pop | arts whatever

Monday, December 25, 2006

Bulan-bulanan

Anak-anak, hari ini pelajaran Bahasa Indonesia kita sampai pada bab tentang kata ulang. Pada dasarnya, pengulangan kata dimaksudkan untuk memberi makna lain pada kata itu. Misalnya, kata kucing, kalau diulang maknanya menjadi banyak kucing. Tapi, di samping soal makna, kita juga mengenal adanya jenis-jenis kata ulang yang berbeda. Kembali ke contoh kucing tadi, kalau diulang menjadi kucing-kucing, maka tergolong ke dalam jenis kata ulang penuh. Jenis lainnya adalah kata ulang berimbuhan. Misalnya, kucing-kucingan. Maknanya menjadi lain, bukan banyak kucing tapi bisa berati kucing mainan, atau nama sebuah permainan anak-anak. Mungkinkah ada makna lain lagi? Mungkin saja, misalnya pada kalimat: Polisi dan penjahat kucing-kucingan. Dengan kata lain, selain bermakna denotatif, kata ulang juga bisa bermakna konotatif.

Sekarang, untuk latihan, coba buatlah kalimat dengan kata ulang berimbuhan dari kata dasar bulan. Pertama, tentukan dulu kata ulangnya. Iya betul, bulan-bulanan. Nah, sekarang masukkan kata itu ke dalam sebuah kalimat agar maknanya menjadi jelas. Mungkin di antara kalian nanti ada yang membuat kalimat seperti ini: Adikku gemar membuat bulan-bulanan dari bola plastik yang digantungkan di langit-langit kamar. Dalam kalimat itu, apa makna bulan-bulanan? Iya betul, artinya bulan mainan atau sesuatu yang dianggap mirip bulan. Tapi, mungkin juga di antara kalian ada yang membuat kalimat seperti ini: Kaum gay dan lesbian sering menjadi bulan-bulanan sinetron bertema reliji di televisi.

Dalam kalimat tersebut, makna bulan-bulanan tentu saja berbeda dari kalimat pertama tadi. Sebelumnya, ada yang tahu, kata bulan-bulanan dalam kalimat itu bermakna denotatif atau konotatif? Iya, betul sekali. Setelah mengetahui sifat maknanya, sekarang siapa yang tahu apa yang dimaksud dengan kata tersebut? Saya mendengar sayup-sayup di belakang ada yang menjawab: menjadi bahan olok-olokan. Ya, itu bisa, ditampung dulu jawabannya. Ada yang berpendapat lain? Barusan dari sudut sana saya mendengar ada yang berbisik-bisik, menyebutkan bahwa bulan-bulanan dalam kalimat itu artinya dipermainkan. Jawaban yang bagus. Baiklah, dari dua jawaban tadi, kita sudah cukup mendapat gambaran tentang makna kata ulang berimbuhan bulan-bulanan dalam kalimat tersebut. Lalu, setelah kita tahu maknanya, apa implikasi atau akibat lebih jauh dari itu?

Kalau kaum gay dan lesbian menjadi bahan olok-olokan atau dipermainkan oleh sinetron bertema relijius yang belakangan marak di televisi, maka kita bisa mengatakan bahwa para pembuat sinetron itu seperti anak-anak yang mendapatkan mainan baru. Di mana, mainan baru itu demikian besar memberi kegembiraan kepada mereka sehingga kita bisa melihat betapa seringnya mereka mengangkat cerita tentang hukuman atau kutukan berupa malapetaka yang menimpa seorang gay atau lesbian. Umumnya kita saksikan malapetaka itu berujung pada kematian. Penyebabnya bisa macam-macam, kadang penyakit HIV/AIDS, kadang siksaan dari orangtua si gay atau lesbian itu sendiri. Yang jelas, pesan moral dari semua itu tegas bahwa Tuhan membenci kaum gay dan lesbian. Dengan pesan yang ingin ditanamkan kepada penonton semacam itu, maka kegembiraan macam apa sebenarnya yang kemudian didapat oleh para pembuat sinetron yang diklaim sebagai tayangan relijius itu?

Apa pula yang didapat oleh penonton jika pesan tadi kemudian benar-benar tertanam di benak mereka? Mungkin, sebagian dari penonton yang kritis lama-lama akan tertegun dan berpikir: Seandainya Tuhan bisa dilihat, pasti akan tampak menyedihkan karena dia membenci makluk ciptaannya sendiri. Tapi, menurut saya, lebih banyak yang menelan mentah-mentah tontonan yang menjadikan kaum gay dan lesbian sebagai bulan-bulanan itu, tanpa mengunyahnya dan langsung memasukkannya ke dalam otak sebagai semacam indoktrinasi yang membenarkan atau memperkuat "kebenaran" yang sebelumnya telah mereka yakini. Bahwa, kaum gay dan lesbian memang makluk yang terkutuk. Mereka layak mati dengan menggenaskan, kalau perlu dari mulutnya keluar darah, atau sekujur tubuhnya dirubung belatung, entah apapun sebabnya dan tak peduli bagaimana logikanya bisa seperti itu.

