pop | arts whatever

Tuesday, January 30, 2007

Egois

Seorang teman -ya, dia gay tentu saja- yang sudah lama tak bertemu bercerita bahwa ia baru saja putus dengan pacarnya. "Cuman sebulan," katanya dengan nada sedih. Sepanjang pertemanan saya dengannya, sudah tak terhitung kali ia ganti pasangan, dan ceritanya selalu sama, tak pernah bertahan lama. Hubungan pacarannya maksudnya, bukan hubungan badannya. Dan, cerita seperti itu cukup sering saya dengan dari teman saya yang lain. Yang paling tragis, sebelum cerita teman yang tadi, adalah cerita tentang putusnya hubungan dua temen saya yang sudah berencana mau menikah.

Mereka jadian bulan September, dan telah mengumumkan kepada "semua orang" bahwa Desember mereka akan melangsungkan pertunangan di Bali. Disusul, Februari-nya mereka akan merayakan resepsi pernikahan di sebuah tempat di Kemang. Waktu teman ini mengungkapkan rencananya itu, saya terganga saking takjubnya. Saya yakin kalau ada buah kelapa jatuh pastilah langsung masuk ke mulut saya. Dan, mungkin karena ketakjuban itu tadi, sampai-sampai setengah sadar -bukan setengah pingsan- saya nyeletuk, "Emang kalian yakin hubungan kalian akan bertahan sampai Desember atau bahkan Februari?"

Teman saya langsung terdiam, seperti ada tangan yang membekap mulutnya secara tiba-tiba dari belakang. Dan, saat itu pula saya langsung menyesali celetukan saya. Mendadak saya merasa sangat jahat telah mementahkan deretan rencana yang begitu indah itu dengan pertanyaan yang lancang dan kurang ajar. Saya sudah siap kalau teman saya itu terdiam karena tersinggung. Tapi, ternyata tidak. Dia akhirnya berkata setelah menarik nafas dalam-dalam, "Insya Allah, doakan saja."

Sebagai orang beriman, saya langsung menyahut, "Amin," dengan khusyuk. Habis itu saya langsung membayangkan betapa akan hebohnya kelak ketika hari yang direncanakan teman saya itu tiba. Naluri kewartawanan (alaaah!) saya langsung mencuat ke ubun-ubun, dan dalam hati saya berniat akan mendokumentasikan peristiwa besar itu dengan menuliskannya.

Dalam benak saya terbayang, pertunangan dan pernikahan teman saya itu akan menjadi perkawinan gay pertama yang dilangsungkan di Jakarta, yang kalau terendus media massa pasti akan menjadi berita yang memicu kontroversi besar-besaran. Saya tak sabar menunggu momen bersejarah itu. Saya pun dalam hati berdoa, agar hubungan teman saya itu bertahan setidaknya sampai akhir bulan Februari. Setelah itu, mereka boleh bubaran. Betapa jahatnya pikiran saya kala itu.

Maka, ketika awal bulan lalu saya mendengar gosip bahwa hubungan teman saya itu akhirnya "bubar jalan", sedikit-banyak saya merasa bersalah. Jangan-jangan doa saya kala itu ikut menyumbang putusnya hubungan mereka. Tapi, pikiran seperti itu tentu tidak cukup rasional. Saya jadi penasaran, mengapa mereka putus? Sebab, selama masa pacaran, saya sempat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa mesranya mereka. Hasrat keingintahuan saya yang meledak-ledak akhirnya reda ketika dalam sebuah kesempatan kumpul-kumpul, teman saya itu hadir dan memberikan klarifikasi seputar putusnya dia dengan kekasihnya.

Intinya, teman saya itu tidak tahan menghadapi sang pacar yang menurut dia "sangat drama". Bahkan, si pacar sempat melakukan usaha bunuh diri ketika dia mengungkapkan keinginannya untuk mengakhiri hubungan mereka. Seperti saat pertama kali mendengar cerita tentang rencana pertunangan mereka, kali ini pun saya kembali terganga, sampai teman di sebelah saya melemparkan sebutir kacang hingga saya tersedak dan tersadar. Luar biasa kisah cinta teman saya itu.

