pop | arts whatever

Sunday, April 22, 2007

Ketika Golum Bertemu Lara Croft: Sebuah Model untuk (Memahami) Indonesia?

Begitu makluk berwarna putih berwajah seram itu muncul, partner nonton saya mencengkeram lengan saya dengan geram.

"Tuh, kan film horor kan, ih bete deh," nada suaranya menyiratkan kemarahan seorang yang sedang merasa tertipu.

Cukup repot juga saya menjelaskan, bahwa makluk itu (pasti) bukanlah hantu --belakangan, teman saya, cerpenis Ucu Agustin yang sangat piawai mendongeng, menyebutnya manusia terigu-- dan, ini bukan film horor. Tapi, seterusnya, berkali-kali makluk itu muncul lagi, membuat teman saya makin marah (bukan pada filmnya, tapi pada saya yang mengajaknya nonton). Saya mulai putus asa --bagaimana menjelaskannya?

Film terbaru Joko Anwar, Kala memang sesuatu yang baru dalam sejarah perfilman Indonesia. Sulit --untuk tak bilang tak ada-- mencari presedennya. Untuk pertama kalinya, seorang sineas di Tanah Air dengan sadar menciptakan sebuah "dunia alternatif" --sebuah model-- untuk memotret dan memahami "realitas".

Orang bisa saja mengetahui --dari berbagai pemberitaan di koran-- bahwa film ini berlokasi syuting di kota lama Semarang dan Ambarawa. Tapi, cerita filmnya sendiri sama sekali tak menyebut nama tempat. Kalau situs 21cineplex.com bisa dianggap mewakili pihak produser, maka kita ikuti saja klaim bahwa film ini bercerita tentang sebuah negeri tak bernama. Tapi, adakah yang benar-benar tak bernama, Tuan-tuan dan Puan-puan?

Sejak adegan pembuka, sulit bagi penonton untuk tak mengasosiaskan bahwa (negeri) itu tak lain Indonesia. Dua orang polisi berada di lokasi kejadian pembakaran lima lelaki yang diteriaki pencuri oleh massa. Bukankah itu mengingatkan kita pada tindakan main hakim sendiri yang beberapa waktu lalu sempat marak di Jakarta? Dari sinilah, cerita berkembang, menjadi sebuah potret --yang diambil dari sudut gelap-- tentang Indonesia masa kini.

Tapi, jangan bayangkan sebuah film yang --layaknya Marsinah tempo hari-- memindahkan mentah-mentah realitas ke dalam bahasa gambar, hingga jadinya sebuah reportase yang pucat dan membosankan. Juga, jangan bayangkan sebuah film --yang layaknya Ekspedisi Madewa-- yang sebenarnya cukup berpotensi menjadi model alternatif untuk menatap keindonesiaan kita masa kini, namun terjebak dalam formula yang klise, sehingga hasilnya tak lebih daripada banyolan yang tak lucu.

Kala adalah lompatan yang tinggi, yang barangkali selama ini hanya ada dalam khalayan nakal naluri kanak-kanak kita. Apa jadinya kalau Gatotkaca bertemu Spiderman? Seru kali ya kalau perempuan-perempuan perkasa dalam Underworld atau manusia-manusia kate dalam Lord of the Rings berada dalam satu frame dengan Joko Geledek atau Gundala Putra Petir. Pada sastra, orang sudah lama melakukannya. Ingatkah Tuan-tuan dan Puan-puan pada (cerpen-cerpen) Danarto, dan belakangan teman saya yang sudah saya sebut namanya di atas?

Begitulah, Kala merengkuh "realitas" yang dekat, tapi sekaligus menepisnya jauh-jauh. Ia menghadirkan sesuatu yang masih lekat dalam ingatan kita, tapi memilih untuk tidak menamainya. Tapi tidak. Tak ada yang pernah benar-benar tak bernama. Ia memotret wajah yang jelas-jelas Indonesia, tapi (menyamarkan dengan cara) dengan keras menolak untuk "menjadi Indonesia".

Ibu-ibu yang muncul dari kegelapan di TKP itu, berbicara dalam tradisi orang Barat. Tanpa ditanya, ketika pak polisi Eros (Ario Bayu) yang ganteng datang, ia langsung menyergah, "Ogoh-ogoh!" Lalu, dengan gaya yang sok-asik dan sok-akrab, ibu-ibu itu meminta rokok pada pak polisi itu dan terjadilah obrolan yang berat: ibu-ibu itu menuturkan teori akumulasi kemarahan yang melahirkan kekerasan dalam masyarakat.

Namun, kalau tadi saya bilang, "ibu-ibu itu...berbicara dalam tradisi orang Barat"...apa sebenarnya tradisi? Apa itu Barat? Apa itu (ke)Indonesia(an)? Joko memutuskan untuk tak peduli, dan dia bisa jadi benar. Mungkin ketakpedulian itu pula yang mendasarinya untuk agak genit menempelkan identitas gay --meskipun tak secara eksplisit-- kepada tokoh Eros.