Mereka -sebagian besar penonton itu- lama-lama akan lupa bahwa siapun kaum gay dan lesbian itu, mereka tak pernah merugikan siapa-siapa, tak pernah meminta ongkos sosial apa-apa, tidak seperti kaum koruptor yang jelas-jelas merongrong keuangan negara dan merugikan sebesar-besar usaha memakmurkan rakyat. Mereka lama-lama juga akan lupa bahwa gay dan lesbian itu manusia biasa saja, tak ubahnya seperti diri mereka, yang sehari-hari hidup saling berdampingan dalam pergaulan sosial; beribadah di satu masjid atau gereja dengan mereka, atau bahkan tetangga terdekat mereka, guru ngaji anak-anak mereka, anak buah yang paling potensial di kantor, atau bahkan mungkin anak kandung mereka sendiri! Hingga pada suatu titik, tanpa mereka sadari, para gay dan lesbian yang terkutuk di sinetron reliji itu telah membuat mereka hidup dalam dunia pelarian, sebuah dunia di mana mereka menjadi orang-orang yang lebih suci, lebih tidak berdosa, lebih berhak masuk surga, karena segala kutuk dan siksa hanya untuk para gay dan lesbian.

Sekarang kita tahu, mengapa sinetron seperti itu terus dibuat, dengan cerita yang sebenarnya sama, hanya nama-nama tokoh dan latar yang berbeda. Tak lain dan tak bukan, karena hampir semua manusia penghuni negeri ini sudah sedemikian frustrasi dengan berbagai persoalan dan krisis yang membelit mereka sehingga harus ada satu kelompok yang secara kolektif diangkat dan diabadikan sebagai simbol keburukan, agar kelompok lain -mereka sendiri- bisa merasa lebih baik. Nah, anak-anak, sekian dulu pembahasan mengenai kata ulang. Maaf kalau dari contoh kalimat yang menggunakan kata ulang bulan-bulanan tadi, saya jadi bicara ke mana-mana, berpanjang lebar, dan agak emosional. Selamat siang.

Thursday, December 21, 2006

Tahi FFI

Waktu Jiffest kemarin, saya duduk bersebelahan dengan seorang anak SMP ketika nonton film Foto Kotak dan Jendela. Saya gembira ketemu anak sebelia itu yang sangat fasih ngobrol soal film Indonesia. Dia mengaku film favoritnya sampai sekarang adalah Catatan Akhir Sekolah. "Kalau Ekskul gimana?" saya mencoba memancing karena tiba-tiba teringat bahwa film tersebut belakangan menghebohkan milis Dunia-Film karena masuk nominasi film terbaik FFI 2006.

"Ih, enggak banget. Masak ampe digantung-gantung gitu. Lagian, cuman ngatasin anak SMU gitu aja polisinya ampe sebanyak itu, yang bener aja."

Kalau Anda sudah menonton Ekskul, Anda paham komentar anak SMP tersebut.

Semalam, peraih Anugerah Piala Citra FFI 2006 diumumkan. Saya tidak tahu apakah anak SMP yang saya ceritakan itu menonton siaran langsungnya di Indosiar. Dan, kalau menonton, pasti menarik mendengar komentarnya. Tapi, komentar pertama yang saya dapat datang dari seorang teman yang saya kenal sebagai penonton film Indonesia yang getol. Dia bilang lewat SMS: All thats winner should be surprising. Anyone but Eric Sasono, of course." Dia menyebut nama pememang kritikus terbaik.

Pagi ini, saya langsung buka milis Dunia-Film begitu sampai di kantor. Saya berharap sudah ada komentar yang masuk mengenai FFI 2006. Benar saja.
Kementerian Desain RI yang dipimpin Aditya Mulya mem-posting pernyataan "turut berduka cita atas kemenangan film terbaik FFI 2006".

Karena nyaris tak ada tanggapan yang berarti, saya pun pindah dan membuka www.layaperak.com untuk melihat kembali rewiew saya atas film Ekskul yang saya tulis kala itu.

Di luar dugaan, saya menemukan pernyataan duka cita juga "atas pilihan para juri untuk film terbaik di FFI 2006. Dukung perfilman Indonesia, bersihkan dari segelintir pion-pion oportunis. FFI hanya sebuah Extra Kurikuler."

Saya kemudian memasang status di YM saya, yang mengungkapkan sikap saya atas FFI 2006. Saya berharap ada teman yang tergelitik untuk mengomentarinya. Feedback pertama saya dapat dari mantan kolega saya di detikcom.

"Menurut gw mas, ekskul itu kan keluaran indika, taun lalu kan indika ngamuk2 tuh karena detik terakhir ngga menang, mungkin jurinya gini kali "udah, jangan marah, taun depan gw menangin deh."

Saya yang kuper ini pun dengan naif bertanya, "Bos indika siapa? Orang berpengaruh gak?"

"Iya laah, Shanker gitu."

Dia menyambung, "Multivision dapet buat heart, Alenie dapet buat denias, indika dapet best picture, "udeh, adil yeee, jangan pada protes lagi, udah rata neh," ujar salah seorang juri FFI yang enggan disebut namanya."

