pop | arts whatever

Thursday, April 12, 2007

Makan Siang

Makan siang kami kali ini cukup istimewa. Kami duduk di ruangan yang luas di sisi dinding kaca yang seolah menjadi kanvas bagi lukisan panorama kota. Gedung-gedung tinggi, rumah-rumah, jalan, pepohonan dan langit. Orang yang menjamu kami, menyambut dengan senyum yang mengkrabkan. Lalu, memperkenalkan kami dengan menu-menu yang sudah terhidang di atas meja. Lidah bebek masak kecap, lumpia kering dan lumpia basah. Menu utama belum datang.

Pramusaji, seorang berempuan berseragam, bertubuh montok dan berpupur tebal, menghampiri meja kami dan membangikan cawan-cawan mungil. Tak lama kemudian, ia berputar sambil menuangkan teh hangat ke dalam cawan-cawan itu. Sambil terus mengobrol, orang yang menjamu kami mulai mengulurkan tangannya, dan menyumpit sepotong lidah bebek yang tadi dia bilang sebagai kesukaannya. Saya pun penasaran mencoba. Enak juga. Manis. Coba sedikit diberi rasa pedas, pasti lebih lezat. Saya jadi ingat, sering masak seperti juga, tapi dari bahan yang beda, yakni sayap ayam.

Teman saya menyusul mencoba. Rasanya agak aneh, katanya. Dan, setelah itu saya lihat ia tak mengambil lagi. Sedangkan saya akhirnya menghabiskan 3 dari 7 potong yang tersaji di piring panjang. Lalu, datang lagi satu porsi makanan pembuka. Kukira daging goreng. Enam potong tipis-tipis. Ternyata, itu menu vegetarian. Ketika saya cicipi, rasanya mirip daging, tapi lebih empuk dan lebih lembut.

Kami terus saja makan sajian-sajian pembuka itu sebelum menu utama datang. Lumpia basahnya enak, dipotong kecil-kecil. Sedangkan lumpia keringnya berisi udang. Mbak-mbak pramusaji datang lagi, mengantarkan empat mangkuk sup. Kami langsung menyambutnya. Kental. Dan, agak asam. Isinya jamur dan parutan tahu Jepang. Tidak cocok dengan cita rasa selera Jawa saya. Dua sendok saya berhenti, dan tak pernah menyambanginya lagi.

Dan, ulala, menu utama yang kami tunggu-tunggu datanglah pula. Udang kupas rebus kuning telur, kepiting goreng telur asin dan cah kangkung campur daging. Semuanya menggoda. Semuanya begitu mengena di lidah. Tapi, kami makan begitu lambat karena sambil tak henti-henti ngobrol. Sesekali saya menyeruput teh hangat dalam cawan. Tawar, tapi enak sekali. Mbak-mbak pramusaji berkali datang untuk menuang teh ke dalam cawan mungil kami yang berkali-kali tandas.

Nasi putih dalam mangkuk-mangkuk kami akhirnya tak habis jua. Demikian pula dengan udang, kepiting dan kangkung campur daging itu. Kami kekenyangan, tapi mata masih terus mencari-cari apa yang masih bisa disantap di atas meja. Saya raih lumpia kering terakhir di atas piring. Baru sadar saya, bahwa lumpia ini terbuat dari udang juga. Lalu, saya melirik ke arah lidah bebek --masih satu tapi kini letaknya terlalu jauh dari jangkauan sumpit saya.

Teh dalam cawan tandas lagi. Mbak-mbak pramusaji datang lagi dan mengisinya lagi. Saya masih sempat makan satu butir kepiting goreng telur asin yang gurih dan dua potong udang kupas yang kenyal itu sebelum akhirnya kami mengakhiri makan siang hari itu. Ketika keluar dari ruangan, saya baru sadar bahwa di lobi restauran itu terdapat berderet-deret akuarium, dengan aneka ikan dan binatang air laut lain yang bergerak resah di dalamnya. Untunglah tak terlihat seekor bebek pun yang sedih membisu karena kehilangan lidahnya.