pop | arts whatever

Tuesday, November 27, 2007

Tonjolan Besar di Balik Celana Tora Sudiro

Kalau dengan kemasan vintage, retro atau apalah namanya dan ditambah dengan iringan lagu-lagu dari band-band yang dipuja anak-anak muda yang suka nongkrong di Aksara, sebuah adegan yang memperlihatkan Aming yang hanya bercelana dalam memasukkan tangannya ke bagian bokong dan menggaruk-nggaruk lobang anusnya dianggap, diterima, diamini dan dipuji sebagai bagian dari sebuah komedi dewasa, modern, high concept, punya taste, berkelas, "lain dari film-film remaja yang itu-itu saja dan horor-horor yang nggak jelas" dan dengan demikian ini breakthrough, maka saya tidak akan malu untuk menyatakan menyesal telah meledek karya-karya Nayato, Hanung dan lain-lain. Menonton Quickie Express bagi saya rasanya seperti membaca headline koran Lampu Merah. Bedanya, pada film ini saya harus menunggu selama dua jam dan terbosan-bosan sebelum sampai pada bunyi headline itu. Dengan kata lain, saya seperti tak menyaksikan apa-apa, atau menyaksikan kekosongan yang panjang, sebelum Tora Sudiro akhirnya menyimpulkan film ini dalam satu kalimat narasinya di bagian akhir. Bahwa, seorang gigolo telah membunuh bla bla bla. Dalam kekosongan itu, antara lain saya menyaksikan serombongan cewek berseragam SMU keluar gedung sebelum film berakhir, dan disusul beberapa penonton yang lain lagi. Mungkin selera humor mereka memang buruk, tapi kalau yang disebut humor berkelas itu adalah gigolo-gigolo yang latihan goyang pinggul, kontol kecil dimakan piranha, cewek cantik ngorok di atas sofa, Ria Irawan berperan sebagai tante girang yang memiliki imajinasi seks guru-murid dan mendesah-ndesah di atas ranjang, maka dengan besar hati saya akan bergabung dengan mereka dan tak keberatan untuk dibilang berselera humor buruk, untuk kemudian mungkin kembali nonton acara Tukul atau sinetron sampah. Sebab, sampah atau bukan, sekarang saya tahu, semata hanya soal kemasan, soal gimana kau bisa mendaur ulangnya, memberi sentuhan warna, hiasan dan lain-lain sehingga tampak begitu glamour, sehingga adegan orang kejedot di satu film atau di panggung Srimulat bisa dianggap slapstik tolol tapi di film lain atau di Extravaganza dianggap lucu. Jadi, sekarang sudah jelas, tidak diperlukan upaya apapun bagi film Indonesia karena tonjolan kenti besar di balik celana pendek minim ketat saja sudah bisa bikin orang tertawa terpingkal-pingkal dan sepasang lelaki gay yang sedang marahan merajuk-rajuk manja adalah sumber kelucuan abadi sepanjang masa yang selalu bikin orang bersorak gaduh tergeli-geli sampai melompat-lompat di kursi. Dan, Kalyana Shira Film berikut lingkaran yang ada di dalamnya, atau di sekitarnya, sejak awal paham benar itu, bahwa masyarakat kita memang belum semodern itu, bahwa mereka yang mengaku paling gaul se-Jakarta sekali pun masih menganggap tema-tema seputar seks, gay, brondong, tante girang, gay lagi, gigolo, gay lagi, dan gay itu sensitif, kontroversial dan oleh karenanya menggarap tema-tema itu adalah cara, mungkin satu-satunya cara, untuk menjadi, atau dianggap, modern, cool, intelek, cerdas dan berani.

Wednesday, November 07, 2007

get married? get fucked!

oleh mikael johani

betapa banyak orang yg bilang get married itu lucu, lumayan paling tidak dibandingkan dgn film2 horor yg banyak banget sekarang, bahwa hanung sudah berhasil menyelamatkan diri dari lobang neraka yg dia gali sendiri—semua ini sudah sampai pada tahap yg mengkhawatirkan menurut saya.

terus terang, saya nonton get married dengan harapan nanti bisa menulis review dengan judul 'get married lucu? get fucked!' tapi dengan lapang dada saya batalkan rencana saya itu karena ternyata di dalam bioskop saya sempat beberapa kali tertawa. terutama saat aming berakting, atau berGERAK lebih tepatnya, dan karena wajah bodyguard binaragawan yg komik itu.

jadi okelah, get married bisa membuat saya tertawa.

tapi saya tertawa karena apa?

mumu (lihat: http://rumputeki.multiply.com/reviews/item/21) bilang ada semacam keseriusan dalam film itu yg mungkin bisa dibuatkan filmnya sendiri. keprimitifan bangsa indonesia yg mulia ini dalam mengatasi perselisihan, bagaimana ternyata tidak ada bedanya antara kaya dan miskin sama2 primitifnya, pertentangan klasik antara kompleks v. kampung, sedikit kritik lingkungan, etc.

