pop | arts whatever

Monday, January 22, 2007

Dekonstruksi

Mantan Putri Indonesia Artika Sari Dewi, yang belum lama ini dinobatkan sebagai aktris terbaik Festival Film Asia Pasific, dikomentari "cantik sekali" oleh pelawak Thukul. Tentu itu hal biasa. Yang tidak biasa adalah pertanyaan susulannya, "Kenapa kamu nggak jadi kenek angkot aja?"

Thukul tidak sedang melawak bersama Srimulat. Ia sedang membawakan acara Empat Mata di Trans7 --perubahan nama dari TV7 setelah bergabung dengan Trans TV. Belum pernah acara talkshow televisi di Indonesia mendapat sambutan yang sedemikian luas layaknya Empat Mata. Sambutan luas yang saya maksud tercermin dari populernya idiom-idiom yang digunakan oleh Thukul di tengah-tengah masyarakat belakangan ini.

Dimana-mana orang mengatakan "kembali ke laptop", "puas? puas?", "ndeso kamu!" dan "katro!" yang selalu diucapkan Thukul selama membawakan acara (dari Senin-Kamis, pukul 10.00 wib). Ungkapan-ungkapan itulah yang kemudian menjadi daya tarik utama sekaligus nilai jual Empat Mata, di samping tentu saja spontanitas Thukul yang khas.

Tentang "Kembali ke laptop"
Dalam membawakan acaranya, Thukul dipandu dengan laptop. Tim acara tersebut menyusun daftar pertanyaan, lengkap dengan detail-detail petunjuk, kapan Thukul harus memanggil narasumber berikutnya dan seterusnya. Di sela-sela itu, Thukul mengembangkan interaksi dengan penonton yang ada di studio. Setiap jawaban narasumber ia komentari, dan setiap gemuruh tawa dan sorak-sorai penonton ia respon sehingga tercipta sebuah pertunjukan live yang hangat, akrab dan riuh. Dan, setiap selesai dengan interaksi spontan yang ngalor-ngidul itu, Thukul akan berkata, sambil memberi komando penonton untuk menirukan bersama-sama, "kembali ke laptop", sebelum ia membacakan pertanyaan berikutnya kepada narasumber. kepada narasumber.

Tentang "Puas? puas?"
Selain menjual "kebodohan" Thukul yang seolah-olah tak bisa ngapa-ngapain tanpa laptop itu, Empat Mata juga mengandalkan "keburukrupaan" fisik Thukul sebagai sumber eksplorasi bahan lelucon. Acara ini dimeriahkan oleh sebuah band pengiring, yang seolah-olah bermain di sebuah bar, lengkap dengan pelayan-pelayan yang cantik. Salah seorang personel band dan pelayan-pelayan itu dilibatkan secara aktif untuk sesekali mengeluarkan celetukan-celetukan yang mengejek, menghina dan mengomentari keburukan Thukul. Semua itu akan direspon oleh Thukul dengan mengakui bahwa dirinya memang jelek, dan kemudian dia akan lebih menegaskannya lagi dengan menyebutkan keburukan-keburukannya yang lain, sehingga penonton akan tertawa dan bersorak, dan Thukul pun berseru ke arah mereka, "Puas? puas?" dengan nada dan ekspresi ornag marah dan kesal.

Tentang "Ndeso kamu!"
Selama acara berlangsung, penonton dikondisikan untuk selalu merespon apapun yang dikatakan dan dilakukan Thukul, sehingga memungkinkan dia untuk memberi respon balik. Misalnya, Thukul memuji kecantikan narasumber, penonton akan bergemuruh, dan Thukul pun akan beralih ke arah penonton dan mengatakan, "Ndeso kamu, belum pernah liat orang cantik." Tak jarang celaan seperti itu seolah ditujukan kepada individu penonton tertentu yang dia tunjuk secara khusus. Kadang-kadang kata "ndeso" itu dia tujukan pada dirinya sendiri, misalnya ketika ia kesal karena dihina-hina sebagai orang jelek, lalu dengan sedih dan putus asa dia mengatakan, "Aku emang wong ndeso."

Tentang "Katro!"
Ketika menampilkan narasumber artis muda Dimas Beck, Thukul berlagak menanyai dengan Bahasa Inggris, tapi yang ditanya justru menjawab dengan Bahasa Jawa. Thukul tertawa geli dan seolah memberi tahu penonton dia berkata, "Cakep-cakep ternyata katro!"

