pop | arts whatever

Thursday, December 21, 2006

Tahi FFI

Waktu Jiffest kemarin, saya duduk bersebelahan dengan seorang anak SMP ketika nonton film Foto Kotak dan Jendela. Saya gembira ketemu anak sebelia itu yang sangat fasih ngobrol soal film Indonesia. Dia mengaku film favoritnya sampai sekarang adalah Catatan Akhir Sekolah. "Kalau Ekskul gimana?" saya mencoba memancing karena tiba-tiba teringat bahwa film tersebut belakangan menghebohkan milis Dunia-Film karena masuk nominasi film terbaik FFI 2006.

"Ih, enggak banget. Masak ampe digantung-gantung gitu. Lagian, cuman ngatasin anak SMU gitu aja polisinya ampe sebanyak itu, yang bener aja."

Kalau Anda sudah menonton Ekskul, Anda paham komentar anak SMP tersebut.

Semalam, peraih Anugerah Piala Citra FFI 2006 diumumkan. Saya tidak tahu apakah anak SMP yang saya ceritakan itu menonton siaran langsungnya di Indosiar. Dan, kalau menonton, pasti menarik mendengar komentarnya. Tapi, komentar pertama yang saya dapat datang dari seorang teman yang saya kenal sebagai penonton film Indonesia yang getol. Dia bilang lewat SMS: All thats winner should be surprising. Anyone but Eric Sasono, of course." Dia menyebut nama pememang kritikus terbaik.

Pagi ini, saya langsung buka milis Dunia-Film begitu sampai di kantor. Saya berharap sudah ada komentar yang masuk mengenai FFI 2006. Benar saja.
Kementerian Desain RI yang dipimpin Aditya Mulya mem-posting pernyataan "turut berduka cita atas kemenangan film terbaik FFI 2006".

Karena nyaris tak ada tanggapan yang berarti, saya pun pindah dan membuka www.layaperak.com untuk melihat kembali rewiew saya atas film Ekskul yang saya tulis kala itu.

Di luar dugaan, saya menemukan pernyataan duka cita juga "atas pilihan para juri untuk film terbaik di FFI 2006. Dukung perfilman Indonesia, bersihkan dari segelintir pion-pion oportunis. FFI hanya sebuah Extra Kurikuler."

Saya kemudian memasang status di YM saya, yang mengungkapkan sikap saya atas FFI 2006. Saya berharap ada teman yang tergelitik untuk mengomentarinya. Feedback pertama saya dapat dari mantan kolega saya di detikcom.

"Menurut gw mas, ekskul itu kan keluaran indika, taun lalu kan indika ngamuk2 tuh karena detik terakhir ngga menang, mungkin jurinya gini kali "udah, jangan marah, taun depan gw menangin deh."

Saya yang kuper ini pun dengan naif bertanya, "Bos indika siapa? Orang berpengaruh gak?"

"Iya laah, Shanker gitu."

Dia menyambung, "Multivision dapet buat heart, Alenie dapet buat denias, indika dapet best picture, "udeh, adil yeee, jangan pada protes lagi, udah rata neh," ujar salah seorang juri FFI yang enggan disebut namanya."

"Para juri dan Ketua parfi dapet amplop," tambah saya.
"Amplop ngga muat kali mas, brankas."

Tak lama kemudian, teman saya yang lain, editor sebuah majalah (gratisan) film mengomentari status YM saya, "FFI udah gila mu. Jurinya buta kali ye. udah berbagi suami gak masuk, eh yang memang malah ekskul. Kalau mereka mau gembosin Berbagi Suami karena isu poligami dengan Denias sih gue masih bisa "terima" deh, tp Eskul gitu lhoooo."

Saya sudah kehabisan kata-kata. Tiba-tiba teman saya yang lain lagi nyelonong dengan messege: ada FFI to? baru denger! Untuk pertama kalinya sejak semalam, saya bisa tertawa!

Saya tidak bisa brosing untuk menemukan artikel saya di laparperak karena halamannya diganti dengan pernyataan duka cita itu. Akhirnya saya search di google dan saya temukan. Ini dia review saya kala itu.