Pulang dari acara kumpul-kumpul itu, sepanjang perjalanan, saya tercenung dan terus menimbang-nimbang banyak hal yang sudah lama tercetak di benak saya. Bahwa, hubungan homoseksual itu tak pernah mengenal yang namanya cinta, apalagi yang diembel-embeli sejati. Yang ada cuman nafsu, atau paling banter kepentingan sesaat dalam berbagai bentuk dan variannya. Bahwa dalam keintiman antara dua lelaki itu tak ada ketulusan, apalagi kesetiaan, yang ada hanya bla bla bla, dan berderet "bahwa-bahwa" yang lain lagi, yang selalu saya dengar dalam berbagai pembicaraan tentang hubungan gay, sehingga seolah-olah telah menjadi hukum kebenaran yang harus diyakini.

Tiba-tiba saya jadi sedih. Mengapa sampai muncul asumsi-asumsi yang sekuat itu? Saya tidak akan dengan defensif menyangkal semua itu. Saya rasa, sebagian dari stigma-stigma -kalau boleh disebut begitu- itu memang ada benarnya. Tapi, "ada benarnya" bukan berarti sepenuhnya benar. Stigma -ya sudah untuk sementara kita gunakan saja istilah ini- seperti itu mungkin muncul dari pengalaman, yang kebetulan menunjukkan kencenderungan yang sama, sehingga kemudian dengan menyederhanakan banyak fakta lain, ditarik menjadi kesimpulan yang seolah berlaku umum.

Bagi saya, yang namanya cinta sejati (atau setengah-sejati), berikut prasyarat yang harus menyertainya (ketulusan, kesetiaan) bukanlah monopoli satu kaum tertentu, kelompok tertentu, orientasi seksual tertentu. Begitu pula dengan "nafsu", "kepentingan sesaat" dan hal-hal yang bersoasiasi buruk lainnya, juga bukan tipikal khas yang melekat pada satu komunitas tertentu. semuanya berjalin-berkelindan, mewarnai setiap hubungan (romantis) antarmanusia, baik hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Di samping, tentu saja, saya juga percaya bahwa masalahnya bukan mengikuti kebenaran tertentu dalam hubungan (pacaran), melainkan menemukan (bentuk) hubungan yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kecenderungan sifat kita sebagai individu.

Maka, ketika teman yang saya ceritakan di awal tadi kemudian mengeluh, "Mantan-mantan gue selalu bilang gue egois", saya tak langsung buru-buru menyarankan dia untuk berubah. Saya juga tidak setuju ketika dia menyambung dengan, "Mungkin gue harus belajar nggak egois dulu baru gue pacaran." Yang mengherankan saya, mengapa seolah-olah hanya ada satu bentuk hubungan dalam dalam dunia homoseksual, yakni pacaran --dan, bahkan ada yang sampai memimpikan pernikahan? Mengapa persahabatan tidak pernah diperhitungkan sebagai bentuk yang juga signifikan dan bermakna --seperti pernah diangankan oleh Foucault?

...tidak harus dalam bentuk pasangan, tapi sebagai eksistensi, bagaimana kemungkinan para lelaki untuk bisa bersama-sama? Hidup bersama, saling berbagi waktu, makanan, ruangnya, waktu senggangnya, kesedihannya, pengetahuannya, rahasia-rahasianya?

2 Comments:

Blogger Iman Brotoseno said...

Gay juga manusia,..ada yang tulus, bejat, jujur, korup, setia, kejam..

7:08 PM  
Blogger Haris Firdaus said...

tak ada yang bisa meng-umum-kan segala sesuatu. apalagi tentang cinta

11:15 PM  

Post a Comment

<< Home