Aku telah melewatkan satu hari terburuk pada pekan terakhir bulan Juni ketika angin bertiup terlalu kencang sehingga menerbangkan selembar daun kering dari pohon mahoni yang tumbuh jauh di halaman ke hamparan karpet merah di dalam Masjid Istiqlal.
Jauh hari, rekan sekantor memberitahu bahwa saya harus ikut dengannya bertemu orang MUI (Majelis Ulama Indonesia) untuk memperkenalkan produk baru perusahaan kami, sebuah portal tentang bisnis berbasis syariah. Maka, ketika hari yang telah dijadwalkan itu tiba, saya datang ke kantor dengan penampilan yang tak seperti biasa. Kali ini lebih rapi dengan celana bahan, sepatu pantofel dan kemeja lengan panjang yang sebenarnya membuat sekujur tubuh saya seperti diikat dengan tali sehingga tak bebas bergerak. Jam sepuluh lebih kami berangkat dan saya sama sekali tak tahu, akan bertemu dengan siapa nanti di sana, dan apa agendanya.
Ketika saya bertanya di dalam taksi, rekan sekantor saya lagi-lagi hanya bilang, akan bertemu dengan orang MUI. Agenda? Yang penting kenalan dulu, kata dia.
Sampai di sana, kami menunggu di ruang rapat dan tuan rumah yang menyambut kami tampak sibuk menyiapkan layar,
in-focus dan laptop. Saya mulai cengok, autis dan mati gaya. Orang-orang lalu berdatangan. Obrol punya obrol, saya pun mulai tahu, bahwa akan ada meeting persiapan tablig akbar ulang tahun MUI sekaligus pencanangan gerakan syariah nasional. Ternyata, permintaan kami bertemu orang MUI untuk memperkenalkan portal baru kami, dikabulkan dengan melibatkan kami dalam rapat tersebut.
Setelah menunggu lebih dari satu jam, rapat pun dimulai tepat pukul 12.00. Saya terheran-heran, bagaimana mungkin sebuah pertemuan yang berlangsung di kantor MUI, di kompleks masjid, dan bertujuan membahas sesuatu yang berkaitan dengan syariah, justru meninggalkan praktik yang paling syariah itu sendiri, yakni salat tepat waktu?
Apa lacur, saya ikut saja duduk di meja bundar, di antara orang-orang dari lembaga yang baru hari itu saya dengar namanya, yang semuanya berkaitan dengan ekonomi syariah. Ada juga beberapa pejabat bank syariah. Saya ikut mendengar ketua panitia tablig akbar melaporkan persiapannya. Saya ikut mendengar KH Maruf Amin memberikan arahan-arahan singkatnya. Saya ikut mendengar banyak hal yang mestinya tak saya dengar, karena memang tidak berkaitan dengan hajat hidup saya, apalagi hajat hidup orang banyak. Gerakan syariah nasional? Plis deh! Kalangan aktivis pro rakyat pasti akan bilang: masyarakat sekarang ini makan sehari-hari saja susah boro-boro mikir ekonomi syariah...
Tapi, saya bukan aktivis apalagi pro rakyat. Saya hanya merasa telah melewatkan satu hari terburuk saja.
Jam setengah dua rapat selesai, dan rekan sekantor saya sambil ngedumel buru-buru mengajak saya meninggalkan ruangan untuk salat dhuhur.
Dalam perjalanan kembali ke kantor, di dalam taksi saya berpikir bahwa hari terburuk itu akhirnya lewat sudah. Ternyata, sampai di kantor, saya harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah buruk. Bos saya membawa anaknya yang masih balita ke kantor, dan anak itu berteriak-teriak tak henti-henti. Saya duduk di depan komputer dengan konsentrasi yang kacau. Saya ingin pulang, tapi tentu tak enak sama teman-teman. Tapi, terus bertahan di depan komputer, toh tak bisa melakukan apa-apa selain ceting dan brosing nggak jelas. Akhirnya, setelah kenyang dengan kegaduhan kantor yang luar biasa, menjelang setengah 6 saya cabut dan "berlari" ke Plaza E.X.
