pop | arts whatever

Wednesday, January 17, 2007

Sosiologi Toilet

Beberapa teman-jalan-malam-minggu saya punya kebiasaan yang menyebalkan setiap kami janjian untuk ketemuan. Saya sudah menunggu agak lama -kalau saya yang datang duluan- eh, giliran dia datang, tidak langsung menemui saya, tapi melambaikan tangan dari jauh, memberi isyarat bahwa dia akan ke toilet dulu. Tujuannya: ngaca, merapikan rambut, dan kalau perlu cuci muka.

Gara-gara berteman dengan beberapa orang yang memiliki kebiasaan seperti itu, saya jadi paham mengapa toilet-toilet di mal-mal di Jakarta diberi label restroom. Atau, bahkan ada yang cuma "men's room"/"women's room". Artinya, fungsi toilet bukan sekedar untuk buang air, besar maupun kecil. Dalam bahasa yang lebih 'ngelmu', entah kita sadari atau tidak, toilet memiliki fungsi sosial yang cukup luas.

Saya jadi ingat toilet di sekolah saya dulu yang dinding-dindingnya penuh coretan. Ada gambar hari ditembus panah, ada nama-nama perempuan dan laki-laki dan ada pernyataan-pernyataan yang bersifat pribadi. Setiap membaca coretan-coretan itu, dulu, saya sering mikir, kok ya sempat-sempatnya orang yang melakukan itu. Apakah mereka memang niat dari awal, sehingga ketika hendak buang air menyiapkan pulpen/spidol di kantong?

Bertahun kemudian, setelah mendapat kuliah Pengantar Sosiologi, saya baru bisa mengatakan bahwa itulah salah satu fungsi sosial toilet umum. Termasuk toilet di sekolah. Bahkan, semasa kuliah itu, saya melihat toilet di kampus pun -yang penghuninya notabene orang-orang yang dicitrakan sebagai kelompok intelektual- tak luput dari grafiti konyol seperti itu.

Salah satu adegan dalam film Janji Joni karya Joko Anwar dengan sangat baik menggambarkan fungsi sosial lain dari toilet. Yakni, sebagai salah satu arena bagi berlangsungnya salah satu bentuk ikatan sosial: bergosip. Mungkin Anda sendiri melakukannya. Begitu keluar dari bioskop, Anda biasanya setengah berlari ke toilet dan di situlah, sambil berdiri di urinoir membuang air kencing, Anda membicarakan film yang baru saja Anda tonton dengan teman atau pasangan Anda.

Pada masa-masa awal saya meniti karir (ceileee!) kewartawanan di Jakarta, saya mendengar dari teman saya, seorang wartawan tabloid 'esek-esek' bahwa toilet di Blok M Plaza sering digunakan oleh cowok-cowok gay mencari mangsa. Mereka bahkan melakukan aksinya di situ, baik sekedar saling melihat penis atau lebih jauh lagi, seks oral. Belakangan saya tahu, saling melihat penis itu namanya "nyontek", dan melakukan hubungan seks kilat (apapun bentunya) itu namanya "cruising". Itu bahasa "slang" kaum gay Jakarta.

Dan, belakangan saya tahu lebih banyak lagi. Bahwa toilet umum (baca: di mall) merupakan titik penting bagi perjumpaan sosial kaum gay metropolitan. Ini bukan cerita yang sangat baru, meskipun juga bukan cerita lama. Yang jelas, ini cerita yang selalu menarik, bikin penasaran dan membuat sebagian orang 'ah-ih-ah-ih' karena jijik. Ah, tahukah Anda bahwa semua itu bagian dari budaya sebuah masyarakat yang terus berubah, sedang tumbuh dan akan terus tumbuh?

Pusat-pusat keramaian di Jakarta, dalam aneka bentuk dan sebutan, dari mall hingga town square, telah melahirkan komunitas-komunitas gay yang memang tak pernah henti mencari ruang-ruang sosialisasi. Toilet barangkali hanya bagian kecil, dan mungkin tahap awal, dari modus sosialisasi itu. Di toilet, kau tak perlu kenal siapa lelaki di sebelahmu, dan tanpa perlu saling menyebutkan nama terlebih dahulu, kau sudah langsung bisa melihat seberapa besar penisnya, apa warnanya dan sebagus apa bentuknya. Ini tentu gambaran ekstremnya.

Yang jelas, karena gay adalah sebuah orientasi seksual, maka sah saja bagi siapa pun yang menyimpan hasrat-hasrat seksual pada setiap perjumpaan yang sedang dicarinya. Orang bisa menyebut itu seks instan, atau petualangan, tapi setiap orang -saya percaya- cukup dewasa untuk tahu apa yang dilakukannya. Saya punya teman yang bahkan diajak ketemuan di mall pun ogah dengan alasan ini dan itu. Tapi, saya juga berteman baik dengan orang yang telah kecanduan "nyontek", bahkan "cruising" di toilet.

Dia, teman saya yang ini, hafal wajah orang-orang yang suka "main" di toilet Plaza Indonesia (dan E.X), Ada bule tua, dan ada juga brondong, katanya. Teman saya pernah mencoba hampir semua dari mereka, baik cuman "contek-contekan", atau sekedar pegang-pegangan sampai tegang, maupun oral. Di dalam toilet yang berdinding? Tidak, melainkan ya di depan deretan urinoir itu. Menurut dia, kalau di dalam toilet yang berdinding justru berisiko lebih besar karena kalau ketahuan mau lari ke mana?

Sedangkan, kalau di luar, maksudnya di depan urinoir yang terbuka, bisa mengantisipasi kalau sewaktu-waktu ada orang masuk. Begitu terdengar suara pintu dibuka, langsung berhenti dan pura-pura kencing lagi, katanya. Apa tidak takut kepergok satpam? Apa tidak begini? Apa tidak begitu? Kalau begini gimana? Kalau begitu gimana? Pertanyaan saya tak ada habisnya, tapi teman saya selalu punya jawaban yang membuat segalanya seolah-olah jadi begitu sederhana. Memang susah membayangkannya, tapi teman saya menceritakannya dengan wajah yang berseri-seri, menandakan bahwa ia sangat bahagia dan menikmati petualangannya itu.