pop | arts whatever

Friday, May 11, 2007

Mata Asing

Saya sering bertanya, mengapa hampir setiap orang yang saya lihat di sepanjang jalan, mal dan pusat-pusat keramaian selalu tampak begitu cakep dan keren? Suatu saat saya menemukan jawaban dan semacam kesimpulan: itu karena saya baru pertama kali melihat mereka. Orang-orang yang sudah sering saya temui, secakep dan sekeren apa mereka, pastilah menjadi tampak "biasa", atau kecakepan dan kekerenan mereka sudah tidak begitu menggetarkan lagi, seperti ketika saya pertama kali melihat mereka. Sesuatu yang asing, selalu memiliki daya kejut yang menyita perhatian. Namun, siapa yang asing sebenarnya dalam hal ini? Mata (dan dengan demikian mungkin juga hati dan seluruh indera) saya ataukah subjek yang saya lihat?

Lintasan-lintasan pikiran semacam itu kembali membelit-mbelit kepala saya ketika saya terjepit di tengah kepadatan tamu undangan pembukaan pameran fotografi Libre Journal de Jakarta di Galeri Nasional, Kamis (10/5/07) malam. Ini pameran karya fotografer Perancis Gerard Rondeau (berlangsung hingga 25 Mei) yang sekaligus menandai pembukaan rangkaian hajat besar Festival Seni Budaya Prancis 2007. Kendati terdapat kata 'Jakarta' pada judulnya, dengan sub-judul Portraits et autres voyage, tidak semua karya foto Gerard yang dipamerkan itu berlatar ibukota tercinta kita ini. Namun, sebagai "penonton dari Jakarta", foto-foto yang berlatar kota inilah yang menarik perhatian saya.

Yang menarik dari Gerard, sebagai seorang fotografer "asing", dia tak semata-mata melihat Jakarta sekedar sebuah "latar". Jakarta dia rekam melalui personifikasi-personifikasi, baik yang hidup maupun yang mati, di dalamnya. Alhasil, karya-karya foto Gerard lebih banyak menawarkan "kisah-kisah" ketimbang "laporan-laporan pandangan mata". Namun, sekali orang asing tetaplah orang asing, dan bagi Gerard, apa yang menarik dan tidak menarik kemudian menjadi nisbi, sebagaimana pandangan pertama saya pada orang-orang di mal. Oleh karenanya, subjek-subjek foto Gerard mengguratkan tanda tanya di kening saya: apa yang menarik dari orang-orang yang dia potret ini?

Di Jakarta ini, saya bisa ketemu dengan, misalnya Ayu Utami di mana-mana, dari posenya di sampul majalah kebudayaan Basis sampai di food court Plaza Senayan. Kalau "tiba-tiba" orang yang sama muncul dalam bingkai besar foto karya "orang Prancis" yang dipamerkan, apalagi yang bisa saya lihat dari dia? Saya hanya khawatir bahwa Ayu tiba-tiba menjadi menarik "lagi" hanya karena ia --kali ini-- ditampilkan melalui tatapan mata (orang) asing. Saya berharap, Ayu memang subjek yang selalu menarik. Tapi, Gerard membuat saya ragu karena ia ternyata juga memotret sampul bukunya, Larung dan sampul-sampul buku yang lain, misalnya Aku Ingin Jadi Peluru-nya Wiji Thukul. Bahkan, Gerard juga memotret makam Pram.

Ah, makam itu pasti hanyalah sebuah batu, sekali pun tercetak nama pengarang besar di atasnya. Tapi, mata asing Gerard membuat segalanya jadi berbeda, seperti ketika ia melihat Oscar Lawalata, Sujiwo Tejo, Ade Darmawan, pasangan Nano-Ratna Riantiarno, Wien Muldian dll yang menjadi subjek foto-fotonya. Saya kira di sinilah letak makna pameran Gerard, fotografer asing itu: mengingatkan kita bahwa bukan subjek itu sendiri yang penting, melainkan siapa yang melihatnya. Dan, saya jadi benar-benar cemas, jangan-jangan, saya memang harus belajar dari (mata) orang asing untuk menyadari bahwa orang-orang, dan benda-benda, yang ada di sekitar saya selama ini penting dan "benar-benar ada". Dengan kata lain, saya harus menjadi orang asing dulu untuk merasa dekat dan mencintai hal-hal dalam hidup saya.