Masuk Surga Cara Orang Manja
Setahun sekali, setiap Bulan Puasa, gerai KFC, McDonald dan rumah-rumah makan di pinggir jalan lainnya, menutup dinding-dinding kaca mereka dengan tirai agar tak terlihat dari luar. Dari luar: dari orang-orang yang sedang berpuasa. Apa yang mereka lakukan itu, dalihnya, untuk menghormati kaum muslim yang sedang menjalankan ibadah suci yang merupakan rukun Islam yang ketiga. Waktu pertama kali melihat pemandangan seperti itu, pada tahun pertama tinggal di Jakarta, saya terlongong dan terheran-heran. Saya tidak pernah menjumpai hal yang sama di kota kelahiran saya, Solo. Setiap Bulan Puasa datang, yang telah saya lewati berpuluh tahun, segalanya berjalan sebagaimana biasa. Tak ada tempat makan, warung maupun restauran yang menutup kaca-kacanya dengan tirai.
Pemandangan –yang di mata saya tampak begitu ganjil itu- terus-menerus menjadi pemikiran saya. Dan, setiap tahun saya melihatnya lagi, dan lagi dan tetap tak habis mengerti. Bahkan kemudian saya juga mendengar, bahwa itu bukanlah “kesadaran” dari si pemilik rumah makan, melainkan anjuran dari pemerintah (daerah). Bahkan saya kemudian juga mendengar, di sebuah kota di Sumatera, tempat-tempat makan dilarang buka siang hari dan aparat melakukan razia dan menutup paksa yang melanggar. Saya melihatnya di televisi dua atau tiga tahun lalu.
Tahun ini, seorang teman yang menonton laporannya di televisi menceritakan, hal yang sama terjadi di sebuah kota di Jawa Timur, bahkan sampai ada peraturan daerah (perda) yang secara khusus dan resmi mengaturnya. Saya semakin tidak mengerti. Saya sudah berpuasa Ramadhan sejak duduk di bangku SD, dan sampai usia kepala tiga saat ini, masih terus menjalaninya dan tak pernah menganggap atau pun merasa bahwa warung adalah godaan bagi orang yang sedang puasa. Saya, --dan juga berjuta-juta orang Islam yang berpuasa, saya yakin—tak pernah ngiler melihat makanan di balik kaca rumah makan, atau melintas di depan dinding kaca gerai fast food yang di dalamnya sedang ada orang menggigit-nggigit ayam goreng krispi dicocol saos.
Saya tidak akan pernah mengerti, berpijak pada apa sebenarnya pihak-pihak yang merasa perlu dan harus menganjurkan, atau bahkan sampai membuat perda, agar tempat-tempat makan menutup dinding-dinding kacanya dengan tirai, atau bahkan menutupnya secara total di siang hari. Belajar Islam di manakah mereka? Siapa guru ngaji mereka? Jangan-jangan mereka sendirilah orang-orang yang tak tahan menghadapi godaan makanan saat berpuasa. Sedangkan berjuta-juta orang Islam yang lain menganggap bahwa makanan adalah hal paling remeh, paling kecil dan paling sepele sejauh bisa disangkutkan dengan godaan puasa. Apakah mereka tidak pernah membaca kitab yang mengajarkan bahwa puasa itu bukan sekedar menahan lapar dan haus, melainkan –yang lebih berat dan penting—menahan seluruh hawa nafsu yang bersifat merusak kebersihan jiwa?
Saya sebenarnya sudah lama ingin tak peduli dengan semua itu –dengan anjuran dan aturan tentang mengormati orang berpuasa. Saya sendiri sudah berpuluh kali menjalani puasa dan tak ingin dihormati oleh siapa pun dengan cara apapun. Namun, semakin kuat ketakpedulian saya, semakin ingin rasanya berteriak setiap kali melihat warteg di dekat rumah atau gerai KFC di pinggir jalan yang saya lewati setiap berangkat kerja. Saya benci melihat betapa manja dan cemennya orang-orang beragama di kota Jakarta yang melihat makanan di Bulan Puasa saja ketakutan setengah mati sehingga tempat-tempat makan harus menutup diri. Mereka ingin menunjukkan keimanannya dengan berpuasa, tapi menolak godaan. Mereka seperti orang yang merayu Tuhan agar masuk surga tapi minta perlakuan istimewa untuk melindungi kelemahannya dalam beribadah.
1 Comments:
kata nabi, orang-orang di akhir zaman memiliki iman yang lebih kuat dari para sahabat.
sekarang godaannya Kapitalisme bung! jauh lebih mengerikan daripada cuman setan.
Post a Comment
<< Home