pop | arts whatever

Friday, October 13, 2006

Sepuluh Hari Terakhir

Kotib salat jumat di masjid samping gedung kantorku hari ini mengingatkan, bahwa puasa sudah memasuki sepuluh hari yang terakhir. Periode yang konon dipenuhi dengan pahala Tuhan berupa pembebasan api neraka. Dan, umumnya kotbah-kotbah dalam periode ini, kotib mengingatkan agar kaum muslimin meningkatkan ibadahnya, dan bukannya justru berbondong-bondong meramaikan mall untuk belanja baju baru yang penuh diskon.

Aku tiba-tiba justru teringat masa kecil dulu. Bila puasa sudah memasuki sepuluh hari yang terakhir, satu di antara malam-malam usai buka puasa aku absen dari tarawih di masjid. Ayah membawa kami -aku, kakak perempuanku dan ibu- ke Pasar Pon untuk membeli baju baru. Kami menyusuri ruas jalan yang di kanan kirinya berderet toko-toko. Beli baju di Tip Top, beli celana panjang di ABBA, dan beli sepatu di Famous. Beberapa di antara toko-toko itu sekarang sudah tidak ada, atau mungkin ganti nama, dan beberapa yang lain masih berdiri kokoh dan laris seperti dulu.

Selalu begitu. Banyak hal berubah, tapi banyak pula yang masih sama seperti dulu. Yang sama: sampai usia saat ini, di tempat yang sekarang ini, aku masih berpuasa. Yang berubah: ayah telah tiada lagi, dan acara belanja baju baru bersama kakak perempuan dan ibu sudah sekian lama berlalu. Kini, sepuluh hari terakhir di bulan puasa punya makna yang berbeda. Salah satunya kualami pagi tadi: kemacetan yang luar biasa, sampai membuatku ingin bunuh diri di dalam metromini.

Kalau tak salah hitung, mungkin sudah 5 kali aku mengalami puasa di Jakarta. Dan, selalu begitu kejadiannya. Setiap memasuki sepuluh hari terakhir menjelang hari raya, seolah semua warga kota tumpah ke jalan, memenuhi berbagai pusat perbelanjaan dan keramaian. Cobalah mampir ke seputaran Blok M hari-hari ini, sumpah, kau tak akan bisa menggerakkan tubuhmu. Dari mana orang sebanyak itu? Di mana biasanya mereka berada, kenapa seolah-olah muncul hanya di hari-hari menjelang lebaran?

Sepuluh hari terakhir di bulan puasa memang ajaib. Kehidupan seperti berhenti bergerak, atau berjalan dengan cara yang sama sekali berbeda. Seorang teman dari kantor lamaku dulu menceritakan lewat yahoo messenger, bahwa di kantornya orang-orang sedang saweran mengumpulkan uang untuk diberikan kepada OB dan karyawan level terbawah lainnya. Aku jadi teringat ketika dulu masih ngator di sana. Ya, setelah kami dengan sumringah menerima THR, beberapa teman kami berinisiatif mengedarkan amplop coklat ukuran besar untuk mengumpulkan "sumbangan" bagi teman-teman kami yang gajinya barangkali jauh lebih rendah dibanding kami.

Entah kenapa, aku merasa begitu gembira mendengar bahwa tradisi itu masih bertahan di sana. Mungkin aku terlalu sentimentil karena sudah sangat terbiasa mendengar dan merasakan, bagaimana Jakarta telah mengubah sikap dan cara berpikir orang-orang yang hidup di dalamnya. Ah, ternyata memang benar. Ada yang tak pernah berubah di antara yang telah berubah. Aku tak pernah takut menghadapi keduanya karena aku percaya di situlah kita menemukan diri kita yang sesungguhnya.