pop | arts whatever

Wednesday, April 04, 2007

Legend of the Fall

Sekarang dia harus bekerja. Terakhir ketemu, dia bahkan menjual HP-nya kepada saya. Karena harganya cukup reasonable, dan kebetulan saya juga lagi ada sedikit uang, langsung saja saya tarik dia ke ATM basement Plaza EX. Itung-itung sekalian nolong juga, pikir saya. Dia salah satu teman terbaik yang pernah saya punya. "Saya mau nyari kos," katanya. Wajahnya yang putih tampak makin pias oleh nada suara yang sedih. Seleret senyum yang memperlihatkan behel warna pink coba dipaksakan, namun saya justru lebih melihatnya sebagai sebuah upaya untuk menelan kepahitan.

Saya pertama kali mengenalnya lebih dua tahun lalu. Namanya Dodi. Dia "dibawa" oleh teman saya, Boy yang kala itu juga belum lama saya kenal. Mereka tampak sangat akrab dan mesra, dan itu membuat saya penasaran. Setahu saya, Boy sudah punya pacar, dan bahkan tinggal serumah dengan Mas Rudi. Saya juga pernah diperkenalkan dengannya. Belakangan saya tahu, Boy memang jadian sama Dodi. Awalnya, mereka sembunyi-sembunyi, tapi lambat laun, Boy justru memperkenalkan Dodi ke Mas Rudi dan akhirnya Dodi justru diajak tinggal bareng dengan mereka! Agak shock juga saya dengan kenyataan itu: pacaran bertiga, gimana ceritanya?

Awalnya, saya menyaksikan, segalanya tidak hanya baik-baik saja, tapi juga tampak serba indah. Saya bahkan sempat agak iri dan kepengen. Mereka bahkan kemudian seperti menjadi magnet yang berhasil menghubungkan dan mengumpulkan banyak orang, dan melahirkan sebuah komunitas kecil. Rumah Mas Rudi yang cukup besar dan nyaman di Cilandak menjadi tempat nongkrong. Pada malam-malam tertentu, kami beramai-ramai pergi ke Centro atau Heaven, dan pulangnya menginap di kamar-kamar di bagian belakang rumah, yang dibangun untuk disewakan kelak kalau Mas Rudi sudah tua.

Sampai pada suatu hari, Dodi curhat pada saya. Ia mulai tahu perangai asli Boy yang ternyata masih suka selingkuh dengan brondong lain. Konon, itu kebiasaan sejak lama, dan Mas Rudi juga sudah tahu itu. Bahkan, konon lagi, Mas Rudi pernah mengusir Boy dari rumah itu karena ketangkap basah. "Ternyata, udah ada gue, dia belum berubah juga," saya masih ingat kesedihan yang membayang di mata Dodi ketika itu.

Mungkin karena merasa sama-sama "korban" kenakalan Boy, Mas Rudi jadi lebih dekat dengan Dodi. Mereka kemudian bahkan sepakat untuk "menindak tegas" Boy jika suatu saat terbukti selingkuh lagi. Dan, saat itu akhirnya memang tiba. Tapi, segalanya ternyata tak semudah yang dipikirkan. Dodi sempat lari dan bersembunyi ke rumah saya waktu itu."Kalau Boy nelpon jangan bilang gue di sini," pesannya wanti-wanti. Sampai malam Dodi di rumah saya, dan dia curhat sambil nangis-nangis. Tiba-tiba Boy nelpon dan mereka bicara lama sekali. Hampir tengah malam, Boy muncul di rumah saya. Ternyata Dodi akhirnya mengaku bahwa dia sembunyi di rumah saya. Dan, mereka baikan lagi.

