pop | arts whatever

Tuesday, March 13, 2007

Belanja Murah: (Strategi) Konsumsi, Kemewahan, Resistensi

Dimulai dari tgl 19 Feb s/d 28 Feb 2007, SOGO PI mengadakan program THANK YOU SALE, terutama untuk barang barang Direct kami seperti : FCUK, MEXX, THEME, CK, EV, SOUL EDGE, dll dengan discount dari 50% s/d 70% dan ada juga yang setelah discount 50% ditambah lagi dgn discount 40% sehingga total discount menjadi +/- 90%. Tolong forwardkan email ini kesemua rekan rekan...karena program ini adalah program terakhir untuk SOGO PI – dikarenakan pada tgl 01 Maret 2007 SOGO Dept Store sudah tidak ber-operasi lagi di Plaza Indonesia. Terimakasih dan salam.

Pesan itu saya terima lewat offline messege di Yahoo Messenger (YM) pada 22 Februari. Artinya, masa program sale yang diumumkan itu sudah berjalan tiga hari. Saya segera mem-forward ke teman saya, sekaligus mengajak untuk memanfaatkan momen itu. Cukup mengagetkan jawabab teman saya: Wah, sudah tinggal yang jelek-jelek, Mu.

Teman saya itu mengaku belum ke sana, tapi soal "tinggal yang jelek-jelek" itu dia tahu dari temannya. Artinya, pesan itu sudah menyebar ke mana-mana. Saya kenal orang yang mengirim pesan di YM itu, tapi saya yakin bahwa pesan itu tak diketahui asal-muasalnya, alias menyebar terus-menerus dari satu komputer ke komputer lain.

Info tentang diskon, dan sumber-sumber belanja murah lainnya, selalu menyebar dengan cepat, melebihi gosip perceraian artis. Sebab, lebih banyak orang yang tak peduli dengan gosip selebritas ketimbang tak peduli dengan diskon yang sedang digelar sebuah departement store. Kita semua (setidaknya saya) bahkan dengan sukarela dan senang hati, tanpa dikomando, menjadi agen marketing dari dikson-dikson itu, dengan menyebarkannya ke orang lain, dan mengajak teman-teman terdekat kita untuk beramai-ramai menyerbunya.

Pada era ketika semua orang begitu melek fashion, program-program dan tempat-tempat belanja murah merupakan sesuatu yang tak henti ditunggu dan dicari. Program diskon dan tempat belanja murah merupakan informasi penting yang senantiasa menjadi bahan obrolan dalam komunitas-komunitas urban. Pesan berantai lewat internet seperti "Thank You Sale" Sogo di atas merupakan kasus yang cukup istimewa.

Program diskon lain biasanya diumumkan melaui iklan di koran. Departement store kelas menengah-bawah semacam Ramayana/Robinson termasuk yang cukup progresif mengiklankan program-program diskonnya, baik melalui koran nasional maupun -bahkan- televisi, dengan bintang iklan artis-artis yang populer di masyarakat.

Kendati tempat-tempat belanja itu dengan sendirinya terkelompokkan dalam kelas-kelas, namun program diskon itu sendiri jelas tak mengenal aturan kelas, dalam arti, kalangan atas pun menganggap diskon sebagai kesempatan yang paling baik untuk berbelanja. Diskon di gerai Mango di Plaza Indonesia akhir tahun lalu misalnya, menyedot pengunjung selama berjari-hari. Perempuan-perempuan muda urban-mapan rela mengantri panjang di depan empat bangku kasir sehingga membentuk barisan panjang berderet-deret.

Tentu saja, belanja murah bukan hanya berkaitan dengan momen, melainkan juga tempat-tempat tertentu. Masyarakat Jakarta sudah lama mengenal tempat-tempat semacam Sogo Jongkok, Taman Puring, Pasar Uler, Poncol/Senen sebagai lokasi-lokasi yang menyediakan arena belanja murah. Di antara tempat yang disebut itu, Poncol/Senen merupakan tempat yang paling populer sampai saat ini, terutama di kalangan anak-anak muda yang menggilai band-band indie. Menonton White Shoes & The Couple Company atau The Upstair menuntut mereka untuk tampil dengan fashion tertentu, meniru vokalis dan awak band-band itu, yang bisa diwujudkan dengan berburu baju vintage di Senen.

Bagi yang tak bermasalah dengan soal keuangan, distro merupakan pilihan yang lebih bergengsi. Pergi ke Tebet Utara, keluar masuk dari Bloop ke Nanonine hingga Endorse, jelas lebih memberi kenyamanan, juga kebanggaan, dibandingkan harus berkeringat di antara tumpukan baju-baju yang baru saja dikeluarkan dari karung. Tapi, jika kita percaya dengan realitas sosiologis, bahwa jauh lebih banyak anak muda yang miskin ketimbang kaya, maka Senen adalah alternatif, terutama tentu saja dalam segi harga. Selain, juga dalam segi eksklusivitas. Baju distro memang diproduksi dalam jumlah terbatas, tapi "produk" Senen jauh lebih terbatas lagi, karena kemungkinan jumlahnya hanya ada satu per item, sehingga pembeli/pemakainya akan merasa sangat eksklusif.

Seseoarang yang sering nonton acara musim Kamis malam di Aksara akan sangat bangga kalau dapat, misalnya old school cardigan yang keren dari Senin. Dia akan memajang foto dirinya di Blog atau Friendster dalam balutan baju hasil buruannya itu. Lalu, teman-temannya akan berkomentar, iiih bajunya lucu, dan dia akan menjawab balik, dengan nada bangga, belinya di Senen lho, cuman 15 ribu lho.

Belanja murah, sampai titik ini, juga bermakna kemewahan, lebih-lebih kalau kau sebenarnya cukup kaya untuk memborong baju-baju di Zara tanpa diskon serupiah pun. Namun, bagi lebih banyak orang, belanja murah merupakan sebuah strategi konsumsi: tetap bisa bergaya tanpa harus keluar (lebih) banyak uang. Dan, pada saat yang sama, belanja murah juga menjadi benteng terakhir resistensi: dengan kemampuan yang (se)ada(nya), kau tetap bisa melakukan usaha-usaha untuk terlihat sebagai anak gaul Jakarta yang update dan fashionable.

Keberadaan tempat belanja (murah) seperti Senen, menjadi lebih penting artinya bagi terbentuknya subkultur anak muda, karena dikukuhkan dengan pengakuan-pengakuan dari kalangan selebriti yang mereka puja. Personel White Shoes & The Couple Company yang digilai kaum hipster Jakarta, dalam sebuah wawancara di Kompas mengaku berburu baju di Senen untuk memenuhi hasrat kecintaan mereka pada hal-hal yang bermakna retro.

Para pedagang di Senen sendiri dengan bangga akan bercerita kepada pembelinya, bahwa celana bahan motif kotak-kotak yang dipakai Aming di Extravaganza itu belinya di sini lho. Belanja murah bukan sekedar budaya, tapi gaya (hidup) dan semacam strategi untuk mereproduksi gaya(-gaya) tersebut. Ini sebuah bentuk cara bertahan di tengah deras dan kuatnya arus tuntutan pergaulan (budaya) urban yang tak pernah memberi maaf --apalagi tempat-- kepada orang-orang yang secara tipikal biasa diolok dengan istilah-istilah "cupu" dan "masteng".