Otomatis Romantis: Mengejar Mas-mas Seri Dua
Dengan berbagai bungkusnya, semua kisah cinta sebenarnya adalah kisah Cinderella. Tapi, di jagad dongeng modern, tidak semua Cinderella itu perempuan. Film ini adalah komedi Cinderella modern versi laki-laki.
Film dibuka dengan memperkenalkan Marsya Timothy yang sedang digandrungi pria-pria straight maupun gay di Jakarta, yang berperan sebagai pemimpin redaksi ala-devil wears prada. Bedanya, yang ini masih muda (29 tahun) dan bermasalah dengan jodoh. Oh, tidak, ayahnyalah --yang ia panggil papi-- yang meributkannya. Tekanan sang Papi membuat sang Pemred uring-uringan di kantornya, sebuah majalah gaya hidup untuk perempuan kota.
Di dunia yang lain, kita diperkenalkan dengan Tora Sudiro sebagai mas-mas Jogja nan culun-polos-setengah tolol yang hidup di bawah tekanan kakaknya yang tukang judi.
Begitu adegan berikutnya si mas-mas jawir itu terlihat --ternyata-- bekerja sebagai staf rendahan di kantor si devil wears prada, deng deng deng, kita pun tahu belaka, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dengan kemasan komedi Jawa ala Srimulat, dan menampilkan salah satu ikon terkuatnya dari generasi lama (Tarzan) dan ikon terkuat dari generasi baru (Tukul), film ini sama sekali tidak menyimpan motif apapun kecuali melucu.
Maka, saya depresi membaca beberapa review atas film ini yang menyinggung-nyinggung soal "benturan antara nilai-nilai lama dan baru", semacam itulah. Oh my God! Belum lagi ulasan-ulasan garing media mainstream yang menyebut-nyebut soal "tema dan permasalahan yang sebenarnya mengakar di hampir seluruh keluarga Indonesia, namun belum sempat diangkat menjadi film."
Dan, kalau itu belum cukup untuk membentur-mbenturkan kepada di layar komputer, maka simak juga rilis resmi dari pihak produser yang mengatakan, "Film ini...mengenai dua anak muda dalam proses pencarian sebuah cinta sejati."
Tolong, mana Decolgen saya!
Syukurlah, faktanya tidak sefrustrasi itu. Yang saya jumpai di layar hanyalah deja vu dari film-film FTV macam Kutunggu Kau di Pasar Minggu, sebuah versi lain dari film Notting Hill dari Anjasmara dan Dessy Ratnasari pada 2001 (wow, betapa dahsyatnya ingatan saya!), atau pun Ujang Pantry yang tak lain karya sutradara yang kini menyutradarai Otomatis Romantis ini.
Bedanya, sekali lagi, kemasannya yang Srimulatan abis!
Tarzan berperan sebagai Tarzan dengan cengkok bicaranya yang meliuk-liuk. Tukul berperan sebagai Tukul lengkap dengan trademark cipika-cipikinya, bahasa Inggris "British"-nya, dan diledek sebagai lele dumbo. Tora berperan sebagai pelawak Extravaganza yang kadang-kadang menjadi Gepeng (alm.) dan kadang-kadang sekemayu Didik Nini Thowok.
Ketika Tukul muncul satu frame --mengutip istilah Tukul sendiri yang diulang-ulang dalam lawakan Empat Mata-- dengan Tora, atau dengan Tarzan, maka dialog yang dipersiapkan untuk mereka pun sepenuhnya kalimat-kalimat lawakan. Ketika Tarzan marah, ketika Tukul menangis, semua tidak bermakna apa-apa kecuali mereka sedang melawak.
Bahkan, nama tokoh pun, Bambang (untuk Tora) diperhitungkan untuk mengejar efek lucu, menggugah kenangan fans Srimulat pada pelawak Triman (alm.) yang selalu memperkenalkan diri sebagai "Emmbammbaangg" dengan suara sengau dan mimik idiot.
Jadi, sia-sia saja sebenarnya ketika film ini memasukkan paradoks seorang pemred majalah wanita yang biasanya menulis tips mengejar laki-laki idola, tapi tak bisa membantu dirinya sendiri ketika jatuh cinta dan mengejar-ngejar seorang mas-mas Jogja, bawahannya pula. Itu pun kalau kita setuju bahwa memang ada paradoks di situ. Tapi, siapa yang sempat memikirkannya?
Dari awal saya hanya gelisah, kok Tukul nggak muncul-muncul? Ya, layaknya menonton lawak, saya hanya ingin tertawa, kalau bisa sekeras-kerasnya. Dan, ketika ternyata saya memang bisa, maka saya tidak butuh apa pun lagi selain itu.