pop | arts whatever

Friday, August 31, 2007

Bukan Ikan Bukan Daging

Selamat malam, teman-teman. Terimakasih atas kehadirannya. Sesuai dengan nama acaranya, Q! Gossip, maka kita ngobrol santai saja ya.

1. Sejak awal kemunculannya, homoseksualitas dalam film Indonesia tidak pernah sangat jelas. Tidak mudah diindentifikasi secara pasti. Sehingga sampai sekarang kita tidak bisa mengatakan, apakah representasi yang tampak saat ini sebuah kemajuan atau kemunduran.

2. Sejauh yang bisa saya lacak, homoseksual muncul pertama kali dalam film Indonesia lewat Titian Serambut Dibelah Tujuh (Chaerul Umam, 1982). Dalam film ini, laki-laki gay ditampilkan dengan begitu wajar, alamiah, jauh dari stereotip. Namun, sayangnya kehadirannya hanyalah simbol untuk kebobrokan moral masyarakat suatu desa.

3. Hal yang kurang lebih sama terulang dalam Berbagi Suami (Nia Dinata, 2006). Lesbianisme ditampilkan begitu alami, wajar, namun lagi-lagi lebih bersifat simbolis ketimbang otonom mewakili dirinya sendiri. Lesbianisme di situ menjadi simbol perlawanan perempuan (atas dominasi laki-laki yang mewujud dalam praktik poligami).

4. Dalam rentang itu, begitu banyak hal terjadi, tokoh-tokoh gay maupun lesbian bermunculan, namun sama sekali tidak mengubah atau apalagi memperbaiki keadaan. Dari Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing 1988) sampai sekuel Catatan si Boy.

5. Baru kemudian muncul Arisan (Nia Dinata, 2003) yang cukup menyentak, namun tetap menyisakan sejumlah catatan kecil: bagian dari gaya hidup urban, dan hanya sub-plot. Artinya, sampai Arisan pun kita belum bisa mengatakan bahwa kita pernah punya sebuah film yang secara utuh dan menyakinkan bisa disebut sebagai film gay.

6. Film Tentang Dia (Rudi Soedjarwo, 2005) bahkan muncul sebagai sebentuk pernyataan homofobia: keintiman perempuan justru dipinjam untuk mengatakan bahwa cinta homoseksual merupakan suatu kesalahan.

7. Dalam latar belakang seperti itu, Coklat Stroberi (Ardy Octaviand, 2007) adalah sebuah lompatan. Untuk pertama kalinya dalam film Indonesia, homoseksualitas tampil dalam wajah dua lelaki yang sejak awal langsung berpacaran.

8. Alkisah, Aldi dan Nesta sudah berpacaran selama dua tahun. Mereka datang ke Jakarta untuk kuliah, dan akan tinggal di rumah kontrakan yang sebelumnya telah dihuni oleh dua orang cewek. Interaksi antara sepasang kekasih gay dengan dua cewek itulah yang kemudian menjadi fondasi dasar untuk membangun narasi-narasi kelucuan, maupun keharuan sepanjang film ini.

9. Sampai di sini, apa yang tadi saya bilang sebagai lompatan, ternyata tidak serta merta dan seluruhnya berkonotasi positif. Kecuali hubungan percintaannya yang sudah berjalan dua tahun, Aldi dan Nesta hanyalah pengulangan dari representasi-representasi wacana homoseksualitas dalam film-film Indonesia sebelumnya.

10. Aldi adalah pengulangan dari Nico dalam Istana Kecantikan, dan Nesta adalah reinkarnasi dari Nino dalam Arisan. Yang pertama dilukiskan sebagai lelaki lemah lembut nan gemulai, posesif, cemburuan dan pandai memasak, yang kedua macho dan jantan. Bedanya, jika Nino memiliki konsepsi dan penerimaan diri yang positi sebagai gay, Nesta sebaliknya, dia cenderung denial terhadap identitas seksualnya.

11. Tingkat penolakan yang tinggi itu pada satu titik sampai melahirkan teori tentang coklat dan stroberi. Nesta membedakan adanya unsur maskulinitas (coklat) dan feminitas (stroberi) dalam diri seseorang; dan dia berprinsip bahwa seseorang harus memilih salah satu dari keduanya. Oleh karenanya ia gerah melihat pacarnya cenderung memperlihatkan diri sebagai stroberi. Ia tak mau hal itu membuat dua cewek di rumah kontrakan itu curiga akan identitas diri dan status hubungan mereka.

