pop | arts whatever

Tuesday, August 29, 2006

Main-main (Minus) Makna

Betina merupakan sebuah debut yang sangat menjanjikan. Lola Amaria, jika nanti bisa menjaga konsistensinya dalam berkarya, akan menjadi sineas yang patut diperhitungkan dalam jajaran nama-nama elite industri perfilman Indonesia. Dia tidak perlu berkecil hati kalau misalnya banyak orang mencemooh karya perdananya ini sebagai film yang absurd, susah dipahami dan mubazir. Bahwa Betina kemudian memang tampak sebagai karya yang absurd, susah dipahami dan mubazir…apa salahnya? Kekurangan memang masih tampak di sana-sini, tapi satu hal yang harus kita akui dari Lola: ia punya visi yang jelas –sesuatu yang tak kita lihat dari kebanyakan sineas yang muncul di era kebangkita film Indonesia belakangan ini. Bahkan sampai ada sineas yang berganti nama setiap meluncurkan film baru karena sadar benar dirinya memang tak pantas diperhitungkan.

Film Lola sebuah langkah berani dari seorang sineas yang tak mau menjadi bebek. Ia tak asal anut-grubyug, ikut arus, ketika semua orang bikin film horor-remaja dan beramai-ramai mengangkat teenlit-teenlit celaka ke layar lebar, ia memberi warna yang lain, suara yang lain: sebuah pilihan yang lain. Susah dipahami? Saya kira tidak. Sama sekali tidak. Bahwa banyak hal dari filmnya tampak asing, aneh, tidak lazim, bukan sesuatu yang datang dari rutinitas banal keseharian, bukankah itu menunjukkan bahwa Lola bukan filmmaker yang malas berpikir, seperti kebanyakan filmmaker kita yang sudah lebih dulu muncul? Hanya saja, ada banyak catatan yang perlu dia perhatikan dengan sungguh-sungguh.

Menurut saya, Betina adalah sebuah puisi –sama halnya dengan, antara lain, “Bulan Tertusuk Ilalang”-nya Garin atau yang lebih terkini “Impian Kemarau”-nya Ravi Bharwani. Hanya saja, berbeda dengan Impian Kemarau yang disebut oleh JB Kristanto sebagai film-puisi yang paling berhasil dalam sejarah perfilman Indonesia, “Betina” belum sehebat itu. Kelemahan utama “Betina” terletak pada kegagapan Lola menyatukan mozaik-mozaik gambar-gambar puitisnya menjadi sebuah kesatuan yang menyarankan satu makna tunggal. Bukan berarti bahwa Betina harus menutup diri dari tafsir-tafsir yang berbeda, melainkan, makna tunggal itu sebuah benang merah halus tak terputus, yang dengan mulus menyampaikan sesuatu yang kuat kepada penonton.

Impian Kemarau yang misterius, lamban bahkan nyaris diam itu tahu benar apa yang hendak dikatakannya: bagaimana pusat merepresentasikan dirinya lewat politik janji-janji di daerah. Betina sama misteriusnya dan agak jauh lebih “bergerak” ketimbang Impian Kemarau, namun gagal mengatakan sesuatu selain memberi kejutan di akhir cerita. Ibarat cerpen –secara durasi film ini memang tergolong pen dek, 70 menit- Betina adalah prosa yang penuh permainan suasana mistis dan ajaib tanpa bisa memberi makna pada main-mainnya itu selain, ya main-main itu sendiri. Penonton dibuat takjub dalam hampir semua lini: penokohan, alur cerita dan bahkan tema ceritanya itu sendiri yang orisinal.