tapi apakah pantas bilang bahwa get married itu lumayan, lucu, lumayan lucu, bahkan bagus, hanya karena dia sempat menyindir2 ttg berbagai hal itu?

nggaklah.

coba ingat misalnya waktu voice over di awal film itu bilang dengan nada sok dead-pan tentang bagaimana empat sekawan itu waktu kecil bahagia bisa mandi di kali terus gambar di layar mempertunjukkan empat bocah cilik berkecibung di sungai berair hitam penuh sampah yg sekilas kelihatan seperti di pintu air maggarai. banyak penonton ketawa waktu itu, tapi mereka tertawa pada apa?

dan mungkin yg lebih penting, si pembuat film, hanung, the scriptwriter, sedang menertawakan apa?

yg jelas joke itu sebuah cheap shot, entah pada pemerintah dki, atau pada orang2 miskin kampung yang malang, dan karena itu saya tidak ketawa.

contoh lain misalnya waktu si cowok ganteng kaya itu pertama kali datang ke rumah nirina dan disambut bapak ibunya dan bahasa si cowok yg tadinya bersob2 ria berubah menjadi campuran patois puitis dan bahasa birokrat kelurahan dan si babe tidak mengerti dan mengira pertama rumahnya mau ditawar, kemudian mungkin si cowok itu lagi cari barang antik, dan semua penonton tertawa.

hanung ingin menertawakan siapa dan ingin penonton menertawakan apa? keluguan dan kebodohan orang betawi? atau stereotipe orang betawi yang seperti itu? yg pertama saya rasa. sekali lagi, a cheap shot.

tapi sudahlah, misalnya sekarang saya tidak usahlah mempermasalahkan kritik sosial hanung (betapa lame-nya) dalam film ini, dan melihatnya sebagai cerita sajalah.

yg membuat saya kecewa pertama adalah, dengan ensemble cast seperti itu, 3 cowok pengangguran dan 1 cewek, saya rasa hanung punya kewajiban untuk memberi tahu saya, atau paling tidak mencari tahu untuk dirinya sendiri, bagaimana semua karakter itu bereaksi, memikirkan, kemudian mencari jalan keluar, dari dilema yg dia (hanung) ciptakan.

tapi sekali lagi, semua karakter itu sampai akhir film ya gitu2 aja, stereotipe anak kampung pengangguran, nongkrong seharian, main gaple, berantem. apa yg ada di kepala mereka saya tetap nggak tahu. karena memang nggak pernah diberi tahu.

ada mungkin beberapa clue, seperti mereka semua suka nongkrong di rumah pohon, trope klasik untuk sebuah peter pan syndrome. anak2 itu tidak mau beranjak dewasa, karena itu mereka menghabiskan waktu mereka di sana. okelah. bisa juga. atau waktu scene yg dipaparkan satu2 setiap anak bilang ragu2 pada ibunya bahwa mereka mungkin ingin menikah dengan nirina, ini mungkin peluang untuk melihat background setiap karakter itu, bagaimana mereka berbeda satu sama lain. ya ada perbedaannya, tapi bentuknya ya stereotipe2 lagi, yg satu ibunya sunda, yg satu islam banget, yg satu jawir.

sebagai sebuah film, yg punya begitu banyak kemungkinan untuk memberi tahu kita begitu banyak ttg karakter seseorang, isi kepalanya, hatinya, lewat bukan hanya kata2 tapi juga gestur, mimik, dan entah apa lagi, apakah pantas dibilang bagus atau lumayan kalau sutradara/scriptwriter-nya sendiri, memilih untuk menghiraukan semua kemungkinan itu?

menonton get married jadi tak ada bedanya dengan membaca berita koran ttg anak2 muda pengangguran di anyslum, jakarta. tak ada prospek, masa depan suram (sama aja ya?), main gaple, tawuran. tapi berita di koran mungkin cuma punya sekolom, jadi masih masih bisa dimaafkanlah karikatur2 seperti itu (atau tidak?), sementara film ini punya 90 menit.

kadang2 saya berpikir apakah penonton2 yg memaafkan hanung (bukannya lebaran udah lama lewat ya?) masih belum juga sembuh kekangenannya untuk melihat semacam potret yg agak realislah dari kenyataan mereka sendiri sehari2 setelah begitu lama film indonesia tidak ada sama sekali atau diisi dengan fantasi2 ttg rumah pondok indah dan rumah pondok indah ...
yg berhantu.

tapi tahu apalah juga penonton2 ini ttg kehidupan di rw 13 bawah tol penjaringan misalnya? jadi saya juga curiga yg diingini penonton2 ini adalah potret realisme jakarta di kepala mereka sendiri. yg mereka dapatkan dari karikatur2 koran dan film2 simplistis macam get married ini. segala macam stereotipe2 tadi. mereka tertawa terbahak2 karena puas merasa mereka benar.

jadi buat saya tidak ada maaflah buat film2 seperti get married ini. yg bukan hanya tidak jujur ttg dirinya sendiri (udahlah, comedy might sell more than horror!), tapi bahkan terlalu malas untuk mencari tahu dirinya sendiri seperti apa.