pop | arts whatever

Monday, May 14, 2007

Cerita dari Jauh

"Aku kasihan kalau lihat mereka,"
Kata dia tiba-tiba, setelah melihat sejenak ke sekeliling. saya agak terkejut.
"Kasihan kenapa?" tanya saya.
"Mereka itu ada, tapi mengapa mereka tidak diakui?"

***

Seperti biasa, malam Minggu itu, saya duduk di Ohlala. Yang tidak biasa adalah lelaki yang duduk semeja dengan saya. Seorang lelaki yang nyaris tak bisa berhenti bicara sejak detik pertama saya menyalaminya.

Dengan ekspresi wajah yang kenes, ia bicara seperti menulis kalimat-kalimat yang panjang dan penuh kemarahan. Di ujung kalimat panjangnya itu, tak jarang nadanya melengking tinggi menyerupai suara perempuan. Seseorang pernah meledek gaya bicaranya yang seperti itu, dan dia marah, menganggap itu pelecehan. Dan, malam itu dia banyak bercerita tentang hal-hal yang selalu tampak dan terdengar salah di mata dan telinganya. Hal-hal yang membakar dirinya untuk selalu marah dan melawan. Ia marah ketika masih saja ada orang yang mengatakan dirinya "sakit". Ia marah ketika seorang psikiater yang memeriksanya bertanya, "Apakah Anda pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kecil?"

Dalam keyakinannya, ia menjadi seperti sekarang --mencintai sesama lelaki-- bukan oleh suatu faktor penyebab apa pun, melainkan karena ia memang terlahir seperti itu, karena Tuhan memang menghendaki begitu. Habis perkara.

Berkali saya dibuat kaget dengan gelegak-gelegak perasaannya. Wajahnya yang hitam sesekali tampak menahan geram, seperti ada luapan dendam yang sudah lama dipendam, dan ingin ia tumpahkan semuanya di meja malam itu, di hadapan saya. Sementara, makin banyak dia menumpahkan kalimat-kalimat panjangnya, saya makin merasa bersalah telah mengajaknya bertemu di kafe itu. Saya bahkan kemudian juga merasa, saya pasti tak seperti yang dia bayangkan, yang dia harapkan.

Ah, ah, toh saya hanya seseorang yang direkomendasikan untuk dia temui...

***

Namanya Toyo, 32 tahun. Dua bulan sebelum akhirnya kami bertemu malam itu, dia mengirim SMS pada saya dan memperkenalkan diri. Dia bilang, dia tahu saya dari seseorang di Jurnal Perempuan. Dia disarankan untuk menemui saya. Dia baru datang dari Aceh, dan ditampung di Kapal Perempuan. Dia gay korban kekerasan polisi pada Januari 2007. Saya dengan senang hati berjanji untuk ketemuan dengannya, tapi entahlah, mungkin karena kesibukan masing-masing, agenda itu tak kunjung kesampaian. Sampai awal April lalu, tiba-tiba ia muncul di Majalah Tempo sebagai berita, berjudul Karena Bermesra di Kedai Pesona, dengan lead "Dituduh berbuat tak senonoh, sepasang gay babak-belur dihajar massa. Polisi menganiaya lebih sadis."

Dan, malam itu saya mendengar sendiri, "Saya dikencingi, dan disuruh seks oral di depan polisi-polisi itu, dan harus sampai keluar."

Saya ngilu mendengarnya.

Sehari-harinya, Toyo adalah aktivis sebuah lembaga kajian perempuan di Aceh, dan ketika kontroversi rancangan UU antipornografi mencuat, dia getol wara-wiri Aceh-Jakarta untuk mengajukan penolakan di DPR. Aktivitas itu membuatnya dekat dengan "orang-orang gerakan" di Jakarta, termasuk kalangan "petinggi"-nya seperti Nursjahbani Katjasungkana.

Tak heran, jika kasus yang menimpanya di Aceh kemudian hari itu, langsung terdengar sampai ke Jakarta. Nursjahbani konon menelpon langsung Kapolri, dan Kapolri menelpon Kapolda Aceh. Ketika akhirnya memutuskan untuk "mengungsi" ke Jakarta, jalan pun terbentang mulus dan luas bagi Toyo. Banyak pihak menyambut, menampung, memberinya perlindungan serta pembelaan. Toyo berencana menuntut balik pihak kepolisian Aceh. "Bahkan, sebenarnya saya juga bisa menuntut orang-orang sipil yang menghajar saya," katanya dengan sisa-sisa amarah yang masih ia bawa malam itu. Tak kurang dari Adnan Buyung Nasution kini menjadi pembelanya.