Betina adalah perempuan yang bekerja di sebuah peternakan sapi. Rekan kerjanya, bernama Luta, adalah lelaki yang aneh: ke mana-mana berkalung radio, dan suatu hari bercinta dengan sapi. Betina selalu meneriaki Luta untuk mematikan radionya dan suatu kali melempar lelaki itu dengan tahi sapi. Tapi, Betina juga tak kalah aneh: ia pun bercinta dengan sapi, sampai suatu saat jatuh cinta pada Penghulu Kematian di desanya. Dari awal, penonton sudah disuguhi sosok sang penghulu (Agastya Kandau) yang juga aneh: mengapa ia selalu mengajak perempuan yang mengantar jenazah ke pemakaman, naik ke biliknya? Penonton barangkali tidak –atau susah- membayangkan sesuatu yang erotis. Sampai saat kematian Luta –yang jenazahnya diantarkan oleh ibu Betina, menguak segalanya: perempuan-perempuan yang mengantar jenazah itu ternyata dihibur oleh Penghulu Kematian dengan diajak bercinta. Dan, Betina memergoki adegan itu: ibunya bercinta dengan Penghulu Kematian!

Sejak itu, Betina jadi membenci ibunya hingga suatu saat nekad membunuhnya. Kita hanya bisa menebak-nebak, apakah Betina membunuh ibunya karena perasaan muak, atau ia membunuhnya agar sebagai pengantar jenazahnya nanti, ia bisa bercinta dengan penghulu kematian? Di sinilah kejutan besar dari film ini, yang dengan cemerlang memang berhasil mengejutkan penonton. Masalahnya: setelah terkejut itu, lalu apa? Ternyata tak ada, selain terkejut itu saja. Kembali ke Impian Kemarau, kita tak diberi kejutan apa-apa baik di tengah maupun akhir cerita, namun kita menangkap makna yang sangat mendalam. Makna itu yang tidak kita temukan dari Betina.

Apakah lantas Betina menjadi sia-sia? Atau kita dengan serta merta bisa mengatakannya sebagai karya yang buruk, atau bahkan gagal? Bahwa Lola gagal memberi makna pada semua main-mainnya, saya kira iya. Tapi, bahwa Betina gagal sebagai sebuah film, saya kira tidak, kecuali bagi penonton yang memuja mati-matian soal komunikasi pesan. Betina tetap merupakan sesuatu yang unik dan menjanjikan: repitisi adegan prosesi pemakaman berhasil memberi efek sensasi mistis yang dahsyat. Tokoh pembantu Penghulu Kematian yang misterius (diperankan oleh Fahmi Alatas) yang sepanjang film sama sekali tidak berbicara, juga menjadi salah satu kekuatan film ini.

Lola, untuk ke depannya, harus hati-hati dengan main-mainnya, karena terlalu banyak hal dalam film perdananya ini yang sekedar beraneh-aneh. Misalnya, atribut ayah betina yang seorang penulis buku “NKRI bukan Tuhan”, atau soal jamur tahi sapi. Pendek kata, banyak unsur yang sebenarnya tidak terlalu mendukung kesatuan cerita dan hanya tampak sebagai sensasi-sensasi kering semata. Kalau tadi saya sebut film ini puisi, maka kita bisa menganalogikan Betina dengan puisi-puisi Afrizal Malna (eksponen terdepan dari generasi penyair yang mulai berkarya pada 1980-an): ada satu dua kalimat yang ganjil dan barangkali secara logika tidak punya arti apa-apa, namun secara keseluruhan menghadirkan efek keindahan dan kenikmatan tekstual yang ajaib.

Kematian yang Romantis

Di mana letak surga itu?
Biar kugantikan, tempatmu denganku


Lagu andalan kedua dari album terbaru Agnes Monica, Whaddup…A? (2006) merupakan sebuah balada yang menyayat tentang kehilangan seorang kekasih. Sang kekasih itu mati, dan ‘aku’ meratapinya begitu rupa, sampai ingin menggantikan tempatnya di surga. Tapi, di mana letak surga itu? Dan, seandainya ‘aku’ berhasil menemukannya, dan kemudian menggantikan tempat sang kekasih, bukankah itu artinya, dia yang (gantian) mati dan kekasihnya hidup kembali? Artinya, mereka tetap tak akan bertemu dan bersatu lagi.