"Para juri dan Ketua parfi dapet amplop," tambah saya.
"Amplop ngga muat kali mas, brankas."

Tak lama kemudian, teman saya yang lain, editor sebuah majalah (gratisan) film mengomentari status YM saya, "FFI udah gila mu. Jurinya buta kali ye. udah berbagi suami gak masuk, eh yang memang malah ekskul. Kalau mereka mau gembosin Berbagi Suami karena isu poligami dengan Denias sih gue masih bisa "terima" deh, tp Eskul gitu lhoooo."

Saya sudah kehabisan kata-kata. Tiba-tiba teman saya yang lain lagi nyelonong dengan messege: ada FFI to? baru denger! Untuk pertama kalinya sejak semalam, saya bisa tertawa!

Saya tidak bisa brosing untuk menemukan artikel saya di laparperak karena halamannya diganti dengan pernyataan duka cita itu. Akhirnya saya search di google dan saya temukan. Ini dia review saya kala itu.

Ekskul: Ilham dari Colorado

Di zaman “Ari Hanggara” dulu, klaim “berdasarkan kisah nyata” yang ditempelkan pada sebuah film sudah cukup menjadi daya tarik dan daya jual yang kuat. Namun, jika sampai pada zaman Tengku Firmasyah-bikin-film sekarang ini, masih ada produser yang jualan filmnya dengan mengandalkan stempel “diilhami kejadian nyata”, sumpah, itu sesuatu yang norak. Dan, Anda tahu, kejadian nyata apa yang telah mengilhami film Ekskul karya Nayato Fio Nuala? Saya nyaris terjengkang dari tempat duduk dan nyungsep di kolong beberapa menit setelah film berjalan, dan mulai tahu bahwa kejadian itu tak lain penembakan di SMU Columbine, Colorado, AS pada 1998 yang telah difilmkan oleh Gus Van Sant.

Sudah barang tentu saya tidak akan menghina Pak Van Sant dengan membandingkan Elephant dengan Ekskul. Dan, meskipun diilhami oleh kejadian yang sama, keduanya jelas tidak bisa dibandingkan karena memang sangat tidak sebanding. Film Elephant yang memenangi Palem Emas Cannes (tahun berapa ya?) tidak diembel-embeli “based on true event” tapi sungguh terasa begitu nyata. Sedangkan Ekskul tak ubahnya omong kosong belaka. Elephant film yang sangat dingin dan nyaris tak bercerita apa-apa, tapi membuat kita berdecak-decak kagum. Sedangkan…ah, sudahlah, saya tak mau bilang bahwa Ekskul film yang sangat gegap-gempita dan banyak bercerita, tapi tak memberi kita apa-apa, tak meninggalkan kesan apa-apa.

Joshua (Ramon Y Tungka) dikisahkan sebagai remaja yang tertekan baik di sekolah maupun di rumah. Sebagai pelampiasan, ia menyandera enam teman sekolahnya dengan pistol. Kejadian itu mendapat liputan besar-besaran dari media massa dan polisi pun turun tangan. Sepanjang adegan penyanderaan itu, penonton beberapa kali diajak mengilas balik, menelusi penyebab Joshua bisa melakukan tindakan nekat yang cenderung kriminal itu. Namun, sejak adegan kilas balik pertama ditampilkan, saya jadi tahu bahwa teknik ini sengaja dipilih agar segalanya menjadi gampang. Misalnya begini. Untuk meyakinkan penonton bahwa Joshua mengalami tekanan di sekolahnya, cukup dengan menampilkan adegan kilas yang menggambarkan ia tiba-tiba disambangi tiga seniornya, lalu diangkat ramai-ramai dan digantung.

Untuk meyakinkan penonton bahwa di sekolah Joshua selalu menjadi bahan hinaan, maka ditampilkanlah kilas balik singkat di mana ia dikerubuti siswa satu sekolah yang semuanya sedang tertawa. Lalu, untuk meyakinkan penonton bahwa Joshua juga mengalami tekanan dalam keluarga, ini dia salah satu yang digambarkan dalam adegan kilas baliknya: ketika makan malam bersama papa dan mamanya, Joshua hendak buru-buru meninggalkan meja makan, tapi papanya membentak keras dan garang meminta dia untuk menghabiskan dulu makanannya. Joshua bilang tidak lapar. Sang Papa makin meradang dan menampar anaknya. Penonton pun mengangguk-angguk paham: O, jadi cuma soal anak yang susah makan toh, kenapa nggak disuruh minum vitamin penambah nafsu makan saja. Masak, gitu aja kok merasa tertekan, lalu secara sembunyi-sembunyi membeli pistol dan menyandera teman sekolahnya. Plis deh, Josh!