Ekskul: Ilham dari Colorado

Di zaman “Ari Hanggara” dulu, klaim “berdasarkan kisah nyata” yang ditempelkan pada sebuah film sudah cukup menjadi daya tarik dan daya jual yang kuat. Namun, jika sampai pada zaman Tengku Firmasyah-bikin-film sekarang ini, masih ada produser yang jualan filmnya dengan mengandalkan stempel “diilhami kejadian nyata”, sumpah, itu sesuatu yang norak. Dan, Anda tahu, kejadian nyata apa yang telah mengilhami film Ekskul karya Nayato Fio Nuala? Saya nyaris terjengkang dari tempat duduk dan nyungsep di kolong beberapa menit setelah film berjalan, dan mulai tahu bahwa kejadian itu tak lain penembakan di SMU Columbine, Colorado, AS pada 1998 yang telah difilmkan oleh Gus Van Sant.

Sudah barang tentu saya tidak akan menghina Pak Van Sant dengan membandingkan Elephant dengan Ekskul. Dan, meskipun diilhami oleh kejadian yang sama, keduanya jelas tidak bisa dibandingkan karena memang sangat tidak sebanding. Film Elephant yang memenangi Palem Emas Cannes (tahun berapa ya?) tidak diembel-embeli “based on true event” tapi sungguh terasa begitu nyata. Sedangkan Ekskul tak ubahnya omong kosong belaka. Elephant film yang sangat dingin dan nyaris tak bercerita apa-apa, tapi membuat kita berdecak-decak kagum. Sedangkan…ah, sudahlah, saya tak mau bilang bahwa Ekskul film yang sangat gegap-gempita dan banyak bercerita, tapi tak memberi kita apa-apa, tak meninggalkan kesan apa-apa.

Joshua (Ramon Y Tungka) dikisahkan sebagai remaja yang tertekan baik di sekolah maupun di rumah. Sebagai pelampiasan, ia menyandera enam teman sekolahnya dengan pistol. Kejadian itu mendapat liputan besar-besaran dari media massa dan polisi pun turun tangan. Sepanjang adegan penyanderaan itu, penonton beberapa kali diajak mengilas balik, menelusi penyebab Joshua bisa melakukan tindakan nekat yang cenderung kriminal itu. Namun, sejak adegan kilas balik pertama ditampilkan, saya jadi tahu bahwa teknik ini sengaja dipilih agar segalanya menjadi gampang. Misalnya begini. Untuk meyakinkan penonton bahwa Joshua mengalami tekanan di sekolahnya, cukup dengan menampilkan adegan kilas yang menggambarkan ia tiba-tiba disambangi tiga seniornya, lalu diangkat ramai-ramai dan digantung.

Untuk meyakinkan penonton bahwa di sekolah Joshua selalu menjadi bahan hinaan, maka ditampilkanlah kilas balik singkat di mana ia dikerubuti siswa satu sekolah yang semuanya sedang tertawa. Lalu, untuk meyakinkan penonton bahwa Joshua juga mengalami tekanan dalam keluarga, ini dia salah satu yang digambarkan dalam adegan kilas baliknya: ketika makan malam bersama papa dan mamanya, Joshua hendak buru-buru meninggalkan meja makan, tapi papanya membentak keras dan garang meminta dia untuk menghabiskan dulu makanannya. Joshua bilang tidak lapar. Sang Papa makin meradang dan menampar anaknya. Penonton pun mengangguk-angguk paham: O, jadi cuma soal anak yang susah makan toh, kenapa nggak disuruh minum vitamin penambah nafsu makan saja. Masak, gitu aja kok merasa tertekan, lalu secara sembunyi-sembunyi membeli pistol dan menyandera teman sekolahnya. Plis deh, Josh!

Duapuluh lima juta pelajar di Indonesia menunggu film ini, demikian Ekskul mengklaim. Jika ini benar, berapa dari jumlah itu yang akan bisa dibuat percaya bahwa Joshua memang anak yang bermasalah sangat berat? Bahwa ia, seperti pengakuannya sendiri, sakit (jiwa)? Dua kali adegan percakapan Joshua dengan seorang psikiater sama sekali tak memberi kita informasi apa-apa tentang sakit jiwanya Joshua. Dan, semua dialog yang terhampar dalam film ini juga sama sekali tak menjelaskan apa-apa tentang Joshua, selain perdebatan-perdebatan yang tidak bermutu. Simak percakapan Joshua dengan guru BP. Sang Guru mempersoalkan Joshua yang ke sekolah membawa pisau. Menurut guru BP, pisau itu senjata. Tapi, sampai diulang dua kali, Joshua ngotot bahwa pisau bukan senjata. Pak Penulis Skenario, pernah nonton tayangan Fokus, Buser dan sejenisnya nggak sih? Dalam acara-acara itu, “sajam” termasuk kata yang paling sering disebut, dan kata itu kependekan dari “senjata tajam”, yang di dalamnya termasuk pisau. Plis deh, Pak bikin tokoh yang agak pinter dikit napa, biar kalau ada adegan berdebat tidak membuat penonton seperti habis digebuki saking capeknya.