Tapi, lirik yang kurang cermat itu sama sekali tak menggurangi popularitas lagu berjudul “Tanpa Kekasihku” itu. Lagu ini dituangkan ke dalam video klip dengan tafsir yang begitu setia pada liriknya. Video klip tersebut melukiskan adegan kematian sang kekasih, yang ditusuk oleh seorang preman di jalanan. ‘Aku’ yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, kekasihnya tewas di sisinya, menangis sejadi-jadinya. Sesaat sebelum tragedi itu, mereka berantem di sebuah kafe, dan barangkali hal itu membuat penyesalan dan rasa kehilangan si aku atas kepergian kekasihnya terasa lebih pahit dan menyesakkan. Video klip tersebut dengan gamblang menerjemahkan lagu, dan berhasil menambah efek dramatisasi dari lagu yang sangat sendu itu.

Lewat visualisasi video klip, kematian dalam lirik lagu menjadi terasa lebih dramatik. Dalam adegan yang memilukan, kematian menjadi terkesan begitu romantis. Cinta remaja yang menggebu-nggebu dan maunya serba indah, serba heroik memang selalu membutuhkan efek-efek sensasi untuk mengejar nilai keromantisan. Dan, kematian menjadi pilihan yang paling sensasional, ekstrem, ultim, untuk mendapatkan feel romantis yang luar biasa. Video klip “Tanpa Kekasihku” hanyalah potret parsial tentang bagaimana budaya remaja begitu memuja cinta sehingga kematian pun jadi terasa seksi dan eksotik. Gambaran yang lebih utuh tentang betapa romantisnya kematian tampak dalam film karya terbaru sutradara Hanny R Saputra, Heart. Dalam film ini benar-benar terasa bahwa kematian hanyalah alat untuk mengejar efek romantis untuk sebuah cerita cinta.

***

Laju arus cerita dalam Heart memperlihatkan jalinan benang-benang merah yang bisa disederhanakan ke dalam dua aspek besar. Yakni, aspek filosofi dan aspek moralitas. Dalam satu kalimat pendek film ini bisa digambarkan begini: filosofinya “dapet” tapi moralitas ceritanya sungguh ketinggalan zaman. Melaju dengan plot tunggal yang cukup kuat, film ini menggulirkan arus ceritanya secara linier, lurus-lurus saja, tidak neko-neko. Babak demi babak tersaji dengan rapi, puitis dan mengalir lancar. Namun, dari awal sudah demikian gamblang terbaca ke mana arah cerita. Ketika film dibuka dengan adegan dua anak kecil, maka penonton sudah tahu, cerita akan segera melompat ke masa dewasa yang penuh konflik. Ketika kemudian muncul orang ketiga di antara mereka, penonton sudah tahu, hubungan antara dua sahabat tadi akan berubah oleh pergeseran dari bentuk pertemanan ke perasaan cinta. Begitulah, Heart memberi kita sebuah sajian paling
Baku dan paling klasik dari apa yang selama ini kita kenal sebagai cerita cinta.

Dengan kata lain, Heart adalah sebuah dongeng yang sudah berkali-kali kita tonton atau kita dengar sebelumnya, dalam berbagai variasi. Dan, layaknya dongeng, kita tak diberi kejutan apa-apa karena semua yang akan terpapar pada dasarnya sudah bisa kita tebak. Dan, layaknya mendengar atau menonton dongeng, kita tak perlu repot-repot bertanya, misalnya, kapan peristiwa itu terjadi. Heart adalah satu dari ribuan cerita yang terjadi “pada suatu ketika”. Soal di mana-nya juga tak penting. Tokoh-tokoh dalam Heart berpakain modis masa kini, tapi mereka tidak nongkrong di kafe atau jalan-jalan di town square. Mereka bermain di rumah-rumahan di atas pohon di hutan, berlarian di jalan setapak berliku yang membelah kebun teh, berdayung sampan di danau sambil menyaksikan kura-kura yang selalu ada di tempat yang sama, dan sesekali berkunjung ke toko bunga.

