Tonjolan Besar di Balik Celana Tora Sudiro
Kalau dengan kemasan vintage, retro atau apalah namanya dan ditambah dengan iringan lagu-lagu dari band-band yang dipuja anak-anak muda yang suka nongkrong di Aksara, sebuah adegan yang memperlihatkan Aming yang hanya bercelana dalam memasukkan tangannya ke bagian bokong dan menggaruk-nggaruk lobang anusnya dianggap, diterima, diamini dan dipuji sebagai bagian dari sebuah komedi dewasa, modern, high concept, punya taste, berkelas, "lain dari film-film remaja yang itu-itu saja dan horor-horor yang nggak jelas" dan dengan demikian ini breakthrough, maka saya tidak akan malu untuk menyatakan menyesal telah meledek karya-karya Nayato, Hanung dan lain-lain. Menonton Quickie Express bagi saya rasanya seperti membaca headline koran Lampu Merah. Bedanya, pada film ini saya harus menunggu selama dua jam dan terbosan-bosan sebelum sampai pada bunyi headline itu. Dengan kata lain, saya seperti tak menyaksikan apa-apa, atau menyaksikan kekosongan yang panjang, sebelum Tora Sudiro akhirnya menyimpulkan film ini dalam satu kalimat narasinya di bagian akhir. Bahwa, seorang gigolo telah membunuh bla bla bla. Dalam kekosongan itu, antara lain saya menyaksikan serombongan cewek berseragam SMU keluar gedung sebelum film berakhir, dan disusul beberapa penonton yang lain lagi. Mungkin selera humor mereka memang buruk, tapi kalau yang disebut humor berkelas itu adalah gigolo-gigolo yang latihan goyang pinggul, kontol kecil dimakan piranha, cewek cantik ngorok di atas sofa, Ria Irawan berperan sebagai tante girang yang memiliki imajinasi seks guru-murid dan mendesah-ndesah di atas ranjang, maka dengan besar hati saya akan bergabung dengan mereka dan tak keberatan untuk dibilang berselera humor buruk, untuk kemudian mungkin kembali nonton acara Tukul atau sinetron sampah. Sebab, sampah atau bukan, sekarang saya tahu, semata hanya soal kemasan, soal gimana kau bisa mendaur ulangnya, memberi sentuhan warna, hiasan dan lain-lain sehingga tampak begitu glamour, sehingga adegan orang kejedot di satu film atau di panggung Srimulat bisa dianggap slapstik tolol tapi di film lain atau di Extravaganza dianggap lucu. Jadi, sekarang sudah jelas, tidak diperlukan upaya apapun bagi film Indonesia karena tonjolan kenti besar di balik celana pendek minim ketat saja sudah bisa bikin orang tertawa terpingkal-pingkal dan sepasang lelaki gay yang sedang marahan merajuk-rajuk manja adalah sumber kelucuan abadi sepanjang masa yang selalu bikin orang bersorak gaduh tergeli-geli sampai melompat-lompat di kursi. Dan, Kalyana Shira Film berikut lingkaran yang ada di dalamnya, atau di sekitarnya, sejak awal paham benar itu, bahwa masyarakat kita memang belum semodern itu, bahwa mereka yang mengaku paling gaul se-Jakarta sekali pun masih menganggap tema-tema seputar seks, gay, brondong, tante girang, gay lagi, gigolo, gay lagi, dan gay itu sensitif, kontroversial dan oleh karenanya menggarap tema-tema itu adalah cara, mungkin satu-satunya cara, untuk menjadi, atau dianggap, modern, cool, intelek, cerdas dan berani.