"Nggak penting banget deh, apa kaitannya dengan cerita?" keluh partner nonton saya tadi, yang agaknya mulai bisa melupakan --atau "menerima"?-- tokoh si manusia terigu (Jose Rizal Manua). Ah, bagaimana menjelaskannya?

Bagi saya, ini sama dengan ketika tim pujangga yang ditunjuk oleh Paku Buwana V menyelipkan adegan-adegan seks sesama laki-laki dalam satu-dua lembar dari beribu lembar naskah Centhini. Sebuah impian masa depan tentang masyarakat yang ideal, di mana berbagai perbedaan (termasuk atribut-atribut seksual) tak (perlu) lagi dipersoalkan?

Yang jelas, sebagai sebuah model, Kala menjadi leluasa untuk memungkinkan segalanya. Sosok manusia terigu yang datang dan pergi itu menjadi tak bermasalah dengan logika. Demikian juga tokoh Ranti (Fahrani) yang penyanyi kafe itu, yang pada akhir cerita digambarkan dengan sangat keren sebagai pendekar perkasa, dengan pedang di tangan, berdiri di atas reruntuhan candi dan meluncur setengah terbang menyerang musuhnya.

Joko meramu kenyataan dan fantasi, fakta dan dongeng, sejarah dan (impian) masa depan.

Tokoh(-tokoh) dibuat se-real mungkin, dan disengaja untuk memancing emosi-asosiatif penonton, misalnya menteri pariwisata. Namun, pada saat yang sama tokoh(-tokoh) itu dibuat segila mungkin: rakus, kejam, irasional. Realitas, di tangan Joko, hanyalah impuls bagi ide, untuk kemudian dengan kreatif ia kembangkan menjadi sebuah dunia yang lain, yang serba aneh, dingin, sunyi, mencekam, yang seolah-olah tak memiliki sambungan dengan kenyataan-kekinian, tapi membuat kita justru (semakin) yakin: hei, itu kan wajah kita sendiri!

Cermin, Tuan, cermin, Puan. Ya, barangkali film ini adalah cermin. Sepanjang film, penonton seperti dituntun untuk mengunjungi jejak-jejak memori kolektif bangsanya sendiri atas mitos-mitos dan isu-isu yang selalu kembali seperti gema: dana revolusi, menteri agama yang memerintahkan penggalian lokasi harta karun, sampai Ratu Adil juga.

Ya, ya, bukankah hal yang paling tak bisa dipercaya dari bangsa ini adalah sejarahnya?

Dan, Kala menawarkan formula (baru) untuk memahaminya.

"Iiih keren bangeeet," seru partner nonton saya, ketika Ranti menancapkan pedangnya ke tanah dan menjatuhkan tubuhnya, berlutut di depan Eros.

Nah, sekarang sudah jelas bukan, bahwa tak perlu penjelasan apapun untuk membuat dia melupakan makluk putih itu, si monster terigu itu, atau siapalah dia! Gantian saya yang kemudian jadi kepikiran: saya teringat ibu-ibu yang pintar tadi. Tiba-tiba dia terasa begitu logis di antara yang tak logis, dan dengan demikian justru terasa mengganjal.

Dan, hei, bukankah masih ada satu ibu-ibu lagi, yang juga anomim, yang juga muncul begitu saja, dan memberi banyak menjelasan penting untuk menyambung alur cerita? Ternyata Joko tak benar-benar tak peduli. Atau, untuk tak peduli sebenarnya butuh "ketahanan mental" yang besar? Teori cerdas dan berbagai penjelasan dari tokoh-tokoh anonimus itu seperti menjungkirkan dunia alternatif yang sedari awal dibangun Joko dengan rapi.

Menjadi "anti intelek" --dengan menciptakan tokoh-tokoh yang membuat wartawan Kompas gelisah ("Apa maunya hantu merangkak yang selalu muncul tiba-tiba untuk menakut-nakuti? Untuk mencipta misteri atau atas nama seni?"), ternyata sulit juga. Dan, Joko tak tahan untuk tak berkomentar, dengan menampilkan tokoh ibu-ibu jalanan yang mungkin penjelmaan sosiolog UI.

Pada akhirnya, Kala adalah sebuah film tentang ide, gagasan, mungkin tentang sejarah, mungkin yang lain, yang jelas itu ide atau gagasan besar. Tokoh-tokoh, dengan segala karakterisasinya yang kuat --misalnya seorang wartawan yang si penidur-- digerakkan untuk mendukung penyampaian ide besar itu.

Lalu, di manakah manusia di ide itu? Kita tak pernah tahu, misalnya, apa yang terjadi ketika si penidur itu (ter)tidur? Kita hanya (diberi) tahu, setiap kali ia menghadapi ketegangan, ia terkulai, tidur lalu cut to adegan lain, dan ketika cut to lagi, kita lihat dia tengah merangkak bangkit.

Realitas direduksi ke dalam ide, dan pada gilirannya mereduksi (atau, jangan-jangan menghilangkan) manusia.

Teman saya sibuk SMS-an sambil sesekali manggut-manggut biar terlihat bahwa ia masih mendengarkan saya.