"Gue nggak tega, Mu," kilah Dodi ketika saya komplain mengapa ia tak menjalankan rencananya dengan konsisten. Lama-lama saya jadi tahu, Dodi hanyalah seorang yang lemah dan peragu. Setelah kejadian itu, Boy masih saja selingkuh dan selingkuh lagi, dan Dodi lagi-lagi hanya mengancam dan mengertak tapi akhirnya memaafkan dan mereka baikan lagi. Saya lama-lama capek karena selalu menjadi tempat mereka lari jika sedang berantem. Bahkan, saya mulai bisa "mengerti" dan "menerima" kebiasaan buruk Boy. Diam-diam, saya justru "berpihak" padanya, setidaknya dalam hati kecil saya yang paling tersembunyi. Saya benar-benar gemas dan masygul dengan ketakberdayaan Dodi.

Lalu, datang masa ketika saya tak lagi dekat dengan mereka. Dan, ketika suatu hari saya bertemu dengan Dodi, segalanya sudah berubah. Dodi menggandeng cowok item manis, dan bercerita bahwa Boy sudah pergi dari rumah itu. "Mas Rudi sudah nggak tahan," katanya. Terus, ini pacar baru, tanya saya dengan isyarat pandangan mata pada brondong yang baru diperkenalkan ke saya itu. "Ini Aston, temen kok," sanggahnya. Saya percaya saja. Dodi masih seperti dulu, banyak curhat dan banyak mengeluh. Kali ini keluhannya tentang Mas Rudi. "Suka aneh, Mu, kalau gue jalan gini suka ditelponin, macem-macem aja alasannya, intinya sih gue nggak boleh keluar, ya kan bosen di rumah mulu."

Hari-hari setelah itu, saya jadi sering jalan sama Dodi dan Aston. Dan dia tetap saja mengeluh tentang Mas Rudi. Tapi, kali ini saya mulai paham mengapa Mas Rudi "suka aneh", karena ternyata Dodi memang hampir setiap malam jalan dan itu bagi Mas Rudi "hanya menghabis-habiskan uang". Saya mengerti psikologi orang "setua" Mas Rudi. Tapi, saya juga tidak menyalahkan Dodi. Meskipun, saya mulai curiga Dodi dan Aston tak hanya berteman biasa. Dan, seperti kata Trie Utami, hari-hari pun berlalu bagaikan kereta biru. Gosip demi gosip tersebar dan kabar demi kabar bertukar: Dodi kini tak di rumah itu lagi, diusir sama Boy yang tiba-tiba balik lagi bersama brondong barunya, dan diterima dengan baik oleh Mas Rudi.

Semalaman kabar itu menjadi bahan diskusi teman-teman dekat Dodi. "Ih, Boy itu nggak tahu diri banget sih, bisa-bisanya balik lagi dan bawa brondongnya pula!"
"Gue justru heran, kok Mas Rudi bisa nerima Boy lagi. Parah banget sih tuh orang, maunya apa sih. udah tuwir nggak tahu balas budi banget deh, Dodi kan selama ini udah baik banget ama dia, ngurusin dia, nyuci baju dia, masak, bersih-bersih rumah."
"Brondongnya Boy itu juga lacur banget sih, nggak tau malu banget!"
"Pasti mobil Mas Rudi sekarang jadi milik mereka berdua."
"Sundal!"
"Perempuan busuk!"

Saya lebih banyak jadi pendengar. Lalu, terpikir untuk mengirim sepatah-dua patah kata untuk menguatkan hati Dodi lewat SMS sambil bertanya apa yang sebenarnya telah terjadi. "Ceritanya panjang, Mu, ntar aja kalau kita ketemu gue ceritain. Thx perhatiannya, seharusnya gue dengerin kata-kata lu sejak dulu," balas dia. Ketika saya tanya sekarang tinggal di mana, ia bilang di rumah kakaknya. Kabar berikutnya yang saya dengar, Dodi diterima kerja di Starbuck Setia Budi. Saya senang dan ikut bersyukur.

Pada suatu malam Minggu, akhirnya saya bertemu lagi dengannya, dan beberapa teman lain geng-nongkrong-ohlala. Wajahnya tak seceria dulu lagi. Penampilannya juga tak seglamor dulu. Tubuhnya tampak makin kurus. Dia datang bersama Aston yang masih juga belum dia akui sebagai pacarnya. Tapi, dengan segala yang telah terjadi, kami tetap dan makin sayang padanya.