Selain tampak bodoh, Joshua tak lebih dari karakter yang dibikin sok-aneh. Sakit(jiwa)nya Joshua misalnya, hanya diterjemahkan dengan perilakunya mencuri kalung, lipstik dan kaos kaki dari loker cewek yang disukainya. Dan, tokoh-tokoh lainnya pun tak kalah menyedihkan. Saya melihat banyak karakter yang seolah-olah tersesat di film ini, sebab mestinya mereka ada di dalam sinetron, misalnya tokoh kepala sekolah, beberapa teman sekolah Joshua yang tampil sepintas-sepintas lalu, dan kedua orangtua Joshua. Bahkan, dalam sinetron pun saya sudah tak pernah lagi mendengar ada tokoh yang berdialog dengan kalimat “dasar anak tak tahu diuntung”, seperti yang diucapkan oleh mama Joshua. Puncak dari ketakjelasan karakterisasi dalam Ekskul ada pada salah satu tokoh perempuan teman sekolah Joshua. Dia di kisahkan selalu mengikuti Joshua dan merasa punya kesamaan kejiwaan.

Dan, ternyata oh ternyata, dia ini anak dari kapten polisi yang memimpin operasi pembebasan sandera Joshua. Tapi, semua itu tak ada artinya karena tokoh tersebut ternyata tak punya peran apapun sampai akhir cerita, selain ditampilkan sekali-sekali, dibikin-bikin sok misterius.

Dari awal sampai akhir, gerak kamera menghasilkan gambar-gambar yang membuat mata sakit. Setiap adegan ditampilkan dalam pencahayaan yang gelap, seolah-olah orang-orang dalam film ini hidup di sebuah kota yang harinya selalu malam. Persis seperti yang terlihat dalam garapan pertama Nayato, “The Soul” (2003). Ilustasi musik tak banyak membantu. Pada adegan yang maunya menegangkan, musiknya terasa sangat berisik, dan pada adegan yang maunya sedih, musiknya terkesan bombastis. Pendek kata, film ini membosankan, dengan klimaks pada adegan ketika Joshua akhirnya mau bicara dengan papa dan mamanya lewat HT. Joshua menangis-nangis, demikian pula papa dan mamanya sehingga sebagian dari apa yang mereka bicarakan tak tertangkap dengan jelas. Satu-satunya yang membuat saya betah bertahan menonton film ini sampai akhir adalah pemeran salah satu dari tiga cowok yang disandera Joshua yang tampangnya lucu banget.

2 Comments:

Blogger oakleyses said...

louis vuitton outlet, oakley sunglasses, michael kors handbags, cheap jordans, prada handbags, uggs outlet, michael kors outlet, oakley sunglasses, uggs on sale, ray ban sunglasses, burberry outlet, tiffany jewelry, uggs on sale, kate spade, gucci handbags, ray ban sunglasses, prada outlet, longchamp outlet, louboutin uk, burberry factory outlet, tory burch outlet, nike air max, tiffany jewelry, christian louboutin, louboutin shoes, oakley sunglasses, cheap oakley sunglasses, chanel handbags, michael kors outlet store, louis vuitton outlet, nike outlet, ralph lauren polo, louis vuitton, christian louboutin, michael kors outlet online, longchamp outlet, uggs outlet, michael kors outlet online, nike air max, longchamp bags, replica watches, ralph lauren outlet, oakley sunglasses, ray ban sunglasses, louis vuitton outlet online, nike free, michael kors

6:57 PM  
Blogger John said...

michael kors outlet
ray ban sunglasses outlet
prada outlet
michael kors outlet online
north face jacket
ugg boots outlet
ugg australia
coach factory outlet
michaek kors handbags
nike trainers
replica watches for sale
michael kors outlet
ugg boots
toms shoes
coach outlet store online
ray ban sunglasses outlet
cheap uggs
uggs outlet
michael kors outlet stores
ugg boots for men
cheap uggs
true religion outlet
ralph lauren uk
coach outlet online
jordan shoes
uggs outlet
michael kors outlet online
christian louboutin outlet
marc jacobs
michael kors handbags
coach outlet store online
kate spade handbags
lebron 12
beats by dre
christian louboutin
oakley sunglasses
tory burch shoes
vans shoes
rolex watches outlet
oakley sunglasses
20151225yuanyuan

7:09 PM  

Post a Comment

<< Home