pop | arts whatever

Friday, March 09, 2007

Penyair itu Bunuh Diri di Konser Musik Pop

Apakah penyair dengan sendirinya dan serta merta lebih mulia daripada pencipta (lirik) lagu pop? Dan, apakah puisi dengan demikian juga otomatis dan selalu lebih spiritual ketimbang lirik lagu (pop)?

Sepintas, pertanyaan di atas pastilah terdengar nyinyir dan mengada-ada. Namun, sebuah pertanyaan --apalagi yang di dalamnya mengandung perbandingan antara dua subjek nyata dalam ikatan sosial-- tentu muncul bukan tanpa alasan. Selama ini ada --untuk tak mendramatisir dengan mengatakan cukup banyak-- preseden dalam masyarakat kita, yang cenderung menempatkan puisi (dan penyair) dalam tatapan-tatapan yang serba dan senantiasa bombastik-heroik-sentimentil.
A
lkisah, tersebutlah seorang penyair muda Bali bernama Pranita Dewi. Dalam kata pengantar untuk buku kumpulan puisi pertamanya, Pelacur Para Dewa (Depok: Komunitas Bambu, 2006), ia dengan agak panjang lebar mengenang kembali awal perjumpaannya dengan puisi. Suatu malam, ketika sedang panik memburu tiket konser Sheila on 7 di Taman Budaya Denpasar bersama teman-temannya, ia bertemu dengan penyair Warih Wisatsana yang disangkanya calo (tiket). Mengundang Pranita dan kawan-kawan untuk duduk, sang penyair senior yang mirip calo itu pun berpetuah.

"Dengan puisi, kalian pun bisa terkenal seperti Sheila on 7. Lagu-lagu seperti grup band itu cenderung memanjakan keriangan di permukaan saja, sedangkan puisi memanggil kita merenungi kedalaman dan kebahagiaan gidup."Sejak itu, demikian kisah Pranita, semangat untuk menonton konser Sheila tiba-tiba saja luntur, sambil heran dengan teman-temannya yang hingga kini kian menggemari grup band itu. Berkat pertemuan itu, Pranita sadar bahwa puisi dan jalan kepenyairan merupakan suatu anuegrah. Dan, Berkat Warih, Pranita jadi yakin bahwa puisi bisa membuatnya untuk tidak menjadi "perempuan sekadar".

Seolah mengulang romantisme usang ala film cerita minggu siang zaman TVRI, Pranita tak ketinggalan menceritakan risiko yang harus dihadapinya kemudian: orang tua yang menginginkan saya berkarier dalam industri pariwisata, tidak bisa mengerti dengan dunia yang saya cintai. Mereka selalu berkata sinis, "Kalau jadi penyair, kamu mau makan apa? Tapi saya tidak peduli dengan omelan dan sinisme mereka. Saya terus melangkah dengan keyakinan bahwa puisi akan menyelamatkan saya seperti pesan penyair Goenawan Muhamad.

***

Film Music and Lyrics (sutradara: Marc D. Lawrence) yang tengah diputar di bioskop-bioskop di Jakarta menjungkirbalikkan semua mistifikasi ideal tentang puisi dan (ke)penyair(an) yang dengan penuh kebanggaan diyakini dan dipijaki Pranita.

Alex Fletcher adalah vetaran band yang masih bisa menikmati sisa-sisa kejayaannya. Di tengah kesibukan kecilnya tampil di acara reuni SMA atau taman hiburan umum, seorang penyayi remaja idola masa kini, bernama Cora, memintanya membuatkan lagu. Merasa bahwa itu kesempatan emas untuk meraih kembali popularitas, Alex pun bekerja keras menciptakan lagu. Tapi, segalanya ternyata tak semudah dulu lagi. Ia pun mengundang temannya, seorang penyair, untuk membantunya menulis lirik yang bagus. Namun, ternyata kehadiran sang penyair tak cukup membantu melancarkan urusan.

Ketika mereka sedang berdebat menimbang-nimbang lirik lagu yang cocok dengan melodi, perawat tanaman di apartemen Alex, yang bernama Sophie Fisher, tanpa sengaja ikut-ikutan nyambung. Perempuan itu tak hanya menyenandungkan lirik yang sedang diperdebatkan oleh Alex dan sang penyair, melainkan juga melengkapinya. Keisengan Sophie itu mengejutkan Alex, dan meminta perempuan itu mengulangi kalimat yang baru saja disendungkannya. Tapi, Sophie yang tak sadra dengan apa yang dilakukannya, mengaku tak bisa mengingatnya lagi. Setelah dipaksa-paksa dan dipancing-pancing terus, akhirnya tercipta beberapa larik dari mulut Sophie yang mengena di hati Alex.

Alex pun beralih perhatian ke Sophie, yang tentu saja membuat si penyair tersinggung. Ia pun meninggalkan Alex setelah sempat melecehkan Sophie sebagai orang yang tidak berkompeten dengan penciptaan lirik-lirik yang indah --karena dia hanya seorang perawat tanaman. Singkat cerita, Alex dan Sohie --yang belakangan diketahui bahwa dia sebenarnya seorang penulis yang, katakanlah, gagal-- pun sepakat untuk berlokaborasi menciptakan lagu untuk pesanan Cora.

Alhasil, dengan kerja keras yang panjang, terciptalah sebuah lagu dengan melodi dan lirik yang kuat dan indah. Ketika lagu itu dinyanyikan dalam konses megah Cora, si penyair hadir menyaksikan dan merasa terpukul oleh kehebatan lirik hasil ciptaan orang yang pernah dilecehkannya. secara simbolis, film ini menggambarkan betapa sang penyair akhirnya mengaku kalah dan bunuh diri!

Jadi, apakah penyair dengan sendirinya dan serta merta lebih mulia daripada pencipta (lirik) lagu pop? Dan, apakah puisi dengan demikian juga otomatis dan selalu lebih spiritual ketimbang lirik lagu (pop)?