Belum pernah terjadi sebelumnya, dalam sebuah talkshow televisi, narasumber dipermainkan, dihina dan direndahkan seperti terlihat dalam Empat Mata. Thukul tak segan-segan mencela narasumbernya, dan sebaliknya sang narasumber pun kadang membalas. Hal itu biasanya berawal dengan pertanyaan Thukul yang ngaco, seperti yang ia tujukan pada Artika tadi, dan dijawab oleh sang narasumber dengan sekenanya pula. Jawaban itu membuat Thukul marah dan mengomentari dengan nada mencela.

Apa yang disebut talkshow, yang selama ini bercitra angker, penting dan harus cerdas, dijungkirkan oleh Thukul menjadi acara yang sepenuhnya bercanda dan sepele. Artis-artis itu dihadirkan untuk ditanyai hal-hal yang remeh-temeh, main-main dan tidak serius. Sering pertanyaan yang diajukan justru lebih bertujuan untuk memuji dan menaikkan harkat pembawa acaranya sendiri, ketimbang dimaksudkan untuk memperoleh jawaban. Lewat pertanyaan-pernyataan yang diajukan, Thukul menempatkan dirinya sebagai sosok yang berada di atas narasumbernya. Dan, semua itu diungkapkan dengan konteks dan nada yang sepenuhnya bercanda.

Dengan terminologi yang seram, namun tak kalah bercanda, bisa dikatakan bahwa diam-diam Thukul sedang mendekonstruksi talkshow, sekaligus mendekonstruksi sebuah kalangan yang selama ini dengan penuh gegap-gempita dijuliki selebriti. Tampil di Empat Mata tidak membuat mereka tampak hebat -seperti ketika mereka tampil di acara talkshow lain pada umumnya, atau di infotainment- karena di sini tak ada kesempatan untuk, misalnya, mengklarifikasi gosip terbaru yang sedang merundung mereka. Sebaliknya, di Empat Mata mereka dihadirkan untuk dicela dan ditertawakan, oleh seorang pembawa acara yang dicitrakan sebagai orang bodoh yang bahkan tak berdaya tanpa laptop.

Sukses Empat Mata dari seminggu sekali di zaman TV7 hingga seminggu 4 kali setelah menjadi Trans7, dengan iklan yang makin berdesakan, tak pelak adalah kisah sukses Thukul sebagai pelawak. Televisi telah cukup banyak melahirkan pelawak-pelawak yang sukses tanpa grup: Ulfa, Komeng, Taufik Savalas. Tapi, Thukul agak berbeda dengan mereka. Pada awal kemunculannya, ia tak pernah benar-benar single fighter, tapi juga tak pernah benar-benar dianggap anggota grup tertentu. Di Srimulat, ia bukan anggota tetap yang selalu muncul. Ia mungkin lebih dikenal dalam kolaborasinya dengan individu-individu pelawak yang lain, atau dalam penampilannya di luar panggung lawak: model video klip, pembawa acara panggung dangdut, dan belakangan sinetron "illahi-illahian" (biasanya berperan sebagai orang miskin yang menderita tapi jujur, sehingga akhirnya mendapatkan harta dan hidup bahagia).

Sebagai pelawak, yang khas dari Thukul adalah gaya sok perlentenya, yang agaknya diadopsi dari seniornya di Srimulat, Triman. Thukul selalu tampil necis, sok ganteng, mengaku dirinya cover boy, memperkenalkan diri bernama Reynaldi yang diucapkan dengan artikulasi tertentu, atau setidaknya menganggap dirinya mirip Ari wibowo. Gaya ini terus-menerus diperlihatkannya dalam setiap kesempatan melawak, sehingga lama-lama melekat dan menjadi trade mark dirinya. Setiap ia muncul, penonton akan menunggu saat ia memperkenalkan dirinya sebagai Reyanaldi sambil mengelus rambutnya yang sudah klimis. Inilah resep lawakan tradisional yang terbukti ampuh: mengulang-ulang perkataan dan perilaku tertentu sampai melekat dan menjadi bagian tak terpisahkan darinya.