Duapuluh lima juta pelajar di Indonesia menunggu film ini, demikian Ekskul mengklaim. Jika ini benar, berapa dari jumlah itu yang akan bisa dibuat percaya bahwa Joshua memang anak yang bermasalah sangat berat? Bahwa ia, seperti pengakuannya sendiri, sakit (jiwa)? Dua kali adegan percakapan Joshua dengan seorang psikiater sama sekali tak memberi kita informasi apa-apa tentang sakit jiwanya Joshua. Dan, semua dialog yang terhampar dalam film ini juga sama sekali tak menjelaskan apa-apa tentang Joshua, selain perdebatan-perdebatan yang tidak bermutu. Simak percakapan Joshua dengan guru BP. Sang Guru mempersoalkan Joshua yang ke sekolah membawa pisau. Menurut guru BP, pisau itu senjata. Tapi, sampai diulang dua kali, Joshua ngotot bahwa pisau bukan senjata. Pak Penulis Skenario, pernah nonton tayangan Fokus, Buser dan sejenisnya nggak sih? Dalam acara-acara itu, “sajam” termasuk kata yang paling sering disebut, dan kata itu kependekan dari “senjata tajam”, yang di dalamnya termasuk pisau. Plis deh, Pak bikin tokoh yang agak pinter dikit napa, biar kalau ada adegan berdebat tidak membuat penonton seperti habis digebuki saking capeknya.

Selain tampak bodoh, Joshua tak lebih dari karakter yang dibikin sok-aneh. Sakit(jiwa)nya Joshua misalnya, hanya diterjemahkan dengan perilakunya mencuri kalung, lipstik dan kaos kaki dari loker cewek yang disukainya. Dan, tokoh-tokoh lainnya pun tak kalah menyedihkan. Saya melihat banyak karakter yang seolah-olah tersesat di film ini, sebab mestinya mereka ada di dalam sinetron, misalnya tokoh kepala sekolah, beberapa teman sekolah Joshua yang tampil sepintas-sepintas lalu, dan kedua orangtua Joshua. Bahkan, dalam sinetron pun saya sudah tak pernah lagi mendengar ada tokoh yang berdialog dengan kalimat “dasar anak tak tahu diuntung”, seperti yang diucapkan oleh mama Joshua. Puncak dari ketakjelasan karakterisasi dalam Ekskul ada pada salah satu tokoh perempuan teman sekolah Joshua. Dia di kisahkan selalu mengikuti Joshua dan merasa punya kesamaan kejiwaan.

Dan, ternyata oh ternyata, dia ini anak dari kapten polisi yang memimpin operasi pembebasan sandera Joshua. Tapi, semua itu tak ada artinya karena tokoh tersebut ternyata tak punya peran apapun sampai akhir cerita, selain ditampilkan sekali-sekali, dibikin-bikin sok misterius.

Dari awal sampai akhir, gerak kamera menghasilkan gambar-gambar yang membuat mata sakit. Setiap adegan ditampilkan dalam pencahayaan yang gelap, seolah-olah orang-orang dalam film ini hidup di sebuah kota yang harinya selalu malam. Persis seperti yang terlihat dalam garapan pertama Nayato, “The Soul” (2003). Ilustasi musik tak banyak membantu. Pada adegan yang maunya menegangkan, musiknya terasa sangat berisik, dan pada adegan yang maunya sedih, musiknya terkesan bombastis. Pendek kata, film ini membosankan, dengan klimaks pada adegan ketika Joshua akhirnya mau bicara dengan papa dan mamanya lewat HT. Joshua menangis-nangis, demikian pula papa dan mamanya sehingga sebagian dari apa yang mereka bicarakan tak tertangkap dengan jelas. Satu-satunya yang membuat saya betah bertahan menonton film ini sampai akhir adalah pemeran salah satu dari tiga cowok yang disandera Joshua yang tampangnya lucu banget.

Tuesday, December 12, 2006

Tapi, Saya Bukan Gay lho, Mas!

Seorang lelaki berusia 18 tahun menyeruak kerumunan orang-orang yang baru saja membubarkan diri dari sebuah acara peluncuran buku dan diskusi bertema homoseksualitas dalam masyakarat urban, di tengah-tengah perhelatan Q Film Festival 2006 yang diadakan oleh Qmunity, September lalu. Seperti seekor kucing yang dicengkiwing lalu dilemparkan, tiba-tiba makblek dia sudah berada di hadapan saya dan mengagetkan saya dengan memperkenalkan diri tanpa basi-basi. Namanya Gandri, baru lulus SMU di Lampung, dan ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Dia tahu nama saya, dan menyodorkan buku Rahasia Bulan, kumpulan cerpen gay dan lesbian yang saya editori setahun lalu. Dia minta saya menandatangai buku itu tepat pada halaman yang memuat cerpen saya.

Sambil menyaksikan saya melakukan permintaannya itu, dia nyerocos seperti popocorn tumpah. Banyak hal yang dia utarakan, saya tidak bisa mengingatnya satu per satu, selain juga tak semuanya penting diungkapkan kembali di sini. Tapi, antara lain, dia mengatakan ingin sekali bergabung dengan Qmunity dan bertanya bagaimana caranya kalau ingin ikut menjadi volunteer Q Film Festival tahun depan. Saya belum sempat menjawab apa-apa ketika dia sudah lebih dulu buru-buru mengimbuhi rentetan kalimatnya dengan penegaskan, "Tapi, saya bukan gay lho, Mas."

