pop | arts whatever

Tuesday, March 27, 2007

Artis

Industri ya industri, tapi kalau kayak gitu ya lama-lama hancur juga...

Dewi Irawan dan El Manik akhirnya tak tahan untuk mengungkapkan kegeliannya menyaksikan persegeran "sistem" keartisan kita di era industri sinetron saat ini. Ini tidak terjadi dalam sebuah seminar sehari berjudul "Tiada Hari Tanpa Sinetron: Menjadi Bangsa Bebal Cara Raam Punjabi". Ini terjadi di sebuah diskusi santai kecil-kecilan di tengah program bertajuk "Sejarah adalah Sekarang" yang digelar KineForum, TIM, selama Maret ini.

Alkisah, malam itu, saya menyaksikan pemutaran film Titian Serambut Dibelah Tujuh yang dihadiri oleh pemeran utamanya, yang tak lain dua nama yang telah saya sebutkan di awal tadi. Usai acara, panitia memanggil keduanya ke depan untuk merefleksikan aksi masa lalu sebagai pijakan untuk melangkah pada masa kini dan akan datang --pokoknya sesuai tema acara yang dahsyat itu.

Ada penonton yang bertanya, apa pertimbangan menerima peran tersebut. Yang lain ingin tahu pandangan kedua veteran itu terhadap situasi perfilman dewasa ini. Namun, seperti halnya terjadi pada setiap diskusi dan forum-forum sejenisnya, yang menarik bukan obrolan yang berada dalam tema itu, melainkan "ngalor-ngidulnya".

Dewi misalnya, curhat tentang proses casting yang harus dia lewati ketika hendak bermain dalam sebuah film. "Yang ngasting saya umur 23 tahun, dan bertanya, punya pengalamana apa? Saya bilang, pernah sih sesekali masuk nominasi piala citra." Dewi menceritakan itu sambil tertawa-tawa.

Dewi termasuk artis veteran yang terangkat kembali di era-Riri Riza saat ini. Setelah muncul sebagai cameo dalam Berbagi Suami karya Nia Dinata, belum lama ini dia tampil "utuh" dalam Badai Pasti Berlalu (BPB) karya Teddy Soeriaatmaja. Sutradara yang sebelumnya menggarap Ruang ini mengklaim bahwa BPB versi dirinya merupakan karya remake pertama dalam sejarah perfilman Indonesia.

Lagi-lagi, Dewi hanya bisa geli. "Saya sih diem aja, saya nggak mau ngerusak suasana mereka yang sedang bersemangat mempromosikan film itu." Tapi, tentang "kualitas" BPB sendiri, Dewi tak bisa diam. "Teddy kurang greget. Dulu liat Christine Hakim menderita, kita ikut merasa sengasa. Sekarang, liat yang ini, lu nangis nangis aja bodo amat."

Dewi, tentu saja, bukan hanya saksi, melainkan juga pelaku karya remake, yang tak lain film yang malam itu tengah diputar dalam rangkaian peringatan Bulan Film Indonesia itu. Titian Serambut Dibelah Tujuh yang diputar malam itu adalah versi 1982, yang merupakan remake dari karya yang sama pada 1959.

Dewi berperan sebagai perempuan desa korban fitnah laki-laki yang gagal memperkosanya. Peran ini mengantarkannya masuk nominasi FFI. Tapi, "Saya kalah sama Christine Hakim. Waktu itu Christine juga udah Piala Citra yang kelima," kenang dia.

Sekarang, atas nama industri, semua sudah tak sama lagi. Sesekali Dewi harus "puas" hanya bisa melampiaskan kerinduannya berakting lewat sinetron-sinetron kejar tayang. "Itu pun saya pilih-pilih. Tapi, kalau yang FTV-FTV gitu sih lebih lumayan, jadi biasanya saya mau."

Yang dirasakan Dewi juga dialami oleh El Manik. Baginya, "menjadi artis" di zaman sinetron sama artinya dengan bertahan dalam absurditas. Datang ke lokasi syuting, disodori selembar skrip, lalu syuting buru-buru karena sang sutradara, juga artis-artis muda, harus segera pergi lagi untuk syuting produk lain di tempat lain.

"Sekarang ini banyak sekuter, selebriti kurang terkenal. Datang bersama manajernya, take satu adegan, lalu buru-buru cabut karena ditunggu untuk syuting di tempat lain."