pop | arts whatever

Thursday, March 01, 2007

Wartawan

*teriring simpati dan duka yang sedalam-dalamnya atas tragedi kematian wartawan di bangkai kapal levina

Dari kolom Emha Ainun Nadjib di Tempo pada 80-an, ke "Resonansi" Zaim Uchrowi di Republika akhir 90-an, hingga novel Imperia-nya Akmal Nasery Basral (2005), wartawan direfleksikan sebagai sosok yang serba-heroik. Emha misalnya, mengungkapkan kebanggaannya sebagai -orang yang pernah menjadi- wartawan yang menurut dia mirip Tuhan dalam hal kemahatahuannya. "Wartawan itu tahu siapa pejabat yang korupsi, dan menyimpan foto bugil sejumlah artis."

Zaim memuji anak buahnya yang bernama Muhammad Subarkah --tentu dalam kolom itu namanya disamarkan-- yang gagah berani menembus sarang GAM di Aceh. Sedangkan, Akmal menciptakan sosok fiktif bernama Wikan Larasati, yang dimakasdkan sebagai potret reporter pemula yang tangkas dan hebat.

Ketika membaca kolom Emha, saya masih kuliah di Solo, dan terlongong-longong membayangkan, betapa luar biasa makluk berprofesi wartawan itu. Tak lama setelah membaca "Resonansi" Zaim, saya mendapat panggilan kerja di Jakarta, di sebuah koran baru yang dipimpin Zaim sendiri! Tapi, liputan pertama saya bukanlah medan perang Aceh, melainkan konser musik simakDialog di GKJ.

Koran tempat saya bekerja itu hanya bertahan dua bulan, namun tak sampai setahun kemudian, saya kembali mendapat panggilan, kali ini dari sebuah media online pertama di Indonesia. Saya memang mengalami hal-hal yang luar biasa, namun tidak dalam hal pengalaman meliput di lapangan, melainkan luar biasa kerja keras! Berita tidak menunggu terbit keesokan hari, melainkan detik itu juga. Saya menjadi bagian dari generasi pertama wartawan dotcom di negeri ini.

Ritme dan irama kerja media online yang banyak berbeda dengan media konvensional, memberi saya pengalaman yang lain pula. Menjadi wartawan, pikir saya, ternyata "tak seheroik itu". Tentu saja, apa yang saya alami dan rasakan berkaitan langsung dengan bidang liputan saya, yang memang tidak memberi saya kesempatan untuk, misalnya, pergi ke daerah-daerah konflik. Sebagai wartawan, pekerjaan saya "hanya" nonton konser-konser musik, baik lokal maupun asing, berpindah dari kafe ke kafe untuk menyaksikan syukuran peluncuran album atau film baru, dan sesekali berdesakan di antara wartawan infotainment meliput jumpa pers perceraian artis.

Sebagai wartawan "hiburan" -katakanlah begitu- saya bahkan tidak mengalami apa yang dialami Wikan dalam novel Akmal itu. Sebab, selama saya menjadi wartawan, tak pernah ada kasus pembunuhan yang melibatkan artis terkenal, yang harus saya investigasi sampai ke luar negeri. Jadi, saya ini wartawan apaan? Ketika suatu hari saya mau "nembak" bikin KTP, ayah melarang saya mencantumkan profesi saya. "Jangan ditulis wartawan, nanti petugas keluarahannya malah takut." Ayah tidak tahu bahwa sebagai wartawan, yang paling banter bisa saya lakukan hanyalah mengejar Desi Ratnasari ke Sukabumi untuk mendapatkan konfirmasi tentang kabar pernikahan terbarunya!

Belakangan ini, lahir satu generasi baru lagi dalam dunia kewartawanan di Tanah Air, yakni wartawan media (majalah) gratisan. Pasti mereka juga punya pengalaman dan karakteristik yang berbeda dengan wartawan media konvensional maupun dotcom. Ladang liputan mereka umumnya tempat-tempat hang out di Jakarta. Di antara mereka, saya berkenalan dengan wartawan majalah gratis khusus perfilman. Suatu kali, ia menulis resensi yang agak pedas atas film Long Road to Heaven yang diproduseri Nia Dinata. Rupanya, sang produser tidak suka dengan resensi itu, dan menelpon pemimpin redaksi. "Saya jadi down, Mu."

Dimarahi --dan, dianggap "nggak ngerti film"-- oleh seorang produser sekaligus filmmaker beken tentu saja tak seberapa jika dibandingkan dengan risiko kehilangan nyawa saat melakukan tugas peliputan berita. Tapi, dalam konteks tertentu, itu bisa tak kalah heroik. Pengalaman, berikut segala kebanggaan yang ada di dalamnya, bagi seorang wartawan, pada akhirnya memang tak pernah bermakna tunggal. Setiap zaman punya dinamika yang berbeda, dan arti "menjadi-wartawan" tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, apalagi yang berlainan zaman.