12. Dengan penokohan seperti itu, pembuat film ini sebenarnya telah melakukan politik seksual --menarik keluar wacana intimasi individual ke dalam konteks luas yang ber-referensi politik.

13. Term politik seksual datang dari pemikir Marxist Kate Millet, yang memaknai politik sebagai hubungan struktur kekuasaan, bangunan yang diatur sedemikian rupa di mana satu kelompok orang diatur oleh yang lain, satu grup dominan dan yang lain subordinat. Dan, kita semua tahu kelompok yang dominan itu laki-laki dan yang subordinat perempuan.

14. Dalam konteks hubungan homoseksual, Nesta yang macho dan jantan mendominasi Aldi yang lemah lembut, bahkan begitu kuasa menentukan bagaimana Aldi harus bersikap: perlihatkan dirimu sebagai cokelat meskipun "rasamu" stroberi.

15. Politik seksual menonjolkan fakta tertentu, dan menyederhanakan atau bahkan cenderung menyembunyian fakta yang lain, lalu mendukungnya dengan indoktrinasi --yang tujuan akhirnya mengontrol individu-- dan tak jarang disertai tindak kekerasan baik
yang terekam maupun tersembunyi (fisik maupun psikis).

16. Dengan gamblang, film Coklat Stroberi telah memperalat dirinya sebagai tempat bekerjanya politik seksual itu: bagaimana mitos dan stereotip cowok gay dilestarikan: kelemahgemulaian di satu sisi dan penolakan diri di sisi lain; yang pertama menghasilkan gambaran-gambaran karikatural tentang sosok seorang gay, yang kedua berujung pada kebingungan tiada akhir, persepsi diri yang negatif dan upaya untuk "sembuh" dan menjadi normal.

17. Film ini contoh paling aktual dan barangkali merupakan puncak dari kecenderungan selama ini, bahwa, ketika menampilkan wacana homoseksualitas dalam berbagai wajah dan strategi diskusifnya, film adalah bagian fundamental dari proses konstruksi mitos-mitos, mengokohkan mitos-mitos itu berikut stereotip-stereotip yang menyertainya.

Thursday, August 16, 2007

Fashion, Seksualitas, Kelas

Kacamata berbingkai plastik warna putih, kalung manik-manik logam menjuntai panjang, dan rambut tampak-basah tegak mencuat ke langit sama sekali tak mampu menyembunyikan fakta bahwa lelaki itu sebenarnya sudah tak muda. Wajahnya yang hitam terlihat makin legam seiring malam yang semakin tua. Kilat keringat menerangi kerut-kerut ketuaannya. Duduk di beton pembatas antara jalur busway dengan jalur bus-bus reguler di Terminal Blok M, Jakarta Selatan, dia tampak sibuk dengan HP-nya seakan terpisah dari riuh dan bising di sekitarnya: tukang rokok dan gorengan, para penunggu bus dan orang-orang yang melintas.

Pada sisi lain beton pembatas yang terbentang memanjang itu, tampak pemandangan yang lebih "down to earth", kalau tak bisa dibilang kontras: lelaki muda bertubuh tinggi, kurus, berbalut kaos polo putih dengan tas selempang dan topi "skater". Jins-nya yang megar di ujung kaki membuat dia tampak seperti "mas-mas".

Saya duduk di antara dua "versi" penampakan itu. Waktu itu malam Minggu, menjelang pukul 22.00. Dengan frekuensi yang agak jarang, busway masih bemunculan dari jalurnya, melaju menuju Kota. Saya mencoba untuk tidak menarik perhatian dengan penampilan yang "ala kadarnya": celana bahan motif kotak-kotak kecil warna hijau, kaos biru bergambar lambang Superman warna merah di bagian dada, memakai sandal jepit dan menenteng tas plastik. Berusaha secuek mungkin, saya mulai menyulut sebatang Malboro filter kretek. Demi ilmu pengetahuan, bisik saya dalam hati dengan penuh kepalsuan.

Tak seberapa lama, seorang lelaki datang, duduk tepat di sebelah saya. Badannya agak besar, mengenakan kaos berwarna dasar kuning garis-garis coklat berkrah putih, tas selempang besar, dan merokok. Duduk sebentar, ia mulai bersenandung. Ngondek sekali. Seperti ada bara di tempat yang didudukinya, ia tampak begitu gelisah, lalu ngeloyor pergi. Saya pun kembali bergantian memperhatikan dua cowok yang duduk di sisi yang berbeda tadi, dan mendapati masing-masing sudah tak sendirian lagi.