Berkat pernyataan itu, untuk pertama kalinya saya benar-benar memperhatikan wajah anak muda itu sejak dia ada di depan saya beberapa menit yang lalu. Dalam hati saya terheran-heran, mengapa ia merasa perlu membuat penjelasan seperti itu? Qmunity sendiri meskipun kegiatan utamanya menggelar festival film gay dan lesbian, tak pernah sekalipun mengklaim sebagai organisasi gay. Anggota dan orang-orang yang terlibat di dalamnya juga tidak semuanya gay. Saya berpikir, pastilah dia tidak tahu hal itu. Dia pikir, ikut atau terlibat dengan kegiatan Qmunity akan langsung dicap sebagai gay, dan karena dia "bukan gay" maka dia tidak mau hal itu terjadi. Dia takut kena stigma, kalau istilah teman saya. Tapi, kalau memang benar begitu, kenapa juga dia begitu ngotot dan antusias ingin bergabung dengan Qmunity?

Dia wanti-wanti agar saya mengabarinya kalau Qmunity mengadakan acara lagi. Tapi, entahlah, saya kok merasa langsung tidak begitu respek gara-gara pernyataan dia yang menegaskan identitas seksualnya tadi. Saya merasa, kalau kau straight, kau tak perlu membuat penegasan yang menjelaskan itu. Sebelum berpisah, anak muda itu memberi saya prin out tiga cerpen karyanya, meminta saya membaca dan mengomentarinya. "Salah satu cerpen saya itu temanya gay lho, Mas."

Weleh.

***

Kira-kira sebulan kemudian, saya secara tak sengaja bertemu Gandri lagi di acara Tadarus Puisi di TIM. Bersama-sama dengan para penulis, kami nongkrong di depan TIM usai acara, sampai jauh malam. Seperti biasa, dia banyak sekali bicara, bertanya ini-itu soal dunia tulis-menulis dan lagi-lagi ia menunjukkan rasa penasarannya yang besar pada Qmunity. Hari-hari setelah pertemuan kedua yang tak disengaja itu, tak saya sangka, saya agak direpotkan oleh anak muda itu. Dia berkali-kali SMS saya, biasanya di akhir pekan, mengajak ketemu saya di TIM. Dia melakukan hal yang sama kepada temen-temen saya, para penulis beken itu. Saya bukan penulis, apalagi beken. Tapi, Gandri tetap getol mengajak saya ketemuan dengan alasan untuk berdiskusi tentang proses kreatif. Tak pernah lupa, ia selalu mengembel-embeli SMS-nya dengan, "Ajak teman-teman Qmunity ya, Mas." Saya tak paham dengan gaya sok-akrab dia.

Karena memang belum ada kesempatan, saya tak kunjung bisa memenuhi permintaannya, dan lama-lama karena mulai agak terganggu, bahkan saya tak membalas SMS-nya. Hingga suatu hari, datang lagi SMS dari dia, kali ini dengan nada yang agak berbeda. Tetap dengan alasan ingin belajar menulis dan berdiskusi tentang proses kreatif, kali ini ditambahi dengan "ingin curhat, karena sedang krisis identitas". Serta merta saya langsung teringat kembali pernyataan dia kala itu, yang menegaskan bahwa dia bukan gay. Saya pun dengan menyederhakana langsung menyimpulkan bahwa dia memang gay. Lagi-lagi semata karena memang belum ada kesempatan saya tak memenuhi permintaan ketemuan itu. Saya baru bisa menemuinya ketika KineForum - TIM menggelar program film-film bertema Ruang dan Pertikaian di Dalamnya. Saya ingin menonton (lagi) film Impian Kemarau yang diputar, dan saya pikir, kenapa tidak sekalian mengajak Gandri ketemu. Dia langsung menyambut ajakan saya. Begitulah, akhirnya kami ketemu lagi. Usai nonton saya ajak dia ngobrol di salah satu kedai tenda yang berderet-deret di kompleks TIM.

Awal pembicaraan dia bilang dia sedang menyusun kumpulan cerpen serupa Rahasia Bulan, tapi tulisan dia sendiri -bukan mengumpulkan karya-karya penulis lain. Dengan kata lain, dia sedang menyusun buku kumpulan cerpen bertema gay dan lesbian. Kenapa tertarik tema itu, pancing saya. Mungkin itu pelampiasan dari kebingungan saya pada identitas seksual saya. Dia menghindar untuk berbicara terus-terang, dan kemudian mengalihkannya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang mengirim naskah ke penerbit. Ketika saya kembali berusaha mendedak soal kebingungan identitas tadi, dia tetap bicara muter-muter, tapi intinya, dia merasa dirinya punya ketertarikan dengan sesama laki-laki. Dan, itu sebenarnya sudah sata tebak sejak pertama kali dia bilang. "Tapi, saya bukan gay lho, Mas."

