiba memahami sesuatu. Rupanya dia telah kehilangan anak lelakinya, dan apa yang dilakukannya dengan memencet hidung saya tadi rupanya salah satu ekspresi untuk melampiaskan kerinduannya pada anak lelakinya yang dia bilang 'sudah nggak ada' itu.
Saya masih memperhatikannya sebelum ia benar-bnenar menjauh, dan kembali menyaksikan: perempuan itu mencolek anak lelaki yang berada di gendongan ayahnya. Lagi-lagi ia ngedumal panjang-pendek yang intinya menimang bocah kecil itu. Nadanya begitu iri, begitu rindu.

Sepanjang perjalanan (ke tempat kerja), saya tercenung-cenung memikirkan perempuan gila tadi. Penampilannya tak terlalu mencerminkan orang gila. Masih agak muda, badannya yang tergolong gemuk terbukung you can see dan lehernya berlilit kalung manik panjang yang mudah dijumpai di lapak-lapak Blok M.

Saya baru sadar, dia tadi memencet hidung saya begitu keras, sehingga sisa sakitnya masih terasa. Tapi, apa artinya rasa sakit ini dibandingkan dengan rasa kehilangan yang dialami perempuan itu? Berapa umur anaknya yang sudah tiada itu? Apakah anak itu hilang? Diculik orang? Meninggal? Seperti apa rasanya kehilangan anak yang dicintainya? Perempuan itu memang pantas gila, pikir saya. Ia punya alasan yang terlalu kuat untuk (menjadi) gila.

***

Dalam percakapan sehari-hari, orang gila sering dianggap sebagai orang yang menderita sakit jiwa. Saya kok sudah agak sejak lama ragu dengan anggapan atau teori seperti itu. Apalagi melihat kondisi Indonesia (alaaah!) yang makin ruwet belakangan ini. Menurut saya, orang-orang gila yang sering atau kadang kita jumpai di jalan itu belum se-sakit jiwa orang-orang yang selalu menjadi bahan berita di koran-koran dan TV. Untuk menjadi anggota DPR, ada yang bela-belain malsuin ijazah. Setelah jadi anggota DPR, eh ada yang merekam sendiri adegan seks yang dilakukannya dengan perempuan, dan kemudian beredar luas di masyarakat.

Apakah orang-orang seperti itu tidak lebih sakit jiwa ketimbang perempuan yang ngomong sendiri sepanjang jalan karena terpukul oleh rasa kehilangan yang besar dan tak tertanggungkan oleh jiwanya? Saya pasti nyinyir membandingkan orang gila di jalan dengan anggota DPR yang merekam sendiri adegan seks dengan pasangannya. Tapi, percayalah, di sekitar kita banyak sekali orang-orang yang lebih pantas disebut sakit jiwa ketimbang orang-orang yang kita pandang gila yang kita temui di jalanan.

Tidak seperti orang gila jalanan yang gembel, kumal, bau dan ngomong sendiri, orang-orang sakit jiwa di sekitar kita tampak begitu lumrah dan biasa saja. Penampilan mereka rapi, karirnya bagus, temannya banyak, wajahnya tampak selalu riang dan bahagia, pembawaannya ramah, baik hati, dan suka menolong. Pendek kata, kalau boleh meminjam terminologi yang biasa dipakai oleh orang beriman, mereka adalah hamba-hamba Allah yang paling diberkati hidupnya.

Tapi, tanpa sepengetahuan lingkaran pergaulannya, di rumah mereka menyiksa pembantunya. Di kantor suka menjegal rekan sekerja dengan cara memfitnah atau menjelek-jelekannya di depan bos. Hatinya sentosa kalau melihat temannya jatuh. Tertawa di saat temannya menderita dan puas kalau temannya mendapat kesulitan dalam hidupnya. Oh ya, ngomong-ngomong saya punya lho teman seperti ini.

Jangan salah. Dia teman yang sangat baik, hubungan kami sangat akrab dan kebersamaan dengannya merupakan saat-saat yang selalu menyenangkan, penuh inspirasi dan memperkaya wawasan serta memompa semangat hidup. Dengan kata lain, dia teman yang nyaris perfect. Tapi, ya itu tadi, teman seperti itu tidak menutup kemungkinan bahwa di balik semua yang tampak manis dan menyenangkan itu, dia ternyata dia seorang pengidap sakit jiwa kronis, yang tak jarang membuat saya repot dan jengel engkel engkel.