Pada kubu si kacamata bingkai putih, terlihat antara lain seorang pria cukup berumur dengan kaos merah berlengan hitam yang kebesaran, sandal jepit, topi "Allstar". Sedangkan pada kubu si down to eart terlihat antara lain cowok muda dengan kaos donal bebek bersandal "Diadora". Awalnya tampak begitu manly tapi begitu bicara, ternyata agak-agak kemayu juga.

Berbaur di tengah ruang terbuka seramai dan "sekasar" terminal, memang membuat lelaki-lelaki itu tak mudah diidentifikasi sebagai anggota dari komunitas orang-orang dengan orientasi seksual tertentu. Apalagi, secara umum, penampakan fisik mereka cenderung tak jauh berbeda dengan lautan manusia lain di lokasi yang sama. Namun, dengan sedikit kepekaan saja, siapa pun yang cukup akrab atau sudah terbiasa dengan denyut kehidupan di area itu, akan dengan mudah mengindentifikasi mereka sebagai cowok-cowok gay. Masalahnya, siapa sebenarnya yang peduli dengan keberadaan mereka?

Di terminal, orang-orang hanya datang dan pergi, tak henti-henti, duduk lama atau pun sebentar di beton pembatas itu, merokok, makan gorengan, ngobrol, menelpon, menunggu bus, minum teh botol dan sebagainya. Hanya seorang seperti saya --yang berlagak sebagai peneliti, padahal sebenarnya punya pikiran-pikiran lain tersembunyi yang malu untuk diakui-- sajalah yang memperhatikan mereka dengan seksama. Ah, tapi sumpah, ini demi masa depan ilmu pengetahuan, pekik hati saya makin munafik.

Saya kembali memperhatikan dua kubu itu bergantian, dan masing-masing semakin ramai. Tiba-tiba tiga cowok datang, duduk tepat di sebelah saya dan mengalihkan perhatian saya dari kedua kubu itu. Dua di antara cowok yang baru datang itu masih brondong dan yang satu sudah agak lebih dewasa, cukup keren dengan kaos polo coklat yang mudah ditebak bermerk mahal. Kehadiran si kaos coklat ini segera menarik perhatian salah seorang anggota kubu down to eart. Dia, seorang lelaki berbadan bagus namun agak pendek, berkaos putih ketat bertuliskan "Spirit Bro" dan kunci mobil menyembul dari balik saku celana jins-nya, terdengar seperti bertanya pada diri sendiri, "Yang baju coklat itu sekong nggak sih?" sambil terus mencuri-curi pandang.

Yang dipandang dengan cara mencuri-curi agaknya sadar, dan mulai berlagak pasang sikap cool, tapi jatuhnya malah jadi tampak pongah dan kege-eran. Selanjutnya, kubu down to earth ini memang lebih banyak menyita perhatian saya, karena orang-orang baru terus berdatangan, bergabung. Salah seorang dari mereka, lelaki berumur yang mengenakan kaos hitam ber-resleting yang dipadu dengan celana 7/8, dengan gaya yang sangat kemayu. Datang-datang dia langsung menyarankan pada seorang tukang roti yang ada di situ untuk ikutan acara Dangdut Mania di TPI. Dari obrolan selanjutnya saya tahu dia kru acara tersebut. Dia mencatat nomer HP si tukang roti, seorang lelaki berkulit hitam, berambut agak ikal, berwajah cukup manis untuk ukuran mas-mas.

Selesai dari urusan tersebut, kru TPI itu meneriaki lelaki bertopi "Allstar" berkaos kedombrongan yang ada di kubu kacamata bingkai putih. "Hai, Mariance Mantau!" Dipanggil dengan nama artis tahun 80-an, dia segera menghampiri. Ikut pula menyeberang kubu bersamanya, seorang lelaki --ya, lagi-lagi berumur-- berpenampilan sangat jadul: topi yang dibalik ke belakang. Berkaos ketat garis-garis ungu dengan warna dasar putih, anting mungil menghiasi telinga kirinya.

Seperti sahabat yang lama tak saling berjumpa, mereka bertiga tenggelam dalam canda yang seru dan saling meledek. Sementara, si "Spirit Bro" masih juga penasaran dan mengincar si coklat yang sok-cool itu. Si kaos donal merespon dengan sengaja mengeras-ngeraskan suaranya, "Katanya pengen kenalan sama baju coklat?" Kru TPI ikut-ikutan menimpali, lalu berseru ke arah si coklat sok-cool. "Jangan didengarin, Mas, dia banci."