Gepeng, Asmuni, Timbul dan para pelawak Srimulat lainnya sukses dengan pendekatan seperti itu. Dari Asmuni, misalnya, kita mendapatkan idiom plesetan "hil yang mustahal", dan dari Timbul kita selalu menunggu saat ia mengucapkan "maka dari itu..." lalu terdiam lama, atau ucapan "makbedunduk". Penonton bukannya bosan tapi justru, ya itu tadi, menunggu kapan ungkapan itu keluar. Para pelawak modern di Ekstravaganza (acara panggung komedi yang sukses di Trans TV) sedikit-banyak menerapkan pendekatan itu, dan lahirlah karakter-karakter yang cukup kuat, seperti Tora Sudiro dan, terutama, Indra Birowo.

Thukul adalah kasus yang istimewa. Sebelum sukses di Empat Mata, ia telah memperkenalkan banyak idiom yang kemudian sangat populer di masyarakat, seperti "sobek-sobek mulutmu!" dan gaya bertepuk tangan dengan posisi dan gerak tangan vertikal. Ketika pertama kali menonton acara empat mata, sampai beberapa episode kemudian, saya agak sinis dan menganggap acara itu hanya mengeksploitasi kebodohan. Dan, sampai batas tertentu itu memang bisa dibenarkan sebab konsep acara itu sendiri memang sengaja memanfaatkan keawaman Thukul (sekaligus citra dirinya sebagai pelawak bodoh yang memiliki kemauan belajar tinggi).

Lama-kelamaan saya mulai berubah pikiran. Maksud saya, ada sesuatu yang lebih dari sekedar jualan kebodohan, yang bikin acara itu kemudian sukses besar. Yakni, kejujuran acara itu sendiri dalam melihat dan menempatkan dirinya. Dengan 'ndeso' dan 'katro' yang disengaja, Thukul selalu mewacanakan kesuksanan dirinya sebagai pelajaran bagi penonton. Di tengah acara ia sering berdiri menghadap penonton, memberi petuah agar orang selalu belajar, berusaha dan berpikir positif agar sukses seperti dirinya, lalu ia kembali ke kursinya dengan setengah terbungkuk-bungkuk dan langkah sepongah Raja Blambangan Minak Jinggo.

Thukul sadar benar dirinya tengah berada di atas dalam putaran roda kehidupan, dan berkali-kali celetukan dan komentar spontannya mengisyaratkan nasihat kepada dirinya sendiri agar tidak lupa diri. Dalam konteks dunia lawak tradisional, orang juga bisa membaca nasihat-nasihat Thukul itu sebagai otokritik bagi korps dan koleganya agar tidak mengulangi sejarah kelam yang diwarnai cerita-cerita penderitaan seorang pelawak di usia tua karena mereka biasanya "lupa diri" bila sedang sukses.

Secara konkret, dalam salah satu episodenya Thukul menampilkan narasumber orang-orang dari masa lalunya ketika ia masih miskin dan hidup senin-kemis di Jakarta. Antara lain mantan majikannya ketika ia menjadi sopir, dan Tony Q dari grup rege terkenal Rastafara. Tanpa malu-malu Thukul mengenang masa ketika untuk bisa makan saja ia harus menunggu Tony pulang dari mengamen. Begitulah, dengan kejujuran dan kepolosan yang luar biasa, Thukul menelanjangi dirinya sendiri, dan pada saat yang sama juga menelanjangi para selebriti untuk melepaskan dekor-dekor kemewahan dan segala mistik yang melekat pada diri mereka.

Artika Sari Dewi tak perlu berbasi-basi apalagi jaim, demikian pula Laudya Cyntia Bella, Melly, Pinkan Mambo, Rafi Ahmad hingga aktris paling kinyis-kinyis saat ini, Chelsea Olivia, dan semua narasumber yang pernah tampil di Empat Mata. Mereka semua memanggil "mas" kepada Thukul, dan memperlihatkan sikap yang menghormat dan salut atas kebeberhasilan dia membawakan acara Empat Mata. Kita bisa melihat semua selebriti tampak bangga dan bahagia tampil di acara itu, sekaligus, ini yang lebih penting, tampak lebih lepas, dan tak sungkan untuk menjadi dirinya sendiri.

Mereka tak perlu was-was, atau tegang, kalau-kalau ditanya mengenai sesuatu yang tak ingin mereka bicarakan. Sebab, di Empat Mata tak ada Farhan, Tika Panggabean, Indra Bekti, Indy Barents, Oki Lukman, Dorce, atau lebih-lebih Ulfa dan Eko Patrio, orang-orang yang dengan putus asa berusaha mati-matian membangun citra publik sebagai pembawa acara yang kritis, tajam dan cerdas, namun sebenarnya hanyalah orang-orang yang berisik dan membosankan.