Teman saya itu bekerja di sebuah majalah, dan beberapa hari lalu dia mengirimi saya edisi terbaru ke alamat kantor. Sebelumnya dia sempat menelpon dan bertanya, Mu, kalau nanti di amplop gue tulis bahwa lu penulis masalah homoseksual, nggak papa kan? Dia memang suka bercanda, dan kadang saya malas menanggapinya. Saya kaget ketika kiriman majalah itu akhirnya datang, dan ternyata memang benar --setelah "Kepada: Mumu Aloha" ada tulisan dalam kurung "Penulis Masalah Homoseksual".

Saya tak habis pikir, apa sebenarnya maunya teman saya itu. Apa yang dia lakukan benar-benar bukan suatu kelaziman. Pernahkah Anda mengirim surat kepada teman atau siapapun dengan mengembel-embeli predikat atau profesi atau aktivitas yang bersangkutan? Buat apa coba? Saya anggap teman saya itu sudah keterluan karena dia hanya ingin agar orang sekantor saya (saya karyawan di situ) bahwa saya adalah orang yang dekat dengan dunia homoseksual.

Dia puas dan bahagia kalau saya kerepotan harus menjawab teman-teman saya yang mungkin gara-gara kiriman itu jadi bertanya, "Mas Mumu nulis soal homoseksual juga ya? Apa mas mumu gay juga?" Cukup sakit jiwa kan teman saya itu? Dan, itu bukan ulah pertama. Dulu, ketika masih berkantor di sebuah perusahaan dotcom terbesar, suatu hari saya melamar ke sebuah majalah gaya hidup.

Hari itu saya dipanggil untuk wawancara, dan sebagai salah satu yang terdekat, teman saya tadi termasuk orang pertama yang saya kasih tahu. Apa yang terjadi? Dia mengirim email ke sejumlah teman, intinya memberi kabar bahwa hari itu saya sedang wawancara kerja di sebuah majalah. Sejauh itu tentu tak ada masalah, dong. Ya, tentu, seandainya dia tidak men-cc email itu ke bos saya! Dampaknya memang tidak serius, misalnya saya dipecat karena ketahuan sedang mencari kerjaan di tempat lain. Saya cuma dipanggil, ditanya-tanyain, tapi itu sudah cukup merepotkan, dan sangat menjengkelkan, bukan?

Bentuk lain dari sakit jiwa-nya teman saya itu adalah terobsesi dengan citra diri (sebagai teman) yang baik. Ya, kira-kira begitulah, meskipun menurut saya pasti lebih kompleks daripada itu kalau ditilik dari teori psikologi. yang jelas, gara-gara obsesinya untuk dianggap baik itu, dia jadi sering pura-pura dan bohong. Misalnya begini. Suatu kali dia bercerita bahwa dia sedang mengerjakan penulisan buku biografi seorang tokoh terkenal. Berbulan-bulan setiap kami bertemu, dia selalu cerita soal itu, bagaimana suka dukanya, prosesnya, sudah sampai di mana bla bla bla.
Tapi, lama-lama ceritanya itu menguap tak tersisa, tak ada endingnya, dan ternyata dia memang tak sedang mengerjakan proyek apa-apa. Lagi: ia bercerita dapat dana penelitian yang besar dari sebuah funding, dan bingung mau digunakan untuk apa. Belakangan saya tahu, dia bohong. Dia juga selalu mengaku kenal si A si B, si C, ketemua si X di acara ini, berdiskusi seru dengan si Y tentang film anu, pernah pacaran dengan si Z bla bla bla. Tapi, semua itu hanya isapan jempol.

Modus lainnya lagi. Dia suka menawari saya untuk mewawancarai seseorang untuk majalahnya. Tapi, kalau saya sudah bilang iya, dia akan plintat-plintut, yang katanya si narasumber belum masih sibuklah, inilah-itulah. Dan, tawaran itu tak berlanjut sampai kemudian saya lihat si narasumber sudah nongkrong di majalah --dia sendiri yang mewawancarai. Saya tahu, dia hanya ingin tampak sebagai teman yang "suka bagi-bagi proyek sama teman", seolah-olah itu akan mengantarkannya memperoleh penghargaan dari Freedom Institute.

Jadi, kapan terakhir Anda bertemu orang gila?

Saya bahkan berteman baik dengan orang seperti itu, bertahun-tahun, sampai hari ini. Jangan-jangan Anda juga.