Layaknya dongeng pula, dunia dalam Heart serba indah, begitu membuai, menerbangkan angan ke alam mimpi, alam “entah”. Dan, karena ini dongeng, maka jatuh cinta pun bisa terjadi begitu saja, begitu pun perjumpaan. Pada suatu ketika, tersebutlah Farel (Irwansyah) sedang mencari komik baru di toko buku. Penjaga toko merekomendasikan sebuah komik baru, berjudul “Heart”. Kalau kau beli komik ini, kata sang penjaga toko, kau bisa sekalian mendapatkan tanda tangan penulisnya. Sebab, sim salabim, si penulis komik itu ada di luar sana, dan ketika Farel menoleh ke jendela, tampaklah gadis cantik bak bidadari turun dari mobil. Farel segera mengejar bidadari itu, minta tanda tangan sekalian nomor telepon dan alamat rumah. Pada suatu kesempatan, Farel pun datang ke rumah sang bidadari bernama Luna (Acha Septriasa) itu, membawa karangan bunga, berputar-putar mengitari Luna sambil merayu dengan gaya dan bahasa layaknya Romeo merayu Juliet di atas panggung teater.

Cinta mati Farel pada Luna menyisakan persoalan. Dan, penonton sudah tahu. Rachel (Nirina Zubir), teman masa kecil Farel, cemburu. Diam-diam, ia juga mencintai Farel dan –layaknya cerita cinta yang membenturkan antara sahabat dan orang ketiga- Farel tidak membaca gelagat itu. Sambil meredam gejolak perasaannya sendiri, Rachel mendukung usaha Farel untuk mendapatkan cinta Luna. Dengan bantuan Rachel pula, Farel akhirnya “menembak” Luna dengan sebuah upacara ala “Katakan Cinta” yang menggelikan. Sebelum acara penembakan secara resmi itu, Farel sudah melakukan pendekatan lain, misalnya mengajak Luna ke suatu tempat yang indah dengan menutup matanya. Ketika mata itu dibuka, jreng, terhampar sekelompok pemain musik beraksi dengan latar belakang pemandangan yang menakjubkan. Semua adegan itu, tentu saja maunya memberi efek romantis yang luar biasa, tapi malah terjatuh ke dalam kesan “jadul” yang, ya itu tadi, menggelikan.

Tak disangka, cinta Farel ditolak. Namun, dari sini terungkap, bahwa ternyata Luna bukanlah bidadari, melainkan peri yang sedang menunggu kematiannya: ia menderita penyakit hati yang tak bisa disembuhkan. Namun, pada akhirnya Farel berhasil meyakinkan peri murung itu, dan mengubah dia menjadi peri yang riang. Rachel kalut melihat sahabat yang dicintainya sudah menjadi milik perempuan lain. Ia berlari tanpa tujuan di jalan-jalan tebing yang curam, hingga akhirnya terperosok ke jurang. Pada saat yang sama, kondisi kesehatan Luna berada di titik kritis. Dan, karena ini dongeng, maka tak perlu mempersoalkan kalau kedua perempuan itu bisa terbaring sebelah menyebelah di ruangan yang sama di rumah sakit. Dan, penonton sudah tahu, siapa akan berbuat apa. Ya, Rachel mendonorkan hatinya untuk kesembuhan Luna.

Sampai di sini kita pun jadi maklum, mengapa Heart menampilkan moralitas cerita yang tidak hanya klasik tapi bahkan sudah klise. Moralitas cerita yang entah sudah berapa puluh kali diusung oleh drama-drama lepas TVRI tahun 1980-an: tokoh yang begitu mulia hatinya bak malaikat, yang walaupun disakiti, tetap berbuat baik untuk orang yang menyakitinya itu, terdorong oleh rasa cintanya yang demikian besar. Apakah cinta memang begitu berharga, sampai harus ditempuh dengan pengorbanan nyawa yang demikian heroik? Apa artinya pengorbanan yang habis-habisan itu kalau toh orang yang dicintai tetap saja tak bisa dimiliki, dan tetap memilih menjadi milik orang lain?
Sekali lagi, kita maklum belaka, karena dari awal film ini memang dengan penuh kesadaran hendak mengabdi pada filosofi cerita tertentu tentang hati. Dengan mendonorkan hatinya kepada Luna, yang kemudian dinikahi oleh Farel, Rachel merasa bahwa hatinyalah yang sebenarnya berpaut dengan Farel. Jadi, seperti telah saya bilang pada bagian awal, secara filosofi cerita film ini memang “dapet”, tapi secara moralitas cerita “enggak banget”. Film ini jadi tak ubahnya reality show panjang tentang bagaimana cinta diungkapkan dengan penuh pengorbanan, penuh penderitaan dan serba mengharukan. Semua serba dilebih-lebihkan, didramatisasi, dan akibatnya justru gagal mendapatkan feel yang diinginkan. Beberapa bagian yang maunya bersedih-sedih dan romantis malah bikin penonton tertawa. Apa yang ditampilkan terlalu jauh dari kewajaran dunia nyata, dan di mata penonton hanya tampak sebagai sebuah dunia yang diidealisasikan, diimpikan, dunia dongeng yang membuai tapi tidak di sini, saat ini.

