pop | arts whatever

Monday, December 25, 2006

Bulan-bulanan

Anak-anak, hari ini pelajaran Bahasa Indonesia kita sampai pada bab tentang kata ulang. Pada dasarnya, pengulangan kata dimaksudkan untuk memberi makna lain pada kata itu. Misalnya, kata kucing, kalau diulang maknanya menjadi banyak kucing. Tapi, di samping soal makna, kita juga mengenal adanya jenis-jenis kata ulang yang berbeda. Kembali ke contoh kucing tadi, kalau diulang menjadi kucing-kucing, maka tergolong ke dalam jenis kata ulang penuh. Jenis lainnya adalah kata ulang berimbuhan. Misalnya, kucing-kucingan. Maknanya menjadi lain, bukan banyak kucing tapi bisa berati kucing mainan, atau nama sebuah permainan anak-anak. Mungkinkah ada makna lain lagi? Mungkin saja, misalnya pada kalimat: Polisi dan penjahat kucing-kucingan. Dengan kata lain, selain bermakna denotatif, kata ulang juga bisa bermakna konotatif.

Sekarang, untuk latihan, coba buatlah kalimat dengan kata ulang berimbuhan dari kata dasar bulan. Pertama, tentukan dulu kata ulangnya. Iya betul, bulan-bulanan. Nah, sekarang masukkan kata itu ke dalam sebuah kalimat agar maknanya menjadi jelas. Mungkin di antara kalian nanti ada yang membuat kalimat seperti ini: Adikku gemar membuat bulan-bulanan dari bola plastik yang digantungkan di langit-langit kamar. Dalam kalimat itu, apa makna bulan-bulanan? Iya betul, artinya bulan mainan atau sesuatu yang dianggap mirip bulan. Tapi, mungkin juga di antara kalian ada yang membuat kalimat seperti ini: Kaum gay dan lesbian sering menjadi bulan-bulanan sinetron bertema reliji di televisi.

Dalam kalimat tersebut, makna bulan-bulanan tentu saja berbeda dari kalimat pertama tadi. Sebelumnya, ada yang tahu, kata bulan-bulanan dalam kalimat itu bermakna denotatif atau konotatif? Iya, betul sekali. Setelah mengetahui sifat maknanya, sekarang siapa yang tahu apa yang dimaksud dengan kata tersebut? Saya mendengar sayup-sayup di belakang ada yang menjawab: menjadi bahan olok-olokan. Ya, itu bisa, ditampung dulu jawabannya. Ada yang berpendapat lain? Barusan dari sudut sana saya mendengar ada yang berbisik-bisik, menyebutkan bahwa bulan-bulanan dalam kalimat itu artinya dipermainkan. Jawaban yang bagus. Baiklah, dari dua jawaban tadi, kita sudah cukup mendapat gambaran tentang makna kata ulang berimbuhan bulan-bulanan dalam kalimat tersebut. Lalu, setelah kita tahu maknanya, apa implikasi atau akibat lebih jauh dari itu?

Kalau kaum gay dan lesbian menjadi bahan olok-olokan atau dipermainkan oleh sinetron bertema relijius yang belakangan marak di televisi, maka kita bisa mengatakan bahwa para pembuat sinetron itu seperti anak-anak yang mendapatkan mainan baru. Di mana, mainan baru itu demikian besar memberi kegembiraan kepada mereka sehingga kita bisa melihat betapa seringnya mereka mengangkat cerita tentang hukuman atau kutukan berupa malapetaka yang menimpa seorang gay atau lesbian. Umumnya kita saksikan malapetaka itu berujung pada kematian. Penyebabnya bisa macam-macam, kadang penyakit HIV/AIDS, kadang siksaan dari orangtua si gay atau lesbian itu sendiri. Yang jelas, pesan moral dari semua itu tegas bahwa Tuhan membenci kaum gay dan lesbian. Dengan pesan yang ingin ditanamkan kepada penonton semacam itu, maka kegembiraan macam apa sebenarnya yang kemudian didapat oleh para pembuat sinetron yang diklaim sebagai tayangan relijius itu?

Apa pula yang didapat oleh penonton jika pesan tadi kemudian benar-benar tertanam di benak mereka? Mungkin, sebagian dari penonton yang kritis lama-lama akan tertegun dan berpikir: Seandainya Tuhan bisa dilihat, pasti akan tampak menyedihkan karena dia membenci makluk ciptaannya sendiri. Tapi, menurut saya, lebih banyak yang menelan mentah-mentah tontonan yang menjadikan kaum gay dan lesbian sebagai bulan-bulanan itu, tanpa mengunyahnya dan langsung memasukkannya ke dalam otak sebagai semacam indoktrinasi yang membenarkan atau memperkuat "kebenaran" yang sebelumnya telah mereka yakini. Bahwa, kaum gay dan lesbian memang makluk yang terkutuk. Mereka layak mati dengan menggenaskan, kalau perlu dari mulutnya keluar darah, atau sekujur tubuhnya dirubung belatung, entah apapun sebabnya dan tak peduli bagaimana logikanya bisa seperti itu.

Mereka -sebagian besar penonton itu- lama-lama akan lupa bahwa siapun kaum gay dan lesbian itu, mereka tak pernah merugikan siapa-siapa, tak pernah meminta ongkos sosial apa-apa, tidak seperti kaum koruptor yang jelas-jelas merongrong keuangan negara dan merugikan sebesar-besar usaha memakmurkan rakyat. Mereka lama-lama juga akan lupa bahwa gay dan lesbian itu manusia biasa saja, tak ubahnya seperti diri mereka, yang sehari-hari hidup saling berdampingan dalam pergaulan sosial; beribadah di satu masjid atau gereja dengan mereka, atau bahkan tetangga terdekat mereka, guru ngaji anak-anak mereka, anak buah yang paling potensial di kantor, atau bahkan mungkin anak kandung mereka sendiri! Hingga pada suatu titik, tanpa mereka sadari, para gay dan lesbian yang terkutuk di sinetron reliji itu telah membuat mereka hidup dalam dunia pelarian, sebuah dunia di mana mereka menjadi orang-orang yang lebih suci, lebih tidak berdosa, lebih berhak masuk surga, karena segala kutuk dan siksa hanya untuk para gay dan lesbian.

Sekarang kita tahu, mengapa sinetron seperti itu terus dibuat, dengan cerita yang sebenarnya sama, hanya nama-nama tokoh dan latar yang berbeda. Tak lain dan tak bukan, karena hampir semua manusia penghuni negeri ini sudah sedemikian frustrasi dengan berbagai persoalan dan krisis yang membelit mereka sehingga harus ada satu kelompok yang secara kolektif diangkat dan diabadikan sebagai simbol keburukan, agar kelompok lain -mereka sendiri- bisa merasa lebih baik. Nah, anak-anak, sekian dulu pembahasan mengenai kata ulang. Maaf kalau dari contoh kalimat yang menggunakan kata ulang bulan-bulanan tadi, saya jadi bicara ke mana-mana, berpanjang lebar, dan agak emosional. Selamat siang.