Kami melanjutkan obrolan di emperan Graha Bhakti Budaya, dan dia mulai makin terbuka. "Mas, salah satu volunteer Slingshort yang orangnya gini gini gini itu anak Qmunity bukan?" Slingshort itu festival film pendek yang baru saja digelar di Jakarta, yang para volunteer-nya sebagian besar dari Qmunity.
"Wah, yang mana ya? Siapa namanya? Cowok apa cewek?"
"Cowok, waktu itu sempet ngobrol tapi saya lupa tanya namanya."
Dia kembali menjelaskan ciri-ciri orang yang dimaksud, tapi saya tetap tak berhasil mengidentifikasi.
"Memangnya kenapa?"
"Aku suka sama dia."

Gubrak

***

Cerita belum selesai

Beberapa hari setelah itu, saya bertemu dengan seorang teman, gay, dan terbilang senior dari segi umur dan tentu saja pengalaman. Tiba-tiba saya punya ide menjodohkan Gandri yang masih terbingung-bingung dengan identitas(seksual)-nya itu dengan temen saya yang selalu mengeluh "nggak laku" dan setiap ketemu saya selalu menodong minta dikenalin dengan seseorang --karena di mata dia saya itu banyak kenalannya padahal tidak juga. Ya sudah, saya kasih nomer telepon Gandri dan saat itu juga teman saya si gay senior itu dengan bersemangat menelponnya. Saya sempat khawatir, jangan-jangan nanti Gandri marah karean saya lancang memberikan nomer HP dia ke orang tanpa izin.

Saya mendengar teman saya ngobrol di telpon sama Gandri dan saya lega, ternyata tak ada tanda-tanda kemarahan dari anak itu. Saya bahkan mendapat kesan, Gandri seperti orang "kegatelan" merespon telepon teman saya. Mereka janjian ketemu dan lain-lain dan begitu menutup telepon, teman saya mengaku ilfill. "Belum-belum kok sudah gitu sih, Mu?"
"Gitu gimana?"
"Masak dia tanya ntar kalau jadian gue yang pindah ke kontrakan dia apa dia yang pindah ke kontrakan gue."

Saya terhenyak. Untuk ukuran gay-bingung macam Gandri, obrolan seteknis itu terasa mengejutkan. Saya kembali terheran-heran. Seseorang yang pada awal mengaku bukan gay, lalu curhat dengan malu-malu mengaku soal kebingungan akan identitasnya, kok dengan cepat mengubah perilakunya menjadi ekstremnya. Saya tidak sedang menilai buruk atau negafif tentang teman baru saya itu. Saya justru menemukan satu fakta lagi yang mendukung keyakinan selama ini bahwa kebingungan akan identitas seksual itu bukan sesuatu yang mengada-ada. Gandri bahkan bukan kasus yang cukup "parah" karena ia masih muda. Saya tahu, ada orang-orang yang sudah terlalu tua untuk bingung, tapi kenyataan benar-benar masih bingung dengan identitas seksualnya. Bahkan seumur hidupnya.

Sunday, December 10, 2006

Hampa

cinta begitu fana
kesetiaan begitu

sia-sia

Pesan Pendek Setelah Putus Cinta

everything have an end
manusiawi sekali


Pesan Pendek Setelah Putus Cinta (2)

selamat!

Wednesday, December 06, 2006

Surat

Mas/mbak,
Salam Sejahtera

Uraian pemikiran anda sungguh teratur. Bahasa yang anda gunakan sangat indah, hingga anda menempatkan diri seakan akan anda adalah teh Nini (alinea 6 dan 7). Sudahkah anda menginterview teh Nini personally (supaya mendapatkan jawaban terjujur si teteh). Saya masih merasakan ada kekurangan anda dalam tulisan ini. "Pisau bedah" yang anda gunakan masih bersifat subyektif. Yang paling baik adalah, coba masuk ke kepala dan tubuh Aa Gym. Pertimbangan apa sebenarnya yg membuat dia menikah lagi ? Saya yakin, umur Aa Gym dan pengalaman dia sebagai da'i (terlepas dari pandangan anda yg menilai dia hanya fiksi Islami)pasti ada sedikit banyak berfikir risk and gain serta satu-dua ayat2 hukum tentang penalty Tuhan terhadap mereka yg berbuat zhalim.

Pada berita hangat ttg pernikahan (bukan perzinahan) ke-2 Aa Gym, saya melihat banyak dari kita terseret pada objek yang membingungkan, pernikahan ke2 itu sendiri atau siapa si mempelai perempuannya. Apakah reaksi akan tetap didapat Aa Gym jika beliau menikahi seorang janda dari pelosok tanah Atjeh yang berumur 60 tahun, cacat fisik, yang hidup dalam tempat penampungan pengungsi korban Tsunami, misalnya ?
Bagaimana mas/mbak? Dapatkah anda menulis yang lebih objektif ?

Saya menikmati tulisan anda.