Saya menduga, selain karena hanya ingin berindah-indah dengan filosofi cerita, hal lain yang membuat film ini terasa berjarak dan gagal membuat penonton terhanyut ke dalam romantisme dan keharuan yang diinginkan, adalah akting pemain-pemainnya. Nirina, okelah. Tapi, akting Acha sebagai Luna sungguh membosankan. Ekspresinya monoton, setiap bicara selalu berusaha tertawa. Begitu pun dengan Irwansyah yang selalu terkesan canggung. Kedua aktor ini belum “selesai” dengan peran masing-masing sehingga kita juga tak mungkin berharap mereka bisa membangun reaksi kimia satu sama lain sebagai dua orang yang saling jatuh cinta.

Ganjalan lain, di antaranya, film ini berpanjang-panjang pada beberapa bagian sementara di bagian akhir justru terasa buru-buru didesakkan. Misalnya, penonton hanya diberi tahu lewat surat bahwa Rachel akhirnya meninggal dan mendonorkan hatinya kepada Luna. Agak tak logis, kalau hanya terperosok ke jurang saja, kaki sampai harus diamputasi, dan kemudian bahkan mati. Tapi, bagaimana Rachel mati, tidak disebutkan dengan jelas. Ia memang sempat berkata, daripada diamputasi lebih baik mati. Tapi, sekali lagi bagaimana akhirnya ia benar-benar mati? Apakah ia memilih mati? Dengan cara apa? Atau, semua pertanyaan ini tak penting, pokoknya Rachel hanya harus mati, itu saja, agar hatinya bisa didonorkan kepada Luna! Film Heart telah menampilkan sebuah filosofi cerita yang luar biasa gagah, juga indah, tapi tidak ada gunanya bagi penonton yang sedang dan akan jatuh cinta. Penonton dari kalangan abege paling cuma akan nyeletuk dengan enteng, tapi “dalem”: kayaknya nggak segitunya deh.

Ikutlah Menuai Erangan Pedih di Tubuhku

Apakah seorang penyair, dalam batas tertentu, sama dengan pembohong? Bagi Dina Oktaviani, yang menulis kumpulan puisi Biografi Kehilangan (Insist Press, Yogyakarta, 2006) ini, penyair tak ubahnya orang jujur yang memakai topeng. Dan, topeng itu tentu saja kata-kata, yang kemudian membuat kita bertanya-tanya, mengapa seorang penyair cenderung hanya menulis kesedihan? Apakah kebahagiaan tidak cukup elok untuk dirayakan –atau sekedar dikabarkan- dalam puisi? Setidaknya, pertayaan semacam itulah yang mampir di benak saya usai membaca kumpulan puisi Dina.

Puisi-puisi Dina begitu dingin. Sebagai awalan silakan cicipi komposisi ini: Pergilah/ banting pintu seperti biasa/…/ di sakumu telah kusisipkan cinta dengan sengaja/ untuk kaumakan atau tukarkan dengan ketololan. Kalimat-kalimat dalam puisi Dina seperti penyataan keras yang menyimpan amarah, kecewa, dan terendus dendam pula di dalamnya, yang ujung-ujungnya melahirkan sikap sinis. Kau mungkin hafal rasanya dikhianati/ tapi tak pernah tahu pedihnya membagi/…/aku merindukan dadamu berkeringat/…/tapi tentulah kau telah beku/ telah yakin oleh kebenaranmu dan cacatku.