Saya harus memulihkan
bad-mood saya akibat hari terburuk yang telah saya lalui. Saya ke Starbucks dan melihat teman saya, Alif sedang jaga. Saya samperin dia. Cukup lama kami tidak bersua. Dia menyambut saya dengan mengatakan, telah membaca artikel saya di
Addiction dan dia merasa menjadi model untuk tulisan saya itu. "Pas baca, eh, tulisan Mumu, dan isinya kok gue banget, behel warna ijo hihihi."
Dia lalu memberi saya secangkir coklat panas. Saya duduk sambil membaca
Hers dan
Area terbaru, sambil menikmati musik yang menggema dari lobi bawah, yang dimainkan oleh seorang DJ. Di sela melayani pembeli, Alif menghampiri meja saya dan kami ngobrol. Ketika ada pembeli, dia segera bergegas untuk melayani. Beberapa pembeli tampak sudah akrab dengannya, dan petang itu itu ada yang memberi dia dua dus
popcorn. Lalu, datang seorang lelaki yang sangat gemulai, dengan kaos hitam lengan panjang ketat yang memperlihatkan perutnya, memesan minuman sambil berbincang akrab dengan Alif, kemudian pergi lagi.
"Siapa, Lif?" tanya saya ketika Alif ke meja saya lagi. "Perancang di sebuah
bridal house, baru pulang dari sekolah mode di Amrik."
Jam setengah 7 Alif
break, dan membawa satu kotak
popcorn-nya ke bangku saya. Kami ngobrol lebih lepas dan lebih santai. Lalu, ia mengajak saya ke
smoking room.
Baru beberapa detik di kotak kaca yang sempit itu, seseorang masuk dan bergabung. Ternyata, Alif mengenalnya. Mereka ngobrol. Dia seorang lelaki cina usia 26-an, berbadan kekar, dengan kaos hitam ketat dan celana militer, membawa salah satu episode
Harry Potter edisi Indonesia. Tak lama kemudian dia pergi lagi.
"Siapa. Lif?"
"Pramuniaga di Sogo, pacaran sama
marketing manager-nya Selebriti Fitness, cowok juga, tapi cowok itu sekarang pulang ke kampungnya di Malang, jadi dia merana."
Kami kembali ke Starbucks dan sebentar kemudian saya pamit untuk nyari makan. Alif menolak ajakan saya untuk bergabung makan di Pizza Hut di sebelah Starbucks. Usai makan, saya turun menikmati
live music dari sebuah band beranggota empat anak muda tanpa (pemain) dram --melainkan perkusi-- yang menyanyikan lagu-lagu Maroon 5 dan Jamie Culum. Saya menikmati semuanya seorang diri, duduk di sofa sambil mengamati lalu-lalang orang di eskalator.
Tiba-tiba saya melihat teman saya, Erza yang belum lama merilis novel
Roman Sarkastik. Tapi, saya tidak berminat untuk menyapanya. Saya sedang ingin sendiri saja. Lalu, saya juga melihat Ve Handojo yang baru saja pulang berlibur di Turki setelah skrip film horonya,
Kuntilanak, sukses di Malaysia. Tapi, saya juga malas menyapa. Saya benar-benar ingin sendiri.
Dan, tiba-tiba sudah setengah sembilan. Saya bangkit dan melangkah menyusuri satu sisi lorong E.X menuju Plaza Indonesia. Di jembatan, saya berpapasan dengan VJ Daniel. Kali ini saya ingin menyapa. Tapi, dia sedang sibuk bicara di telepon dan berjalan buru-buru. Di samping itu, saya tidak mengenal dia.
Saya tertawa getir dalam hati, dan sambil mempercepat langkah, saya teringat baris panutup cerpen Nuage Kusuma berjudul
Lari yang dimuat di antologi
Rahasia Bulan: Aku terlahir ke dunia ini seorang diri. Sendiri itulah hakikatnya. Percuma mencoba lari dari hakikat itu.