Salam,

Pakcik Ahmad

-- penuhi hatiku dengan-MU
http://pakcik-ahmad.net
http: pakcikahmad.multiply.com

Tuesday, December 05, 2006

Manajemen Syahwat

Bangsa ini ternyata lebih membutuhkan manajemen syahwat ketimbang manajemen hati. Aa Gym adalah sebuah ironi sekaligus kesalahan besar yang baru tersadari hari-hari ini dan harus ditanggung renteng oleh bangsa keledai ini: ya masyarakat yang memujanya, ya media massa yang mengangkatnya. Ini memang watak ndablek dan membingungkan dari fenomena idola: kita tak pernah benar-benar tahu siapa dia karena dia yang kita kagumi tak lebih dari sekumpulan citra yang dibentuk oleh koran dan televisi.

Kita tak pernah tahu makna airmata seorang artis yang baru saja cerai dari suaminya dan sedang berusaha mendapatkan hak asuh atas anak mereka. Demikian pula, kita sebenarnya tak pernah bisa dan boleh benar-benar percaya jika ada seorang ustad muda tampil dengan tutur kata yang begitu lembut, pembawaan yang serba tenang dan kearifan yang menembus batas perbedaan agama. Karena media massa tak pernah bertanggung jawab dengan segala yang telah dan pernah mereka lahirkan. Dia bisa siapa saja, namanya bisa Aa Gym atau yang lain, tapi hanya satu yang menjelaskan kenapa media massa memilih dia: karena dia layak dan laku dijual, karena dia bisa jadi alat untuk mendongkrak rating dan mendulang uang.

Sejak awal, bagi saya, Aa Gym adalah sebuah kebetulan. Sebagaimana Arifin Ilham, Jefry al Bukhori dan ustad-ustad muda lain anak emas televisi. Tak ada yang istimewa pada mereka selain ilusi yang tiap hari terus-menerus dibentuk dan dijejalkan kepada masyarakat. Televisi bisa "menutup matanya" lalu secara acak men-cengkiwing seseorang bernama Klowor, didandani sedemikian rupa dan tampilkan tiap hari lewat berbagai acara. Dalam waktu singkat dia bisa terkenal, punya nama besar dan jadi idola yang dikangeni, dikagumi dan dipuja-puja bangsa. Oleh karenanya, saya tak pernah mengidolakan siapapun sejauh dia makluk yang lahir dan besar oleh televisi. Saya juga tak pernah mengidolakan Aa Gym.

Tapi, saya cukup rajin mengikuti acara-acara dia di televisi karena "tertarik" dan "pengen tahu", seperti dilakukan juga oleh ayah saya. Bukan hanya non-muslim, ayah saya punya trauma politis terhadap segala sesuatu yang berbau Islam, tapi dia dengan objektif memuji Aa Gym sebagai tokoh yang menyejukkan (tentu saja dalam perbandingan dengan orang-orang Islam lain yang ditokohkan dan gemar teriak-teriak mengkafirkan orang sambil merusak tempat-tempat hiburan malam). Dan, jujur, saya bisa begitu terlena dan menikmati gaya tutur Aa Gym yang santun, rendah hari dan tak jarang lucu.

"Hadirin teh setuju tidak..." itu salah satu ungkapan khas dia yang selalu terngiang di telinga saya, dan kalau ingat itu, saya bisa tersenyum-senyum sendiri. Dan, pada saat tampil bersama dengan istrinya, saya selalu menunggu bagian ketika Aa Gym berkata, "Kalau menurut mama gimana?" O, anggunya, o, mesranya!

Ketika tersiar kabar bahwa Aa Gym menikah lagi, pikiran yang segera menclok ke kepala saya adalah, apakah Aa Gym bertanya dulu pada istri(pertama)nya dengan kesabaran yang sama: menurut mama gimana? Saya membayangkan, si istri yang alim pastilah tak bisa berkata lain kecuali setuju, tapi dalam hati menangis sejadi-jadinya. Banyak perempuan di luar sana, saya kira, juga menangis untuk alasan yang sama: idola kita yang lembut itu ternyata bisa juga melukai hati orang. Dan, tiba-tiba kita pun mendapat pemahaman baru tentang segala yang pernah dia katakan.

Dia yang menganjurkan "mulailah dari diri sendiri", ternyata telah memulai sebuah tindakan yang menyakiti hati semua perempuan. Dia yang pernah mengecam film Buruan Cium Gue dan menyindirnya sebagai seruan untuk berzina, ternyata kini mencontohi "umat"-nya untuk buruan kawin lagi. Persis buku-buku fiksi Islam karya penulis-penulis muda yang dengan gagah menyuarakan ajakan moral untuk menikah dini. Rejeki? Ah, sebatang rumput pun diurus kok oleh Tuhan, apalagi manusia yang mencoba mendeketkan diri kepada-Nya!

Aa Gym, juga fiksi Islami itu, adalah satu sisi wajah baru generasi Islam Indonesia yang dibangun dan ditegakkan dengan poligami dan pernikahan dini. Mereka tak pernah benar-benar mengaji kitabnya, tapi lebih gemar grudak-gruduk memadati tablik akbar dan doa bersama. Di tengah acara tunduk kusuk mendengarkan kutbah sambil sesekali meneteskan airmata pertanda takut neraka, tapi sampai di rumah sudah lupa apa tadi pesan Pak Kiai di atas mimbar.