Namun, gejolak emosi yang meledak-ledak itu tak jarang menimbulkan kesadaran yang lain pada akhirnya, atau setidaknya dipertanyakan lagi untuk kemudian dikembalikan pada keadaan dirinya sendiri. Sebab, ternyata, aku juga merindukan ketololan sendiri. Menurut teman-temannya di komunitas BlockNoteInstitut Yogyakarta, tempat ia menjadi editor puisi, karya-karya puisi Dina “sangat tidak pantas untuk digeluti usia belasan”. Mereka menganggap, Dina terlalu muda untuk puisi-puisinya. (Lihat catatan Ugoran Prasad untuk kumpulan cerpen Dina, Como Un Sueno, Yogyakarta: Orakel, 2005). Dina yang lahir pada 1985 memang sudah mulai menulis puisi dan menerbitkannya dalam antologi bersama setidaknya sejak 2001.

Nirwan Ahmad Arsuka, dalam komentar singkatnya untuk sampul belakang buku ini, ternyata juga melihat hal yang sama. Menurutnya, sajak-sajak Dina terasa mendahului kematangan usia penciptanya. Seperti tersirat dari judulnya, puisi-puisi dalam kumpulan ini merekam sebuah riwayat hidup seorang anak manusia yang berjalan dari kehilangan demi kehilangan. Maka, bila menurut Sapardi Joko Damono “kita abadi”, bagi Dina “yang abadi adalah mencari”. Lirik-lirik Dina adalah lantunan tembang sumbang tentang jejak pencarian abadi ‘sang aku-lirik’ yang pertama kali melihat dirinya sendiri berlalu dari masa remaja. Aku tak akan lupa cara meningalkan waktu remaja/…/cahaya yang siap diredupkan/ sebelum seluruh saudara saling meninggalkan/…/ sisanya tak peduli dan rumah sepi/…/di rumah baru kita menunggu cerita lama/ sedang di depan tumbuh perang/ ada yang memilih jadi drupadi/ yang lain jadi matapanah, sisanya menolak sejarah/ kehilangan setiap arjuna setiap bisma…

Cara Dina menggambarkan perubahan dunia seorang individu manusia setelah berlalunya masa remaja dengan metafora dari panorama Kurusetra yang “menjelma apa saja” itu memang sangat unik. Sama uniknya dengan keberanian dia memberdayakan kata-kata dengan penghayatan yang barangkali belum pernah kita lihat pada penyair lain. Kita seolah mendapat semacam kejutan kecil dari susunan frase-frase seperti “punggungku yang nanar”, “mata yang parau” atau “sayat ciummu”. Kata tak hanya berhasil menjadi diksi yang segar dan bening, tapi sekaligus menjelma citraan yang tajam dan menggoda. Punggung seolah-olah bisa melihat, mata bisa bersuara dan ciuman yang mestinya merupakan sentuhan lembut-nikmat, tiba-tiba menjadi perbuatan yang bisa melukai, memberi perih dan darah. Mengerikan.

***

Buku kecil ini memuat 46 buah puisi yang dikelompokkan ke dalam tiga bagian, masing-masing “Bangkai Tanjungkarang”, “Prosa Tahun Baru” dan “song for dog!” Pengelompokan ini disusun dengan cermat, seolah-olah mengikuti sebuah alur cerita yang kronologis. Tiga bagian dalam buku ini hadir sebagai bab demi bab yang mencoba menuturkan sebuah kisah yang utuh. Dan, kalau kita kembali ke personifikasi penyair sebagai orang jujur yang memakai topeng tadi, maka lewat puisi-puisinya Dina mengajak kita untuk mengintip apa yang di balik topeng itu: kejujuran atas penerimaan dan penghayatan pada kehidupan sepanjang usia yang telah dilewatinya.

Bagi yang percaya pada pernyataan tentang “kematian pengarang”, puisi-puisi Dina akan memberikan hal yang sebaliknya. Betapa terang puisi-puisi dalam kumpulan ini menghidupkan kedirian sang pengarang. Ini memang cukup berbahaya mengingat, kalau kita mau percaya pada Nirwan Dewanto, puisi yang baik mestinya membuat kita melupakan penyairnya. Sementara, puisi-puisi Dina justru menggoda kita untuk terus-menerus memikirkan si penyair. Misalnya ketika ia berkata,
aku melihat hidup/ pada retak cahaya air/ dan bukan pada utuh cermin.

