pop | arts whatever

Tuesday, October 31, 2006

Ilusi

Aku berdiri di depan pintu, menatap sedih pada daun-daun petai cina di kebun kosong seberang rumah yang bergoyang ditiup angin. Udara siang kota Solo yang sangat panas membuat pandanganku kabur. Jalan di depan rumah begitu lengang, menghadirkan suasana yang kosong dalam hatiku. Aku mereka-reka sebuah baris puisi untuk menghibur diri, lari dari rasa sepi yang datang dari semacam rasa kehilangan yang tiba-tiba. Pulang atau pergi hanya ilusi. Tapi bukannya terhibur, mataku malah terasa panas dan berkaca-kaca.

Aku masuk lagi ke rumah, melangkah ke dalam kamar. Kulihat tas besar yang sudah kusiapkan sejak pagi. Rasanya aku ingin membiarkan tangisku pecah. Libur lebaran selama seminggu sudah habis. Hari ini aku harus kembali ke Jakarta. Aku benci mengapa aku masih harus kembali ke sana. Aku pernah berpikir, sebenarnya bukan aku yang kembali ke Jakarta, tapi Jakarta yang selalu memanggilku kembali tanpa bisa kutolak. Mungkin aku berlebihan. Tapi, pernahkah kau merasa dihadapkan pada suatu keadaan yang sama sekali bukan pilihan?

Hidup ini memang lebih sering terasa sepeti itu bukan?

Pada suatu titik dalam rentang usia hidupmu, kau merasa bahwa kota kelahiranmu bukanlah tempat yang harus kau tinggali. Bukan karena kau tak cinta lagi, juga bukan karena alasan-alasan ketidaknyamanan atau ketidakcocokan. Tapi, apapun alasannya, semua bisa dijelaskan meski tidak harus dengan kata-kata yang serba terang. Kau hanya bisa mengenang. Seperti aku sekarang. Dulu, ketika baru lulus kuliah, pergi ke Jakarta tak memerlukan alasan dan penjelasan apapun selain mencari kerja.

Dan, itu sudah hampir enam tahun berlalu. Apakah alasan dan penjelasan yang sama masih bisa dipegang? Perjalanan waktu mestinya mengubah banyak hal. Tapi, mengapa aku merasa masih saja diam di tempat yang sama? Mengapa aku masih harus pergi dari kota kelahiranku? Ah, bukankah pulang atau pergi hanya ilusi? Mengapa aku harus bersedih untuk semua ini? Masih pentingkah rumah -kota kelahiran? Begitu burukkah hidup di perantauan -menjadi manusia urban, robot yang kesepian? Kalau kenyataannya aku masih bisa pulang setidaknya setahun sekali setiap lebaran, bertemu ibu, kakak dan keponakan, apakah itu tidak cukup?

Bukankah kerinduan yang ditahan, pertemuan yang sebentar, kepulangan yang selalu dinantikan..itulah yang membuat hidup menjadi terasa sangat indah? Pulang atau pergi hanya ilusi. Karena pada akhirnya tak ada lagi yang perlu dibedakan, mana rumah, mana persinggahan. Jam tiga sore hampir tiba. Aku bangkit, menatap wajahku di cermin, merapikan rambut dengan jemari tangan dan mengangkat tasku dengan mantap. Aku melangkah ke luar kamar, memanggil kakakku yang sudah menunggu, siap mengantarku ke terminal.

Jakarta, dunia nyata, aku datang...