Giliran nonton TV, ketemu pelawak yang kini menjadi anggota DPR, diwawancarai infotainment tentang poligami dan dengan cengengesan menjawab, "Masak ada sunah yang enak kok nggak mau!" Ketika sampai pada kata 'enak', wajahnya menampakkan ekspresi yang luar biasa mesum. O, kelak, bangsa ini harus membayar sangat mahal untuk kegagalan kaum laki-lakinya mengendalikan syahwat mereka. Makan tuh, manajemen kalbu!

Monday, December 04, 2006

Gema

Novel Waiting (diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Sebuah Penantian, Bandung: Q Press, Agustus 2006) karya Ha Jin dibuka dengan kalimat yang menakjubkan. Setiap musim panas, Lin Kong kembali ke Desa Angsa untuk menceraikan istrinya, Shuyu. Terpesona oleh keajaiban kalimat itu, saya pun iseng mengetik di Google dengan kata kunci 'first line novel'. Di luar dugaan, keisengan saya bersambut. Saya menemukan daftar 100 Best First Lines from Novels bikinan American Book Review. Dan, aha, saya menemukan kalimat pembuka Waiting berada di peringkat 29 -setingkat di bawah The Stranger-nya Albert Camus yang dibuka dengan kalimat, Mother died today, dan jauh di atas Mrs. Dalloway said she would buy the flowers herself dari novel Mrs Dalloway karya Virginia Woolf.

Dari tahun ke tahun, Lin Kong berusaha menceraikan Shu Yu karena ia menikahi perempuan itu tanpa cinta. Ketika masih menjadi mahasiswa kedokteran militer, Lin Kong sudah ditunangkan dengan Shu Yu untuk sebuah alasan yang tak bisa ia hindari oleh siapapun yang ingin menjalankan tugasnya menjadi anak yang berbakti pada orang tua. Namun, ketika pulang dan bertemu dengan tunangannya itu, ia kecewa. Kekecewaan itu ia pendam sampai 18 tahun, ketika akhirnya berhasil menceraikan Shu Yu untuk menikahi perempuan yang dicintainya, Manna Wu, perawat sekaligus mantan muridnya di rumah sakit militer tempat dia bekerja.

Waiting adalah sebuah kisah cinta yang sederhana, dan dituturkan dengan bahasa yang tenang dan bersahaja pula. Tak ada emosi yang meledak-ledak, bahkan boleh dibilang nyaris tak ada ekspresi, namun ketenangannya itu begitu berwibawa, menyimpan pesona yang mampu menyedot pembaca untuk terus-menerus menyediakan kesabarannya. Daya tarik utama novel ini memang bukan pada kisah cintanya itu sendiri, namun bagaimana semua itu diungkapkan lewat tokoh-tokoh yang mewakili sebuah situasi zaman: China di masa abad ke-20 yang berjalan gamang di atas revolusi kebudayaan. Yakni, ketika buku-buku bermuatan ideologi dan sintimen borjuis Barat (asing) dilarang, dan hubungan dengan negara tetangga (Rusia) masih diwarnai ketegangan militer.

Lin Kong dan Manna Wu mewakili karakteristik manusia urban kota yang telah dicerahkan dengan ilmu pengetahuan, sedangkan Shu Yu mewakili kekolotan dan keluguan masyarakat yang belum tersentuh modernitas. Ia selalu setuju setiap Lin hendak menceraikannya, tapi begitu duduk di depan hakim, ia menangis sehingga perceraian itu selalu gagal. Dan, Lin harus kembali ke kota dan memberi tahu Manna Wu bahwa mereka harus menunda pernikahan mereka sekali lagi. Novel ini adalah metafor tentang hidup itu sendiri, tempat manusia-manusia terkurung dalam ritme yang membingungkan, antara nasib dan usaha untuk berdamai dengannya. Lin dan Manna memang berhasil melewati masa penantian yang panjang. Tapi, setelah itu apa? Cinta ternyata tak seagung seperti yang dipuja.

Ha Jin, lewat Waiting, telah menampilkan sebuah dunia yang tak hitam-putih. Konsep-konsep keyakinan manusia dijungkirbalikkan dan pembaca dibentur-benturkan dengan keras sebelum akhirnya tercenung, terengah-engah: kesetiaan tak seperti yang dipikirkan dan hanya dipisahkan oleh garis yang sangat tipis dengan pengkhianatan. Impian-impian kebahagiaan hanyalah ironi yang tak pernah benar-benar terpahami. Menanti, pada akhirnya, ternyata tak punya ujung selain kesia-siaan yang menyakitkan. Tapi, apakah lantas hidup menjadi tidak bermakna setelah tahu bahwa segala yang dikejar dengan penuh perjuangan ternyata tak seindah yang dibayangkan? Novel yang baik tidak pernah selesai dibaca walaupun sudah sampai di halaman terakhir. Novel yang baik meninggalkan gema yang panjang di benak dan hati pembacanya. Begitulah Waiting, Sebuah Penantian karya Ha Jin.