Saya nyaris hanya menjadi pendengar malam itu. Saya takjub. Saya tak percaya bahwa kekerasan terhadap orang homoseksual benar-benar ada dan terjadi di negeri ini. Tapi, bukankah apa yang dialami Toyo ini hanyalah sebuah kasus? Yang belum tentu sebulan atau bahkan setahun sekali terjadi? Ah, saya tahu saya memang naif. Saya terlalu apolitis, dan bahkan mungkin ahistoris. Saya terlalu tidak peduli. Selama ini yang saya tahu hanyalah bahwa di Jakarta ini, lelaki-lelaki gay setiap malam Minggu menghabiskan waktu di Ohlala, ngopi sambil ngrumpi sampai pagi. Saya merasa berasalah telah bertemu dengan Toyo karena setelah mendengar ceritanya yang pedih, dan kalimat-kalimat panjang penuh amarahnya, saya tetap saja merasa bahwa cerita tentang diskrimnasi kaum gay itu hanyalah "cerita yang datang dari jauh".

Barangkali saya memang harus melakukan semacam --apa yang dibilang Marx dan dikutip Toyo malam itu-- bunuh diri kelas. Kalau untuk memperjuangkan buruh orang harus menjadi buruh, mungkin untuk percaya tentang diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum homoseks, saya harus mengalaminya dulu, seperti Toyo. Ah, janganlah. Jangan sampai. Saya tahu saya cukup tergetar dan bersimpati dengan cerita Toyo, dan saya pastilah tak se-apolitis yang saya duga. Tapi, mau apa lagi? Lmbat laun obrolan mulai tersendat dan saya makin merasa sedih, karena saya merasa tidak seideologi dengan Toyo --apa pun arti kata yang berulang-ualng dia selipkan dalam hampir setiap kalimatnya.

***

Dan, saya bertanya balik kepadanya:
"Apakah menurutmu orang-orang ini butuh pengakuan?"

Toyo seperti tak percaya dengan pertanyaan saya. Ia mungkin tak percaya bahwa saya --yang direkomendasi oleh seseroang dari Jurnal Perempuan untuk dia temui-- kok bertanya dengan nada seperti itu. Sebuah pertanyaan yang mematahkan, dan saya menyesal telah mengungkapkannya.

Dengan nada yang saya dengar agak kesal --mungkin hanya perasaan saya saja yang berlebihan-- dia akhirnya menjawab. Panjang dan berapi-api.

"Ya, kalau sekarang mereka didatangi satu-satu lalu ditanya pasti jawabnya enggak, tapi kalau diajak ngobrol lebih intens, dalam suasana diskusi yang serius, pastilah semua orang butuh pengakuan."

Saya mulai agak capek dengan keseriusannya. Hampir saja saya mau nyeletuk untuk mencairkan suasana. "Kalau gue sendiri sih jujur ya, lebih butuh brondong lucu ketimbang pengakuan."

Tapi, untunglah saya masih mampu mengontrol mulut saya yang suka celamitan ini. Sehingga saya tidak melukai semangat perjuangannya.

7 Comments:

Blogger venus said...

sedih banget...
aku heran, kenapa juga kita cenderung menganggap mereka 'sakit' dan berbeda ya? betapa jahatnya masyarakat kita, ternyata...

OOT, mas, comment boxnya mbok ya di adjust lagi. kalo gini kan cuma yg punya google account yg bisa komen :(

5:56 AM  
Anonymous Anonymous said...

Ah, Mumu... :)

11:00 AM  
Blogger Mata Diri said...

siapa mahkluk yang didunia ini ga butuh pengakuan..?
setan....
iblis....
orang gila....
orang waras...
tolong beritahu kalo ada orang yang ga butuh pengakuan...
tapi saya maklum juga mungkin mumu ingin lebih memastikan....

12:42 PM  
Blogger Unknown said...

wah bru baca yg ini

12:29 AM  
Blogger Unknown said...

snow boots
mac cosmetics
discount oakley sunglasses
louis vuitton bags cheap
prada sneakers
new england patriots
moncler jackets
coach outlet store
true religion jeans
ray-ban sunglasses
mlb jerseys
cheap nba jerseys
pandora outlet
washington redskins
ugg boots sale
ugg outlet store
nike air max uk
mulberry uk
winter jackets

1:04 AM  
Blogger Unknown said...

ralph lauren outlet
ralph lauren outlet
ray ban sunglasses
nike air max 2017
canada goose jackets
jordans
cincinnati bengals jerseys
fitflops sale clearance
oklahoma city thunder
ralph lauren outlet

6:33 PM  
Blogger lamiss ibrahim said...


I definitely love this site.
http://www.freewebsite-service.com/prokr/prokr+services.php
http://prokr.inube.com/
https://www.docdroid.net/NGHQuvv/shrkat-nkl-athath-oaafsh-bbryd.docx
https://www.prokr.net/ksa/jeddah-water-leaks-detection-isolate-companies/

2:42 PM  

Post a Comment

<< Home