Hidup sebagai manusia yang bukan lagi remaja memang tak mudah.
Mungkin selamanya kita tak akan pernah mengerti/ mengapa kalender-kalender tua mampu mengubah sejarah/ semudah dan secepat laju jalan raya/ sedang kita tak pernah bisa menerkanya/…/kita cuma berkempatan merangkak memeluk jejak terakhir/…/dan aku terusir dari rumah kecil di hatimu. Maka, sejak itu, aku mulai menggelandang/ menjadi perempuan bagi kaca dan jalanan/ tapi tak juga kutemukan wajahmu –atau wajahku/ sebab bayang-bayang membangun dunianya sendiri.

Bagi seorang gelandangan, pulang hanya sebuah kata ‘mungkin’, apalagi kesetiaan, tak ubahnya dongeng belaka. Atau kalau tidak, ia –kesetiaan itu- hanya kata yang disebut-sebut dalam perjamuan sebagai dosa yang sempurna, ketika kelak dipahami bahwa betapa setia harus saling tikam. Sebelum akhirnya sadar:
engkau bukanlah “pulang” itu / kita cuma dua keping hilang yang saling tikam di satu simpang.

***

Pada banyak penyair perempuan, puisi kerap hadir sebagai teks perlawanan terhadap dominasi laki-laki dan usaha membongkar hubungan yang timpang dan dipenuhi ketidakadilan antara kedua jenis kelamin. Namun, yang terlihat pada Dina berbeda. Puisi-puisi Dina merupakan sebuah suara lain dalam khasanah puisi yang ditulis oleh penyair berjenis kelamin perempuan. Puisi-puisinya adalah potret dirinya dalam lirik-lirik kelam yang menjelma fragmen-fragmen, potongan kisah, penggalan riwayat. Tak ada peristiwa “besar” di dalamnya, melainkan hamparan momen-momem yang bersifat “domestik”, tentang ketercerabutan sang aku-lirik dari “waktu kecil sempurna”, usaha melawan lupa atas “cara meninggalkan waktu remaja”, pengembaraan, penemuan cinta hingga memahami tubuh sendiri sebagai perempuan dewasa.

Dan, akhirnya, soal hubungan (pernikahan?) dengan laki-laki. Tak ada yang gampang di sini. Sebab, engkau dan aku tak mampu saling menyenangkan/ butuh nyanyi-nyayi di antara dustamu dan dustaku/ lantas hiduplah kita dalam semalam/ sebelum kantuk menemukan akhir yang mampu membikin kita padam. Rumah tangga tak ubahnya sebuah ruang “yang diam-diam membuat kita terus berjarak.” Bila obrolan hangat dengan keceriaan tak bisa lagi diciptakan, semua jadi serba salah sementara komunikasi pun jadi tidak nyambung.
Aku melipat sprei-sprei yang lusuh/ dan kau tak menyukai perayaan jenis ini/ kau tak lagi terhibur dengan baju-baju kotor di gantungan/ tapi aku…telah ketinggalan jauh mode percakapan.

Dari kehilangan kembali ke kehilangan. Bila kamar sudah “cekung seperti kuburan”, dan seluruh ruangan hanya bisa dihiasi “kemuraman yang riang”, maka dengan diiringi ucapan maaf, akhirnya harus berpisah. Penyesalan tidak ada. Rindu? Barangkali, “tapi kapan-kapan” sebab…ada yang tak pernah selesai memang dari sebuah perjalanan/ begitu juga semua yang kukerjakan di dalam. Membaca buku kumpulan puisi ini kita seperti duduk di sebuah ruang, mendengar lagu dengan lirik-lirik yang indah, namun menuturkan cerita yang begitu muram. Sehingga sejak bagian awal, tuturan lagu itu seolah-olah sekaligus mengajak kita: ikutlah menuai erangan perih di tubuhku/ sebab apa yang kutampakkan di antara kegelapan itu/ adalah yang semestinya kau pelihara…