Si coklat menatap sekilas kubu itu, dengan kilatan sinar mata tak suka, bahkan seperti meremehkan. Seolah ia merasa terlalu keren untuk lelaki-lelaki yang sedang berusaha menggodanya itu, atau sebaliknya, ia sebenarnya juga cukup tertarik dengan si "Spriti Bro" yang sekali lagi harus diakui berbadan bagus. Masalahnya, siapa yang tahu kalau si coklat cool yang anggota rombongannya dua cowok berusia brondong bergaya punk itu juga gay?

Siapa saja bisa singgah di beton pembatas itu, dari pengamen yang meruapkan aroma badan tak sedap hingga serombongan lelaki berbahasa jawa timuran berkaos The Beatles, Che Guevara dan sebagainya yang mencomot tahu dan bakwan dan memakannya sambil berdiri di depan penggorengan. Dan, malam terus merambat, membuyarkan bayangan orang-orang yang bergegas. Busway terakhir baru saja lewat, tapi di jalur reguler, metromini masih berderet panjang sampai nanti jauh malam.

Seorang pria bertampang bapak muda yang sedang gundah, dari balik jendela kaca Kopaja jurusan Kampung Rambutan menatap heran ke arah si kacamata bingkai putih, yang kini tinggal berdua saja dengan seorang cowok muda berambut spike ekstrem, bercelana 3/4 dengan kemeja putih transparan yang bagian lengannya digulung tinggi memperlihatkan lengannya yang kurus.

Saya menoleh ke kubu down to earth, dan satu per satu juga mulai pergi. Seorang perempuan berbedak tebal, bertindik dua di telinga kanannya dan mengenakan kardigan tipis warna hijau tigapuluhribuan muncul begitu tiba-tiba, dan menyapa si tukang roti. Busway terakhir mungkin sudah menyusuri ujung terjauh Jalan Sudirman, tapi malam masih panjang di terminal itu. Karena setelah ada yang pergi, selalu ada yang lain yang baru saja memulai hari.

Thursday, August 09, 2007

Nggak Ada Hal Lain yang Lebih 'Kurang Kerjaan' yang Bisa Kau Lakukan Ya, Mu?

Buaya-buaya tak mampir di pameran. Dan, naga hanyalah nama buah aneh berwarna merah muda yang mudah kau dapat di supermarket.

Tapi, anak itu terus merengek minta dipertontonkan buaya, mungkin dia merasa sedang diajak piknik ke kebun binatang. Dan, sang bapak nyaris putus asa menjelaskan.

Tuan-tuan, nyonya-nyonya, jikalau sekiranya sudah tidak ada hal yang lebih bermakna dan berguna yang bisa Anda sekalian lakukan, ajaklah keluaga dan handai tolan ke Lapangan Banteng.

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya tidak usahlah terlalu risau dengan tulisan besar di spanduk itu. Pameran Flora dan Fauna.

Maksud saya begini. Tentu saja saja Anda sekalian akan berjumpa dengan aneka rupa aglaonema, adenium, buah-buahan dalam pot, kaktus-kaktus mungil, bonsai berumur tahunan dan sebagainya itu, yang semuanya sudah barang tentu sedap di mata dan menghibur jiwa.

Anda juga akan menyaksikan kura-kura hijau kecil dalam kotak kaca, aneka ular, tikus putih, kelinci dan seekor iguana yang sedih karena tak bisa bergerak di kurungannya yang terlalu sempit.

Dan, sebuah papan pengumuman: di sini tempat pendaftaran Putri Flora.

Wahai, kenapa tidak ada pemilihan Putri Fauna?

Namun, tuan-tuan dan nyonya-nyonya, yang jauh lebih menarik perhatian pengunjung justru terutama bukan itu semua. Melainkan: kerak telor di mana-mana; air mineral ajaib dalam bambu apalah itu namanya yang harganya 50 ribu per ruas yang konon bisa menyembuhkan berbagai penyakit yang membuat orang-orang berebut dalam antrian panjang;

Dan, minuman segar aneka herbal dari teh pegagan sampai lidah buaya, dan buah-buahan yang pohonnya ditanam tanpa pupuk kimia;

Dan, semua orang tiba-tiba ingin sehat;

Dan, jambu air, belimbing, sawo itu...hanya karena dilabeli kata organik, semua orang jadi ingin membelinya dan harganya sudah barang tentu lebih mahal dari biasanya.